Setelah seusai mengaji Al-qur’an bersama-sama. Dina bersiap diri untuk pulang kampung hari ini. Matanya masih memandang bayangan dirinya didepan cermin di asmara tersebut. Tangannya berusaha merapikan kerudung yang sedang dikenakannya dan membenarkan pakaian jubah yang membalut tubuhnya. Kemudian tak lupa dia memakai kaos kaki yang selalu membungkus kaki tersebut. Dia tampak cantik dengan jilbabnya. Balutan lembut itu seakan-akan membuat dia tampak seperti bidadari surga yang menjelma menjadi manusia. Bahkan dari raut wajahnya dia tampak bahagia dengan kehidupannya.
Dina yang dulu lugu dan cupu. Dina yang dulu tanpa jilbab. Dina yang dulunya islamnya abu-abu dan berasal dari desa. Sekarang berubah menjadi Dina yang baru. Dina yang selalu membalut dirinya dengan pakaian menyerupai jubah atau lebih tepatnya dia berhijab untuk menutup auratnya. Dina yang selalu berpikir kritis dan idealisme-nya telah terbentuk menjadi idealisme yang berpikir keras terhadap sesuatu. Bahkan menurutnya sekarang dia telah menemukan jati diri yang sebenarnya dalam islam yang sesungguhnya.
Perjalanan dari Kota Surabaya menuju Kabupaten Bojonegoro memang sangat jauh. Dina memerlukan waktu empat jam untuk sampai di rumah. Dina pulang ke rumah atas permintaan ibu dan bapaknya. Sesampainya di rumah Dina berusaha untuk tetap berada di dalam rumah dan tidak pergi kemana-mana. Dia tidak seperti dulu sewaktu masih masa-masa SMA yang dapat pergi semaunya sendiri. Namun sekarang dia lebih menjaga tingkah lakunya sesuai syariat islam yang selama ini diperolehnya melalui organisasi kerohanian islam yang diikuti.
Adzan magrib telah dikumandangkan seluruh penjuru desa tersebut. Dina langsung bergegas melangkahkan kakinya menuju mushola dekat rumahnya untuk sholat berjamaah. Tetapi sejauh kakinya melangkah menuju mushola itu. Masyarakat masih memandangnya aneh dengan segala perubahan yang terjadi pada Dina saat ini. Mereka melihat perubahan diri Dina mulai dari penampilan dengan hijabnya dan cara tingkah lakunya yang tak seperti dulu. Apalagi Mereka merasa bahwa Dina lebih terlihat sangat aneh apabila Dina mengenakan kaos kaki dengan memakai sandal. Ini suatu pemandangan yang tak biasa bagi masyarakat desa tersebut. Namun demi jihad menuju jalan Allah yang lurus, dia tetap teguh dan seakan tak peduli terhadap pandangan maupun omongan orang-orang disekitar rumahnya itu.
Dalam mushola tersebut, masyarakat sekitar yang dulu mengenalnya juga merasa segan untuk mengakrabkan diri padanya. Bahkan sahabat-sahabat kecilnya dulu tidak semua bercengkrama dengannya. Bagi mereka Dina yang dulu sudah berubah dan selalu membatasi dirinya.
Perubahan diri pada Dina memang terlalu cepat sehingga membuat keluarga, saudara-saudara dan sahabat-sahabatnya dikampung halamannya tersebut sedikit menentang perubahan itu. Semua ini terjadi karena dampak dari berita-berita teroris di televisi yang mengatasnamakan islam dan melakukan bom bunuh diri. Berita tersebut telah membuat kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya menjadi khawatir dengannya. Orang tuanya takut jika anak perempuannya tersebut telah berhasil di bai’at dan di cuci otak oleh oknum-oknum yang mengaku dirinya islam dan menyuruh anaknya untuk melakukan bom bunuh diri seperti berita di televisi itu.
Seperti petang ini, seusai sholat magrib dan sepulang dari mushola. Dina langsung di sidang diruang tamu oleh paman dan kedua orang tuanya mengenai perubahan pada dirinya sekarang. Sidang itu sudah kedua kalinya terjadi semenjak Dina memutuskan memilih jalan hidupnya.
“Dina, sebenarnya paman sangat senang melihat kamu berhijab sesuai syariat islam seperti ini, namun paman juga takut jikalau pemikiranmu terhadap sesuatu nantinya juga ikut berubah, entah itu pemikiran berdasarkan islam yang mana, sekarang itu agama islam telah terbagi menjadi beberapa aliran, ada islam radikal, islam liberalisme dan masih banyak lagi, paman takut jika organisasi islam yang kamu ikuti termasuk mempunyai pemikiran islam yang radikal atau liberal, apalagi sekarang banyak teroris bom bunuh diri yang mengatas namakan islam dan alasannya untuk berjihad, berhati-hati lah Din. Pandai-pandailah memilih dan memilah organisasi islam dikampusmu, jangan sampai kamu salah pilih dan dijadikan teroris seperti di berita ditelevisi itu…” kata paman santai.
“Astagfirulllahaladzim…, tidak paman. Saya memutuskan untuk berubah seperti ini karena saya benar-benar ingin berjihad di jalan Allah dan saya telah menemukan islam yang sesungguhnya dalam kerohanian islam di kampus yang saya ikuti. Saya ingin lebih bertakwa kepada Allah. Bukankah di dalam Al-qur’an surah An-Naba’a ayat 78 diterangkan Allah berfirman sungguh bagi yang takwa ada tempat yang aman dan bahagia. Jadi, paman, ibu dan bapak jangan khawatir akan perubahan yang terjadi pada Dina sekarang. Semua ini, saya lakukan semata-mata karena Allah ta’ala. Bukan menjadi teroris seperti berita di televisi itu dan saya bukan diantara mereka-mereka itu..” tukas Dina dengan lembut dan penuh kesabaran.
“Iya nduk, ibu dan bapak hanya ingin mengingatkan kamu saja karena ibu masih takut kamu berubah bukan keinginan kamu sendiri melainkan paksaan dari orang lain, setiap kali kamu sudah di Surabaya, ibu tidak bisa tidur karena selalu memikirkanmu. Ibu senang jika kamu berjilbab tapi pola pikirmu juga ikut berubah nak, kamu telalu berlebihan. Jadi semua itu membuat ibu cemas…” kata ibunya sambil menatap Dina dengan nanar.
“Ibu.., Dina baik-baik saja. Di Surabaya sana, banyak teman-teman yang sayang sama Dina jadi ibu jangan khawatir. Demi Allah. Demi baginda nabi Muhammad. Dina benar-benar berjihad di jalan Allah dan Dina berani bersumpah atas nama Allah bahwa Dina bukan golongan dari kaum teroris tersebut…,percayalah. “ bela diri Dina dengan tutur kata yang lembut.
“Iya nduk, bapak percaya padamu. Kamu juga sudah mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Semoga Allah selalu merahmati setiap jalanmu…,nduk.” ucap bapak dengan santai.
Keesokan harinya. Salah satu sahabat SMA-nya mendengar bahwa Dina berada di rumah. Sahabatnya tersebut berkunjung ke rumah Dina. Sahabat Dina tersebut merupakan seorang laki-laki yang bernama ilham. Ilham adalah sahabat Dina yang paling akrab sewaktu SMA, namun ketika Ilham bertandang ke rumah Dina. Ia enggan menemuinya. Semua itu dikarenakan Dina takut jika seorang laik-laki berkunjung ke rumah seorang perempuan akan menimbulkan fitnah. Baginya laki-laki itu jika bukan mahromnya maka tidak akan jadi masalah bila tak menemuinya dan bisa terhindar dari perbuatan dosa. Sekarang dina juga anti yang namanya laki-laki bahkan dia tak akan pernah sedikitpun bersentuhan dengan laki-laki walaupun itu hanya pegangan tangan dan sekalipun itu sahabat karibnya sendiri atau saudaranya. Baginya lebih baik mencegah daripada menimbulkan perbuatan fitnah.
Ia memang benar-benar sudah berubah secara dratis. Bukan hanya penampilannya saja yang berubah, namun pola pikir dan bicaranya juga ikut berubah. Bahkan Tabiatnya sudah tidak seperti Dina yang dulu. Dia yang dulu yang selalu menerima siapa saja ketika bertamu di rumahnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Ia yang dulu selalu acuh tak acuh dengan keadaannya. Ia yang dulu suka update status di facebook mengenai percintaan dan cowok-cowok yang ditaksirnya. Sekarang dia lebih suka berdakwah melalui jaringan sosial media tersebut. Tabiat itu berubah menjadi lebih baik namun terlalu berlebihan. Memang kata banyak orang ia mengikuti organisasi islam yang mempunyai peraturan keras. Bahkan terlalu keras. Selalu mengharamkan segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar untuk dilakukan dan bahkan itu yang sudah lazim dilakukan oleh masyarakat dan sudah membudaya tetap dianggap haram bagi mereka. Iman dalam hatinya sekarang bukan angan-angan belaka namun sudah diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan.
Setiap kali ia berjumpa dengan sahabat perempuannya atau saat ia sedang berjelajah di dunia maya pasti membahas mengenai islam di Indonesia atau hanya sekedar bercerita mengenai kehidupan menurut islam. Seperti hari ini, Dina sedang ngobrol asyik bersama Vida-sahabat SMAnya dulu. Dia sengaja mampir ke rumah sahabatnya itu. Tiba-tiba saja Dina membahas mengenai islam dalam perbicangan dengan sahabatnya tersebut.
“Mbak, Islam itu kan agama rahmatan lilallamin yaitu rahmat bagi seluruh alam, namun kenapa negara indonesia tidak bisa menerapkan peraturan islam berdasarkan Al-qur’an dan hadist dalam kebijakannya….” tanya Dina serius.
“Saya juga tidak tahu, Din. Kan kamu tahu sendiri negara Indonesia itu terdiri dari berbagai agama, suku dan ras. Jadi kita juga harus menghargai perbedaan itu. Para petinggi negara tersebut juga harus bisa menyesuaikan dengan keadaan negara kita, masa mau seenaknya sendiri…” jawab Vida santai.
“Tidak, mbak, menurut saya, negara Indonesia harus bisa menerapkan negara islam dan harus diusahakan itu mbak…” tegas Dina seperti memaksa kehedaknya.
“Ya kamu bicara saja sama presidennya, jangan sama saya…” Jawab balik Vida.
Tanpa meneruskan kembali obrolannya. Ia pamit secara baik-baik kepada sahabatnya tersebut.
Setibanya di rumah, sudah ada seorang lelaki muda menunggunya diruang tamu dan ditemani kedua orang tuanya. Ketika hendak masuk rumah dan mengucapkan salam. Dia langsung dihadang oleh lelaki muda tersebut.
“Nah ini, dia perempuan yang sudah membuat adik saya menghilang…” kata lelaki muda tersebut sambil telunjuknya menunjuk-nujuk kearah Dina dengan amarah yang tak bisa dibendung.
“Maaf, saya salah apa sehingga membuat anda marah pada saya dan menuduh saya seperti itu..” tanya Dina dengan halus dan sabar.
“Adik saya yang bernama Rendra, dia menghilang dan sebelum dia menghilang dia bilang bahwa dia akan bergabung dengan organisasi islam yang ada dikampusnya dan katanya dia tahunya dari kamu..” jelas lelaki muda tersebut.
“Astagfirullahaladzim..semua itu tidak benar. Rendra menghilang itu bukan karena saya, saya tidak tahu tentang semua itu, saya hanya memberi informasi saja mengenai organisasi islam yang ada dikampus dan itupun juga melalui sms dan tidak ada maksud untuk mengajak atau memaksanya…” bela diri Dina.
Rendra-Adik kelas Dina sewaktu SMA dan sekarang juga mengikuti jejaknya untuk kuliah di universitas yang sama dengannya. Dia sudah mengenal baik dengan Rendra sejak dulu. Bahkan sebelum Dina berubah menjadi sangat alim, mereka berdua sudah saling akrab. Namun Rendra sudah dua minggu tidak ada kabar dan menghilang entah kemana dia pergi. Semua ini mengakibatkan Dina dituduh menjadi penyebab kehilangan Rendra. Keluarga Rendra menuduh Dina bagian dari teroris yang telah dicuci otaknya sejak dia memutuskan berubah secara total dalam hidupnya.
Peristiwa-peristiwa yang selama ini menimpanya dianggap sebagai cobaan dari Allah untuk menguji imannya. Ia percaya. Percaya pada maha kuasa bahwa semua ini telah menjadi ketetapan dan ketentuannya selama di dunia. Dia selalu berikhtiar dan tawakal dengan kehidupannya sekarang. Iman dan takwa telah membuatnya lebih sabar dan tenang.
Masalah Rendra sudah lumayan meredam setelah kakaknya tadi pamit pulang. Dina tampak lesu dan pilu. Namun senyum sunggingnya tetap pada ibu dan bapaknya. Tetapi masalah baginya kini muncul kembali ketika di rumahnya akan dilaksanakan syukuran atau orang desa ini menyebutnya manganan atau bisa disebut bancaan. Ini sebuah tradisi kebudayaan orang desa di Bojonegoro dan nantinya akan mengundang tetangganya untuk mendoakan leluhur mereka yang sudah meninggal dan setelah itu akan diberi berkat (nasi dan lauk pauk serta jajanannya) untuk dibawa pulang. Keesokan harinya acara manganan tersebut akan dibawa ke sendang-sebuah tempat yang dikramatkan di desa tersebut agar mereka selamat dari bencana di desa itu. Tradisi budaya syukuran semacam ini berfungsi untuk mengenang leluhur dan masih percaya dengan hal yang berhubungan dengan animisme. Kepercayaan tersebut sudah mendarah daging dalam hati mereka dan sudah lazim dilaksanakan di setiap desa.
Dengan dilaksanakannya acara tersebut, Dina menentang kedua orang tuanya dan menyuruh untuk membubarkan orang-orang yang sudah datang dalam rumahnya.
“Ini perbuatan musyrik bu, jadi jangan dilaksanakan. Semua ini haram bu. Haram hukumnya. Bapak harus menyuruh orang-orang itu pulang dan tidak ada manganan di rumah ini. Saya tidak mau Allah murka kepada keluarga kita jika masih melakukan kemusyrikan ini…” cerocos Dina dengan tegas dan keras.
“Jika ibu dan bapak menyuruh mereka pulang berarti ibu dan bapak akan sangat malu Din, dan bahkan tetangga kita akan membenci kita, kamu berubah jadi seperti ini saja, mereka sudah ngomongin macam-macam tentang kamu, ibu bingung harus berbuat apa…” jawab Ibu dengan tegas.
“ Cukup. Din, kamu boleh merubah segala pola pikirmu dan menghilangkan adat istiadat desa kita tapi hanya untuk dirimu sendiri, jangan membuat bapak dan ibu malu…” sahut bapaknya.
“Tapi Dina tidak akan membiarkan kemusyrikan ini terus-menerus terjadi, namanya ini menyukutukan Allah dan bagi siapa saja yang berani menyukutukan Allah, dosanya sulit untuk diampuni, saya tidak mau semua itu terjadi pada bapak dan ibu…”
“ Sudah Cukup…” teriak bapaknya dengan tegas.
“ Baik. Jika bapak dan ibu tidak mau membubarkan acara bancaan di rumah kita, biar saya yang membubarkan mereka semua..” tukas Dina dan langsung melangkahkan kakinya menuju kerumunan orang-orang yang memakai baju koko dan sarung serta kopyah tersebut.
“ Dinaa….” teriak ibunya.
Dina berhasil membubarkan orang-orang yang sedari tadi berada didalam rumahnya untuk kondangan. Ibu dan bapaknya tampak merasa malu atas perbuatan anaknya tersebut. Bapaknya sangat amat marah padanya bahkan ibunya hanya bisa menangis didalam kamar. Sebenarnya dalam hati kecilnya terbesit rasa berdosa terhadap kedua orang tuanya, namun dia juga tidak ingin tinggal diam melihat kemusyrikan itu terjadi dalam rumahnya. Manganan sudah menjadi tradisi sejak turun temurun dalam keluarganya harus ditentangnya karena tidak sesuai syariat islam.
Malam yang selalu memberikan ketenangan dan membuatnya berada pada perenungan. Sujud dalam tahajudnya dia menangis dan memohon ampun kepada Allah yang maha pengampun. Jika memang benar dia salah maka dia meminta ampun yang sebesar-besarnya dan apabila memang ibu dan bapaknya yang salah dan menyimpang dari ajaran agama islam maka dia memohonkan ampun untuk mereka.
Ia yang selalu tawakal pada illahi. Ia yang selalu sabar dalam setiap cobaan dan bertahan pada jihadnya. Kini dia sedikit rapuh. Matanya yang indah itu menumpahkan air mata yang tak bisa dibendung lagi. Dalam kesunyian malam itu, isakan tangisnya terdengar dari dalam kamarnya. Namun dia telah berpegang teguh pada firman Allah dalam Al-qur’an surah Al-Hasyr ayat 58 bahwa Allah berseru “ hai orang-orang yang beriman! Bertawakalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan perbuatan apa yang telah dilakukannya, sebagai persediaan untuk hari esok. Bertawakalah kepada Allah. Sungguh Allah tahu benar apa yang kamu lakukan.
Setelah ia membaca ayat tersebut, hatinya semakin menjadi tenang bahwa apa yang telah dilakukannya tadi tidak bermaksud menyakiti hati kedua orang tuanya. Baginya Allah maha tahu segala isi hatinya kenapa dia melakukan hal tersebut.
Selang beberapa lama kemudian, ia terlelap dalam tidur dengan balutan mukenah berwarna putih diatas sajadahnya.
Karya : Imam Aris Sugianto
No comments:
Post a Comment