“ Srek...srek...srek...”
Sebuah suara menarik perhatian Hanok. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sumber suara. Dari balik semak-semak, muncul seorang gadis cantik yang sedang kebingungan. Sepertinya, gadis itu sedang mencari sesuatu. Hanok segera bersembunyi di balik pohon. Ia tidak ingin membuat gadis itu takut dan kaget. Ia kemudian memerhatikan gadis itu dengan rasa penasaran. Hanok mulai menduga bahwa gadis itu bukan gadis dari desanya. Ia dapat melihat perbedaannya dari bentuk wajah gadis itu yang lancip dan rambutnya yang sangat panjang terurai. Sementara gadis di desanya berwajah bulat dan rambut mereka hanya sebatas bahu.
Gadis cantik itu tampak sibuk sendiri. Ia berjalan berkeliling dengan wajah panik. Kedua matanya yang sipit mulai memerah. Genangan air perlahan-lahan turun di pipinya yang putih bersih. Setelah beberapa saat mencari-cari sesuatu, ia terlihat mulai putus asa. Rasa lelah yang mendera membuatnya duduk bersandar di sebatang pohon besar. Tenaganya nyaris habis.
“Apa yang sebenarnya kau cari, Gadis Cantik?”
Sebuah suara membuat gadis cantik itu tersentak kaget. Hanok keluar dari tempat persembunyiannya. Ia ingin tahu apa yang sedang dicari oleh gadis itu.
“Aku kehilangan sandalku, Tuan. Apakah Anda melihat sepasang sandal berwarna putih keunguan?” tanya gadis cantik itu penuh harap.
Hanok menggelengkan kepala. “Saya tidak tahu,” jawabnya pendek.
“Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanyanya lagi.
“Namaku Ae Moon. Kalau Anda siapa, Tuan?” tanya Ae Moon sopan.
“Ae Moon, nama yang indah. Seperti nama peri-peri cantik dari langit,” kata Hanok. Ae Moon terkesiap. Ia takut jika pemuda di sebelahnya itu tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
“Namaku Hanok,” lanjut Hanok sambil mengulurkan tangannya.
Mereka berjabat tangan. Ae Moon menatap Hanok sesaat, menduga bahwa Hanok adalah pemuda yang baik sehingga ia bisa meminta bantuan untuk mencari sandalnya yang hilang.
“Tuan, bisakah Anda membantu mencari sandalku yang hilang?” pinta Ae Moon. Ia berharap bisa menemukan sandalnya karena hanya dengan sandal itu ia bisa kembali ke dunianya. Dunia peri. Ia tidak ingin hidup di dunia manusia karena pasti akan sangat berbeda dengan kehidupan di dunia peri.
“Di mana kau meninggalkan sandal itu terakhir kali?” Hanok mulai bertanya “mungkin kita bisa mulai mencarinya dari sana.”
Ae Moon mulai bersemangat. Harapan untuk menemukan sandalnya dan pulang ke negeri peri membuat tenaganya pulih kembali.
“Di danau,” jawab Ae Moon sambil menunjuk ke arah danau.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah danau yang terletak tidak jauh dari tempat itu.
“Kami bermain dan berlarian di atas sana. Karena sandal itu menyulitkanku berlari, aku pun melepasnya dan meletakkannya di sana,” cerita Ae Moon. Ia menunjuk hamparan air yang ada di hadapan mereka.
Hanok mengeryitkan dahi. Bagaimana bisa seorang manusia berlarian di atas air danau? Jika sandal itu diletakkan di atas air, pasti sandal itu tenggelam ke dasar danau.
“Apakah kamu tidak salah tempat? Jika kamu meletakkannya di atas air itu, sandalmu pasti akan masuk ke dasar danau.” Hanok mencoba mengingatkan Ae Moon. Ia menduga bahwa maksud Ae Moon adalah Ae Moon bermain dan berlarian di sekitar danau itu, bukan di atasnya.
Namun Ae Moon menggeleng. “Kami bermain dan berlarian di atas air danau itu. Dan sandalku ada di sana.” Ae Moon mengulangi kata-katanya sambil menunjuk ke atas air.
Hanok sedikit bimbang. Haruskah ia mencari sandal Ae Moon di dasar danau?
“Kita cari saja di sekeliling danau ini. Aku akan berputar dari arah kanan, sedangkan kau dari arah kiri. Nanti kita bertemu di ujung sana.” Hanok memberi perintah. Ia tidak memercayai perkataan Ae Moon tadi.
Ae Moon mengangguk setuju. Dengan hati-hati mereka berdua menelusuri semak dan tanaman di sekitar danau. Namun sampai mereka bertemu kembali di satu titik, mereka tidak menemukan sandal itu sama sekali.
“Aku tidak menemukannya,” kata Hanok. Matanya masih terus mencari-cari. “Mungkin sandalmu benar-benar tenggelam di dasar danau,” katanya menambahkan. Kini pandangannya beralih ke tengah danau.
Mereka berdua terdiam. Hanok menghela napas panjang. “Aku tidak mungkin menyelam untuk mencari sandalmu itu. Aku tidak bisa berenang,” ucapnya lirih.
Ae Moon terpaku mendengar pengakuan Hanok. Dilihatnya matahari yang sudah mulai meredup. Tanpa sandal itu, ia tidak mungkin kembali ke rumahnya. Maka dengan berat hati, ia mengikuti Hanok menuju sebuah rumah di pinggir hutan. Hanok berjanji padanya untuk mencarikan sandal itu lagi esok hari. Sesampainya di rumah Hanok, Ae Moon tidak menjumpai seorang pun di sana. Hanok tinggal seorang diri. Orang tuanya telah meninggal dunia. Hanok menghidupi dirinya sendiri dengan mencari kayu di hutan untuk di jual ke desa-desa di sekitarnya.
Hanok masuk ke kamar tidurnya. Ia mengeluarkan dua lembar daun yang sangat indah. Warnanya bukan hijau, kuning, atau coklat, seperti kebanyakan daun lainnya. Daun itu transparan berwarna putih keunguan. Hanok menemukannya di tepi danau, tersangkut di antara dedaunan yang lain. Warnanya yang berkilau menarik perhatian Hanok untuk memungutnya. Hanok menyimpan dua helai daun itu di balik bajunya dengan hati-hati. Meski ia tidak tahu akan menggunakan daun itu untuk apa, tapi ia ingin menyimpannya baik-baik karena bentuknya yang cantik dan warnanya yang indah. Beberapa saat kemudian, Hanok keluar menemui Ae Moon.
“Silakan beristirahat di kamar depan. Saya akan membuatkan makanan,” kata Hanok ketika ia menghampiri Ae Moon.
Hanok berniat untuk menjamu tamunya dengan masakan buatannya. Walau Hanok seorang laki-laki, ia sangat suka memasak. Tetangga-tetangganya selalu memuji masakan Hanok, yang, menurut mereka, seperti masakan para koki. “Joheun,” kata para tetangga setiap kali mereka memuji masakan Hanok. Malam ini Hanok memasak nasi dan sinseollo. Karena dia tidak mempunyai daging, Hanok membuat sinseolo dengan sayur-sayuran. Setelah masakannya matang, ia meletakkan panci sup sinseollo itu di atas meja. Hingga aromanya yang lezat tercium oleh Ae Moon.
“Ayo, kita makan.” Hanok segera mempersilakan Ae Moon menikmati hidangan yang ia sajikan.
“Em… enak sekali makanan ini,” kata Ae Moon sambil mendekatkan mangkuk sup ke mulutnya. Hanok tersenyum, merasa senang dengan pujian itu.
Setelah kenyang, mereka pun beristirahat. Di dalam kamarnya, Ae Moon tidak dapat memejamkan mata. Ia masih merasa asing dengan dunia barunya. Ia sudah tidak sabar menunggu pagi dating, untuk kembali mencari sandalnya. Keesokan harinya mereka kembali mencari sandal Ae Moon yang hilang. Namun hari itu berlalu tanpa hasil. Hari-hari terus berlalu. Mereka terus mencari, tapi tidak ada titik terang apa pun. Ae Moon pun semakin putus asa. Ia kehilangan harapan untuk menemukan sandalnya dan kembali ke dunia peri.
“Aku akan mengantarmu pulang ke kampungmu,” tawar Hanok suatu hari.
“Aku tidak punya keluarga. Bolehkan aku tetap tinggal di sini,” pinta Ae Moon. Ia sudah benar-benar putus asa. Apabila Hanok tidak mau menampungnya, ia tidak tahu harus pergi ke mana.
Hanok tidak keberatan hidup bersama Ae Moon. Maka dengan upacara yang sangat sederhana, mereka berdua pun menikah. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang putri yang cantik jelita. Putri mereka tumbuh menjadi gadis kecil yang sehat dan pintar. Gadis kecil itu bernama Hye. Siang itu Hye berdiri di depan pintu sambil memerhatikan butiran air hujan yang turun dari langit. Hari ini ayahnya berjanji akan mengajaknya ke hutan untuk mencari buah-buahan. Hye senang bisa mengambil buah-buahan itu langsung dari pohonnya. Rasanya segar dan manis. Hye sudah membayangkan semuanya. Namun hujan belum juga reda. Hye khawatir rencana mereka akan gagal lagi.
“Mungkin kita harus menundanya hingga esok hari, Nak.” Hanok mencoba menenangkan Hye yang terlihat gelisah.
“Sebentar lagi hujan pasti reda, Yah,” sahut Hye yakin. Matanya yang bening menatap langit. Dari bibirnya yang mungil terdengar doa yang ia panjatkan agar hujan segera berhenti. Tidak lama berselang, hujan benar-benar berhenti.
“Benar kan, Ayah, hujan sudah berhenti.” Hye menatap ayahnya dengan senyumnya yang manis.
Sang ayah mendonggakkan kepalanya ke langit. Lalu ia keluar rumah dan menengadahkan tangannya. Ia ingin memastikan kalau hujan telah benar-benar berhenti.
“Baiklah, tapi jalan ke hutan pasti becek. Ayah khawatir kamu nanti terpeleset.”
Hye menatap ayahnya sesaat. Tangan mungilnya diletakkan di pelipisnya. Sepertinya ia sedang mengingat sesuatu.
“Bolehkah aku meminjam sandal yang Ayah simpan di dalam lemari?” tanyanya.
“Sandal apa, Nak? Ayah tidak punya sandal yang Ayah simpan di lemari.” Kening Hanok berkerut. Ia sama sekali tidak ingat pernah menyimpan sandal di dalam lemarinya.
Mendengar kata sandal, Ae Moon yang sedari tadi memerhatikan suami dan anaknya itu kaget. Ia teringat pada sandalnya yang hilang beberapa tahun silam.
“Iya, sandal yang Ayah simpan di lemari pakaian. Ayo, kita ambil.” Hye menarik tangan Hanok.
Hanok tak kuasa menolak. Tanpa ia sadari, Ae Moon berjalan di belakang mereka dengan wajah penasaran. Sesampai di kamar, Hye membuka lemari dan menarik sebuah kursi, ia pun naik ke atas kursi itu.
“Ini lho, Ayah.” Hye menarik sepasang sandal berwarna putih keunguan.
Melihat sandal itu, Ae Moon terpekik. Ia sama sekali tidak menyangka kalau sandal yang ia cari selama ini, ternyata ada di dalam rumah. Hanok pun tak kalah kaget. Ia menatap istrinya dengan wajah bingung. Ae Moon mendekati Hye yang sedang memegang sandal itu. Ia menimang sandal itu sesaat. Ia ingat betul, sandal itu adalah sandalnya yang hilang. Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk di benak Ae Moon.
“Jadi engkau yang telah menyembunyikan sandal ini, hingga aku tidak bisa kembali ke duniaku?” Ae Moon berbalik ke arah Hanok. Ia memandang suaminya dengan tatapan sedih. Ia merasa dibohongi.
“Duniaku?” Hanok mengulangi ucapan istrinya, bingung.
Ae Moon terdiam. Ia menatap Hanok dan Hye bergantian. “Duniaku, dunia peri,” ucap Ae Moon sambil tertunduk.
Hanok sangat terkejut. Ia sama sekali tidak menduga kalau istrinya adalah seorang peri. Selama mereka hidup bersama, ia tidak menemukan keanehan apa-apa.
Hanok lalu berkata pelan, “Itu hanyalah dua lembar daun. Tapi daun itu dapat bersinar putih keunguan. Karena itulah aku menyimpan daun itu baik-baik.”
“Selembar daun?” Ae Moon mengulangi kata-kata itu lirih. Ia menatap mata suaminya dengan penuh selidik. Tidak ada kebohongan di sana. Jadi, selama ini, suaminya hanya melihat sepasang sandal itu sebagai selembar daun.
“Ini bukan daun suamiku. Ini adalah sandal yang aku cari ketika dulu kita bertemu. Sandal yang terus-menerus aku cari, bahkan samapai saat ini,” lanjutnya lagi.
Hye berdiri mematung, menatap kedua orang tuanya.
“Jadi setelah menemukan sandal itu kembali, kamu akan pulang ke dunia peri?” tanya Hanok dengan wajah memelas.
Ae Moon terdiam. Pandangannya tertumbuk pada seraut wajah polos milik Hye, putrinya. Ia ingin kembali ke dunia peri, tapi di sisi lain dia juga tidak ingin meninggalkan Hye dan Hanok.
“Ibu akan meninggalkan aku?” tanya Hye sambil beringsut duduk di kursi. Ia tidak menyangka bahwa dunia peri, yang diceritakan ibunya menjelang tidur, benar-benar ada.
Mendengar pertanyaan itu, hati Ae Moon sedih sekali. “Ibu belum tahu,” jawab Ae Moon.
Ae Moon berusaha memikirkan semuanya dengan baik. Sandalnya memang sudah ditemukan. Namun, sekarang, ia memiliki seorang putri yang sangat dia sayangi. Ia ingin membawa Hye ke dunia peri, tapi dia tidak mungkin melakukan itu. Bangsa manusia tidak ada yang bisa hidup di dunia peri. Seharian itu Ae Moon memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia ingin seluruh keluarganya bisa bersama-sama. Tapi bagaimana caranya? Sementara itu Hanok juga bergelut dengan pikirannya sendiri. Ia tidak ingin kehilangan istri yang sangat ia cintai. Apalagi Hye, bagaimana gadis kecil itu bisa melanjutkan hidupnya tanpa keberadaan seorang ibu?
“Aku akan kembali ke dunia peri,” kata Ae Moon pada akhirnya.
Mendengar hal itu, Hanok merasa sebagian dirinya hilang. Badannya menjadi lemas. Namun ia tidak dapat mencegah Ae Moon kembali ke dunianya. Hanok berusaha untuk kuat melihat kepergian istrinya. Ia memeluk Hye yang terus menitikkan air mata melihat kepergian ibunya. Ia ingin memberi kekuatan pada putrinya, sekaligus pada dirinya sendiri.
“Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan keluargaku di sana. Aku berjanji akan kembali lagi pada kalian,” kata Ae Moon.
Air matanya tidak berhenti mengalir. Ia merasa sedih karena harus berpisah dengan Hye dan Hanok. Tapi ia juga teringat mimpinya beberapa hari yang lalu. Mimpi tentang ayahnya yang sakit keras, sejak ia menghilang dari dunia peri. Semua peri tahu kalau ia adalah anak kesayangan sang ayah. Maka tidak heran jika sang ayah sangat kehilangan dirinya. Mimpi itulah yang membulatkan tekad Ae Moon untuk kembali ke dunia peri. Ia ingin ayahnya sehat kembali. Selain itu, ia ingin memberitahu ayahnya, kalua kini ia mempunyai seorang cucu yang cantik jelita bernama Hye. Ae Moon yakin jika ayahnya akan senang mendengarnya.
“Ibu pasti kembali, Nak. Ibu janji.”
Kata-kata itulah yang diingat Hye. Setiap hari ia dan ayahnya pergi ke hutan, berharap Ae Moon memenuhi janjinya untuk kembali berkumpul bersama mereka. Namun hari berganti, bulan bergulir, tahun berganti, ibunya tidak juga kembali.
“Aku kangen sama ibu, Yah,” ucap Hye suatu hari.
Hye sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Hari itu ia sedang membantu ayahnya mencari ranting di hutan. Ia tengah duduk di sebatang kayu besar di tepi danau. Diperhatikannya sang ayah yang sedang sibuk memunguti ranting kering. Hanok menghentikan pekerjaannya dengan tiba-tiba. Hatinya pun merasa rindu dengan istrinya. Namun dia tak bisa melakukan apa-apa, dia dan Hye tidak mungkin menyusul Ae Moon ke negeri para peri. Hye menunggu tanggapan dari ayahnya. Tapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulut sang ayah. Hye sebenarnya tahu, tanpa mendengar tanggapan sang ayah, jika ayahnya pun merindukan ibunya. Tiba-tiba pandangan Hye tertumbuk pada sesuatu yang mengilap berwarna putih keunguan. Sepatu peri! Hye berteriak kegirangan. Saat yang ia tunggu akhirnya datang juga. Ibunya kembali untuk memenuhi janji! Hye mendekati sepatu itu, namun sebuah suara menahannya.
“Jangan Hye, biarkan daun itu tetap di sana!” Hanok menahan langkah Hye.
Hye berhenti, ia tidak tahu mengapa ayahnya melarang ia mendekat. Dan mengapa ayahnya masih melihat sepasang sandal itu sebagai daun?
“Kenapa Ayah?”
“Ibumu tidak akan kembali.” Hanok tercekat. Suaranya nyaris habis. “Ayah tidak ingin kehilangan orang yang Ayah cintai lagi. Jika kalian semua pergi, siapa yang akan menemani ayah?”
Hye segera mendekati ayahnya dan memeluknya dalam haru. “Hye akan selalu menemani Ayah, seperti Ibu yang menemani Kakek sehingga ia tidak bisa kembali kepada kita.”
“Dari mana kamu tahu, Nak?” tanya Hanok terkejut.
“Ibu datang dalam mimpiku, Yah,” kata Hye sambil menundukkan kepalanya.
Ibunya memang sering mendatanginya dalam mimpi, namun rasa rindunya tak kunjung terobati.
“Ia mengatakan jika belum bisa memenuhi janjinya karena harus mengurus Kakek,” kata Hye lagi.
Hanok tersenyum. Rupanya Ae Moon tidak hanya datang dalam mimpinya. Ia juga datang dalam mimpi Hye.
“Hye, Hanok!”
Sebuah suara lembut terdengar di telinga mereka berdua. Serentak keduanya menoleh. Mereka hampir tidak percaya dengan sosok berdiri di ujung sana. Ae Moon berdiri dengan anggun, meski ada gurat kesedihan di wajahnya.
“Ibu…!” Hye berlari ke arah ibunya. Ia memeluk erat wanita yang telah lama tidak dijumpainya. Hanok datang mendekat, memeluk anak dan istrinya.
“Aku datang untuk memenuhi janjiku pada kalian,” kata Ae Moon di tengah sedu sedannya. Rasa bahagia benar-benar membuncah di dadanya.
“Kami senang kau bisa kembali,” sahut Hanok. Ia semakin erat memeluk anak dan istrinya. Hatinya penuh rasa bahagia yang tiada-tara.
“Apakah yang terjadi di sana hingga kau bisa kembali kepada kami?” tanya Hanok seraya merenggangkan pelukannya.
“Ayahku telah tiada, jadi aku bisa kembali kepada kalian,” kata Ae Moon.
“Padahal aku juga ingin bertemu dengan Kakek,” sahut Hye manja.
Ae Moon tersenyum getir karena Hye tidak bisa bertemu dengan kakeknya.
“Meski Kakek tidak ada, Ibu akan selalu ada, Sayang. Ibu tidak akan meninggalkan kalian lagi. Ibu menyayangi kalian berdua,” ucap Ae Moon sambil membelai rambut putrinya.
Akhirnya, Hanok, Ae Moon, dan Hye dapat berkumpul bersama dan hidup bahagia selamanya. Kisah mereka mengajarkan bahwa sesulit apa pun, sebuah janji haruslah ditepati, karena janji akan menjadi hutang yang dibawa sampai mati.
***
Dalaja selesai membaca bukunya.
"Cerita bagus asal dari Korea Selatan," kata Dalaja.
Dalaja menutup bukunya dan beranjak dari duduknya, ya membawa bukunyalah ke kamarnya. Ya di kamar Dalaja menaruh buku di meja dengan baik dan segera mengeluarkan buku dari tasnya, ya mengerjakan PR-nya dengan baik gitu.
No comments:
Post a Comment