CAMPUR ADUK

Friday, December 21, 2018

WONAKAKA

1. Kodi

Perang Aceh, Perang Paderi. Perang Diponegoro, dan banyak peperangan kecil lainnya menjadikan Belanda sebagai penguasa tunggal di Kepulauan Nusantara. Kekalahan demi kekalahkan yang dialami oleh bangsa pecinta damai di Kepulauan Nusantara ini justru semakin membuat Belanda merajalela. Satu per satu daerah dimasuki dan dikuasai. Pada suatu hari di tahun 1908, sekelompok penguasa daerah dan pemuka masyarakat setempat di kodi, Sumba Barat, tengah berkumpul untuk merundingkan sesuatu yang tampaknya sangat penting.

Apabila diamati dari dekat, wajah-wajah semua orang yang hadir di situ menampakkan ketegangan dan kemarahan. Ada yang mengankat tangan untuk mengemukakan pendapat, namun sudahnya ada orang lain yang menentang pendapatnya. Wajah orang-orang yang berkulit hitam kecoklatan serta berambut keriting memperlihatkan kebingungan. Namun, di tengah kegaduhan tersebut tampak seseorang yang lain daripada lain-lainnya. Wajahnya tidak hitam kecoklatan. Rambutnya pun tidak ikal. Sebuah blangkon melekat erat di kepalanya sehingga memperlihatkan kelembutan orang Jawa. Memang, dia adalah satu-satunya orang yang berasal dari Jawa Tengah. Wajahnya yang penuh kerut merut memperlihatkan ketuaannya. Sinar matanya yang berwarna kemerahan dan bersinar tajam itulah yang masih belum mampu menyembunyikan pengalaman dan kebijaksanaannya. Tempat duduknya yang berada di sebelah kanan ketua kelompok itu menandakan bahwa orang itu adalah orang yang terhormat. Selain memang sudah berusia tua, tampaknya ia pun dituakan.

"Kalau memang saudara-saudara semua tidak menyetujui usulan Residen Belanda agar kita menandatangani surat perjanjian ini, apa langkah kita selanjutnya?" tanya ketua mereka yang bernama Rato Raya.

Rato Raya adalah salah seorang cucu Rato Rangga Rambadeta, raja di Kodi.

"Sebentar, Ayahanda," potong Rato Hemba Dondo. Ia adalah menantu Rato Raya. "Ini hanyalah surat undangan biasa agar kita mau berkunjung ke pesanggrahan Residen. Kita tidak harus menandatangi sebuah surat perjanjian apa pun. Yang harus kita putuskan adalah apakah surat undangan ini akan kita jawab dengan memenuhinya atau kita biarkan saja dengan kita tidak datang. Itu saja, Ayahanda!"

"Tidak semudah itu, Anakku!" sahut Rato Raya. "Sudah cukup banyak pengalamanku selama berkelana di perairan Nusantara ini. Surat undangan yang dikirim oleh pemerintah Belanda kepada penguasa pribumi berarti paksaan. Kalau kita penuhi, berarti kita secara sukarela menyerah kepada mereka. Sebaliknya, kalau kita menolaknya, maka yang terjadi selanjutnya adalah peperangan."

Rato Hemba Dondo diam saja. Ia, seperti orang-orang Timor pada umumnya, adalah pecinta damai. Ia tidak mau berperang. Ketika Residen Timor mengirim sepucuk surat undangan agar kedua belah pihak bertemu untuk menjalin persahabatan, dialah yang pertama kali setuju dan menyambut baik ajakan itu. Para tokoh masyarakat kali setuju dan menyambut baik ajakan itu. Para tokoh masyarakat lainnya juga mendukungnya. Mereka mengira bahwa niat pemerintah Belanda untuk menjalin persahabatan itu adalah benar-benar niat yang tulus. Sama sekali jauh dari prasangka mereka bahwa di balik itu Belanda mempunyai maksud-maksud terselubung.

Surat undangan itu datang dua hari sebelum Rato Raya pulang. Ia adalah raja Kodi. Selain itu, ia juga seorang pedagang kuda yang besar. Ia biasa berdagang kuda dengan orang-orang Inggris yang berada di Pulau Kurta atau Madagaskar. Dari perdagangannya dengan orang-orang Inggris inilah di Kodi dikenal mata uang poundsterling. Pedagang-pedagang kuda dari Inggris pun biasa pulang pergi ke Kodi. Ketika ia kembali ke negerinya. Rato Raya mendapatkan laporan dari menantunya, yang menggantikannya selama ia pergi, bahwa para tertua Kodi siap memenuhi undangan dari Residen Timor. Dari pengalamannya itulah ia tahu persis semua keinginan dan maksud jahat Belanda.

"Mereka adalah penjajah! Jangan sampai kita dipaksa menyerah," katanya sewaktu ia membuka rapat pagi itu. "Kalau kita sudah tiba di pesanggrahan Residen itu, kita pasti akan dipaksa untuk menandatangani surat perjanjian. Mereka mengatakan surat perjanjian persahabatan. Akan tetapi, sesungguhnya itu adalah surat penyerahan diri kita."

Setelah mendengar kata-kata rajanya, sebagian pemuka yang hadir segera mendukungnya. Namun, ada pula sebagian lainnya yang tetap berkeras menyambut baik ajakan Belanda untuk menjalin persahabatan itu. Perbedaan pendapat itu tak kunjung berakhir. Sebagai raja yang arif ia lalu menyerahkan keputusan kepada para bawahannya, karena hal itu menyangkut nasib mereka.

"Apabila tadi Ayahanda mengatakan bahwa kita tidak perlu memenuhi undangan Residen Timor itu, apakah kita akan berperang?" tanya Rato Hemba Dondo.

"Maksudmu?" tegas Rato Raya.

"Menolak undangan berarti kita mempersiapkan diri untuk berperang menghadapi mereka," sahut menantunya itu. "Perang mempertahankan negeri dan kemerdekaan bangsa kita, bukanlah masalah bagi kita semua. Akan tetapi, masalahnya apakah kita benar-benar sudah siap berperang? Berapakah jumlah rakyat kita yang sanggup mengangkat senjata menghadapi pasukan Belanda itu? Ananda khawatir peperangan ini justru akan sia-sia belaka. Sudah kalah, kita akan dijajah pula."

Rato Raya terhenyak mendengar kata-kata menantunya itu. Benar-benar ia kebingungan. Memang, berperang melawan pasukan Belanda  berarti hanya menyerahkan nyawa saja. Jumlah tentara yang banyak serta senjata yang lebih ampuh di pihak Belanda akan dengan mudahnya menghentikan perlawanan rakyatnya. Setelah merenung agak lama, ia pun bertanya dengan perlahan, "Lalu apa rencanamu, Anakku?"

"Bukankah kalau kita bisa bersahabat dengan Belanda, rakyat kita justru akan aman dan tenteram?" balas Rato Hemba Dondo ragu-ragu. "Jelasnya, pasukan Belanda pasti tidak akan memerangi rakyat kita. Kita pun dapat bebas berdagang dengan mereka!"

"Itulah harapanku dan harapan kita semua," potong Rato Raya dengan lantang. Matanya bersinar tajam dan berapi-api. "Akan tetapi, kalau yang terjadi justru sebaliknya, yakni persahabatan itu digunakan sebagai senjata oleh Belanda untuk menjajah kita, lalu apa yang bisa kita lakukan? Di mana-mana Belanda selalu menggunakan cara-cara seperti ini."
"Bolehkah aku memotong pembicaraan?" sela orang tua yang duduk di sebelah kanannya. Ia adalah Raden Notolaksono. Usianya sudah teramat tua. Badannya kurus kering. Hanya sinar matanya saja yang masih menandakan bahwa ia adalah seorang pemberani. Memang, dia adalah salah seorang sisa laskar Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro berhasil ditipu oleh Jenderal de Kock dan akhirnya tertawan, Raden Notolaksono yang kala itu menjadi anggota laskar segera menyeberang untuk melarikan diri. Dia sampai di Kodi dan akhirnya menetap di sana.

"Silakan, Paman!" sahut Rato Raya mempersilakan. "Tentunya Paman sudah lebih berpengalaman daripada kita!"

"Jangan terlalu memuji," sahut Raden Notolaksono agak malu. "Pengalaman kita sama. Kedudukan kita pula sekarang sama saja, yakni siap untuk dijajah oleh Belanda. Saya pun yakni bahwa surat undangan persahabatan ini hanyalah suatu dalih bagi mereka untuk menaklukkan rakyat Kodi. Akan tetapi, mengingat jumlah rakyat kita yang hanya sedikit serta jumlah senjata yang juga tidak terlalu banyak, akanlah kita rela mengorbankan nyawa rakyat kita untuk usaha yang sudah bisa kita ketahui hasilnya?"

"Tentu saja tidak, Paman!" serga Rato Raya cepat. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Mengingat alasan yang kukemukakan tadi, aku dalam hal ini setuju dengan pendapat Ananda Rato Hemba Dondo, yakni kita penuhi saja undangan itu. Kita datang secara baik-baik dan bersahabat. Kita tunjukkan bahwa kita tidak mempunyai niat apa pun selain bersahabat."

"Kalau di sana nanti kita dipaksa menandatangani korte verklaring atau surat perjanjian?" desak Rato Raya.

Raden Notolaksono terdiam sejenak. Setelah berpikir ia pun menjawab, "Kalau memang isinya hanya berupa perjanjian persahabatan, kita tandatangani saja surat perjanjian itu!"

"Aku yakin kalau isinya hanya ingin menjalin dan mengokohkan persahabatan, akan tetapi, pelaksanaannya tentu akan lain. Sekali kita sudah menandatanganinya, kita lalu tidak bisa berkutik lagi, bukan?" desak Rato Raya.

Raden Notolaksono terdiam sejenak. Setelah berpikir ia pun menjawab. "Kalau memang isinya hanya berupa perjanjian persahabatan, kita tandatangani saja surat perjanjian itu!"

"Aku yakin kalau isinya hanya ingin menjalin dan mengokohkan persahabatan, akan tetapi, pelaksanaannya tentu akan lain. Sekali kita sudah menandatanganinya, kita lalu tidak bisa berkutik lagi, bukan?" desak Rato Raya.

"Benar!" sahut Raden Nototaksono. "Kalau kita sengaja diperlakukan secara tidak adil, kita toh masih memiliki waktu untuk mempersiapkan diri. Besok sore kita harus datang ke pesanggrahan Residen Timor itu. Kalau kita tidak datang, berarti perang akan dimulai hari itu pula. Nah, dengan demikian berarti kita tidak memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri, bukan?"

Rato Raya berpikir keras. Ia terdiam sambil menundukkan mukanya. Orang-orang yang hadir pun merenungkan kata-kata Raden Notolaksono. Mereka semua kebingungan. Tidak ada pilihan yang lebih baik yang bisa diambil. Kedua-duanya sama-sama merugikan.

"Nah, kalau demikian, kuserahkan keputusan ini pada semua orang yang hadir di sini!" kata Rato Raya perlahan-lahan. Suaranya terdengar sendu. Hatinya sangat pilu karena sebagai raja ia tidak mampu memutuskan apa pun. Padahal semuanya ini akan berakibat pada rakyatnya.

"Ananda memilih yang diungkapkan oleh Paman Notolaksono tadi!" tiba-tiba Ratu Hemba Dondo berkata. "Kita terima ajakan mereka untuk bersahabat. Sementara itu, kita tidak boleh mengendorkan kewaspadaan sambil mempersiapkan diri menghadapi semua kemungkinan yang bakal terjadi."

Rato Raya menganggukkan kepalanya. Lalu ia memandang ke segenap penjuru ruangan, ke wajah semua orang yang hadir. "Bagaimana pendapat kalian?"

Raden Notolaksono ikut mengawasi ketika satu per satu mengangkat tangannya tanda mendukung keputusan Rato Hemba Dondo.

"Baiklah! Aku terpaksa mengalah!" sahut Rato Raya.

"Lakukanlah yang terbaik menurut kalian! Untuk ini, sekarang juga aku menyerahkan segala urusan mengenai perjanjian dengan Residen Timor sebagai wakil pemerintah Belanda itu sepenuhnya kepada anakku Rato Hemba Dondo."

Semua yang mendengarkan kata-kata Rato Raya terdiam. Mereka menyadari bahwa raja itu terpaksa belaku demikian karena sebenarnya ia tetap menentang kehadiran Belanda di daerahnya. Ia sudah benar-benar hapal akan tindak-tanduk Belanda. Segala bentuk perjanjian persahabatan hanyalah jembatan untuk menguasai dan menjajah daerahnya.

Rato Hemba Dondo pun tidak berkata-kata. Ia hanya menundukkan kepalanya. Betapapun juga, ia tidak pernah menginginkan Belanda menguasai daerah Kodi, apalagi menindas rakyat. Akan tetapi, ia terpaksa harus memenuhi undangan Residen Timur.

"Baiklah, Ayahanda, aku akan memenuhi undangan Residen Timor itu!" sahut Rato Hemba Dondo pelan sambil memandang mertuanya. "Akan tetapi, sementara itu Ayahanda juga harus mempersiapkan diri agar kita bisa menghadapi segala kemungkinan yang akan timbul!"

Rato Raya hanya menganggukkan kepalanya sambil memandang tajam menantunya. Sama sekali ia tidak pernah menyangsikan kesetian menantunya kepada dirinya serta seluruh rakyat Kodi. Menantunya itu bukanlah jenis orang yang mudah ditaklukkan oleh musuh.

2. Korte Verklaring

Keesokan harinya, Rato Raya melepas keberangkatan menantunya, Rato Hemba Dondo, beserta rombongannya dengan hati pilu. Ia merasa bahwa saatnya telah tiba bagi tanah Kodi untuk menjadi jajahan Belanda. Sebagai orang yang banyak berkelana, Rato Raya tahu benar watak dan kelicikan Belanda. Segala bentuk tawaran persahabatan atau perdamaian hanyalah alat belaka untuk mencapai tujuan sebenarnya, yakni menjajah.

Mata Rato Raya yang sudah layu karena semalam tidak dapat dipejamkan tampak berkaca-kaca. Air matanya tidak mampu dibendungnya lagi. Semalam pula ia memutuskan untuk secara sukarela menyerahkan tampuk kekuasaan kepada anak menantunya. Ia tidak rela negerinya menjadi jajahan dan rayahan Belanda. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mengundurkan diri. Ia berniat menjadi saudagar kuda. Kalau perlu, ia bahkan sudah bersiap untuk meninggalkan negeri tercintanya.

"Menantuku sama sekali tidak bersalah!" demikian pikirnya sambil mengelus dadanya dengan tangan kirinya. "Kami memang tidak punya pilihan lain kecuali datang dan menandatangani korte verklaring."

Ketika istinya datang mendekat, Rato Raya tidak menyadarinya. Ia terlalu bingung.

"Sudahlah!" kata istrinya lembut sambil memegangi tangan kanan suaminya. "Pangeran Diponegora yang gagah berani dan memiliki selaksa prajurit pun tidak mampu menghadapi kelicikan Belanda. Lalu apalah arti beberapa puluh rakyat kita yang seumur hidup belum pernah mengenal seni peperangan?"

Rato Raya tidak marah mendengar kata-kata istrinya yang seolah-olah menyiratkan keputusasaan. Ia hanya mengangukkan kepalanya perlahan tanpa sepatah kata pun terlontar dari mulutnya.

"Bukannya kita tidak rela mati," sambung istrinya lagi. "Akan tetapi, mengorbankan nyawa secara sia-sia bukan perbuatan yang terpuji. Kita mati pun Belanda tetap akan menjajah dan menindas rakyat kita. Jadi, lebih baik kita mengalah sekarang untuk mempersiapkan diri agar suatu saat kita bisa berbuat yang lebih baik."

Tercenung Rato Raya mendengar rentetan kata-kata istrinya. Selama ini ia seringkali mengajak istrinya berkelana untuk berdagang kuda. Selama itu pula istrinya banyak bergaul dengan sesama istri pedagang kuda. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang dari Inggris.

Dalam memperebutkan tanah Nusantara, Belanda dan Inggris saling bermusuhan. Kebetulan pula Inggris kalah sehingga terpaksa menyingkir. Selain mengetahui bahwa Belanda selalu bertindak licik, Rato Raya dan istrinya pun sangat membenci Belanda karena mereka berdua bersahabat akrab dengan sesama pedagang kuda berkebangsaan Inggris. Rupanya pergaulan inilah yang membuat keduanya cukup arif dalam menghadapi persoalan dengan pihak Belanda.

"Sudahlah! Kita tunggu saja hasilnya!" kata istrinya seolah ingin menyudahi kesedihan hati Rato Raya. "Dipikir pun tidak ada gunanya. Lebih-lebih lagi apabila hanya dirasakan. Kita sudah yakin sekali bahwa di sana. Rato Hemba Dondo akan dipaksa untuk menandatangani surat perjanjian atau korte verklaring yang pasti sudah disiapkan oleh Residen Timor. Apa pun isinya, entah perdamaian atau persahabatan, maknanya tetap sama, yakni Belanda seolah memiliki kekuasaan yang sah untuk menjajah negeri kita. Bukankah demikian?"

Lagi-lagi Rato Raya hanya menganggukkan kepalanya, sementara matanya menatap kosong.

"Bukankah sebaiknya kita mempersiapkan diri untuk menyerahkan tahta Kodi kepada menantu kita?" lanjut istrinya menantang. "Bukankah hal ini sudah Kanda putuskan? Jadi, mengapa harus meratapi kegagalan yang memang tidak terelakkan lagi? Ayolah kita lakukan hal yang terbaik baik kita dan bagi rakyat Kodi."

Rato Raya diam saja, ia menurut ketika istrinya menuntunnya masuk.

Sementara itu, Rato Hemba Dondo dan rombongannya tiba di pesanggrahan tempat Residen Timor menunggu. Dengan ramahnya Residen Timor menyambut tetamunya. Sikap dan perilakunya menampakkan bahwa ia sangat bersungguh-sungguh dalam upayanya menjalin persahabatan dengan pengusaha dan rakyat Kodi. Untuk sejenak Rato Hemba Dondo ragu-ragu. Ia teringat pesan ayah mertunya tentang kelakuan Belanda yang licik dan terselubung. Akan tetapi, ketika melihat sikap dan gaya Residen Timor ini, keraguannya mendadak sirna. Raja muda ini memang masih sangat polos dalam kehidupannya negerinya yang aman dan damai. Ia belum berpengalaman berhubungan dengan orang-orang Belanda. Yang sering ia dengar dari Raden Notolaksono adalah bahwa Belanda memang licik, sehingga berhasil menaklukkan Pangeran Diponegoro. Seketika ia berpikir bahwa mungkin sudah sewajarnya Belanda berbuat demikian karena Pulau Jawa memang sangat penting dalam segala-galanya. Sebaliknya, apalah arti Kodi bagi Belanda? Jadi, untuk apa Belanda harus bersusah payah menjalin persahabatan dengan rakyat Kodi. Kalau mau, bukankah Belanda tinggal mengirim beberapa ratus pasukan saja, sehingga dalam waktu sehari saja seluruh tanah Kodi dapat ditaklukkan.

Dari tatap mata Rato Hemba Dondo, Residen Timor bisa memahami keraguan hati tamunya itu. Ia lalu dengan ramahnya menggandeng tamunya dan diajaknya duduk bersebelahan.

"Saya tahu bahwa rakyat Kodi dan rakyat Timor pada umumnya adalah rakyat yang cinta damai dan suka bersahabat dengan siapa saja," kata Residen Timor sambil tersenyum sangat manis. Perilakunya sangat sopan sehingga memikat hati Rato Hemba Dondo. "Sudah cukup lama aku menjadi residen di Timor ini. Jadi, aku sudah sangat memahaminya. Berbahagialah Paduka yang memerintah rakyat yang cinta damai ini!"

Rato Hemba Dondo tersenyum mendengar pujian Residen Timor, Ia tidak berkata apa-apa, namun hatinya sangat berbunga-bunga.

"Jadi, tidaklah salah apabila aku mengundang Paduka kemari," lanjut Residen Timor. "Dalam suasana yang penuh keakraban dan perdamaian, kita bisa menjalin hubungan dagang yang saling menguntungkan ini akan sangat bermanfaat bagi rakyat Kodi ini? Saya tahu bahwa Paduka adalah raja yang sangat mencintai rakyat dan selalu berkehendak untuk memakmurkan rakyat. Untuk itulah saya datang kemari."

"Oh, jangan terlalu memuji, Tuan Residen!" sahut Rato Hemba Dondo kemalu-maluan. "Saya tidak seperti yang Tuan Residen bayangkan. Saya hanyalah wakil dan rajaku, Rato Raya!"

Eh, ya, mengapa Paduka Rato Raya tidak hadir?" tanya Residen Timor seolah-olah terkejut dan baru ingat. Padahal, dari pembantunya ia tahu bahwa Rato Raya tidak ikut serta dalam rombongan itu. Ia pun sudah curiga. Akan tetapi, untuk menanyakan langsung ia merasa tidak enak. Kebetulan, Rato Hemba Dondo mengemukakan hal itu sehingga ia pun mendapat kesempatan untuk bertanya.

"Ayah mohon maaf tidak bisa memenuhi undangan Tuan Residen. Beliau sedang tidak enak badan!" sahut Rato Hemba Dondo tenang. Namun nada suaranya yang tergetar telah menimbulkan rasa curiga pada diri Residen Timor.

"Ah, sayang sekali beliau tidak bisa hadir!" sahut Residen Timor dengan nada menyesal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mudah-mudahan beliau cepat sembuh kembali sehingga saya bisa berkenalan dengan Beliau."

"Ya, mudah-mudahan di lain kesempatan beliau bisa bertemu dan berkenalan dengan Tuan Residen," sahut Rato Hemba Dondo tidak kalah cerdiknya. Ia tahu bahwa residen ini telah mencurigai ketidakhadiran ayah mertuanya. Namun, dengan cerdiknya ia bersikap seolah-olah tidak mengerti kecurigaan tuan rumah.

Jamuan makan yang diselenggarakan oleh Residen Timor terasa sangat mewah. Banyak jenis makanan yang belum pernah dilihat atau dicicipi oleh Rato Hamba Dondo dan rombongannya. Dengan ramahnya Residen Timor mempersilahkan tetamunya untuk menyantap hidangan istimewa itu. Sementara itu, berbagai kata pujian terus mengalir dari mulut Residen Timor sehingga Rato Hamba Dondo terasa melambung-lambung.

Untuk lebih memikat hati tamunya, Residen Timor segera memanggil orang-orangnya untuk mengeluarkan hadiah-hadiah yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dengan gayanya yang memikat, Residen Timor menyerahkan hadiah-hadiah tersebut kepada Rato Hemba Dondo dan para pengikutnya. Tanya menyadari akibatnya, raja muda Kodi ini menerima kebaikan hati tuan rumah. Segala bentuk kecurigaan dan keraguan sudah sirna dari harinya. Yang tersisa hanyalah anggapan bahwa residen Belanda ini benar-benar memiliki niat yang tulus untuk menjalin persahabatan dan perdamaian dengan rakyat Kodi.
Sebenarnya Raden Notolaksono yang sudah tanggap terhadap keadaan itu berniat memperingatkan rajanya. Namun, ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk melaksanakan niatnya. Rato Hemba Dendo selalu didekati oleh Residen Timor sehingga Raden Notolaksono tidak pernah bisa melaksanakan maksud hatinya.

Tibalah puncak acara yang sangat dinantikan oleh Residen Timor dan orang-orangnya, namun sangat dikhawatirkan oleh Rato Hemba Dondo dan rombongannya. Setelah berbasa-basi dengan menyatakan kepuasan serta kebahagian karena undangannya diterima oleh pihak Kodi, Residen Timor segera menyodorkan sebuah surat perjanjian persahabatan yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak. Karena Rato Raya sebagai raja Kodi tidak hadir, maka yang berhak mewakili adalah menantunya yang biasa mewakili tugas-tugas kerajaan, yakni Rato Hemba Dondo.

Pada saat itu pula Rato Hemba Dondo sadar, betapa ia telah diketahui oleh sikap dan gaya Residen Timor. Ternyata kata-kata mertuanya, Rato Raya, benar belaka. Residen ini telah mempersiapkan jebakan berupa surat perjanjian atau korte verklaring yang harus ditandatanganinya. Memang ia sudah diserahi tanggung jawab penuh untuk menandatangani surat perjanjian itu. Ia datang mewakili mertuanya. Akan tetapi, demikian ia berpikir, apakah surat perjanjian itu memang harus ditandatangani?

Ketika melihat Rato Hemba Dondo ragu-ragu, Residen Timor segera mendekat dan menyapanya dengan ramah, "Silakan Paduka baca seluruhnya. Jangan pernah membubuhkan tanda tangan apabila sekiranya Paduka tidak setuju!"

Rato Hemba Dondo diam saja. Matanya terus meneliti kata demi kata surat perjanjian tersebut. Memang, tidak ada satu kata ataupun kalimat yang menyiratkan suatu pemaksaan. Semuanya disusun untuk mengesahkan jalinan persahabatan dan perdagangan. Apa yang tertulis di situ sama sekali tidak mencerminkan niat Belanda untuk menguasai atau menjajah tanah Kodi.

Raden Notolaksono yang tanggap terhadap kebimbangan hati rajanya segera mendekat. Ia bermaksud memberikan nasihat. Namun, Residen Timor pun melihat gejala yang dapat merusak harapannya. Dari pembantunya ia sudah mendengar siapa sebenarnya Raden Notolaksono ini. Oleh sebab itu, ia harus  bertindak cepat. Jangan sampai ia keduluan oleh orang tua yang berniat membujuk rajanya agar tidak mau menandatangani surat perjanjian itu. Residen Timor segera mendekati Rato Hemba Dondo mendahului Raden Notolaksono.
"Kalau Paduka sudah selesai membacanya, silakan ditandatangani di sini. Sesudah Paduka membubuhkan tanda tangan, saya pun akan melakukan hal serupa!" kata Residen Timor dengan senyumnya yang khas ramah. Akan tetapi, Rato Hemba Dondo merasa bahwa senyuman itu adalah senyuman iblis. Kata-kata residen itu memang terasa lembut dan ramah, namun di balik keramahan itu Rato Hemba Dondo dapat menangkap pemaksaan kehendak. Dan, kini ia tidak berdaya apa-apa.

"Tuan Residen, mengapa masalah persahabatan saja harus menggunakan perjanjian tertulis?" tanya Rato Hemba Donbo sambil memandang wajah tuan rumah.

"Kami, bangsa Eropa, sudah biasa menggunakan surat perjanjian tertulis untuk masalah apa pun!" sahut Residen Timor tanpa melepaskan senyumnya, "Apa yang tertulis adalah sah menurut hukum. Hal ini saya lakukan demi menjaga kalau ada hal-hal lain terjadi di luar kehendak kita. Apabila salah satu dari kita mengingkari perjanjian tertulis ini, berarti pihak lain berhak menggugat dan menghukum. Bukankah memang sebaliknya demikian, Paduka?"

Sekali lagi Rato Hemba Dondo merasa dipojokkan oleh kata-kata tuan rumah.

"Lebih-lebih kalau yang akan kita lakukan menyangkut masalah perdagangan!" sambung Residen Timor. "Dalam hal bergadang, kita semua berusaha mencari keuntungan. Apabila ada salah satu pihak melanggar perjanjian ini, berarti pihak lain dirugikan. Nah, dengan surat perjanjian inilah pihak yang dirugikan dapat menuntut. Jadi, pada dasarnya surat perjanjian ini hanya bersifat melindungi kepentingan kita, agar semua berjala lancar sesuai dengan kehendak kita bersama."

Semakin banyak kata keluar dari mulut Sang Residen, semakin tak berdaya Rato Hemba Dondo menjawabnya. Semakin lebar senyum Sang Residen, semakin kecut hati Rato Hemba Dondo dan ia merasa semakin terpojok. Pada saat-saat seperti itu, ia teringat kata-kata mertuanya yang gigih menentang segala bentuk persahabatan dengan pihak Belanda. Akhirnya, semua terbuktilah sudah.

Korte Varklaring ditandatangani oleh Rato Hemba Dondo atas nama raja Kodi dan Residen Timor sebagai wakil pemerintah Belanda. Secara lahiriah, persahabatan antara pihak Kodi dengan pihak Belanda dimulai. Secara hukum, justru pihak Belanda memiliki keabsahan untuk menjajah dan memeras rakyat Kodi.

Semuanya sudah terjadi. Rato Hemba Dondo mengajak rombongannya kembali untuk melaporkan segala peristiwa kepada Rato Raya. Rato Raya tidak terkejut karena ia sudah menduga sejak semula. Sementara itu, tekad Rato Raya pun sudah bulat. Ia menyerahkan tampuk kekuasaan Kodi kepada menantunya itu. Ia sendiri mundur dari pemerintahan dan menjadi rakyat biasa.


3. Jembatan Bondo Kodi

Yang dikhawatirkan oleh Rato Raya dan seluruh rakyat Kodi terbukti. Kehidupan mulai berubah. Orang-orang Belanda dan antek-anteknya mulai berdatangan ke Kodi. Mula-mula mereka berdagang secara biasa dengan penduduk setempat. Sejak saat itu pula Residen Timor telah memerintahkan beberapa pegawainya untuk membuka kantor di Kodi. Pada awalnya kantor itu hanya berfungsi sebagai kantor perwakilan dagang saja. Akan tetapi, lama kelamaan dengan datangnya pasukan bersenjata ke situ, keadaan mulai berubah. Melalui orang-orangnya yang berada di Kodi, Residen Timor melakukan penekanan-penekanan terhadap rakyat. Bahkan tindakan kasar mereka mulai tampak dalam kehidupan sehari-hari. Rakyat diperlakukan sebagai budak belian atau orang yang lebih rendah derajatnya.

Pada awalnya, perdagangan masih dilakukan secara jujur. Lama-kelamaan, dengan seenaknya saja pihak Belanda mulai menentukan harga. Kadang-kadang penduduk dipaksa untuk menjual hasil bumi dan hasil-hasil peternakan dengan harga yang jauh dari kewajaran. Akan tetapi, rakyat tidak mampu berbuat apa-apa.

Residen Belanda memang sudah sangat ahli dalam menguasai negeri dan rakyat di wilayah Nusantara ini. Tanah Kodi dipecah menjadi dua. Rato Hemba Dondo diangkat sebagai raja di Kodi Bangedo yang juga meliputi daerah Rara. Ede, Tana Maringi, dan Gaura. Sementara itu, sebagai raja di Kodi Bokol diangkatlah Rato Loghe Kandua. Pengangkatan kedua raja ini memang dimaksudkan untuk memperlemah Kodi. Kedua orang raja itu sering dihasut untuk saling bermusuhan. Di atas perselisihan itulah Belanda memainkan peranan yang sangat merugikan rakyat Kodi secara keseluruhan.

Penderitaan penduduk dengan pemaksaan penjualan hasil bumi dan peternakan, masih ditambah lagi dengan diadakannya kerja paksa untuk membuat jalan tembus dari Bombo Kodi ke Kodi Bokol. Di tengah ruas jalan tersebut juga dibangun sebuah jembatan itu. Tanpa dibayar penduduk harus melakukan pekerjaan itu. Selain itu, karena lahan pertanian ditinggalkan, panen gagal sehingga rakyat terancam rakyatnya terancam kelaparan.

Karena tidak tahan melihat penderitaan rakyatnya, Rato Hemba Dondo menghadap mertuanya, Rato Raya, untuk meminta nasihat. Meskipun sudah tidak lagi menjadi raja, Rato Raya tetap dihormati dan selalu diminta nasihatnya.

"Apa yang mesti kita lakukan sekarang ini, Ayahanda?" tanya Rato Hemba Dondo dengan suara sendu. "Aku sudah bersalah menandatangani surat perjanjian itu. Akibatnya, rakyat sekarang harus menderita. Hasil panen dipaksa untuk dijual kepada Belanda dengan harga sangat murah. Selain itu, karena penduduk juga dikerahkan untuk kerja paksa membangun jalan dan jembatan, maka tidak ada lagi yang sempat bertani. Akibatnya, panen hancur dan rakyat kelaparan. Apa, apa yang mesti ananda perbuat?"

Rato Raya memandang tajam menantunya. Sama sekali tidak terlintas dalam benaknya untuk menyalahkan menantunya itu. Ia tahu bahwa menantunya adalah orang yang sangat setia kepada negeri dan rakyatnya.

"Anakku, tidak ada yang harus engkau sesalkan!" sahut Rato Raya perlahan. "Semuanya sudah terjadi. Barangkali Yang Maha Kuasa memang sudah berkehendak demikian. Betapapun usaha kita, kalau memang Yang Maha Kuasa sudah menentukan hal seperti ini harus kita alami, maka kita hanya bisa berserah diri kepada-Nya saja."

Rato Raya berhenti sejenak. Pengunduran dirinya dari urusan pemerintahan telah membuatnya  berpikir jernih dan bertindak arif. Setelah menghela nafas sejenak, ia pun melanjutkan, "Sejak semula kita telah menyadari keterbatasan kita. Jumlah orang serta jumlah senjata kita sangat jauh dari memadai. Kalaupun barangkali kita mampu mengalahkan pasukan Belanda yang ada di sini, tidak lama lagi mereka pasti akan mendatangkan bala bantuan yang jauh lebih besar dari Kupan, Timor. Jadi, kemenangan yang hanya sesaat kita nikmati justru akan ditebus dengan korban yang jauh lebih besar. Bukankah ini tidak adil?"

"Maksud Ayahanda bagaimana?" tanya Rato Hemba Dondo menyela. Ia belum mengerti arah pembicaraan ayahandanya. "Mengapa tiba-tiba saja Ayahanda berbicara tentang perang? Apakah memang tidak ada jalan lain yang bisa kita tempuh selain perang?"

Rato Raya tersenyum mendengar rentetan pertanyaan menantunya."Dari semula aku menang sudah menegaskan bahwa segala tipu daya Belanda harus dihadapi dengan peperangan. Dengan jalan damai seperti yang telah kita lakukan. Hasilnya tetap sama saja, bukan?"

"Akan tetapi..." potong Rato Hemba Dondo. "Dengan peperangan pun kita sudah tahu hasilnya, yakni kita pasti akan kalah. Kalau sudah kalah, kita pun sudah tahu akibatnya, yakni kita akan dijajah dan dihina."

"Dengan cara menandatangani surat perjanjian damai dan persahabatan pun kita tetap dijajah dan dihina, bukan?" sahut Rato Raya sengit. "Dengan demikian, aku berpendapat bahwa kita masih lebih terhormat apabila berani mengangkat senjata melawan Belanda yang lalim itu! Ini adalah masalah harga diri kita!"

"Dalam masalah harga diri, aku sangat setuju dengan pendapat Ayahanda tadi! kata Rato Hemba Dondo tak kalah tajamnya. "Kita adalah bangsa yang cinta damai. Saya akui hal itu. Akan tetapi, tentu saja kita lebih cinta kemerdekaan. Apabila untuk mempertahankan kemerdekaan itu kita harus berperang, itu pun aku sangat setuju. Masalahnya sekarang, apakah kita harus berperang sementara kita sudah bisa mengetahui  bahwa kita pasti kalah. Haruskah kita mengorbankan rakyat kita untuk mati  secara sia-sia?"

"Ya, ya, ya, jangan teruskan kata-katamu itu!" potong Rato Raya sambil tersenyum. "Aku tidak pernah menuduhmu lembek dan pengecut. Apakah engkau mengira aku juga mau mengorbankan jiwa rakyat Kodi secara sia-sia belaka? Kalau aku memang senang berperang, hal itu sudah kulakukan sejak dahulu dengan tidak mengirimmu ke Residen Timor untuk menandatangani surat perjanjian itu. Justru pada saat itu pun aku mempertimbangkan keselamatan penduduk Kodi dengan menyerahkan tanggung jawab ini ke pundakmu. Kalau ditanya hatiku, terus terang aku sangat memberi Belanda. Yang ada di benak dan hatiku kalau dihadapkan pada mereka adalah menggempurnya mati-matian, agar mereka terusir dari wilayah Kodi. Bukankah engkau sudah sudah menyadari hal ini, Anakku?"

Sekarang Rato Hemba Dondo terdiam. Ia menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang keras terhadap ayah mertuanya sangat mencintai dirinya serta seluruh rakyat Kodi. Setelah cukup lama terdiam sambil menundukkan kepala, Rato Hemba Dondo pun berkata, "Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan sekarang? Menunggu dan berdiam diri dalam penderitaan seperti itu ataukah bersiap untuk menggempur mereka?"

"Menurut Ananda, jalan apakah yang sebaiknya kita tempuh?" pancing Rato Raya sambil tersenyum. Ia sangat yakin bahwa sebenarnya anak menantunya ini sudah memiliki rencana tersendiri. "Katakan saja terus terang! Barangkali aku bisa membantumu nanti!"

"Kita akan melawan mereka! Untuk itu kita harus mulai mempersiapkan diri. Menurut saya, sia-sia saja kita berdamai dengan Belanda," sahut Rato Hemba Dondo berapi-api, "Mereka memang mengharapkan kita bersahabat dengan mereka. Akan tetapi kesempatan itu digunakan oleh mereka untuk semakin menyudutkan dan memeras kita. Ini tidak adil!"

"Sabarlah, Anakku!" sahut Rato Raya tenang. "Bagaimana engkau bisa mempersiapkan diri untuk berperang sementara penduduk semuanya dikerahkan untuk membangun jalan raya dan jembatan Bondo Kodi?"

"Jadi...?" sela Rato Hemba Dondo.

"Apakah engkau mau berperang sendirian saja?" balas Rato Raya. "Tunggulah sampai pembangunan itu selesai. Apabila rakyatmu sudah kembali ke rumah masing-masing, gunakanlah kesempatan itu untuk mempersiapkan diri. Himpunlah mereka!"

"Bagaimana orang yang lapar bisa berperang?" sahut Rato Hemba Dondo tidak puas. "Mereka pasti sangat membenci Belanda. Akan tetapi, dalam keadaan lapar dan menderita, serta dengan hanya bermodalkan semangat, apakah kita mampu mengusir pasukan Belanda yang bersenjata lengkap itu?"

"Baiklah, Anakku....!" kata Rato Raya berkehendak menyudahi perdebatan dengan anak menantunya. "Yang jelas kita harus  sadari bahwa saat ini kita belum mampu berbuat apa-apa. Aku yakin pada saatnya nanti kita pasti bisa menuntut balas. Kita tunggu saat yang tepat untuk itu. Tetapi...."

"Ada apa lagi, Ayahanda?" desak Rato Hemba Dondo ketika melihat mertuanya tidak jadi melanjutkan kata-katanya. "Apakah masih ada yang akan Ayahanda sampaikan?"

Rato Raya mengangguk perlahan, lalu sambil memalingkan kepalanya ke samping, matanya menatap kejauhan. Ia pun menyahut. "Selama kita menunggu untuk benar-benar siap melawan Belanda, masih akan ada lagi bentuk-bentuk pemerasan yang akan kita alami. Di tempat-tempat lain, rakyat akan dibebani pajak dengan uang atau hasil bumi, mereka akan dipaksa untuk menyerahkan segala miliknya, terutama perhiasan dari emas. Itulah yang saya lihat dan saya dengar!"

Rato Hemba Dondo terdiam mendengar kata-kata mertuanya. Kini ia tidak mau membantah lagi karena ia sudah buktikan bahwa Belanda yang sudah terbukti licik itu pasti tega melakukan pemaksaan dan pemerasan seperti itu. Karena kebingungan, Rato Hemba Dondo tak mampu berkata-kata lagi. Wajahnya kelihatan sendu. Matanya kosong menatap kejauhan. Pikirannya melayang-layang memikirkan akibat-akibat paling buruk yang akan dialami oleh rakyatnya. Ia bahkan terlalu asyik dalam renungannya sehingga baru tersadar ketika mertuanya berbicara sambil menepuk bahu kirinya.

"Marilah sama-sama kita buktikan, apakah kata-kataku tadi benar," kata Rato Raya. "Seandainya perkiraanku meleset, tidak ada salahnya seandainya engkau sudah mempunyai rencana yang matang untuk menghimpun rakyatmu guna melawan kelaliman ini. Lakukanlah secara diam-diam dan penuh waspada agar engkau tidak dicurigai. Sekali pihak Belanda curiga atas gerak-gerikmu, engkau pasti akan segera ditangkap dan dibuang. Kalau terjadi demikian itu, bukankah upayamu membebaskan rakyat Kodi dari belenggu penindasan ini sia-sia saja?"

Rato Hemba Dondo menganggukkan kepalanya.

Hari terus berganti dan minggu berganti bulan. Rato Raya semakin perih menyaksikan betapa Belanda semakin bertindak sewenang-wenang. Perlakuan terhadap penduduk Kodi terasa sangat kasar. Tak jarang serdadu Belanda atau saudagar Belanda dan antek-anteknya mengganggu wanita-wanita. Semuanya ini semakin menambah kegeraman hati seluruh penduduk yang tertindas itu.

Sementara itu, pihak Belanda telah merasakan betapa empuknya korban mereka. Ketika hasil bumi semakin langka sementara ternak pun sulit pula diperoleh. Residen segera mengeluarkan keputusan baru. Setiap kepala keluarga di wilayah Kodi diharuskan menjadi wajib pajak. Setiap wajib pajak diharuskan membayar satu ringgit uang Belanda. Selain demi tujuan memasukkan pendapatan sebesar-besarnya, pihak Belanda juga berniat menghapus pengaruh Inggris di daerah itu. Selama ini, di wilayah Kodi telah digunakan mata uang poundsterling. Mata uang Inggris ini digunakan sebagai alat perdagangan antara penduduk Kodi dengan saudagar berkebangsaan Inggris serta antarpenduduk Kodi sendiri. Rato Raya sendirilah yang memperkenalkan mata uang Inggris ini. Oleh pihak Belanda pengaruh Inggris ini dirasa sangat tidak menguntungkan.

Karena diharuskan membayar pajak dengan mata uang Belanda, penduduk Kodi sangat kebingungan. Pada saat itu mata uang gulden yang beredar masih sangat terbatas. Melihat kebingungan penduduk Kodi, penguasa Belanda segera mengeluarkan ketentuan bahwa mata uang poudsterling boleh digunakan untuk membayar pajak. Tentu saja nilai tukarnya ditentukan oleh pihak penguasa, yakni satu poundsterling sama dengan empat ringgit. Nilai ini memang sangat rendah dan merugikan. Akan tetapi, penduduk tetap tidak berdaya. Penduduk berduyun-duyun menukarkan mata uang poundsterling mereka dengan uang gulden. Yang sangat membuat hati penduduk semakin pilu adalah bahwa uang gulden itu pun tidak sempat mereka miliki karena sudah harus segera disetorkan kembali sebagai uang pajak.

Ketika mata uang poundsterling habis, pihak penguasa menetapkan keputusan baru, yakni penduduk diwajibkan membayar pajak dengan perhiasan emas.

Sementara itu, Rato Raya menyadari bahwa kalau hal ini tetap dibiarkan saja, maka penduduk pasti tidak lagi memiliki perhiasan dari emas atau perak. Tindakan Belanda memeras habis-habisan ini harus segera diakhiri. Demikian pikir Rato Raya. Setelah berpikir masak-masak, ia segera menasihati Rato Hemba Dondo untuk bertemu dengan Rato Loghe Kandua guna merundingkan pemecahannya.

Kedua raja ini terus-menerus diupayakan untuk bertikai oleh penguasa Belanda. Akan tetapi, keduanya dengan cepat segera menyadari bahwa pertikaian antara mereka justru akan merugikan mereka sendiri serta seluruh penduduk Kodi. Oleh sebab itu, secara diam-diam mereka tetap menjalin hubungan. Hubungan itu tetap dijaga sedemikian rupa sehingga Komandan Dykman, wakil Residen Timor yang berkuasa di Kodi, tidak mengetahuinya sama sekali.

Ketika secara diam-diam kedua raja tersebut mengadakan pertemuan dengan dihadiri oleh Rato Raya yang dianggap sebagai sesepuh yang sangat dihormati oleh mereka berdua, akhirnya diputuskan bahwa tindakan Belanda harus diakhiri dengan segera. Caranya adalah dengan pemberontakan.

"Apabila memang perlawanan bersenjata merupakan jalan pintas satu-satunya yang kita anggap paling baik, sebaiknya kita persiapkan seluruh rakyat agar bersatu padu!" kata Rato Raya dengan perlahan. "Masing-masing menghimpun penduduk dan melatihnya berperang secara diam-diam."

"Lalu dari manakah kita memperoleh senjata?" tanya Rato Hemba Dondo bimbang.

"Kita gunakan senjata seadanya," sahut Rato Raya. "Akan kita hitung senjata api yang kita miliki. Kalau suatu saat nanti kita sudah benar-benar siap, penyerbuan mendadak ke markas-markas pasukan Belanda pasti akan membuahkan beberapa pucuk senjata api sebagai barang rampasan."

"Bagaimana dengan penduduk yang tidak memiliki senjata api?" tanya Rato Loghe Kandua.
"Masing-masing harus mengeluarkan senjata pusaka seperti pedang, keris, tombak, dan sebagainya," sahut Rato Raya tenang. Tidak ada rasa kekhawatiran sedikit pun tercermin pada wajahnya yang sudah tampak semakin menua semenjak Belanda bersimaharajalela di Kodi. "Suruhlah para pengawal Belanda bersimaharajalela di Kodi. "Suruhlah para pengawal kerajaan untuk melatih pemuda-pemuda kita secara diam-diam. Ajarilah mereka berperang secara sendiri-sendiri dan secara bersama-sama dalam kelompok pasukan!"

Pertemuan ketiga tetua Kodi ini berakhir dengan kesepakatan bersama, yakni mengangkat senjata melawan Belanda. Mereka akan mempersiapkan diri sambil menunggu saat yang tepat.


4. "Harus Lekas"

Di markas besarnya di Bondo Kodi, Komandan Dykman mondar-mandir di ruang kerjanya. Wajahnya tampak merah menahan marah. Dari antek-anteknya yang bertugas mengumpulkan pajak serta hasil bumi, ia mendengar bahwa penduduk yang berdiam di Kodi Bokol enggan menyerahkan perhiasan emas. Selain itu, komandan itu juga mendengar dari petugas sandinya bahwa Rato Loghe Kandua, raja Kodi Bokol, telah berkunjung secara diam-diam ke Rato Hemba Dondo. Memang, petugas sandinya tidak dapat mengetahui pembicaraan antara kedua raja tersebut, akan tetapi Dykman dapat meraba bahwa kedua orang itu pasti tengah merencanakan persekongkolan untuk melawannya.

Sebagai seorang perwira yang sudah bertugas di berbagai tempat di Indonesia, baik dalam rangka menumpas pemberontakan rakyat maupun untuk mengumpulkan pajak. Dykman dapat segera mengetahui reaksi masyarakat setempat. Apalagi ia banyak menyebar mata-mata yang menyamar dan bergaul dengan penduduk. Dykman sangat menyadari bahwa sebenarnya penduduk sudah merasa muak terhadap penguasa Belanda. Pemberontakan hanyalah masalah waktu saja. Demikian pikirnya. Oleh sebab itu, demi mendengar laporan dari anak buahnya mengenai Rato Loghe Kandua, ia segera memutuskan untuk mendahului.

Dykman ingin mempermalukan Rato Loghe Kandua sehingga raja Kodi Bokol ini tidak akan berani berbuat macam-macam lagi. Demikian keyakinan Dykman. Ia segera menulis sepucuk surat panggilan kepada Raja Kodi Bokol tersebut. Rato Loghe Kandua menjadi raja di Kodi Bokol karena diangkat oleh Residen Timor. Jadi, pada dasarnya pihak Belanda menganggap bahwa raja ini masih merupakan pegawai Belanda. Dykman mengirim sepucuk surat panggilan dinas dan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan surat tersebut.

Tidak seperti biasanya, Rato Loghe Kandua merah padam membaca surat panggilan dari Dykman itu. Biasanya ia selalu memenuhi panggilan Dykman dalam rangka dinas. Akan tetapi, kali ini hatinya marah bukan buatan. Panggilan kali ini lain sekali dari biasanya. Rato Loghe Kandua sekali lagi membaca surat dari Dykman itu. "Raja Rato Loghe Kandua harus lekas ke Bondo Kodi," Kata-kata Dykman memang terasa sangat kasar dan merendahkan martabat. Kata-kata harus lekas tidak pantas ditunjukan bagi seorang raja seperti dirinya. Kata-kata itu hanya patut ditunjukkan kepada hamba sahaya saja. Oleh sebab itu, tidak kepalang berang hatinya. Ketika isi surat itu diberitahu kepada segenap penduduk Kodi Bokol, semuanya merasa bersimpati terhadap rajanya. Rakyat marah karena rajanya mendapat perlakuan yang sedemikian kasar dari Dykman. Betapa Dykman telah merendahkan martabat raja mereka.

"Sebaiknya Tuanku tidak usah berangkat ke Bondo Kodi memenuhi panggilan Dykman! Benar-benar kurang ajar Belanda keparat itu!" kata salah seorang bangsawan yang menjadi penasihat raja.

"Benar, Paduka! Kalau perlu sekarang juga kita kumpulkan penduduk untuk segera menggempur markas Dykman!" sambung lainnya dengan nada tidak kalah geramnya.

Suasana dalam balairung istana tampak riuh rendah. Semua orang yang hadir di situ menyatakan keberangannya atas kekurangajaran dan kekasaran Dykman. Mereka dengan suara bulat mendukung rajanya.

"Jangan terburu nafsu! Salah-salah kita sendirilah yang akan binasa kalau bertindak gegabah dan salah perhitungan," kata Rato Loghe Kandua dengan tenang. Pembawaan raja ini memang luar biasa. Keterangannya sangat mengagumkan. Ia mampu mengatasi gejolak rasa amarah yang membakar dada dan hatinya. "Bukankah sebaliknya kita memberitahukan hal ini kepada Raja Rato Hemba Dondo dan Rato Raya?"

Semua terdiam mendengar kata-kata rajanya yang sangat berwibawa itu. Akhirnya, satu per satu menganggukkan kepalanya tanda setuju.

"Bagaimanapun juga kami telah sepakat untuk bersatu padu menghadapi kesaliman Belanda," lanjut Rato Loghe Kandua. "Seperti yang telah disepakati bersama, kita juga tengah mempersiapkan diri untuk mengadapi kemungkinan seperti ini. Benar bahwa kita memang sudah siap dengan kekuatan yang kita miliki. Akan tetapi, apakah kalau kita mulai sekarang waktunya sudah tepat? Kita toh belum mengetahui sampai seberapa jauh persiapan yang telah dilakukan oleh Rato Hemba Dondo!"

"Benar, paduka!" sahut salah seorang penasihatnya. "Seandainya saja Rato Hemba Dondo memang belum siap, dan kita sudah terburu-buru memulai perang melawan Dykman, bukankah ini berarti kita harus berperang sendirian saja?"

Yang lain segera mengangguk membenarkan.

"Lalu apa rencana Paduka selanjutnya?" tanyanya lagi.

Rato Loghe Kandua tampak berpikir sejenak, Lalu jawabnya perlahan, "Ada dua hal yang akan kulakukan. Yang pertama, aku akan mengirim sepucuk surat pemberitahuan kepada Raja ini, sekaligus meminta kesediaan Beliau berdua untuk segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Kedua, aku akan tetap memenuhi panggilan Dykman dan pergi ke Bondo Kodi. Siapa tahu Dykman sebenarnya tidak bermaksud kasar! Barangkali pula ia memang sedang kebinguan menghadapi sesuatu masalah sehingga sangat mengharapkan kedatanganku."

"Akan tetapi, mengapa dia harus menggunakan kata-kata harus lekas seperti layaknya seorang tuan atau majikan saja?" potong salah seorang tetua yang dari tadi hanya diam saja.

"Itulah yang kumaksudkan tadi!" sahut Rato Loghe Kandua dengan suara tetap tenang. 

"Barangkali ia terlalu bingung sehingga lupa bagaimana harus membuat surat yang baik dan halus. Bukankah hal tersebut baru dilakukannya kali ini saja?"

"Ah, Paduka terlalu baik hati dan senang mengalah!" sahut orang yang mempertanyakannya tadi. "Saya rasa orang seperti Dykman tidak akan membuat kekeliruan seperti ini. Saya yakin pasti ada sesuatu di balik kekasaran ini! Saya yakin akan hal itu!"

Rato Loghe Kandua terdiam sejenak mendengar kata-kata salah seorang penasihatnya itu. Setelah memandang segenap hadirin yang duduk di ruangan itu dengan tatapan mata tegang, ia pun berkata, "Sejujurnya aku nyatakan bahwa aku pun berpendapat seperti itu. Pasti ada sesuatu di balik ini semua. Aku memiliki firasat bahwa inilah saatnya bagi kita untuk mengangkat senjata. Mungkin juga inilah saatnya bagi kita secara resmi kalah di tangan penjajah yang lalim itu."

"Apa pun yang akan terjadi, semuanya kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa," potong tetua tadi. "Yang penting kita harus tetap berusaha dan berjuang. Dengan kekuatan yang tidak berarti pun kita dapat berjuang mengusir penjajah keparat itu. Baiklah, kalau demikian halnya kami para pemuda sukarelawan. Apakah Paduka setuju?"

Rato Loghe Kandua menganggukkan kepalanya tanpa menjawab dengan sepatah kata pun. Namun anggukan itu menandakan persetujuannya.

"Aku akan tetap pergi ke Bondo Kodi untuk menemui Dykman," kata Rato Loghe Kandua kemudian. "Kita semua tahu bahwa aku menjadi raja di Kodi Bokol ini karena diangkat oleh Residen Timor. Dengan demikian, wajarlah apabila Dykman juga memperlakukan aku sebagai seorang pegawai Belanda. Biarlah, kali ini aku akan datang guna membuktikan sendiri niat-niat terselubung Dykman. Akan tetapi, sementara aku pergi, bersiaplah untuk segera memulai perang apabila pihak Belanda sudah memulainya terlebih dahulu. Barangkali firasatku benar, kita sudah benar-benar siap. Untuk itu, aku minta beberapa orang menemaniku pergi ke Bondo Kodi!"

Setelah pertemuan dibubarkan, Rato Loghe Kandua segera menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Rato Hemba Dondo dan Rato Raya. Seorang utusan khusus dipilih untuk menyampaikan surat tersebut secara rahasia.

Setelah utusan itu berangkat, ia pun segera bersiap untuk pergi memenuhi panggilan Dykman. Beberapa orang bangsawan diminta untuk menyertainya. Jarak antara Tosi, tempat tinggalnya, dengan Bondo Kodi hanya 5 kilometer, Rato Loghe Kandua memacu kudanya agar cepat tiba di Bondo Kodi, Di tengah perjalanan, seorang utusan Dykman yang datang dari arah berlawanan menghentikan rombongan itu. Sekali lagi, melalui utusan tersebut Dykman meminta Rato Loghe Kandua harus lekas menemui Komandan Dykman. Tak terperikan perasaan raja Kodi Bokol ini. Akan tetapi, kemarahannya ini ditahannya. Ia justru ingin sekali cepat tiba di markas Dykman, guna mengetahui apa sebenarnya maksud dari ini semua. Rombongan terus memacu kudanya. Ketika rombongan itu sudah berjarak sekitar 100 meter dari markas Dykman, lagi-lagi seorang utusan Dykman menghentikan dan sekali lagi memberitahukan bahwa raja itu harus lekas menghadap Komandan Dykman. Ingin rasanya Rato Lghe Kandua menusukkan keris pusakannya ke lambung utusan tersebut. Namun, keinginan itu ditahannya saja.

Biasanya, kalau Rato Loghe Kandua datang ke markas ini, Dykman pasti menyambutnya di depan pintu dan mempersilakan dengan ramah tamah. Kali ini benar-benar lain. Bahkan sewaktu Rato Loghe Kandua dan rombongannya memasuki ruangan Dykman, para pengawal sudah memandang mereka dengan sikap kurang ajar dan merendahkan. Ketika Rato Loghe Kandua memasuki ruangan,  terlihat Dykman sedang mondar-mandir dengan tangan di dada. Begitu melihat tamu yang di tunggu-tunggunya datang, ia langsung mempersilakan duduk dengan hanya mengacungkan telunjuk jarinya ke arah sebuah kursi.
Dada para bangsawan pengiring Rato Loghe Kandua bagaikan meledak melihat kekurangajaran Dykman. Akan tetapi, dengan isyarat matanya, raja yang arif itu berusaha meredam kemarahan mereka. Selanjutnya, tanpa berbasa-basi lagi Dykman segera menyerang Rato Loghe Kandua yang dikatakannya tidak becus mengatur rakyatnya sehingga pengumpulan pajak di daerahnya menjadi tersendat- sendat. Raja Kodi Bokol itu diam saja. Dalam hati ia memang mengakui bahwa akhir-akhir ini penduduk Kodi memang tidak begitu saja mau menyerahkan perhiasan emas sebagai pembayaran pajak.

Selama pembicaraan, yang lebih banyak dikuasai oleh Dykman itu, kemarahan Rato Loghe Kandua hampir tidak tertahankan lagi. Lebih-lebih para bangsawan pengiringnya yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan kekasaran Dykman terhadap rajanya. Selama pembicaraan itu Dykman tidak pernah mau duduk. Dia mondar-mondar di dalam ruangan sambil sesekali menepuk-nepuk bahu Rato Loghe Kandua. Raja yang sudah merasa sangat terhina itu masih menyabarkan diri.

"Pokoknya, mulai saat ini aku tidak mau lihat ada penduduk yang tidak mau membayar pajak!" kata Dykman dengan suara parau yang menyakitkan telinga. Sementara berbicara itu tangan kirinya bertolak pinggang dan tangan kanannya menunjuk ke arah muka Rato Loghe Kandua.

Rato Loghe Kandua diam saja. Wajahnya merah membara dan dengan berani menatap wajah Dykman. Akan tetapi, Dykman yang jumawa tidak merasa gentar. Ia justru semakin senang melihat raja itu terpojok.

"Bukankah Tuan Raja masih ingat akan perjanjian singkat persahabatan yang ditandatangani oleh Residen Timor dan Rato Hemba Dondo tempo hari?" lanjut Dykman lagi. "Kalau salah satu pihak mengingkari korte verklaring tersebut maka pihak lainnya boleh menuntut. Nah, sebenarnya aku sudah punya alasan untuk bertindak, namun aku masih memandang Tuan Raja sebagai pengusaha di sini. Kalau Tuan Raja tidak mampu lagi bertindak, katakan saja terus terang sehingga aku bisa bertindak sendiri."

Rato Loghe Kandua tetap diam saja. Kemarahannya sudah benar-benar memuncak. Ia bangkit dari kursinya dan dengan berani menentang wajah Dykman yang tampak memandangnya secara sangat menghina itu.

"Apakah Tuan Dykman tidak bahwa tidak satu pun harta tersisa pada penduduk Kodi lagi?" kata Rato Loghe Kandua berapi-api. "Apakah Tuan tidak bisa melihat sendiri betapa rakyatku sudah benar-benar kehabisan harta untuk membayar pajak yang seharusnya tidak perlu dibebankan kepada mereka? Sampai di tingkat mana keserakahan ini akan berakhir?"
Mendengar rentetan kata-kata Rato Loghe Kandua, Dykman terdiam. Cerutu yang sedianya akan dinyalakan dilepas kembali dari mulutnya. Tiba-tiba kecongkakan yang merebak di wajahnya menghilang sedikit demi sedikit. Ia tidak pernah membayangkan bahwa raja yang selama ini pendiam dan tidak pernah mau bersuara menentangnya, kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Mulutnya yang lebar menjijikkan itu tampak menganga. Tampak ada rasa gentar melintas di wajah yang putih dengan bercak-bercak hitam kotor itu.

"Nah, apa lagi yang Tuan harapkan dari penduduk Kodi?" tantang Rato Loghe Kandua lagi. Sudah terlanjur basah baginya untuk menerima kekurangajaran Dykman.

Dykman diam saja. Dia berdiri mematung di dekat jendela. Matanya berganti-ganti memandang wajah Rato Loghe Kandua dan empat orang bangsawan rombongan raja itu. Mata keempat orang itu tidak terelakkan lagi menyorotkan sinar kebencian dan siap menelannya bulat-bulat.

"Tuan Dykman," lanjut Rato Loghe Kandua. "Rasanya Tuan dan antek-antek Tuan adalah orang-orang yang tidak mengenal terima kasih. Apakah Tuan tidak bisa menghitung keuntungan yang telah Tuan keruk dari penduduk Kodi ini? Apakah tumpukan hasil bumi, ternak, berkarung-karung uang poundsterling, dan berguci-guci perhiasan yang menggunung di gudang Tuan Residen masih belum cukup untuk menghentikan ke serakahan ini? Tidakkah Tuan merasakan penderitaan rakyat kami? Apakah Tuan sudah merasa sebegitu hebatnya sehingga setitik rasa kemanusiaan atas penderitaan sesama pun Tuan sudah tidak meiliki lagi?"

Dykman terdiam. Namun, sedikit demi sedikit ia mulai dapat menguasai diri. Kalau ia membiarkan raja Kodi ini melampiaskan uneg-unegnya, bisa- bisa rencananya berantakan. Padahal ia memiliki kekuatan sehingga tidak perlu merasa takut. Ia segera mendekati Rato Loghe Kandua dan memegang bahunya menyuruhnya duduk.

"Tuan Raja, duduklah kembali!" katanya halus. "Redakan amarah Tuan Raja dan marilah kita berbicara secara baik-baik!"

Rato Loghe Kandua melirik ke luar dari jendela. Di luar beberapa prajurit bersenjata api tampak berjaga-jaga. Rupanya Dykman memang sudah mengatur pertemuan ini sedemikian rupa sehingga tetamunya akan merasa terpojok dan siap menjadi tawanan.

"Untuk apa kita saling merasa marah dan bermusuhan?" kata Dykman lembut. "Kita ini sebenarnya hanya bekerja demi Residen Timor sebagai wakil pemerintahan Kerajaan Belanda yang sudah berkuasa di Nusantara ini. Kalau aku sudah berbicara secara kasar dan menyinggung perasaan Tuan Raja, itu hanya disebabkan karena aku harus melaksanakan perintah Residen Timor. Aku kenal benar watak beliau yang tak segan-segan mengirimkan pasukan untuk memaksakan kehendaknya. Aku tidak mau hal ini terjadi pada Tuhan Raja dan penduduk Kodi ini!"

Nada bicara Dykman yang datar itu mengesankan seolah-olah ia hanya berbicara apa adanya. Namun, Rato Loghe Kandua dapat menangkap ancaman dan penekanan di balik kata-kata itu. Dykman memang mengancamnya akan menggunakan pasukan apabila memang dikehendakinya.

Ketika meihat tamunya diam saja, Dykman semakin menjadi-jadi. Ia mendatangi tempat duduk Rato Loghe Kandua dan menepuk-nepuk bahu raja itu sambil berpesan supaya penarikkan pajak atas penduduk tetap dilaksanakan.

Menurut adat Sumba Barat menepuk-nepuk bahu raja berarti menghina dan mengolok-olok raja. Memang inilah maksud Dykman sesungguhnya. Komandan pasukan Belanda di Kodi ini memang sengaja menakut-nakuti dan meremehkan Rato Loghe Kandua.

Pertemuan itu berakhir. Meskipun telah dihina dan dilecehkan, sebagai orang Timur yang memegang teguh susila dan kesopanan. Rato Loghe Kandua masih mau berpamitan secara baik-baik.


5. Wonakaka

Seketika di istananya, Rato Loghe Kandua segera mengumpulkan para bangsawan dan tetua. Ia segera menceritakan penghinaan dan pelecehan terhadap dirinya oleh Dykman. Sementara itu, utusan yang tadi padi dikirimnya untuk menyampaikan surat kepada Rato Raya dan Rato Hemba Dondo pun sudah tiba kembali. Utusan ini menyampaikan pesan raja Rato Hemba Dondo bahwa ia siap membantu apabila diperlukan, dan siap bergerak apabila memang sudah dirasa tepat waktunya.

Rapat kilat itu akhirnya memutuskan dengan suara bulat bahwa kesewenangan pihak Belanda di Kodi harus segera diakhiri. Belanda harus diusir dari Tanah Kodi.

Ketika Rato Loghe Kandua menanyakan jumlah pemuda yang siap menjadi sukarelawan untuk menempur pasukan Belanda, tiba-tiba datanglah seseorang dari Bondo Kodi. Melihat roman mukanya yang sangat tegang, tampaknya ada sesuatu yang sangat penting dan mendesak yang ingin disampaikan kepada raja itu.

"Persilakan masuk!" kata Rato Loghe Kandua.

Orang itu masuk. Wajahnya tegang.

"Apakah ada sesuatu yang ingin engkau sampaikan?" tanya Rato Loghe Kandua dengan suara tegang. "Katakanlah secara jelas dan perlahan agar semua yang hadir di sini juga ikut mendengar masalahmu!"

"Baiklah, Tuanku!" sahut orang itu. Lalu ia memperkenalkan diri. "Saya Gheda dari pedalaman kampung Bondo Kodi!"

Pedalaman Kampung Bondo Kodi berjarak satu kilometer dari Bondo Kodi tempat Dykman bermarkas.

"Saya ingin melaporkan kepada Tuanku bahwa Komandan Dykman kemarin telah memperkosa istri saya!" lanjut Gheda.

Rato Loghe Kandua dan semua orang yang hadir di situ terkejut bukan kepalang. Mereka sontak menjadi marah. Kegaduhan segera melanda ruangan itu. Memang, sebelumnya orang-orang Belanda itu selalu bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap penduduk. Mereka pun sering mengganggu wanita. Akan tetapi, memperkosa istri orang adalah suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan menyinggung harga diri.

"Heh, perbuatan ini jelas tidak bisa didiamkan lagi!" kata Rato Loghe dengan murkanya. 

"Tolong jelaskan terlebih dahulu duduk perkaranya sehingga istrimu sampai di perkosa oleh jahanam itu!"

Ghenda tampak terdiam untuk mengatur napasnya. Setelah itu ia berkata. "Beberapa hari yang lalu Dykman bersama beberapa pengawalnya berjalan-jalan sampai di kampung kami. Pada saat rombongan itu lewat di depan rumah, kebetulan istriku sedang mengajari tarian tradisional kepada anak-anak tetangga. Mungkin karena tertarik akan tarian atau hanya sekedar ingin menengok kegiatan itu, Dykman memasuki rumah kami. Di situlah ia bertemu dengan istriku. Dykman memuji istriku yang dikatakannya sangat pandai menari dan luwes. Ketika mau pergi, ia mengatakan bahwa ia ingin melihat tarian istriku yang sebenarnya. Ia ingin agar istriku datang ke kantornya."

"Bagaimana tanggapan istrimu?" potong Rato Loghe Kandua tidak sabar.

"Istriku tidak menjawab apa-apa," sahut Gheda. "Kebetulan pula saat itu aku tengah berada di ladang. Istriku bercerita kepadaku pada malam harinya."

"Bagaimana tanggapanmu?" tanya Rato Loghe Kandua lagi.

"Aku jelas-jelas melarangnya!" sahut Ghenda berapi-api. "Aku tidak ingin istriku memamerkan kepandaiannya menari di hadapan Belanda keparat itu."

"Lalu, apa yang terjadi kemudian?" desak salah seorang penasihat raja.

"Kemarin siang, Dykman menyuruh dua orang anteknya ke rumah!" sahut Gheda. "Aku saat itu juga sedang tidak berada di rumah. Karena terus dipaksa oleh kedua prajurit tersebut, akhirnya istriku yang ketakutan terpaksa ikut dengan mereka.

Mula-mula istriku disuruh menari di hadapan Dykman. Entah setan mana yang merasuki jasad Dykman, berikutnya terjadilah peristiwa perkosaan itu. Aku baru tahu ketika aku pulang dari ladang dan menemukan istriku tengah menangis dan bahkan ingin bunuh diri!"

"Cukup!" kata Rato Loghe Kandua marah. "Tindakan biadab ini harus segera diakhiri. Dykman harus segera dilenyapkan!"

"Apa yang sekarang harus kulakukan?" tanya Gheda penuh harap. "Kalau aku harus berangkat sendiri untuk membahas penghinaan ini dengan membunuh Dykman, sekarang pun aku siap berangkat!"

Rato Loghe Kandua sempat merenung sebentar. Setelah menarik napas, ia segera berkata, "Pulanglah sekarang ke kampungmu. Salah seorang penasihatku akan menyertaimu! Aku akan mengirim sepucuk surat kepada kepala kampung Bondo Kodi pedalaman agar malam ini juga mengadakan rapat. Apa pun keputusan yang ambil aku akan mendukungnya."

Gheda pulang dengan langkah yang cepat. Hatinya cukup lega bahwa rajanya sendiri akan membantunya membalas dendam perendahan martabat dan pelecehan yang dilakukan oleh Dykman terhadap istrinya.

Malam itu seluruh laki-laki Pedalaman Kampung Bondo Kodi mengadakan rapat yang dipimpin oleh Pati Manakaho. Pati Manakaho adalah kepala desa. Orangnya gagah berani dan siap membela rakyatnya yang kesusahan. Kebencian Pati Manakaho terhadap Belanda dan antek-anteknya sudah memuncak. Tingkah laku orang-orang Belanda yang memeras penduduk sangat membuat hatinya geram. Ketika ia diberi wewenang oleh rajanya untuk menyelesaikan masalah itu, ia sagera saja memutuskan bahwa Dykman harus dibunuh untuk membayar tindakan biadabnya. Malam itu juga rapat diakhiri dengan keputusan bulat, yakni bahwa Dykman harus dilenyapkan. Keputusan itu dikukuhkan dengan upacara adat. Tugas untuk menghabisi nyawa Dykman akan dipikul sendiri oleh Pati Manakaho.

Pati Manakaho terkenal karena keberaniannya. Keahliannya dalam seni beladiri dan berperang sudah dikenal banyak orang. Ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah seorang yang sakti dan tubuhnya tidak dapat ditembus oleh senjata apa pun. Apakah kabar itu benar atau salah, hanya Pati Manakaho sajalah yang tahu. Yang jelas ia adalah orang yang gagah berani dan tidak takut mati dalam membela kebenaran.

Pada hari berikutnya, pukul 17.00 sore, Pati Manakaho sudah mengendap-endap di tepian sungai. Di situlah biasanya Dykman dan pengawalnya lewat. Tidak begitu lama menunggu, tampak dua orang sedadu Belanda berpatroli. Kedua orang sedadu itu bukan orang Belanda asli. Mereka adalah orang pribumi. Senjata api tampak disiagakan pada tangan masing-masing. Melihat hanya dua orang sedadu lewat tanpa Dykman, Pati Manakaho sangat kecewa. Ia berniat pulang. Akan tetapi, demi dilihatnya senjata api yang dibawa oleh mereka, timbullah niatnya untuk merampas. Pati Manakaho segera mengendap-endap mendekati kedua orang serdadu yang sedang berjalan itu. Ketika saatnya dirasa tepat, ia segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan parang pusakanya yang bernama Wawarongu ditebasnya leher kedua serdadu itu.

Setelah menyembunyikan mayat kedua serdadu yang lehernya putus itu di semak-semak, Pati Manakaho segera mengambil senjata api dan berlari pulang. Penduduk kampung yang sengaja menantikan kedatangannya menyambut dengan penuh harap.

"Aku sudah terlanjur membunuh dua orang serdadu." kata Pati Manakaho dengan lantang. "Tentu saja Dykman akan membalas. Kalau ia tidak tahu siapa yang membunuh prajuritnya. Dykman pasti akan bertindak ngawur. Setiap orang yang ditemuinya pasti ditembak. Akan tetapi, kalau dia sudah dapat mengenali bahwa akulah pembunuhnya maka penduduk Bondo Kodi ini semua akan menjadi sasaran."

"Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" desak salah seorang penduduk yang bertubuh tinggi besar dan berkesan menakutkan.

"Bisa saja Dykman menyerang kita malam ini juga," lanjut Pati Manakaho. "Apabila serangan tidak dilakukan malam ini, pasti ia akan melakukannya besok."

"Nah, apakah yang mesti kita lakukan sekarang?" desak orang itu lagi.

"Tidak ada pilihan lain kecuali berjaga-jaga," sahut Pati Manakaho. "Semua penduduk laki-laki harus berjaga-jaga sepanjang malam. Wanita dan anak-anak harus mepersiapkan diri untuk segera bersembunyi apabila serangan itu datang!"

"Kalau memang perang sudah dimulai, siapa yang akan mempergunakan senjata api itu?" tanya salah seorang pemuda. "Rasanya tidak ada seorang pun di kampung kita bisa menggunakan senjata itu."

"Ini juga masalah, sebab aku sendiri pun tidak dapat mempergunakannya," sahut Pati Manakaho.

"Siapa pula yang akan memimpin pertempuran?" tanya yang lainnya lagi dengan nada suara penuh kebimbangan.

Pati Manakaho menoleh ke arah pemuda yang bertanya itu. Wajahnya tampak merah menahan sesuatu yang tiba-tiba saja bergejolak di dadanya. Sementara itu, pemuda yang tadi bertanya itu pun rupanya cepat tanggap. Ia lalu maju ke depan sambil berkata, "Eh, bukannya aku meremehkan kemampuan berperang Anda. Siapa pun tahu bahwa Anda adalah seorang yang sakti, gagah berani, dan perkasa. Akan tetapi..."

"Akan tetapi apa...?" desak Pati Manakaho.

"Yah, terus terang saja aku kenal dengan seorang pemuda yang sangat mahir menggunakan senjata api. Selain itu, ia pun mahir dalam seni beladiri," sahut pemuda tadi.

"Maksudmu?" tanya Pati Manakaho.

"Maksudku, kalau Anda berkenan biarlah aku menemui pemuda itu dan memintanya atas nama Anda agar ia mau memimpin pertempuran ini," sahut pemuda itu dengan agar ragu-ragu. "Itu pun, sekali lagi, apabila Anda dan semua penduduk di sini menyetujuinya!"

Pati Manakaho tampak berpikir sejenak. Wajahnya yang tadi merah menahan amarah karena merasa diragukan kemampuannya oleh pemuda tadi sudah mulai berubah. Ia minta penduduk yang tua-tua berkumpul di sekelilingnya. Tidak lama mereka berembug. Pati Manakaho segera memanggil pemuda tadi dan menanyainya.

"Siapakah pemuda yang engkau maksudkan itu?" tanyanya rumah.

"Dia bernama Wonakaka. Pemuda itu tinggal di Kampung Bongo," sahut pemuda tadi. "Pada masa kecilnya ia tinggal di rumah seorang pedagang yang bernama Lete Boro. Lete Boro memiliki beberapa puncuk senjata api yang dibelinya dari orang-orang portugis. Wonakaka disuruh menggembala dan menjaga ternaknya. Untuk itu ia diajari cara menggunakan senjata api. Sekarang keahliannya menggunakan senjata api sudah tidak perlu diragukan lagi."

"Baiklah!" tukas Pati Manakaho. "Masalahnya sekarang adalah apakah Wonakaka mau bergabung dengan kita dan memimpin kita melawab Dykman dan pasukannya itu?"

"Aku sudah lama bergaul dengannya," sahut pemuda itu.

"Aku sudah benar-benar mengetahui watak dan sifatnya. Ia sangat anti penjajah. Ia bahkan punya cita-cita mengusir penjajah dari bumi Kodi ini."

"Apakah engkau bisa memastikannya?" sahut pemuda itu dengan suara mantap.

Pati Manakaho menatap wajah pemuda itu. Semua orang yang berkumpul di situ memandang wajah si pemuda sehingga yang bersangkutan menjadi agak jengah.

"Baiklah!" kata Pati Manakaho akhirnya. "Sekarang juga kuserahi tanggung jawab bagimu untuk pergi ke Kampung Bongo dan membujuk Wonakaka agar mau datang kemari!"

Sementara menunggu kedatangan Wonakaka. Pati manakaho memerintahkan penduduk untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan serangan dari Dykman.


6. Wikut Ndimu, Benteng Pertama

Seorang pemuda bertubuh tetap, berdada bidang, dan bermata tajam itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya ketika salah seorang sahabatnya dari Bondo Kodi datang kepadanya sebagai utusan Pati Manakaho. Ia tidak merasa kaget atau heran atas permintaan penduduk Bondo Kodi agar ia mau memimpin peperangan melawan pasukan Belanda. Pastilah sahabatnya itu yang memperkenalkan dirinya kepada Pati Manakaho dan penduduk Pedalaman Bondo Kodi.

"Tanpa setitik kebimbingan, kuterima permintaan kepala kampungmu itu, Sahabatku!" sahut Wonakaka mantap dengan suara ringan seolah ia sama sekali tidak menyadari bahwa kesanggupannya itu akan berakibat kematian baginya sendiri.

"Terima kasih, Wonakaka!" sahut utusan Bondo Kodi ini. "Dengan kesanggupanmu itu rasanya kita semua telah memenangkan pertempuran melawan pasukan Dykman keparat itu."

"Engkau tidak boleh terlalu memujiku seperti itu. Sahabatku!" sergah Wonakaka cepat.

"Apakah engaku pikir aku mampu memenuhi harapanmu serta seluruh penduduk Kodi ini? Apakah kalau aku memimpin pasukan Kodi lalu semuanya menjadi beres dan kita akan memenangkan setiap pertempuran? Jadi, jangan terlalu takabur. Engkau dan aku dan setiap lelaki di Kodi ini sama saja. Masing-masing dari kita memiliki kekurangan sekaligus kelebihan. Kini aku mampu menggunakan senjata api dengan baik. Kelebihanku ini kudapat hanya karena  semenjak kecil aku telah diajari untuk menggunakannya."

"Baiklah, Wonakaka!" sahut si pemuda utusan. "Memang, untuk apa kita saling membanggakan diri sementara pertempuran pun belum lagi dimulai. Yang penting, sekarang juga engkau harus bersiap-siap untuk kemudian bergabung dengan teman-teman kita yang sudah bersiaga di Bondo Kodi. Barangkali pula di sana pasukan Dykman telah berhasil menyerang penduduk. Untuk itu ayolah kita segera berangkat!"

Wonakaka menganggukkan kepalanya. Ia segera masuk ke dalam biliknya. Sewaktu keluar ia sudah membawa dua pucuk senjata api serta beberapa kotak peluru.

Sementara itu, di Tosi, Rato Loghe kandua telah memerintahkan seluruh laki-laki untuk bersiap siaga. Ia merasa bahwa pasukan Belanda akan segera menyerang. Lebih-lebih setelah ada dua orang serdadunya yang terbunuh.

Di tempat lain, di markasnya. Komandan Dykman mondar-mandir di halaman. Tinjunya mengepal, dan sambil berteriak ia menyuruh pasukannya untuk segera berkumpul. Beberapa waktu sebelumnya, komandan ini mendapat laporan dari mata-mata yang disebar untuk mencari dua orang serdadunya yang sudah dua hari satu malam tidak pulang. Mata penggal kepalanya di pinggiran sungai di dekat Pedalaman Bondo Kodi. Segera saja Dykman menyimpulkan bahwa pembunuh itu pasti didalangi oleh Rato Loghe Kandua. Dari mata-matanya pula, Dykman mendapatkan laporan bahwa si pembunuh itu adalah Pati Manakaho, kepala Kampung Pedalaman Bondo Kodi.

"Pasukan dibagi menjadi dua kelompok!" perintah Dykman kepada wakil pasukan. "Kelompok pertama, yang akan kupimpin sendiri, langsung menuju Tosi untuk menghukum Ratu Loghe Kandua. Kelompok kedua langsung menuju Pedalaman Bondo Kodi. Temukan pembunuh itu. Kalau perlu, bunuhlah setiap orang yang berusaha merintangi!"

Rupanya Dykman sudah benar-benar marah terhadap penduduk Kodi. Tanpa rasa perikemanusiaan apa pun ia memerintahkan pasukannya  untuk membakar rumah dan harta benda penduduk, serta menembak mati setiap orang yang dijumpai.

Ketika Wonakaka tiba di Bondo Kodi, perkampungan itu telah berubah menjadi lautan api. Sementara itu, beratus-ratus mayat wanita dan anak-anak bergelimpangan di jalan-jalan dan halaman-halaman rumah. Pemandangan itu sungguh memilukan hati siapa pun yang menyaksikannya.

Dykman yang bertugas menghukum Rato Loghe Kandua di Tosi pun bertindak serupa. Ia tidak lagi membedakan wanita dan anak-anak. Semuanya disapu bersih dengan pelor-pelor panas yang mengganas. Sementara asap mengepul dari atap rumah yang dibakar, mayat pun bergelimpangan di tanah. Ratusan orang di Bondo Kodi dan Tosi menjadi mayat. Semuanya tak berdaya ketika menjadi santapan pelor-pelor milik pasukan Belanda yang dimuntahkan melalui tangan-tangan orang yang tamak dan serakah serta tidak berperikemanusiaan.

Wonakaka hanya dapat menyaksikan semuanya ini tanpa bisa berbuat apa-apa. Semuanya telah berlalu. Api yang mengganas tidak bisa dipadamkan, sementara mayat-mayat pun tidak lagi dapat dihidupkan. Justru ketika Wonakaka dan temannya termangu menyaksikan pemandangan memilukan itu, Pati Manakaho berseru dari kejauhan meminta agar mereka segera menyingkir. Kedua pemuda itu segera berlari menuju persembunyian Pati Manakaho.

"Peristiwa itu berlangsung terlalu cepat sementara kami belum sempat mengungsikan wanita dan anak-anak!" kata Pati Manakaho sendu. "Para pemuda  yang berjaga-jaga pun tidak mampu membendung lajunya peluru-peluru milik Belanda keparat itu!"

"Ya!" sahut Wonakaka setelah memperkenalkan diri kepada kepala kampung itu. "Apalah arti kebenanian dan semangat yang  bernyala-nyala dengan hanya berbekal senjata tradisional dalam menghadapi peluru-peluru ganas itu? Siapa pun dari kita pasti tidak ada yang bakal mampu menahannya. Sudahlah! Kita tidak perlu menyesali diri. Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Marilah sekarang kita bersama-sama menyusun rencana dan kekuatan untuk membalas tindakan biadab ini!"

Pati Manakaho mengganggukkan kepalanya. Hatinya sedikit terhibur mendengar kata-kata Wonakaka.

"Aku memang telah mendengar betapa Dykman biasa bersikap kurang ajar dan kasar terhadap penduduk Kodi. Bahkan ia telah berani memperkosa salah seorang wanita Kodi," kata Wonakaka dengan suara tenang namun terdengar mantap. "Akan tetapi, sungguh aku tidak membayangkan betapa ia sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan. Wanita dan anak-anak yang lemah dan tidak berdaya pun dijadikan korban pelampiasan nafsu angkaranya. Sungguh aku tidak mengerti dan betapa aku ingin membalas dendam untuk saudara-saudara kita yang telah tewas ini!"

Pati Manakaho segera mengajak Wonakaka pergi ke tempat persembunyian para pemuda yang melarikan diri ketika tidak mampu lagi menghadang pasukan Belanda.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dari segala penjuru berdatagan pemuda-pemuda yang ingin bergabung dengan Pati Manakaho. Di situlah Pati Manakaho memperkenalkan Wonakaka. Dengan upacara adat yang singkat dan sederhana Wonakaka ditetapkan sebagai pemimpin. Dengan demikian, perlawanan rakyat Kodi melawan kezaliman Belanda secara resmi dimulai.

Rato Loghe Kandua dan Rato Hemba Dondo pun mengirimkan banyak pemuda sukarelawan yang siap berada di bawah pimpinan Wonakaka.

Atas petunjuk Pati Manakaho, Wonakaka dan pasukannya disarankan untuk membuat perbentengan di Wikut Ndimu. Tempat itu sangat pas untuk dijadikan benteng karena terletak di daerah ketinggian. Di situlah Wonakaka membangun benteng pertahanan. Seluruh pasukan dikerahkan untuk membuat dinding dari batu kali yang tahan peluru.

Kecerdikan Wonakaka dibuktikan ketika ia  menyuruh orang-orangnya untuk membuat patung orang-orangan dari batu yang besar. Patung batu berbentuk manusia itu dipasang persis di depan pintu gerbang. Patung itu dibuat sedemikian rupa sehingga bagian-bagian tubuhnya dapat digerakkan secara rahasia dengan peralatan yang dipasang di dalamnya. Satu atau dua orang dapat menggerakkannya dari bawah patung tersebut. Patung batu itu akan digunakannya sebagai siasat untuk mengelabui pasukan Belanda.

Sementara itu, Dykman merasa heran karena ia tidak menemukan perlawanan sama sekali dan penduduk Kodi. Ia juga merasa heran karena pemuda-pemuda Kodi seolah-olah lenyap ditelan bumi. Tidak ada satu pun lelaki yang kelihatan. Oleh sebab itu, komandan yang sudah berpengalaman di berbagai medan tempur ini mulai curiga. Ia menduga rakyat Kodi tengah menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Ia segera menyebarkan mata-mata untuk mencari tahu letak persembunyian pemuda-pemuda Kodi. Ia juga memimpin langsung pasukannya yang bergerak dari satu desa ke desa lain. Di mana-mana ia mengadakan penggeledahan, namun tidak satu pun pemuda dijumpainya. Di mana-mana hanya ada wanita, anak-anak, dan orang-orang yang sudah berusia lanjut. Kecurigaannya semakin menebal.

Setelah pencarian yang panjang dan melelahkan, akhirnya pasukan Dykman berhasil juga menemukan benteng Wikut Ndimu. Setelah merasa yakin bahwa itulah tempat persembunyian pemuda-pemuda Kodi yang dicari-carinya, ia segera menyuruh pasukannya untuk mengepung dan menghujani benteng itu dengan peluru. Pasukan Belanda yang memang memiliki persenjatan lengkap itu begitu royal menghamburkan peluru-peluru mereka. Dykman terus memerintahkan pasukannya untuk menghujani benteng dengan peluru. Maksudnya adalah membuat orang-orang yang bertahan di dalam benteng menjadi gentar sehingga akhirnya mau menyerah. Kalaupun mereka tidak mau menyerah, mereka pasti akan putus asa sehingga memutuskan untuk menyerbu keluar melalui pintu gerbang. Pada saat itulah hujan peluru pasukannya akan dengan mudah mengenai sasarannya.

Di dalam benteng. Wonakaka dan pasukannya menyadari keadaan. Mereka tidak memiliki banyak senjata api. Persediaan peluru pun sangat terbatas. Oleh sebab itu, itu tidak mau membalas hujan peluru pasukan Belanda. Rupanya, sedikit-sedikit Wonakaka akhirnya tahu juga siasat yang tengah dijalankan oleh Dykman. Ia tidak mau pasukannya merasa putus asa. Ia terus memompa semangat mereka agar bertahan dan bertahan.

Merasa disiasati oleh Dykman. Wonakaka juga berniat menjalankan siasat yang telah direncanakannya. Ia segera menyuruh dua orang pasukannya untuk memasuki terowongan bawah tanah yang menuju ke patung batu yang berada di luar pintu gerbang. Kedua orang itu disuruhnya menggerakkan alat rahasia yang mampu menggerakkan anggota tubuh patung batu tersebut.

Dari semua Dykman memang telah melihat patung batu tersebut. Namun ia mengira bahwa patung itu hanyalah patung biasa saja. Ketika tiba-tiba tangan patung itu bergerak-gerak. Dykman menjadi kaget. Setiap kali tangan patung bergerak, gerakan itu dibarengi dengan teriakan bersama seluruh anggota pasukan Wonakaka yang mengintip dari balik dinding batu. Tentu saja peristiwa ini mengagetkan Dykman dan pasukannya. Ia segera memerintahkan pasukannya untuk menembak dan menghujani patung itu. Kejadian ini terus diulang-ulang oleh Wonakaka. ia bermaksud menghabiskan persediaan peluru pasukan Belanda. Ketika hujan peluru semakin menipis, Wonakaka segera memerintahkan pasukannya untuk melepaskan tembakan satu per satu. Tembakan harus benar-benar diarahkan ke sasaran sehingga satu peluru harus bisa menghabiskan nyawa satu orang anggota pasukan Belanda. Meskipun tidak banyak  peluru yang dilepas, beberapa orang anggota pasukan Dykman terkapar menjadi mayat. Sebaliknya, ribuan peluru pasukan Belanda tidak berhasil melukai seorang pun anggota pasukan Wonakaka.

Dykman tampak putus asa. Ia memerintahkan seluruh anggota pasukannya untuk beristirahat tanpa meninggalkan kewaspadaan. Kelompok-kelompok yang bertugas mengepung digilir secara rapi dan rahasia sehingga seolah-olah benteng itu tetap terkepung rapat dari segala sudut.

Satu bulan lamanya pengepungan ini tidak juga membuahkan hasil. Dari rasa putus asa, perasaan Dykman berubah menjadi kebencian dan dendam. Ia bermaksud memukul hancur benteng itu serta membasmi seluruh orang yang bertahan di dalamnya. Berhari-hari ia memikirkan sebuah taktik yang benar-benar jitu dan mematikan.

Akhirnya, taktik itu pun ditemukan. Ia segera menyuruh beberapa anggota pasukannya untuk kembali ke markas di Bondo Kodi. Orang-orang itu disuruhnya mengangkut mercon. Dengan mercon inilah ia akan memporak-porandakan pasukan Wonakaka.

Keesokan harinya, pada pukul 05.00 dinihari, Dykman menyuruh beberapa orang anggota pasukannya mengendap-endap di bawah dinding benteng. Berdasarkan aba-abanya, orang-orang yang sudah dibekali dengan ribuan mercon ini secara serentak menyalahkan mercon-mercon lalu melemparkannya ke dalam benteng. Bunyi letusan mercon yang ribuan jumlahnya itu sangat memekakkan telinga bak rentetan peluru yang setiap hari dilepas ke arah benteng. Pasukan Wonakaka yang masih tertidur sangat kaget. Begitulah bangun mereka mendengar ledakan di mana-mana. Letusan mercon yang disertai percikan api semakin mengagetkan mereka. Mereka mengira bahwa pasukan Belanda telah menyerbu ke dalam benteng. Terjadilah kegaduhan dan kepanikan yang luar biasa. Banyak anggota pasukan Wonakaka keluar benteng untuk melarikan diri.

Bersamaan dengan dibukanya pintu terbang serta menghamburnya pemuda-pemuda Kodi keluar, peluru-peluru pasukan Dykman pun segera memberondong. Dalam waktu sekejap saja tubuh-tubuh bergelimpangan menjadi mayat. Dykman juga memerintahkan kelompok pasukannya yang lain segera menyerbu yang tidak seimbang. Satu per satu para patriot Kodi tersungkur menjadi mayat.

Kesewenang-wenangan serta kekejaman Dykman tidak berhenti sampai di situ. Wanita dan anak-anak yang ikut berlindungi di dalam benteng juga disapu bersih. Bahkan ada seorang ibu yang tengah menyusui bayinya yang mungil ia tembak dengan pistolnya. Mayat kedua anak-beranak itu lalu dicampakkan ke dalam api. Perbuatan yang sungguh-sungguh biasab dan tidak berperikemanusiaan itu disaksikan oleh beberapa pasukan Wonakaka yang masih tertinggal.

Sementara itu, Wonakak dan beberapa orang pasukan yang tersisa berhasil melarikan diri untuk kemudian menyusun siasat baru. Guna melepaskan dendam dan kebenciannya. Dykman menyuruh menghancurkan benteng itu. Benteng Wikut Ndimu diratakan dengan tanah.


7. Pembantaian di Hamate Todangan

Dendam dan kemarahan Wonakaka semakin memuncak. Ia sendiri bahkan tidak mampu bertindak apa-apa sewaktu benteng Wikut Ndimu diserbu. Ketika salah seorang anak buahnya yang berhasil lolos melaporkan kejadian biadab mengenai pembantaian seorang itu dan bayinya oleh Dykman, lalu dicampakkan ke dalam api unggun, ia pun hanya bisa mengeluh dan menyesal. Ingin rasanya ia meninggalkan pasukannya dan kembali ke kampungnya. Ingin pula rasanya ia mendatangi Dykman seorang diri lalu membantai Belanda jahanaman itu.

Pada suatu hari, di tempat persembunyiannya yang baru Wonakaka mengumpulkan orang-orang kepercayaannya. Mereka berembug untuk membuat rencana serta strategi baru guna menghadapi pasukan Belanda.

"Aku berpikir bahwa sebaliknya kita memasang jebakan bagi pasukan Belanda itu di tempat yang benar-benar pas!" kata Wonakaka membuka perundingan.

"Tempat yang pas bagaimana menurutmu?" tanya salah seorang kepercayaannya.

"Tempat itu harus melindungi pasukan kita, namun sekaligus dari tempat itu kita dapat menyerang dan menghancurkan musuh, tanpa mereka sempat membalas!" sahut Wonakaka.

"Adakah tempat seperti yang engkau bayangkan itu?" potong Haghu Dari, saudara Wonakaka yang ikut bergabung.

"Kuharap ada!" sahut Wonakaka. "Seandainya memang benar-benar tidak ada yang sempurna, kita toh bisa memilih suatu tempat yang dapat kita atur sendiri sehingga bisa menguntungkan bagi kita."

"Daerah ini berbukit-bukit." tiba-tiba salah seorang pemuda yang bernama Mali Ghenda angkat bicara. "Rasanya tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan tempat sperti itu. Akan tetapi, barangkali tempat seperti itu justru terletak jauh dari jalan atau sungai."

"Hoh, tidak apa-apa!" tukas Wonakaka kembali bersemangat. "Kita gunakan siasat memancing ular keluar dari sarangnya. Kita pancing pasukan Belanda itu untuk mendatangi tempat persembunyian kita. Nah, pada saat itulah kita menghadang dan menghabiskan mereka!"

Hampir semua anak buah Wonakaka berasal dari daerah Bondo Kodi dan sekitarnya. Pekerjaan mereka adalah petani, peternak, dan pedagang. Masing-masing sangat hapal tempat- tempat yang terbuka dan yang terlindung. Ketika Wonakaka memberi kesempatan kepada anggota pasukannya untuk mengusulkan tempat yang paling tepat untuk penghadang, masing-masing segera angkat bicara.

Cukup lama terjadi kegaduhan. Setiap kali ada seorang mengusulkan sesuatu tempat, serta merta ada beberapa orang lainnya yang penyanggah dan berkeberatan. Wonakaka sendiri yang memang kurang begitu memahami seluk beluk daerah itu justru menjadi kebingungan.
"Kalau kita mau menemukan sebuah tempat yang benar-benar sempurna sesuai dengan kemauan kita, rasanya tidak akan mungkin!" kata Wonakaka menengahi. "Bagaimana kalau kita menentukan salah satu tempat dari beberapa yang diusulkan oleh Saudara-saudara tadi? Yang penting, tempat itu cukup memenuhi persyaratan untuk menghadang pasukan musuh! Apakah Saudara-saudara setuju?"

"Ya!" sahut Mali Gheda mendahului teman-temannya. Ia tidak ingin penentuan masalah tempat ini menjadi bahan perdebatan yang menghabiskan waktu dan tenanga. Untuk itu. Kita harus meminta persetujuan sebagian besar dari kita. Siapa yang tidak setuju saya harap mau tetap bergabung. Ini adalah masalah kita semua dan demi kepentingan kita semua,"

"Aku mendukung!" teriak seorang pemuda yang berdiri di pojok ruangan. Pemuda itu bernama Pako Labire. Tubuhnya gempal dan tangannya tampak kokoh.

Satu per satu hadirin mengacungkan tangannya tanda setuju. Tempat yang dipilih adalah jalan menikung di daerah perbukitan yang ditumbuhi semak-semak dan alang-alang yang sangat lebat. Tikungan itu menurun dan terus membelok di sisi bukit lainnya.

"Marilah kita tinjau tempat itu!" ajak Wonakaka. "Bagilah pasukan ini menjadi kelompok-kelompok kecil. Aturlah supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Saya yakin mata-mata Belanda masih berkeliaran untuk mencari tempat persembunyian kita ini."

"Baiklah!" sahut Mali Gheda. "Beberapa kelompok sebaiknya berjalan memutar sekaligus untuk memastikan bahwa tempat yang akan kita kunjungi nanti benar-benar aman!"

Wonakaka dan para pembantu terdekatnya segera memimpin kelompok-kelompok kecil itu menuju tempat yang telah dipilih. Ada kelompok yang langsung ke tempat itu, ada pula yang berjalan memutar sehingga seolah-olah datang dari arah yang berlawanan.

Hari sudah senja ketika Wonakaka dan pasukannya tiba di tempat yang dituju. Ia segera menyuruh anggota pasukannya untuk berkumpul. Mereka duduk di sela-sela alang-alang dan semak belukar sehingga terlindung dari pandangan orang yang lewat di jalan itu. Untunglah, semenjak pecah pergolakan  melawan pasukan Belanda jalanan itu  jarang sekali dilewati orang, Justru pemuda-pemuda yang sekarang berkumpul di situ itulah yang sebelumnya selalu mondar-mandir di jalan itu, berangkat dan pulang kerja.

Sementara menunggu kelompok-kelompok lainnya yang belum tiba, Wonakaka berjalan berkeliling. Dengan seksama ia mengamati-amati keadaan daerah itu.

"Nah, rasanya pilihan tempat ini adalah yang paling tepat!" kata Wonakaka sambil memandang wajah-wajah para pejuang yang duduk di sekelilingnya. "Kukira sulit sekali kita mencari dan menemukan tempat yang seperti ini."

Semua orang menganggukkan kepala. Ada yang setuju, ada pula yang hanya sekedar latah dan ikut-ikutan saja.

"Langsung saja aku akan menguraikan rencanaku!" lanjut Wonakaka. "Kita harus menggali parit di sebelah jalan ini untuk bersembunyi. Seberang jalan yang sebelah sana adalah lereng. Jadi, kita tidak perlu bersembunyi di situ."

"Tentu kita hanya bisa menggali parit pada malam hari saja!" potong Mali Ghenda. "Pada siang hari, ada saja satu dua orang anggota pasukan Belanda yang berpatroli melewati jalan ini."

"Ya, ya!" sahut Wonakaka. "Kita akan menggali parit pada malam hari. Lereng parit yang berada di dekat jalan harus benar-benar terjal, namun yang satunya lagi harus landai sehingga kita akan mudah melarikan diri apabila kita terdesak. Parit juga harus dalam dan lebar sehingga sekaligus dapat digunakan sebagai perintang pasukan Belanda yang berniat mengejar kita."

Wonakaka beristirahat sebentar. Ia meneguk menumannya untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Setelah itu, ia pun melanjutkan. "Sementara itu, sebaiknya kita bagi pasukan kita menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, yang paling banyak anggotanya, bertugas membuat parit. Kelompok kedua bertugas mengumpulkan alang-alang kering dan ditumpuk di kanan-kiri jalan. Kelompok ketiga bertugas mencari makanan dan minuman untuk persediaan kita. Aku sendirilah yang akan memimpin kelompok pertama. Kelompok ketiga dipimpin oleh Pako Labire."

"Apakah penggalian akan dimulai pada malam hari juga?" tanyak Pako Labire.

Wonakaka tersenyum kecil, lalu jawabnya. "Tentu saja tidak! Bagaimama kita dapat menggali parit hanya dengan peralatan tombak, keris, dan parang? Malam ini kita akan beristirahat di sini. Akan tetapi, aku memohon kerelaaan beberapa kawan kita untuk pergi ke kampung-kampung terdekat guna mencari bantuan makanan serta mencari cangkul yang akan akan kita pergunakan untuk menggali parit!"

"Baiklah! Aku sendirilah yang akan melakukannya!" terdengar Pako Labire berjanji.

"Terima kasih!" sahut Wonakaka. "Bawalah beberapa orang untuk menemani dan membantumu!"

Penggalian parit dapat diselesaikan dalam beberapa hari.

Wonakaka juga mengawasi penumpukkan jerami kering yang nantinya akan dipergunakan sebagai tabir asap. Apabila benar-benar terjadi pertempuran di tempat itu, jerami itu akan di bakar sehingga terjadilah lautan api di sekeliling medan pertempuran. Lautan api juga dimaksudkan supaya dapat dimanfaatkan sebagai perintang bagi anggota pasukan Belanda yang akan meloloskan diri dari kepungan.

Setelah parit siap, pada siang hari Wonakaka menyuruh para pengikutnya untuk berlindung di situ guna mencegat pasukan Belanda yang berpatroli. Wonakaka sendiri dengan tinggian. Ia siap dengan senjata apinya. Dari tempat itu ia dapat membidik pasukan Belanda yang berpatroli Belanda lewat di tempat itu. Mereka menjadi sasaran empuk bidikan jitu Wonakaka. Sewaktu mereka mati atau terluka terkena tembakan itu, orang-orang  yang sudah siap di parit segera keluar untuk membereskan. Taktik seperti itu ternyata cukup berhasil. Wonakaka tidak perlu menghamburkan peluru secara sia-sia. Setiap peluru yang dilepas pasti memperoleh sasaran yang empuk.

Ketika setiap hari selalu ada saja beberapa anak buahnya yang lenyap dan tidak kembali setelah berpatroli di daerah itu. Dykman pun mulai curiga. Ia sengaja mengirimkan mata-matanya untuk menyelidiki daerah itu. Pada suatu hari ia menyuruh dua orang prajurit berjalan seperti layaknya kalau berpatroli. Di belakang mereka, dalam jarak yang cukup jauh namun tersamar, Dykman menyuruh beberapa orang untuk mengikuti, Rupanya Wonakaka kurang menyadari hal ini. Seperti biasa ia menembak mati pasukan yang berpatroli. Namun, sama sekali ia tidak mengerti bahwa dengan demikian tempat persembunyiannya sudah diketahui mata-mata Dykman yang sengaja bersembunyi di kejauhan.

Setelah mengetahui dan yakin bahwa Wonakaka dan pasukannya memang bersembunyi di perbukitan itu, mata-mata itu berlari pulang untuk melapor kepada Dykman. Dykman pun segera mengatur rencana penyerbuan.

Sementara itu, Wonakaka juga tidak kehabisan akal. Ia lalu menyebar mata-mata untuk menyelidiki gerak-gerik Dykman dan pasukannya. Pada suatu hari, sehabis subuh. Pasukan Dykman mulai bergerak dari markasnya menuju tempat persembunyian Wonakaka. Mata-mata Wonakaka segera melaporkan kepada komandannya. Wonakaka segera menyiarkan segala sesuatunya untuk menghadapi sebuan itu. Sebagian besar anggota pasukannya diperintahkan untuk berlindung di parit. Sebagian lagi menyebar dan bersembunyi di semak belukar dan tumpukkan ilalang kering. Mereka inilah yang nanti bertugas membakar ilalang dan semak-semak apabila pertempuran sudah meletus.

Matahari bersinar cemerlang ketika pasukan Belanda mulai bergerak mendekat. Wonakaka dan pasukannya menunggu dengan tenang.

"Biarkan pasukan musuh memasuki daerah yang sudah kita kepiting ini!" perintah Wonakaka dengan suara tetap tenang. "Jangan ada yang mendahului sebelum kuperinntahkan untuk menyerang. Semuanya tetap berada di tempat persembunyian sampai kuberikan aba-aba untuk memulai!"

"Kapan kami harus mulai membakar ilalang dan rerumputan kering itu?" tanya Hanghu Dari, salah seorang tokoh pemuda yang ditugasi untuk membakar ilalang dan membuat tabir asap.

"Apabila pertempuran sudah pecah, bakarlah ilalang itu agar asap tebal dapat mengacaukan pasukan musuh!" sahut Wonakaka. "Ingat, sesudah asap mulai membubung tebal, kalian harus segera berlari ke ujung jalan, sebagian ke kanan dan lainnya  ke kiri. Cegatlah pasukan musuh yang mencoba melarikan diri dari kepungan kita!"

"Siap!"

"Aku akan bersembunyi di ketinggalan seperti biasanya!" kata Wonakaka lagi. Apabila pasukan musuh sudah memasuki daerah kita, aku akan menembak mereka satu per satu. Apabila mereka menjadi panik, semuanya harus siap untuk keluar dari parit dan menyerbu mereka."

"Siap!"

"Siap!"

"Siap!"

"Bagus!" sahut Wonakaka sampai tersenyum. Ia berusaha mengatasi ketegangan yang melanda hatinya. "Sekarang, marilah kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar kita memiliki keberanian untuk menghadapi musuh yang lalim dan penuh angkara murka. Semoga atas rakmat-Nya kita dapat memenangkan pertempuran ini!"

Semua anggota pasukan menundukkan kepala dan berdoa dengan khidmat. Berbagai perasaan melanda hati setiap orang. Ada  yang merasa yakin dapat membunuh musuh, namun ada pula yang mendapat firasat tidak baik. Mereka hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.

Waktu terasa berjalan sangat lambat ketika pasukan Belanda mulai tampak dari kejauhan. Tampaknya pasukan Belanda yang dipimpin oleh Dykman sendiri itu juga sudah mulai bertindak hati-hati. Sebaliknya, pasukan Wonakaka yang sudah menunggu di atas menjadi berdebar-debar dan tidak sabar.

Secara perlahan namun pasti, pasukan musuh mulai memasuki daerah pengepungan. Ketika sudah dirasa siap, Wonakaka yang bersembunyi di ketinggian segera membidikkan sejatanya. Yang ingin ia tembak adalah orang sukunya sendiri yang selama ini menjadi juru bahasa dan penunjuk jalan. Orang itu bernama Pati Jawa. Kebetulan ia berjalan paling depan. Setelah terjangkau oleh peluru senjata apinya, Wonakaka segera membidik Pati Jawa robch tersungkur dengan luka bulat di dadanya. Segera saja terjadi kepanikan di antara pasukan Belanda. Mereka berlari ke pinggiran jalan untuk bersembunyi. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, pasukan Wonakaka pun berloncatan keluar dari parit dan menyongsong mereka. Terjadilah perang tanding yang sangat seru. Karena terjadi pertempuran jarak dekat, pasukan Belanda tidak sempat mempergunakan senjata apinya. Mereka bertempur dengan mempergunakan senjata apinya. Mereka bertempur dengan sangkur dan pedang. Sementara itu, pasukan Wonakaka pun memang kebanyakan bersenjatakan tombak dan pedang.

Suara denting beradunya senjata serta teriakan kemarahan dan kesakitan campur aduk menjadi satu. Satu per satu tubuh-tubuh prajurit Wonakaka tersungkur. Satu per satu pasukan Belanda berjatuhan mencium tanah.

Wonakaka yang juga ikut bergabung dengan pasukannya dalam perang tanding itu segera memerintahkan pasukannya yang bertugas membakar ilalang dan semak-semak untuk segera beraksi. Tidak seberapa lama kemudian, asap bermunculan dari segala penjuru. Api yang kecil semakin membesar dan  membentuk lingkaran pengepungan. Kegaduhan semakin melanda pasukan Belanda. Ada yang mencoba menembus pengepungan untuk melarikan diri. Akan tetapi, di kedua ujung jalan telah siap menghadap pasukan Wonakaka  yang lain.

Pertempuran berjalan sangat seru dan memakan waktu agak lama. Melihat suasana kurang menguntungkan, Dykman segera menyuruh pasukannya untuk menembus pengepungan guna meloloskan diri. Pasukan Wonakaka tidak berusaha mengejar karena jumlah pasukan yang masih  tersisa juga sudah tidak seberapa banyak lagi. Lagi pula, mereka pun sudah lelah. Bahkan asap dan panasnya api yang semula dimaksudkan untuk melindungi mereka dari musuh malah membuat mata mereka perih dan tubuh kepanasan.

Pertempuran semakin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali ketika pasukan Belanda yang masih tersisa berhasil melarikan diri dan pasukan Wonakaka tidak berusaha mengejar.

Ratusan mayat bergelimpangan di tanah. Ratusan anggota pasukan Wonakaka gugur demi mempertahankan kemerdekaan dan harga diri bangsa. Ratusan anggota pasukan Belanda pun mengalami nasib serupa.

Wonakaka merasa harus segera mengungsikan pasukannya yang masih tersisa. Oleh sebab itu, ia tidak sempat mengumburkan semua mayat. Mayat-mayat itu dibiarkan saja di situ sehingga pada hari berikutnya menjadi santapan anjing dan burung.

Tempat itu kemudian dinamakan Homate Todango, artinya tempat di mana banyak sekali bergelimpangan mayat.


8. Memasang Jebakan di Kawango Wula

Pembantaian Hamate Todango usai sudah! Ratusan patriot Kodi gugur sebagai kesuma bangsa. Patah tumbuh  hilang berganti. Ratusan pemuda telah gugur, namun ratusan pemuda lagi datang bergabung. Banyak pemuda dari desa-desa di seluruh pelosok Kodi datang bergabung dalam pasukan Wonakaka.

Setelah kegagalan di Hamate Todango, Wonakaka mengajak seluruh anggota pasukannya mengungsi ke sebuah gunung, yakni Kawango Wula. Di situlah ia membangun benteng pertahanan baru.

Wonakaka duduk dengan dikelilingi oleh pembantu-pembantu terdekatnya, seperti Haghu Dari, Mali Gheda, Pako Labire, Rangga Tunu Yingo Raya, Wora Ngandi, Wora Bombo, Ra Boko dan lain-lainnya. Pemuda-pemuda inilah yang selama ini menjadi kepercayaannya untuk memimpin kelompok-kelompok kecil pasukannya. Jadi, semacam komandan kompi. Semalaman ia tidak memejamkan matanya. Sore harinya ia berjalan mengelilingi perbukitan untuk mengamati keadaan. Malam harinya ia lebih banyak duduk berdiam diri. Tampaknya ia tengah merenungkan sesuatu rencana.

"Aku sudah merenungkan kegagalan taktik kita menghadapi pasukan Belanda dalam pertempuran di Hamate Todango tempo hari!" kata Wonakaka memulai pembicaraan.

"Apa yang engkau temukan?" tanya Haghu Dari, seorang pemuda yang masih bersaudara dengannya.

"Pertama, jelas sekali kita belum memiliki teknik berperang yang baik," sahut Wonakaka. "Di perbukitan Hamate Todango kita sudah berhasil menjebak pasukan Belanda untuk masuk ke dalam perangkap kita, namun toh kita tidak mampu membasminya."

"Barangkali masih banyak teman kita yang sama sekali belum pernah berperang sudah terlebih dahulu merasa takut terhadap mereka," sambung Wora Ngandi.

"Itu adalah alasan yang kedua," sahut Wonakaka. "Jelasnya kita masih harus memompa semangat kita masing-masing agar tidak gentar menghadapi pasukan Belanda yang telengas itu."

"Mungkin juga karena senjata kita kalah dari mereka!" sela yang lainnya lagi.

"Itu pasti!" tegas Wonakaka. "Akan tetapi, dalam perkelahian tawuran jarak dekat atau perkelahian satu lawan satu, semestinya kita dapat menguasai keadaan. Apalagi kita sudah dibantu oleh tabir asap dan panasnya api!"

"Ya! Nyatanya asap api dan panasnya api itu justru sangat menggangu kita sendiri!" potong Wora Ngandi dengan senyum getir.

"Benar!" tukas Wonakaka. Jangan salah terima! Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Nyatanya dalam kegelapan asap itu kita justru sulit sekali membedakan mana kawan dan mana lawan. Yah, itu semua merupakan pelajaran bagi kita semua agar sekarang dan nanti kita bisa membuat rencana dengan baik!"

Semua menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa. "Lalu apa rencana yang akan kita buat sekarang ini?" tanya Haghu dari menyela. Ia rupanya sudah tidak sabar lagi. Dadanya masih merasa perih apabila mengingat kekalahan yang menyakitkan itu. Masih terbayang di matanya, teman-temannya terbuka parah dan meninggal  terkena senjata pasukan Belanda. Masih terngiang di telinganya erang dan rintihan pemuda-pemuda yang terluka, namun tidak ada yang sempat menolongnya.

Dengan suara perlahan namun meyakinkan, Wonakaka lalu membentangkan rencananya. Rencananya itu disusunnya setelah hampir satu hari ia mengamati keadaan di gunung itu. Cukup lama Wonakaka membeberkan rencananya. Kadang kala teman-teman seperjuangkannya membantah atau menyetujuinya. Setelah memakan waktu cukup panjang, akhirnya rencana itu pun disetujui.

kebetulan gunung Kawango dibatasi tebing-tebing curam di keempat sisinya. Wonakaka lalu mengerahkan sebagian besar anggota pasukannya untuk membabat seluruh pepohonan yang ada di lereng gunung. Kayu yang besar di potong dan dirobohkan untuk dijadikan barikade atau penghalang lajunya gerakan pasukan musuh. pembersihan lereng dari pepohonan dan semak belukar memakan waktu lebih dari tiga hari. Namun, sesudahnya daerah itu tampak seperti ladang yang baru saja di olah dan siap di tanami.

Potongan-potongan kayu yang besar itu diikat dengan seutas tali dari rotan yang ujungnya dikaitkan pada batu-batu benteng di atas  gunung. Maksudnya, apabila pasukan musuh sudah bergerak menaiki lereng gunung, tali itu dilepas sehingga batang-batang kayu menggelinding ke bawah. Apabila musuh bisa menghindari dari gelindingan kayu-kayu tersebut, paling tidak gerak lajunya sudah sedikit tertahan, atau paling tidak mereka sudah mulai gentar.

Beberapa pohon besar tetap dibiarkan sala dengan maksud agar musuh tidak merasa curiga.

Hari-hari  berikutnya pasukan Wonakaka sibuk membuat lubang-lubang jebakan. Ratusan lubang di buat pada lahan yang sudah dibersihkan itu. Lubang-lubang jebakan itu letaknya tidak beraturan. Di dasar setiap lubang diletakkan dahan-dahan yang sudah diruncingkan dan di tanam tegak. Kemudian lubang di tutup dengan dedaunan dan dilapisi timbunan tanah yang tipis.

Setelah pekerjaan membuat lubang-lubang jebakan selesai, Wonakaka lalu memerintahkan sebagian anak buahnya membuat jalan rahasia yang terletak di sebelah timur gunung itu. Jalan rahasia tersebut akan digunakan nanti seandainya diperlukan, yakni kalau pasukannya  terdesak. Jalan rahasia itu adalah jalan untuk melarikan diri. Ia juga memerintahkan sebagian anak buahnya yang lain untuk mencari makanan dan minuman di desa-desa sekitar. Wonakaka bermaksud menimbun persediaan makanan yang bisa digunakan untuk berperang berhari-hari. Ia tidak mau kehabisan bahan makanan.

Ketika semua persiapan selesai dikerjakan. Wonakaka menyuruh seluruh anggota pasukannya untuk beristirahat. Selama beristirahat. Ia tidak memperbolehkan mereka melakukan apa pun, kecuali yang bertugas juga. Ia bermaksud memulihkan tenaga pasukannya yang berhari-hari sebelumnya digunakan dan dihabiskan untuk membersihkan tebing, menebang, pepohonan, membuat lubang jebakan, membangun  jalan rahasia, ataupun mengumpulkan bahan makanan. Selain itu, dalam masa istirahat ini ia memompakan semangat baru kepada seluruh pasukannya. Kesempatan itu pun dimanfaatkan untuk melatih cara-cara bertempur jarak dekat, atau perkelahian satu lawan satu.

"Kita pasti akan mengalami pertempuran jarak dekat dan perkelahian satu lawan satu," kata Wonakaka di hadapan pasukannya. "Senjata kita hanyalah keris, pedang, tombak, bambu runcing, dan ali-ali. Apabila hampir semua pasukan Belanda memiliki senjata api, kita hanya memiliki dua pucuk senjata api. Pelurunya pun sangat terbatas."

Semuanya tekun mendengarkan penjelasan pimpinan pasukan itu. Semuanya menyadari keterbatasan mereka, baik dari segi senjata maupun keterampilan berperang.

"........Akan tetapi, kita tidaklah harus merasa takur atau kalah sebelum bertempur. kita miliki semangat dan keyakinan bahwa kita berada di pihak yang benar. Orang yang benar akan dilindungi oleh Allah," kata Wonakaka melanjutkan. "Jadi, kita pun harus selalu berdoa kepada Tuhan untuk meminta kekuatan."

"Lalu kapan kita menjebak pasukan Belanda itu?" tanya Haghu Dari setelah lama berdiam diri.

"Hemm, nanti malam aku akan mengirim seseorang untuk mendatangi markas Komandan Dykman." sahut Wonakaka. "Kuserahkan kepadamu untuk memilih dan menentukannya orang yang akan melaksanakan tugas ini."

"Apa tugasnya?" desak Haghu Dari lagi.

"Ia hanya berdiri agak di kejauhan dan tidak perlu terlalu dekat dengan markas," sahut Wonakaka. "Yang penting kalau ia berteriak, suaranya terdengar jelas dari dalam benteng. Tugasnya adalah meneriakkan kata-kata bahwa kita akan memulai pertempuran dari Gunung kawango."

"Lalu....?" desak Haghu Dari, yang belum memahami rencana Wonakaka.

"Selama ini rasanya pasukan Belanda belum mengetahui keberadaan kita di gunung ini," sahut Wonakaka. "Kalau nanti malam Dykman mendengar bahwa pasukan kita akan memulai pertempuran dari tempat ini, ia pasti akan mengerahkan pasukannya untuk mendahului kita. Komandan Dykman pasti menyangka bahwa pasukan kita akan bergerak mengepung markasnya di Bondo Kodi sehingga lebih baik mendahului menggempur kita."

"Kalau demikian, pastilah pagi-pagi sekali mereka sudah tiba di sini!" potong Mali Gheda mencoba mereka-reka.

"Rasanya memang begitu!" sahut Wonakaka. "Jadi, besok pagi-pagi benar seluruh anggota pasukan harus benar-benar siap untuk menyambut kedatangan mereka."

"Kalau begitu, aku akan memilih orang yang biasa berlari kencang dan berteriak keras!" kata Mali Gheda.

"Silakan!" sahut Wonakaka. "Yang penting, teriakan itu harus di dengar oleh Komandan Dykman. Setelah itu, ia harus segera melarikan diri secepatnya untuk kembali ke sini. Jangan sampai ia tertangkap sehingga ia akan di paksa untuk membeberkan rencana kita ini! Paham!"

"Ya!"

"Nah, laksanakan sekarang juga!"

Malam itu, utusan Wonakaka sudah mengndap-endap di dekat markas serdadu Belanda. Dengan suara nyaring ia menyerukan bahwa Wonakaka menyatakan perang. Setelah meneriakan kata-kata itu, utusan itu secepat kilat melarikan diri dan menghilang dalam kegelapan sehingga tidak seorang pun serdadu Belanda bisa menangkapnya. Pada saat itu Komandan Dykman belum tidur. Ia mendengar teriakan itu. Segera saja ia memanggil juru bahasa untuk menerjemahkan kata-kata itu. Kata-kata itu berbunyi "Wonakaka mengajak bertempur di Kawango Wula, besok!"

Betullah dugaan Wonakaka. Malam itu Dyman segera memanggil para pembantu terdekatnya untuk merundingkan rencana penyerbuan. Perundingan itu berjalan singkat, dan Dykman memutuskan untuk berangkat ke Gunung Kawango pada pagi hari.

Sementara itu, ketika utusannya kembali. Wonakaka pun segera mengadakan rapat kilat dengan para pembantunya.

"Jangan pernah ada yang mencoba keluar dari benteng!" perintah Wonakaka di hadapan pasukannya yang sudah siap tempur. "Lakukan sesuai dengan perintah komandan regu masing-masing. Pasukan yang bertugas di pos barat tidak boleh pergi ke pos timur atau selatan. Demikian pula sebaliknya!"

"Bagaimana kalau ada pasukan musuh memanjat tebing benteng?" tanya Pali Manakaho, jagoan Pedalaman Kodi Bokol yang terkenal karena parang sekitarnya yang bernama Wawarongu itu.

"Pergunakan ali-ali atau anak panah untuk menghambatnya," sahut Wonakaka singkat. "Kalau memang sudah terlalu dekat, gunakanlah tombak berkali!"

"Baik! kata Pati Manakaho menurut. "Akan tetapi, izinkanlah aku  keluar benteng untuk mengambil senjata mereka apabila sudah ada serdadu Belanda yang tewas!"

"Apabila keadaannya memang memungkinkan dan aman saya persilakan Paman melakukannya!" sahut Wonakaka sambil menganggukkan kepalanya. Hatinya bangga bukan main melihat keberanian dan semangat Pati Manakaho, "Jangan korbankan nyawa hanya demi merampas senjata api itu!"

"Baik!"

Malam itu Wonakaka memerintahkan pasukannya untuk beristirahat. Beberapa orang disuruhnya berjaga-jaga. Namun, mata para anggota pasukan ini tetap saja sulit terpejam, apalagi tertidur lelap. Hati mereka sangat gelisah. Ada rasa ketakukan dan ketidaksabaran menunggu hari esok, saat mereka harus bertempur dengan pasukan musuh.

Pagi pun tiba. Pukul 04.00. Wonakaka sudah membangunkan pasukannya. Sementara itu, pada saat yang bersamaan. Dykman juga mulai menggerakkan pasukannya menuju Gunung Kawango.

Bagi pasukan Wonakaka yang menunggu, waktu berjalan terlalu lambat rasanya. Kecemasan dan katakutan silih berganti berkecamuk dalam hati masing-masing orang. Ketika matahari mulai menyembulkan wajahnya di ufuk timur, pasukan jaga mulai melihat titik-titik bergerak di kejauhan. Itulah pasukan musuh yang dinanti-nantikan. Segera Wonakaka berjalan berkeliling untuk memberikan semangat terakhir kepada anak buahnya. Satu per satu pundak anggota pasukannya yang berjumlah ratusan orang itu ditepuk. Kedekatan Wonakaka sebagai komandan pasukan berhasil membangkitkan semangat pemuda-pemuda yang masih polos dan belum berpengalaman dalam hal berperang dan membunuh musuh. Dengan demikian, semangat dan kegembiraan merambah jiwa setiap orang. Dengan gagahnya, dan dengan dua pucuk senjata api yang menggantung di batu kanan-kirinya, Wonakaka terus berjalan berkeliling sambil meneriakkan kata-kata pemompa semangat.

Perlahan namun pasti, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Komandan Dykman semakin mendekat. Kelihaian dan kelicikan komandan itu terlihat, di mana di jajaran terdepan berbaris orang-orang Kodi pribumi. Agaknya mereka telah dipaksa untuk bekerja sama. Orang-orang ini bertugas menjadi penunjuk jalan. Sebenarnya, di antara orang-orang pribumi yang dipaksa itu terdapat orang-orang yang memang menjual diri kepada Belanda. Mereka rela menjadi mata-mata Belanda untuk mengkhianati perjuangan bangsanya sendiri.

Ketika tiba di kaki gunung, tiba-tiba salah seorang penunjuk  jalan itu mengangkat tangan kanannya. Serentak seluruh pasukan berhenti.

"Komandan, aku melihat adanya keanehan di sini!" jelasnya kepada Dykman.

"Apa itu? Cepat katakan!" desak Dykman dengan angkuhnya sikap Jumawa.

"Mengapa lereng gunung tiba-tiba menjadi bersih bagaikan ladang yang siap ditanami?" gumam petunjuk jalan itu.

"Apa apa rupanya?" desak Dykman.

"Aku sudah biasa melewati daerah ini!" lanjut si penunjuk jalan. Tidak ada orang yang mau mengolah lereng gunung ini menjadi ladang atau huma."

"Jadi?" desak Dykman yang sudah mulai melunakan kata-katanya.

"Rasanya ini adalah taktik yang dibuat Wonakaka," lanjut si penunjuk jalan. "Akan tetapi, taktik apa yang tengah mereka jalankan untuk menghadapi kita ini, aku sendiri pun tidak tahu!"

Komandan Dykman diam. Dahinya berkerut. Tampaknya ia tengah berpikir keras. Cukup lama ia mengelus-elus janggutnya yang lebat itu. Akhirnya, ia pun berkata. "Kalau demikian, biarlah pasukan berhenti sampai di sini!"

Ia lalu memanggil para pembantu terdekatnya.

"Bagilah pasukan menjadi empat kelompok!" perintahnya kemudian. "Setiap kelompok bertanggung jawab pada lereng yang berada di depannya. Jangan pernah mencoba naik sebelum kuberikan aba-aba. Hujanilah benteng dengan peluru sampai mereka menyerah!"

Perintah Dykman segera dijalankan. Semua anggota pasukan siap di tempat masing-masing. Ketika Dykman melepaskan peluru pertamanya, segera saja terdengar rentetan letusan dari ratusan pucuk senjata api.

Dari dalam benteng. Wonakaka tersenyum melihat ulat pasukan musuh. Ia sengaja menunggu hujan peluru mereda, sementara matanya dengan tajam mengamati tingkah laku pasukan musuh. Setelah beberapa lama kemudian tidak terdengar tembakan  balasan dari dalam benteng, satu per satu anggota pasukan Dykman menurunkan senjata apinya. Ada pula yang sibuk mengisi senapannya dengan peluru-peluru yang tersedia. Melihat hal ini, Wonakaka yang memang sudah siap dengan senjata apinya segera melepaskan tembakan. Di sampingnya, Pati Manakaho juga membidikkan senjata apinya. Satu peluru ditembakkan dan satu jiwa pasukan musuh pun melayang. Kedua orang tersebut membidik secara hati-hati dan tepat. Mereka tidak ingin menghabiskan peluru secara percuma. Satu letusan harus dibarengi dengan satu kematian di pihak musuh.

Ketika melihat pasukannya satu per satu terkulai ke tanah dengan lubang peluru menganga di tubuhnya. Komandan Dykman mulai jengkel. Ia segera memerintahkan untuk kembali menghujani benteng dengan ribuan peluru. Ia juga memerintahkan beberapa orang anggota pasukannya untuk kembali ke markas guna mengambil persediaan amunisi.

Hal  seperti ini berlangsung terus-menerus selama lima hari. Tidak terbayangkan berapa ribu butir peluru harus dihamburkan oleh pasukan Belanda. Pada hari kelima, karena jengkel dan putus asa. Komandan Dykman memerintahkan beberapa anggota pasukannya untuk memanjat pohon-pohon dan menembak dari ketinggalan ke dalam benteng. Maksudnya adalah agar orang-orang itu dapat melihat pasukan Wonakaka yang berlindung di dalam benteng sehingga dengan demikian dapat membidiknya secara cepat.

Wonakaka menganggukkan kepalanya ketika melihat puluhan serdadu Belanda memanjat pepohonan itu. Itulah yang ia harapkan ketika memerintahkan pasukannya untuk menyisakan beberapa pohon besar agar tidak ditebang. Ia terus menunggu sampai semuanya berada di atas dahan. Namun, sementara itu, ia pun terus membidikkan senjata apinya serta memerintahkan anak buahnya untuk membidik dengan masing-masing ali-alinya.

Ketika serdadu-serdadu yang sudah berada di atas mulai bersiap menembak. Wonakaka segera mendahului. Kepiawaiannya menembak sudah tidak perlu diragukan lagu. Justru kelihatannya dalam menembak jitu inilah yang menyebabkannya dipercaya menjadi komandan. Satu per satu serdadu Belanda yang dibidiknya  jatuh ke tanah. Sementara itu, ali-ali yang dilepaskan oleh pasukannya pun banyak yang mengenai sasaran. Perlahan-lahan namun  pasti, semua serdadu Belanda yang berada di atas pohon berguguran ke tanah. Melihat keadaan itu, Komandan Dykman segera memerintahkan yang lain untuk tidak memanjat.

Komandan Dykman kebingungan dan putus asa. Puluhan anggota pasukannya menjadi mayat. Jumlah pasukan yang masih tersisa tinggal sedikit. Oleh sebab itu, ia lalu menunda pertempuran. Ia memerintahkan pasukan yang masih tersisa untuk berjaga-jaga saja sambil menantikan datangnya balabantuan yang dimintanya dari daerah lain.

Wonakaka tidak berani memerintahkan pasukannya untuk keluar benteng dan menyerang mereka. Ia mengira bahwa jumlah pasukan Dykman masih sangat banyak. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Dykman tengah manantikan balabantuan.

Beberapa hari kemudian, balabantuan yang dipesan Dykman datang dan dia segera memerintahkan untuk menyerang kembali. Menyadari kalau dirinya kalah cepat. Wonakaka menggunakan taktik mengendorkan balasan. Sengaja ia tidak membalas satu pun tembakan pasukan Belanda. Dykman yang congkak itu merasa  bahwa pasukan Wonakaka tinggal menanti saat-saat kehancuran saja. Oleh sebab itu, ia segera memerintahkan pasukannya mendaki tebing untuk mendekati benteng. Melihat hal itu, Wonakaka memerintahkan pasukannya  untuk siap-siap memotong tali rotan yang mengikat gelondongan-gelondongan kayu yang berserakan di atas tebing.

Ketika pasukan Belanda semakin merambat naik, Wonakaka segera memerintahkan pasukannya meretas tali-tali rotan. Segera saja terjadi kegemparan sewaktu gelondongan kayu yang berserakan itu menggelinding ke bawah dengan cepat. Tak terelakkan lagi, puluhan orang segera menjadi korban. Gelondongan kayu yang besar, panjang, dan jumlahnya banyak itu terus menggelinding ke bawah untuk menggilas orang-orang yang tidak sempat menghindar lagi. Puluhan orang tewas seketika. Mereka yang masih hidup sibuk melarikan diri. Yang lolos dari himpitan kayu-kayu itu segera berhamburan ke daerah yang terbuka. Akan tetapi, di sana lubang-lubang ranjau siap melahap tubuh-tubuh mereka. Satu per satu ranjau itu mendapatkan mangsanya. Ada pula satu lubang yang mendapat dua atau tiga orang sekaligus.

Menyaksikan kepanikan yang dialami oleh serdadu Belanda itu. Wonakaka segera memerintahkan pasukannya untuk melepaskan hujan ali-ali. Semakin banyak saja korban berjatuhan di pihak Belanda.

Komandan Dykman yang menyaksikan dari kejauhan hanya bisa menahan napas kecewa dan marah. Namun, ia tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Masih ada sisa pasukan yang bisa lolos dan selamat pun sudah sangat bagus. Pada saat itu pula ada beberapa orang serdadu Dykman yang bisa lolos dan langsung menuju ke benteng. Mereka seolah-olah dibiarkan saja oleh Wonakaka. Baru ketika mereka mulai memanjat benteng, tombak-tombak berkait dengan sigap menyambut tubuh-tubuh yang sebenarnya sudah letih itu.

Pati Manakaho yang sejak awal sudah meminta izin kepada Wonakaka untuk keluar benteng guna merampas senjata api milik pasukan Belanda segera melihat kesehatan emas ini. Ketika tubuh-tubuh pasukan Belanda itu terjatuh ke bawah, ia dan salah seorang temannya segera menghambur keluar benteng dan berusaha mendekati mayat-mayat serdadu Belanda itu tanpa melihat ke kanan dan ke kiri. Belum sempat ia mencapai sasarannya, dua kali letusan senjata api terdengar dari arah bawah. Berikutnya, tubuh Pati Manakaho dan temannya langsung tersungkur ke tanah. Wonakaka yang menyaksikan dari dalam benteng hanya tertegun tanpa bisa berbuat apa-apa. Juga teman-temannya yang lain. Salah seorang teman terbaik mereka telah gugur. Keinginannya untuk mendapatkan senjata api agar teman-temannya bisa berjuang lebih hebat lagi ternyata harus ditebus dengan nyawanya.

"Selamat jalan, Pati Manakaho!" ucap Wonakaka dalam hati. Matanya sedikit berkaca-kaca. Orang itulah yang dengan gagah berani telah memulai perang terhadap Belanda.

Pasukan Belanda mengalami kerugian yang tidak terbilang lagi. Ratusan pasukannya terbunuh sia-sia, sementara di pihak Wonakaka hanya dua orang   korban saja. Komandan Dykman segera memerintahkan sisa pasukannya untuk menarik diri dan  kembali ke markasnya di Kodi Bongkol. Dengan demikian, peperangan di Kuwango Wula usai sudah. Kemenangan yang di dapat oleh Wonakaka dan pasukannya terasa menyejukkan dan memberi harapan baru.


9. Tidak Pernah Belajar dari Pengalaman

Memakan waktu cukup lama bagi Dykman untuk memulihkan kekuatan setelah kehancuran pasukannya di Kawango Wula. Sementara itu, Wonakaka pun tidak mengurangi kewaspadaannya. Kemenangan yang diperoleh pasukannya tidak membuatnya terlena. Ia menyadari bahwa betapapun juga pasukan Belanda tidak dapat diremehkan. Di daerah-daerah lain di luar Kodi, pasukan yang tidak terlibat pertempuran dengan rakyat setempat pasti siap dikirim ke Kodi untuk memperkuat pasukan Dykman.

Selama satu bulan penuh semenjak kekalahan di Kawango Wula, Komandan Dykman lebih menyibukkan diri di kamar kerjanya. Ia memang tengah menantikan bala bantuan yang dimintanya dari Residen Timor. Selama masa penantian ini. Dykman tidak memperbolehkan pasukannya berpatroli di daerah-daerah yang dianggap telah dikuasai oleh musuh. Ia marasa yakin bahwa setelah memperoleh kemenangan, pasukan Wonakaka memperoleh tambahan semangat sehingga akan semakin berani mengganggu pasukannya. Selama itu pula Dykman memeras otak untuk menemukan cara menaklukan pasukan Wonakaka yang masih bertahan di benteng Kawango Wula.

Setelah berulang kali menimbang berbagai cara yang muncul di benaknya, akhirnya Dykman memilih satu cara yang dianggapnya terbaik. Ia memutuskan untuk mengulangi cara yang telah ditempuhnya sewaktu menghancurkan pasukan Wonakaka di benteng Wikut Ndimu. Ia akan memaksa beberapa orang untuk membawa mercon dan melepaskannya ke dalam benteng. Orang-orang yang dapat melaksanakan tugas ini harus dipilih orang yang benar-benar masih ingin hidup. Apabila orang-orang tersebut tidak menghargai hidup masing-masing, maka celakalah Dykman. Orang-orang tersebut tidak akan berusaha menemukan jalan  yang aman dan terbebas dari jebakan yang bertebaran di lereng gunung. Setelah menimbang-nimbang dari segala segi, akhirnya Dykman memutuskan untuk menangkap bangsawan Kodi ternama yang bernama Beru Bokol. Bangsawan ini sangat kaya. Setelah disiksa, Dykman memaksanya untuk melaksanakan tugasnya, yakni mendekati benteng dan melemparkan onggokan mercon ke dalamnya.

"Kamu orang harus bisa melaksanakan tugas  ini dengan baik!" kata Dykman dengan pongahnya kepada Beru Bokol. Jari-jemari tangan kanannya yang mengepit sebuah cerutu separo nyala menunjuk muka bangsawan Kodi itu. Ini adalah penghinaan yang luar biasa. "Kamu orang harus  bisa mencari jalan yang aman agar bisa mendekati benteng. Ingat, jebakan yang penuh dengan ranjau dari kayu dan bambu yang runcing itu akan menyiksamu apabila engkau terperosok ke dalam lubang-lubang itu!"

Beru Bokol sudah mendengar perangkap yang dipasang oleh pasukan Wonakaka itu. Ratusan pasukan Belanda telah menjadi korban. Membayangkan hal itu, hatinya bergidik ngeri. Sejenak ia membayangkannya tubuhnya tertancap pada bambu runcing atau kayu-kayu yang di pasang kokoh di dasar lubang.

Beru Bokol memandang Dykman dengan pandangan penuh kebencian dan kemarahan. Rupanya Dykman pun menyadari hal itu. Ia mendekati Beru Bokol sambil mengancam, "Apabila engkau ingin mati konyol, lakukanlah apa yang menurutmu baik, yakni terperangkap ke dalam lubang atau menyerahkan diri kepada Wonakaka.

Dykman berhenti sebentar untuk melihat reaksi Beru Bokol. Kemudian ia melanjutkan, "Kalau hal itu kamu lakukan, segera istri dan anak-anakmu akan kukirim ke neraka. Aku akan menyuruh menangkap dan menyiksa mereka sampai mati."

Beru Bokol kembali bergidik mendengar ancaman itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa Dykman yang sudah terkenal kejam dan beringas itu pasti akan mampu melaksanakan ancaman. Matanya sejenak membayangkan anak-istrinya yang berteriak-teriak kesakitan disiksa oleh serdadu-serdadu Belanda. Tubuhnya bergidik dan bulu romanya berdiri.

"Lagi pula," lanjut Dykman yang tahu bahwa ancamannya sudah membuat Beru Bokol ketakutan, "pasukanku akan mengawasi dari bawah. Apabila kamu menyerahkan diri kepada pasukan Wonakaka, saat itu pula pasukanku akan menghabisi nyawamu.

Beru Bokol diam saja tak berkutik. Ia tidak berdaya sama sekali menghadapi pemaksaan Dykman.

"Nah, bersiaplah agar besok, pagi-pagi benar, kamu sudah bisa berangkat!" kata Dykman akhirnya.

Dykman segera menyuruh anak buahnya mempersiapkan mercon serta mencari orang-orang tahanan yang bertubuh kuat untuk menemani Beru Bokol.

Beberapa hari sebelumnya, serdadu-serdadu Belanda yang diminta oleh Dykman sudah mulai berdatangan sehingga Dykman merasa mantap untuk melaksanakan rencananya.

Setelah selama satu bulan lebih tidak terjadi pertempuran, pada suatu hari, lewat tengah malam, Dykman memberangkatkan pasukannya secara diam-diam menuju benteng Wonakaka di Gunung Kowango Wula. Pasukan yang jumlahnya ratusan orang menapak dengan diam-diam di tengah kegelapan. Tidak ada obor yang memandu barisan itu, sehingga petugas-petugas jaga yang dipasang oleh Wonakaka di segala penjuru pun tidak mampu menangkap gerakan itu. Pukul 03.00 dinihari, pasukan itu telah tiba di kaki gunung. Dykman segera memerintahkan pasukannya untuk menyebar ke segala sisi. Sementara itu, ia pun dengan cermat mengamati orang-orangnya mengikatkan untaian mercon pada tubuh Beru Bokol dan beberapa orang hukuman yang ditugaskan menembus perbentengan.

"Lakukan tugasmu dengan baik!" pesan Dykman kepada Beru Bokol yang memandangannya penuh kebencian dan kemarahan namun tidak mampu berbuat apa-apa itu. "Tentu kamu masih ingin anak-anak dan istrimu selamat, bukan? Nah, jangan coba-coba untuk tidak menaati perintahku!"

Dykman juga memerintahkan anak buahnya untuk membidikkan laras senjata api masing-masing ke arah kelompok yang akan mendaki tebing itu.

"Tembakanlah segera apabila kalian melihat bahwa mereka berupaya mengkhianati kita!" perintah Dykman.

Sebelum menyuruh kelompok tawanan yang dipimpin oleh bangsawan Beru Bokol itu, sekali lagi Dykman memberi pesan, "Jangan biarkan tubuh kalian terperangkap ke dalam lubang-lubang maut. Sekali tubuhmu terperosok ke dalamnya, tubuhmu akan disate oleh bambu runcing dan pancang-pancang kayu runcing yang ditanam di dasarnya. Apabila engkau tidak langsung mati, maka penderitaanmu akan berkepanjangan. Tentunya hal ini tidak kalian inginkan, bukan? Nah, maju!"

Dengan memendam perasaan jengkel, marah, dan benci Beni Bokol melangkahkan kakinya diikuti oleh beberapa orang tawanan yang bernasib serupa. Tubuh mereka  dipenuhi untaian mercon. Selain itu, masing-masing juga membawa ribuan buah mercon yang harus dibakar dan kemudian dilemparkan ke dalam benteng.

Rombongan tawanan itu terus merangkak ke atas dengan diam-diam dan hati-hati. Dykman dan pasukannya mengawasi dari bawah dengan penuh ketegangan. Justru yang tidak kalah tegang dan cemasnya adalah Beru Bokol dan rombongannya. Mereka harus hati-hati benar menginjakkan kakinya ke tanah. Salah melangkah berarti terperosok ke dalam lubang jebakan. Masuk ke dalam lubang jebakan berarti maut. Itulah yang tidak mereka kehendaki. Sebagai manusia biasa, mereka memiliki naluri untuk bertahan hidup. Jelasnya, mereka tidak mau mati konyol.

Setelah saat-saat yang sangat mencekam, Beru Bokol dan rombongannya selamat tiba di benteng. Sesuai dengan rencana dan perintah Dykman, Beru Bokol segera menyuruh yang lain-lain untuk segera menyebar. Dalam kegelapan pagi itu Dykman dapat mengawasi tingkah laku mereka. Ketika dirasa saatnya telah tepat, Dykman menembakkan senjata apinya ke arah benteng. Saat itu adalah pukul 04.00 pagi. Letusan senjata api Dykman merupakan aba-aba bagi Beru Bokol untuk segera menyalahkan sumbu-sumbu mercon. Mercon yang sudah menyala lalu dilemparkan ke dalam benteng. Dalam waktu sekejap rentetan letusan mercon memecah kesunyian pagi. Bunyi letusan yang berendeng dan tidak berkesudahan di segala penjuru benteng cukup membuat pasukan Wonakaka yang masih tidur untuk kaget dan kemudian kebingungan.

Segera saja terjadi kegaduha di dalam benteng itu. Wonakaka tidak pernah memperhitungkan adanya serangan dari pihak Belanda pada jam-jam seperti itu. Ia  sama sekali telah melupakan peristiwa Wikut Ndimu. Pada saat itu serangan mercon sudah cukup membuyarkan pasukannya. Kali ini pun ia tidak menyadari bahwa rentetan letusan itu sebenarnya hanya letusan mercon saja. Pasukannya yang tengah tidur menjadi terbangun. Ketika melihat letusan yang menimbulkan api dan asap, mereka menjadi ketakutan. Yang mereka pikirkan adalah lari menyelamatkan diri.

Pintu rahasia di sebelah timur segera dibuka, dan pasukan yang berada di dekatnya segera berhamburan keluar menyelamatkan diri dalam kegelapan. Saling tabrak dan saling injak menjadikan keadaan semakin tidak menentu. Wonakaka dan para pembantu terdekatnya tidak kuasa melakukan apa-apa. Masing-masing hanya diam terpaku menyaksikan anak buahnya kocar-kocir dan berhamburan keluar benteng untuk menyelamatkan diri. Tidak lama kemudian, benteng telah menjadi sepi. Wonakaka dan beberapa orang temannya baru tersadar bahwa hanya tinggallah mereka yang berada di dalam benteng. Sementara itu, letusan senjata mercon masih terdengar di mana-mana. Bahkan kali ini ini letusan senjata api mulai merangsak. Komandan Dykman sudah mulai mengadakan penyerbuan. Menyadari hari ini Wonakaka segera mengajak teman-temannya untuk lari.

Komandan Dykman tersenyum puas. Rencananya berjalan lancar. Dendamnya sedikit terbayar meskipun sebenarnya sama sekali tidak seimbang. Ratusan anak buahnya, satu bulan sebelumnya, telah dibantai oleh pasukan Wonakaka. Kali ini ternyata ia hanya berhasil mengkocar-kacirkan anak buah Wonakaka tanpa berhasil membunuh satu orang pun. Namun demikian, kemenangan ini cukup memberikan hiburan segar baginya.

Di pihak lain. Wonakaka yang bersembunyi tidak jauh dari benteng itu hanya bisa memandang bekas markas dengan perasaan pedih. Ternyata ia dan pasukannya telah tertipu oleh mercon saja. Matanya tajam mengamati gerak-gerik Dykman dan pasukannya yang mengobrak-abrik benteng dan membongkar barang-barang yang tidak sempat di bawa pasukannya. Hatinya benar-benar geram. Ingin rasanya ia menyerbu mereka. Namun, tidak seorang pun anak buahnya berada di tempat itu. Semuanya terpencar entah ke mana.

"Harus kubalas peristiwa ini!" gumam Wonakaka sambil mengepalkan tinjunnya.


10. Mengubah Siasat Perjuangan

Setelah peristiwa pengusiran dari benteng Kawango Wula, itu, Wonakaka memerlukan waktu berhari-hari untuk dapat mengumpulkan dan menghimpun kembali pasukannya.

"Aku harus mencari jalan lain agar bisa menghancurkan pasukan Dykman!" katanya di depan anak buahnya. "Sudah dua kali kita terkecoh oleh bunyi letusan mercon saja. Telah dua kali kita tercerai berai secara memalukan!"

"Apakah engkau sudah memiliki rencana lain?" tanya Haghu Dari.

"Kita harus memetik pelajaran dari pengalaman kita yang kurang menyenangkan itu!" sahut Wonakaka. "Pertama, pasukan kita ternyata bisa dikelabuhi hanya oleh letusan mercon saja. Kedua, ternyata kalau kita hanya bertahan di dalam benteng saja, dengan mudahnya pasukan Belanda dapat menyerang kita."

"Lalu.....?" desak Haghu Dari lagi.

"Sebaiknya kita tidak usah membangun benteng pertahanan!" sahut Wonakaka tegas. "Di dalam benteng kita pun tidak bisa berperang secara leluasa. Kita hanya menjadi sasaran penyerangan saja!"

"Engkau benar!" potong Mali Gheda.

"Lalu....apakah kita akan berperang di tempat yang terbuka?" pancing Pako Labire.

"Tentu saja tidak, Kawan!" sahut Wonakaka. "Perang di tempat terbuka berarti bencana bagi kita semua. Senjata yang kita miliki hanya cocok untuk pertempuran jarak dekat atau perkelahian satu lawan satu. Sebaliknya, pertempuran di tempat terbuka justru menguntungkan pihak Belanda. Senjata api dan pelurunya yang bisa ditembakkan dari jarak jauh itu akan dengan mudah diarahkan ke tubuh-tubuh kita."

"Lalu....?" desak Pako Labire yang tampaknya belum bisa menerka maksud pemimpinnya.

"Kita akan melancarkan perang gerilya! sahut Wonakaka mantap. Dari Pati Manakaho dan tetua lainnya yang biasa bergaul dengan Raden Notolaksono, Wonakaka mendengar siasat perang gerilya ini. Pangerang Diponegora dan para pahlawan perang lainnya sering menggunakan siasat ini.

"Maksudmu...?" tanya Pako Labire yang belum pernah mendengar, apalagi mengetahui, kata gerilya yang diucapkan oleh Wonakaka itu.

"Ya, kita akan menyerang mereka, kemudian melarikan diri," sahut Wonakaka. "Kalau memungkinkan serangan akan kita adalah pada malam hari. Namun, yang penting kita baru akan menyerang apabila musuh sedang dalam keadaan tidak siaga."

"Jadi, seperti pencegatan-pencegatan terhadap patroli Belanda yang sudah kita lakukan pertama kali kita mulai pertempuran ini?" pancing Haghu Dari.

"Itu adalah salah satunya!" tukas Wonakaka sambil memandang sekelilingnya. "Yang lebih utama, kita akan menyerang markas mereka secara langsung. Saat itulah kita akan mengobrak-abrik mereka dan membuat kerusakan sebanyak mungkin, lalu kita melarikan diri secepatnya.

"Kalau pasukan musuh mengejar kita?" tanya Haghu Dari.

"Kita akan bersembunyi!" sahut Wonakaka. "Saat mereka lengan kembali, kita akan menyerang!"

"Bagus!" kata Haghu Dari dan yang lain-lain.

Tahun 1912.

Sudah empat tahun Belanda bercokol di Kodi sejak kedatangan mereka pertama kali pada tahun 1908 untuk membuat perjanjian persahabatan.

Dalam upaya mengejar pasukan Wonakaka yang selalu berpindah-pindah tempat, Komandan Dykman membangun markasnya di Laba Padu. Sementara itu. Wonakaka pun sudah mengincar mereka. Mata-mata yang disebarkan selalu melaporkan setiap kegiatan pasukan Dykman. Pada saat pasukan Dykman membangun markas di Laba Padu, Wonakaka sudah pula mempersiapkan penyerangan.

Wonakaka ingin membahas kekalahannya. Pasukan Belanda selalu menyerangnya pada pagi hari. Wonakaka juga  ingin melakukan hal serupa. Pada suatu hari, pasukannya bergerak diam-diam dari tempat persembunyiannya menuju perkemahan pasukan Belanda. Tepat pukul 05.00 pagi, secara cepat pasukannya  dikerahkan untuk menggempur perkemahan. Serangan ini tentu saja tidak pernah di duga sebelumnya oleh Komandan Dykman dan pasukannya. Dalam waktu singkat puluhan anggota pasukan musuh terbantai. Dykman sendiri berhasil lolos.

Sehabis melancarkan serangan kilat itu, Wonakaka lalu menarik pasukannya untuk melarikan diri.

Setelah hilang rasa kaget dan kebingungannya, pasukan Dykman lalu melakukan pengejaran, pasukannya dibagi menjadi beberapa kelompok. Mereka masih bisa melacak jejak pasukan Wonakaka.

Setelah semalam penuh merasakan ketegangan serta lelah berperang pada pagi harinya, pasukan Wonakaka merasa kelaparan. Mereka memutuskan untuk mencari makanan. Di sebuah desa, mereka meminta satu ekor kerbau jantan dan beberapa blik padi. Mereka segera menyembelih kerbau yang tambun itu. Belum lagi mereka sempat memasaknya, tiba-tiba mata-mata yang disuruh berjaga datang tergopoh-gopoh dan melaporkan bahwa pasukan Belanda tengah mendatangi mereka. Wonakaka lalu menyuruh orang-orangnya untuk melarikan diri.

Ternyata kedatangan mata-mata itu terlambat. Sebelum pasukan Wonakaka sempat beranjak, mereka sudah dihujani oleh peluru-peluru panas. Sementara pasukannya tersebar menyelamatkan  jiwa masing-masing. Wonakaka menggandeng tangan istrinya untuk bersembunyi. Istri yang berjiwa patriot ini agaknya tidak cukup kuat untuk melarikan diri. Tubuhnya tertembak dari belakang, di jalan antara Kampung Bila dan Paoreconggo. Terkulainya tubuh istri yang dicintainya ini membuat semangat Wonakaka hancur. Istrinyalah yang selama ini membantunya memerangi Belanda dengan senjata api. Karena hanya dia dan istrinyalah yang mahir menggunakan senjata api.

Wonakaka terperangah dan termangu melihat istrinya terkulai. Punggungnya dipenuhi darah. Melihat hal itu, beberapa orang anak buah Wanakaka segera menyambar tubuh Wonakaka untuk diajak lari, sementara yang lain segera menggotong mayat istrinya.

Wonakaka memang berhasil lolos, akan tetapi, kematian istrinya sangat memukul hatinya. Rasanya ia tidak ingin melanjutkan perjuangannya lagi. Rasanya ia ingin mati bersama dengan istri tercintanya. Semangat Wonakaka patah dan agaknya tidak tersembuhkan lagi. Inilah yang mungkin menjadi awal kehancurannya.

Selama berbulan-bulan sesudah peristiwa itu, Wonakaka dan pasukannya berkabung. Peperangan terhenti dengan sendirinya.
Kendatipun peperangan besar tidak lagi terjadi karena Wonakaka memang mengurangi kegiatannya, pasukannya secara sendiri-sendiri masih tetap mengusik patroli Belanda. Setiap kali melakukan pencegatan, ada saja satu atau dua orang serdadu Belanda yang berhasil ditewaskan. Inilah yang menyebabkan Belanda terus memburu Wonakaka. Menyadari dirinya selalu dicari-cari. Wonakaka pun selalu berpindah-pindah tempat.


11. Pertahanan Rambo Manu

Tahun 1913

Tahun ini adalah tahun ketiga perjuangan Wonakaka melawan penjajah Belanda.

Wonakaka cukup cerdik untuk menghindari segala upaya penangkapan yang digencarkan oleh pihak Belanda. Setelah cukup lama pasukannya tidak bergerak secara terang-terangan, Wonakaka memutuskan untuk memulai lagi serangan baru. Ia menghimpun kembali pasukannya. Siasat perang gerilya yang dilancarkan, dan yang dianggap paling tepat untuk menghadapi pasukan Belanda, justru membuatnya khawatir. Kematian istri tercintanya pada saat melarikan diri setelah melancarkan serbuan ke markas Belanda di Laba Padu tidak pernah terlupakan.

Wonakaka memutuskan untuk membuat sebuah benteng pertahan di Rambo Manu. Di dalam benteng itulah ia dan pasukannya bertahan. Di puncak gunung ini pasukan Wonakaka membangun benteng yang amat kuat sehingga upaya pasukan Belanda untuk menyerbu masuk selalu dapat digagalkan.

Wonakaka memerintahkan pasukannya untuk tidak keluar dari benteng, kecuali untuk keperluan mencari makanan dan minuman. Selain itu, ia juga memerintahkan pasukannya untuk membalas serangan pasukan Belanda hanya dari dalam benteng saja.

Di pihak pasukan Belanda. Dykman digantikan oleh Letnan Baarrensen. Tugas Letnan Baarrensen pun sama yaitu, menangkap Wonakaka dan memandamkan pemberontakan rakyat Kodi. Sewaktu memulai tugasnya, ia banyak belajar dari pengalaman dan kegagalan pendahulunya, Dykman, dalam upaya menggempur pasukan Wonakaka.

Ketika berbagai upaya untuk menaklukkan pasukan Wonakaka yang bertahan di benteng Rambo Manu selalu saja menemui kegagalan. Letnan Baarrensen menggunakan siasaat lain.

"Kita harus mengepung benteng itu sepanjang waktu tanpa henti-hentinya!" kata Letnan Baarrensen kepada para pembantunya. "Selama ini kita hanya datang, menyerang, dan pulang kembali ke markas tanpa hasil apa pun."

"Apakah kita harus memindahkan markas kita ke dekat benteng Rambo Manu itu?" pancing salah seorang pembantunya yang sudah sangat hapal keadaan daerah Kodi.

"Ya!" sahut Letnan Baarrensen pendek. Kita harus membangun perkemahan di kaki gunung itu dan mengepung Wonakaka siang dan malam.

"Jangan biarkan ada orang keluar-masuk benteng itu!" perintahnya kepada anak buah. "Aku ingin lihat sampai berapa lama mereka bisa bertahan di dalam benteng. Kalaupun mereka sudah menimbun bahan makanan dan air, pasti itu pun akan habis pula. Mereka lama-kelamaan akan kehabisan bahan makanan dan akhirnya akan keluar dari benteng."

"Berarti mereka menyerah, bukan?" potong salah seorang pembantu terdekatnya, "Tidak selalu begitu!" sahut Letnan Baarrensen cepat. "Akan ada dua cara yang ditempuh oleh kelompok orang-orang yang kelaparan. Pertama, mereka memang akan keluar dan menyerah. Yang kedua, mereka justru akan menyerang kita secara membabi buta demi mengalahkan kita untuk memperoleh bahan makanan. Nah, kemungkinan  yang kedua inilah yang harus kita waspadai!"

"Kalaupun mereka menyerang kita, seberapakah kekuatan orang yang kelaparan?" gumam serdadu Belanda yang sudah lama menjadi pembantu Dykman, namun tidak juga mampu mengalahkan pasukan Wonakaka.

"Jangan takabur!" potong Letnan Baarrensen berang. "Kita tidak boleh terlalu meyakinkan diri. Bagaimana kita bisa tahu bahwa mereka sudah berhari-hari tidak makan? Bagaimana kita bisa tahu seberapa banyak timbunan bahan makanan yang ada di dalam benteng itu? Buktinya, sudah lebih dari dua minggu kita mengepung mereka, tidak juga mereka mau keluar!"

"Maaf!" sahut si serdadu. "Akan tetapi, seberapa banyak bahan makanan yang dapat mereka peroleh dari penduduk di sekita sini? Letnan dapat melihat sendiri penduduk yang kelaparan karena tidak ada panen lagi.....!"

"Atau karena semua hasil panen harus diserahkan kepada kita?" potong Letnan Baarrensen sambil tertawa hambar.

Serdadu Belanda yang berpangkat kopral itu tertawa tertawa terbahak-bahak.

Letnan Baarresen adalah seorang prajurit murni. Ia hanya bertugas memerangi pemberontak. Ia bukannya Dykman yang sebelumnya menjadi komandan pasukan sekaligus penguasa Belanda di daerah Kodi. Ia lain dari Dykman yang sebagai petugas pemerintah mendapatkan beban untuk mengeduk harta kekayaan penduduk. Mendengar penjelasan pembantunya itu, Letnan Baarrensen terdiam. Di depan matanya mendadak berlintasan sosok-sosok kurus kering bocah-bocah Kodi yang tidak berbaju dan kelaparan. Berlintasan pula di depan matanya sosok-sosok petani yang bekerja keras di bawah terik matahari sementara hasil panen tidak pernah bisa dinikmatinya. Letnan ini mengeluh dalam hati, namun sebagai seorang prajurit, ia harus menutup mata dan perasaan demi tugas yang diembannya.

"Terserah kamu mau bicara apa, yang jelas seharusnya kita jangan pernah melecehkan kaum pribumi!" sahut Letnan Baarresen akhirnya. "Nah, engaku masih ingat bukan ketika Komandan Dykman terpaksa kehilangan beratus-ratus prajuritnya? Kamu sendiri mestinya bersyukur tidak ikut menjadi korban pasukan Wonakaka!"

Si Kopral berhenti tertawa. Dia menjadi terdiam dan kehilangan semangat untuk tertawa dan berbicara lagi.

Pengepungan terus berjalan. Di segala penjuru tersebar pasukan Belanda yang selalu siaga dengan senjata apinya masing-masing. Wonakaka mengeluh karena tidak pernah memperhitungkan tindakan pasukan musuh. Selama melakukan pengepungan, ada pasukan kecil Belanda yang bertugas mengumpulkan bahan makanan sehingga pasukan Letnan Baarrensen ini tidak pernah kelaparan. Sebaliknya, Wonakaka tidak pernah bisa menyuruh anak buahnya untuk turun gunung mencari bahan makanan. Persediaan  bahan makanan terbatas sekali, sementara jumlah orang yang makan tetap sama. Papa suatu hari, persediaan bahan makanan di dalam benteng benar-benar habis.

Wonakaka dengan tegang mengawasi kegiatan sedadu-sedadu Belanda yang mengepung bentengnya. Sementara itu, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Baarrensen ini pun merasa sudah terlalu jenuh setelah sekian lama tidak terlihat tanda-tanda penyerahan diri pasukan Wonakaka. Akan tetapi, untuk menyerang benteng pun mereka tidak berani karena hasilnya toh sia-sia saja seperti telah dicoba berulang kali. Karena jenuh, mereka pun mulai menjadi kurang waspada.

Pada suatu siang, di bawah sinar matahari yang bersinar terik, Wonakaka melihat serdadu-serdadu Belanda itu malas-malasan. Mereka berkumpul di tempat yang teduh. Banyak yang tidur-tiduran. Inilah saat yang dinanti-nantikannya.

"Kawan-kawan sekalian," katanya dengan suara yang tidak cukup lantang namun jelas terdengar oleh seluruh anggota pasukannya yang beberapa hari menahan kelaparan dan dahaga. "Inilah saat yang tepat bagi kita untuk menerobos pengepungan itu!"

"Kita akan melarikan diri saja?" tegas Mali Gheda.

"Hemm, bagaimana menurutmu?" tanya Wonakaka mencoba memancing pendapat teman-temannya.

"Menurutku," ujar Haghu Dari. "Sudah beberapa hari kita menahan kelaparan dan dahaga. Yang paling penting bagi kita saat ini adalah meloloskan diri mumpung pasukan Belanda sedang lengah!"

"Aku setuju!" potong Pako Labire. "Toh kita masih memiliki kesempatan untuk menyerang mereka lagi di lain waktu.

Wonakaka mendengarkan pendapatan teman-temannya sambil menganggukkan kepalanya. Sama sekali ia tidak mau menyela. Setelah beberapa teman dekatnya mengemukakan pendapatnya masing-masing, yang hampir semuanya setuju untuk meloloskan diri dari kepungan itu, maka Wonakaka pun mengeluarkan pendapatnya sendiri.
"Kawan-kawan," katanya perlahan. "Aku pun sangat setuju kalau kita meloloskan diri secara diam-diam. Yang penting kita bisa mencari tempat persembunyian lain! Akan tetapi, bukankah kawan-kawan semua melihat hampir semua serdadu Belanda tidur-tiduran?"

Kawan-kawannya menganggukkan kepala.

"Nah, kalau kita meloloskan diri, mereka pun tidak tahu," lanjutnya lagi. "Namun, kalau kita secara mengendap-endap mendekati mereka lalu menyerangnya secara tiba-tiba, bukankah ini cukup merepotkan mereka?"

"Maksudmu?" desak Haghu Dari.

"Karena sama-sama mengandung risiko, aku lebih memilih menempuh cara yang kedua, yakni kita menyerang pasukan Belanda yang sedang lengah itu," sahut Wonakaka. "Akan ada dua macam keuntungan yang kita peroleh. Yang pertama, kita dapat membunuh beberapa orang serdadu. Yang kedua, kita dapat merampas senjata api dan merusak persediaan bahan makanan mereka."

"Lalu kita melarikan diri?" pancing Haghu Dari lagi.

"Ya! Tentu saja kita menyerang mereka sambil lewat saja," sahut Wonakaka. "Seolah-olah kita tidak menyerang mereka secara khusus. Kita serbu secepat kilat, lalu secepat itu pula kita melarikan diri. Pasti mereka yang tidak menduga serangan ini akan kaget dan kebingunagan. Nah, kesempatan itu kita gunakan untuk melarikan diri!"

"Baiklah, aku setuju! kata Haghu Dari.

Teman-temannya yang lain juga menyetujuinya. Mereka segera berkemas. Tidak lama kemudian, sementara pasukan Belanda sedang bermalas-malasan di bawah keteduhan bayangan pepohonan, Wonakaka memimpin pasukannya mengendap-endap mendekati mereka. Serangan kilat dilancarkan. Beberapa saat kemudian terlihat mayat-mayat serdadu bergeletakan tanpa sempat berteriak atau mengaduh. Kepanikan segera melanda perkemahan itu. Masing-masing seibuk mempersiapkan diri. Akan tetapi, selagi kepanikan mereka belum menghilang. Wonakaka dan pasukannya telah lenyap. Tingga debu mengepul saja yang tampak oleh pasukan Belanda itu.

Letnan Baarrensen geram bukan main. Ia mengalami sendiri kecerdikan Wonakaka. Dan, pengalaman ini ternyata mengorbankan cukup banyak anggota pasukannya. Ia segera memerintahkan pengejaran, namun sia-sia saja. Wonakaka bagaikan lenyap ditelan bumi.

Letnan ini hanya bisa marah-marah terhadap anak buahnya yang teledor. Meskipun ia sendiri juga keenakan tertidur, anak buahnya jugalah yang terkena sasaran amarahnya.

Semenjak saat itu Wonakaka tidak mau lagi membangun benteng. Ia memutuskan untuk berpindah-pindah serta melancarkan serangan gerilya. Serangan yang pertama kali dilakukannya telah meminta korban nyawa istrinya sendiri. Pengalaman itu telah membuat jera Wonakaka. Namun, pengalaman dikepung selama berminggu-minggu oleh pasukan Belanda di benteng Rambo Manu menyebabkan ia tidak memiliki pilihan kecuali bergerilya serta berpindah-pindah tempat.

Penderitaan demi penderitaan dinikmati oleh Wonakaka dan pasukannya. Selama itu pula Wonakaka merenungkan diri sendiri. Jumlah pasukannya tidak lagi bertambah. Sudah cukup banyak pemuda Kodi gugur sebagai kesuma bangsa. Wonakaka pun tidak mengharap orang-orang tua bergabung dalam pasukannya. Namun demikian, hatinya masih puas karena penduduk masih mau melindunginya atau bahkan menyembunyikannya dari kejaran pasukan Belanda. Selain itu pula, penduduk masih secara suka rela memberikan bantuan bahan makan yang diperlukannya. Padahal, penduduk pun sebenarnya kekurangan bahan makan untuk mereka makan. Bagaimanapun juga, penduduk Kodi masih tetap bersemangat mendukung Wonakaka, meskipun akhirnya mereka hanya bisa membantu dengan doa dan harapan saja.

Dalam saat-saat keterpencilan itu, atas nasihat teman-teman terdekatnya Wonakaka berusaha menjalin hubungan dan kerja sama dengan penduduk dari daerah lain di luar Kodi.

"Aku tidak habis mengerti bahwa para pemuda dari daerah tetangga tidak mau bergabung dengan kita. Padahal, mereka pun memusuhi Belanda dan memang harus berusaha mengusir mereka dari daerah masing-masing," Wonakaka pada suatu malam di hadapan anak buahnya.

"Ya! Itulah yang kita alami saat ini!" sambung Haghu Dari. Kita berjuang sendirian padahal mereka pun sebenarnya memiliki kekuatan untuk membantu gerakan kita ini. Tidak mungkin para pemuda di daerah tetangga kita ini tidak mengetahui perjuangan kita."

"Yah, kita memang tidak bisa menyalahkan mereka!" potong Pako Labire. "Yang kita alami selama ini adalah bahwa penduduk Kodi selalu bermusuhan dengan penduduk dari daerah tetangga. Tidak jarang terjadi pencurian hewan atau perebutan tapal batas. Hal ini sudah berlangsung lama dan tidak ada upaya dari para penguasa untuk memulihkannya. Nah, mungkin apabila yang saat ini berperang dengan Belanda adalah para pemuda dari daerah Waijema, misalnya, belum tentu kita mau membantunya."

"Akankah keadaan seperti ini tetap kita biarkan saja?" tukas Wonakaka. "Sudah jelas bahwa musuh bersama kita adalah pasukan Belanda. Barangkali pemua-pemuda dari daerah lain sudah siap akan membantu kita. Namun, tanpa ada orang dari kita meminta mereka untuk bergabung, rasanya mereka belum mau melakukannya."

"Jadi...?" desak Pako Labire lagi.

"Kita akan mencobanya!" sahut Wonakaka tegas. "Gagal atau berhasil tidaklah terlalu menjadi masalah bagi kita. Apabila kita gagal, kita tidaklah terlalu menyesal telah mencoba. Kalau kita berhasil, alangkah baiknya. Persatuan antarpemuda dari daerah-daerah di Pulau Sumba ini tentu lebih menggentarkan pasukan Belanda."

"Baiklah! Aku mendukung rencanamu!" kata teman-teman Wonakaka mendukung langkah yang akan ditempuh pemimpinnya itu.

Malam itu juga Wonakaka menunjuk dua orang teman kepercayaannya untuk berangkat ke daerah swapraja Waijewa. Dua orang utusan ini langsung menuju Waimangura guna menemui salah seorang bangsawan yang menjadi tetua daerah itu.

Mali Gheda, yang istrinya dapat tertangkap oleh Letnan Baarrensen sewaktu penyerbuan kilat pasukan Wonakaka di benteng Rambo Manu, agaknya sudah terbiasa dengan daerah Waijewa. Istrinya adalah putri seorang bangsawan Waijewa yang bernama Rati Ngila Dimu Dede. Ketika Wonakaka mencari orang yang dapat membawa pesannya kepada penguasa daerah Waijewa, dengan senang hati Mali Gheda menawarkan dirinya. Kesempatan itu juga akan dimanfaatkan guna menemui mertuanya untuk melaporkan nasib yang dialami oleh istrinya.

Memang, sehabis penyerbuan kilat itu, pasukan Wonakaka lalu bergerak cepat meninggalkan daerah pertempuran. Ketika pasukan Belanda mulai mengejar, pasukan Wonakaka lari tercerai berai. Dalam kekacauan itu, istri Mali Gheda yang bernama Tenge Bolu tersesat dan tertinggal dari suami dan teman-teman lainnya. Pada saat tersesat itulah seorang serdadu Belanda berhasil menawannya. Oleh serdadu tersebut Tenge Bolu diserahkan kepada Letnan Baarrensen lalu mengambilnya menjadi gundiknya. Tentu saja  hal ini membuat marah Wonakaka dan pasukannya serta penduduk Kodi pada umumnya. Yang tidak bisa menahan dendam amarah terutama adalah Mali Gheda, suaminya.

Mali Gheda yang sudah cukup hapal dengan seluk beluk daerah Waijewa tidak menemukan kesulitan untuk segera tiba di rumah mertuanya. Di sana ia menceritakan nasib yang dialami oleh istrinya serta keinginannya untuk membalas dendam. Selain itu, ia juga menyampaikan keinginan Wonakaka untuk mengajak pemuda dari Waijewa bergabung bersama-sama guna mengusir penjajah Belanda.

Ternyata ajakan Wonakaka bagaikan gayung bersambut. Para bangsawan Waijewa yang segera mengadakan perundingan setuju untuk menjalin kerja sama. Sebenarnya, para bangsawan dan pemuda Waijewa pada umumnya juga sudah membenci Belanda yang bersimaharajalela. Mereka pun sudah mendengar perjuangan yang dilakukan oleh penduduk Kodi. Akan tetapi, entah karena apa gerakan itu beluma meluas sampai Waijewa. Oleh sebab itu, begitu mendengar ajakan Wonakaka, para bangsawan segera menunjuk dua orang pemuda yang gagah berani untuk menghimpun teman-temannya. Dua orang tersebut bernama Eda Popo dan Lelu Etu.

Setelah mendapat restu dari para tetua Waijewa, Eda Popo dan Lelu Etu segera menghimpun para pemuda pejuang untuk mulai bergerak. Mereka menghimpun para pemuda pejuang untuk mulai bergerak. Mereka mulai mengganggu patroli dan markas pasukan Belanda. Kedudukan pasukan Belanda di Waijewa terus-menerus diganggu. Banyak serdadu Belanda tewas di tangan mereka. Kedua orang pemberani dan pasukannya menggunakan siasat perang gerilya. Mereka menyerang pasukan Belanda pada malam hari, lalu menghilang dalam kegelapan.

Gerakan Edo Popo dan Lelu Etu sempat menggoyahkan Letnan Baarrensen. Pasukan Belanda yang bermarkas di Waijewa dan sering diperbantukan ke Kodi untuk menggempur Wonakaka terpaksa harus menghadapi perlawanan yang terjadi di daerahnya sendiri. Pasukan Letnan Baarrensen dengan demikian menjadi semakin terbatas.


12. Senjata Pamungkas: Tipu Muslihat

"Apabila keadaan seperti ini dibiarkan berlarut-larut, pasti seluruh Sumba akan bergolak!" gumam Letnan Baarrensen sambil memegangi dagunya yang menonjol keras, sekeras hatinya yang ditempa oleh banyak medan perang yang telah digelutinya. "Tiga tahun sudah pemberontakan Wonakaka tidak dapat ditumpas. Sekarang  gerakan perlawanan muncul di Waijewa. Kalau  kedua gerakan ini tidak segera ditumpas pasti daerah-daerah lain memiliki dorongan semangat untuk melakukan tindakan serupa."

Letnan Baarrensen memang tengah kebingungan. Pasukannya yang disebar untuk mencari dan menangkap Wonakaka selalu kembali dengan tangan hampa. Bahkan selalu saja anak buahnya berkurang satu per satu.

Setelah lama mondar-mandir di kamar kerjanya, akhirnya Letnan Baarrensen duduk di kursinya. Tangan kirinya meraih secarik kertas dari tumpukan di ujung meja sementara tangan kanannya meraih pena. Ia siap menuangkan rencananya dalam tulisan. Cukupnya lama ia menulis. Kadang-kadang ia berhenti agak lama untuk berpikir, baru kemudian mulai menulis kembali. Tidak jarang pula ia mencoret kata-kata yang sudah ditulisnya, lalu menggantinya dengan kata-kata baru.

Hampir mendekati tengah malam. Letnan Baarrensen baru menghentikan kerjanya. Ia berdiri untuk meregangkan otot-otot punggungnya yang kaku. Kertas hasil tulisannya dipegang dan dibacanya Tampak ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa puas. Setelah itu, ia kembali duduk di kursinya dan berusaha menyalin kembali tulisannya dalam secarik yang bersih. Ketika selesai, ia segera membacanya kembali, takut kalau masih ada hal-hal yang ketinggalan. Setelah itu, ia membubuhkan tanda tangannya pada pojok kanan bawah.

Keesokan harinya, ia mengumpulkan para pembantu terdekatnya untuk berunding. Letnan Baarrensen membacakan tulisan yang dibuatnya semalam.

"Satu-satu jalan membentuk Wonakaka adalah mengisolasikan dia dan pasukannya dari penduduk," kata Letnan Baarrensen. "Tidak boleh ada penduduk yang bergaul,  melindungi, dan membantu atau memberikan bahan makanan kepada Wonakaka dan pasukannya. Dengan cara seperti ini, lama-kelamaan aku yakin Wonakaka akan menyerah!"

"Bukankah cara yang akan Letnan berlakukan itu bisa menyengsarakan seluruh penduduk Kodi?" tanya salah seorang pembantunya yang merupakan orang pribumi. Orang ini memberanikan diri bertanya kepada komandannya. Sebagai orang pribumi asli, kendatipun ia mencari penghidupan dengan cara menjadi serdadu Belanda, hatinya tetap tersentuh melihat kesengsaraan dan  penderitaan penduduk sebangsanya.

Letnan Barrensen bukannya marah mendengar pertanyaan itu. Ia terdiam sejenak, lalu jawabnya, "Langkah seperti ini memang tidak kusukai. Aku seorang prajurit sejati. Musuhku adalah sesama prajurit. Jadi, aku tidak mau memusuhi rakyat biasa, apalagi orang tua, wanita, dan anak-anak. Akan tetapi, terus terang aku sudah kehabisan akal untuk menangkap Wonakaka. Kalau kubiarkan saja ia berkeliaran bebas, lama kelamaan penduduk di daerah lain akan mengikuti jejaknya."

"Masalahnya adalah rakyat yang terlebih dahulu celaka!" kata si pribumi itu lagi. "Apakah Letnan percaya bahwa Wonakaka mau menyerahkan diri!"

"Aku tidak pernah merasa yakin bahwa dia akan mau menyerah!" sahut Letnan Baarrensen cepat. "Yang kuinginkan adalah paling tidak ia akan terpaksa menyerah. Marilah kita lihat hasilnya dahulu!"

Kata-kata Letnan Baarrensen adalah perintah. Ia segera menyuruh juru tulisnya untuk menyalin perintahnya itu. Sesudah itu, ia juga memerintahkan  untuk menyebarkan perintahnya kepada seluruh penguasa kampung di daerah Kodi.

Pada hari berikutnya, perintah itu sudah di dengar oleh seluruh penduduk Kodi.

Bunyi perintah itu adalah sebagai berikut:

1. Seluruh rakyat Kodi harus mengungsi ke daerah pantai dengan membawa segala harta benda yang dimiliki, tidak terkecuali bahan makanan dan hasil panen lainnya.

2. Perkampungan yang ditinggalkan penduduk harus dibakar dan diratakan dengan tanah. Segala tanaman yang belum dipungut hasilnya harus dibakar atau dimusnahkan. Pohon-pohon yang menghasilkan buah, seperti pisang, kelapa, dan lain-lainnya harus diterbang.

3, Rakyat di pengungsian boleh membuka lahan pertanian, namun tidak boleh melewati jarak 1 kilometer dari perkampungan.

4. Siapa pun tidak boleh memberikan bantuan kepada Wonakaka dan pasukannya dalam bentuk apa pun.

5. Semua orang yang melanggar perintah ini akan di hukum mati.

Perintah ini dilaksanakan pada hari berikutnya. Ratusan serdadu dikerahkan untuk mengadakan pengawasan.

Dalam beberapa hari kemudian terlihat pemandangan yang mengenaskan. Penduduk kampung digiring menuju perkampungan di pinggir pantai. Ternak mereka bawa berikut sedikit harta benda yang tersisa setelah kebanyakan diambil oleh Belanda sebagai pembayar pajak. Tanaman di lahan pertanian di bakar atau dimusnahkan. Demikian pula segala tanaman buah-buahan.

Taktik Letnan Baarrensen memang ternyata sangat jitu. Dalam beberapa hari saja penduduk yang ditampung di pinggiran pantai itu sudah mulai kelaparan. Bahan makanan sedikit yang mereka bawa tidak cukup lagi untuk kebutuhan mereka sendiri. Penduduk yang kelaparan terpaksa memakan apa saja. Bahkan umbi-umbian pahit dan beracun pun terpaksa mereka makan.

Sementara itu, bagi Wonakaka dan pasukannya, langkah yang ditempuh oleh Letnan Baarrensen juga berakibat jauh. Tidak ada lagi penduduk yang mau memberi bantuan kepada mereka, baik memberikan perlindungan maupun bahan makanan. Jangan memberikan bahan makanan, untuk makan sendiri pun penduduk sudah tidak memiliki persediaan lagi. Wonakaka dan pasukannya segera melarikan diri ke hutan dan memakan apa saja yang ditemui di hutan.

Untuk mempercepat menyerahnya Wonakaka. Letnan Barrensen mengambil langkah-langkah baru yang cukup mematikan. Ia memerintahkan anak buahnya untuk menangkap dan menyiksa keluarga Wonakaka serta memaksa mereka agar mau mendesak Wonakaka untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Keluarga-keluarga yang anggotanya bergabung dengan pasukan Wonakaka juga mendapat perlakuan serupa. Dengan demikian, satu per satu anak buah Wonakaka berhasil ditangkap. Apa pula yang terpaksa menyerahkan diri setelah keluarganya mendapat ancaman dan penyiksaan dari serdadu Belanda.

Kini tinggal Wonakaka dan beberapa orang teman dekatnya saja yang masih tetap bertahan. Meskipun hampir-hampir tidak berdaya, Wonakaka tetap gigih dan bertahan. Ia tetap tidak mau menyerahkan diri kepada pasukan Belanda.

"Sia-sia saja pengorbananku selama ini seandainya aku pun terpaksa menyerah kepada Belanda!" demikian pikir Wonakaka ketika ada salah seorang anggota keluarganya menemuinya untuk membujuknya keluar dari hutan.

"Akan tetapi," demikian ujar kerabatnya itu, "demi keselamatan seluruh penduduk Kodi, bukanlah sebaiknya engkau menyerahkan diri saja?"

"Nah, apakah engkau berpikir bahwa dengan menyerahnya aku lalu seluruh penduduk Kodi akan aman dan tenteram?" balas Wonakaka sengit. "Sekali sudah mulai menjajah, Belanda tidak akan secara suka rela mau menyerahkan kembali kekuasaannya kepada kita. Padahal, sekarang sudah terlanjur basah bagi kita. Sudah kepalang tanggung lagi kita untuk kembali!"

"Jadi....?"

"Biarlah yang lain menyerah, namun aku tetap akan bertahan di sini," sahut Wonakaka tegas. "Aku tetap tidak akan menyerah!"

Sekali lagi, siasat Letnan Baarrensen gagal total. Meskipun anggota-anggota keluarganya ditangkap dan disiksa, Wonakaka tetap bertahan dengan gigih. Letnan Barrensen segera mencari siasat lain. Ia mengirimkan pasukan ke Waijewa guna memperkuat pasukan yang ada di sana. Pasukan itu dikerahkan untuk menangkap para pejuang Waijewa sebab pejuang-pejuang inilah yang sekarang mendukung Wonakaka. Dengan tertumpasnya gerakan perlawanan di Waijewa, Letnan Barrensen berharap Wonakaka menjadi terpencil sehingga pada gilirannya mau menyerahkan diri.

Dengan berbagai upaya dan penekanan, akhirnya kedua tokoh perjuang Waijewa, yakni Eda Popo dan Lelu Etu, berhasil ditangkap. Setelah kedua pemimpinya ditangkap, serta merta gerakan perlawanan di daerah itu pun padam dengan sendirinya. Sementara itu, tertangkapnya Eda Popo dan Lelu Etu yang selama ini membantunya menyebabkan Wonakaka kehilangan teman. Kini benar-benar ia harus berjuang sendirian saja. Meskipun demikian, ia tetap tidak mau menyerah. Hal ini semakin menumbuhkan kejengkelan di hati Letnan Barrensen.

Dengan gencar letnan yang nyaris putus asa menghadapi kekerasan pejuang Kodi itu terus mengadakan pembersihan. Pasukannya dikerahkan untuk menyapu seluruh daerah Kodi demi menemukan Wonakaka. Akan tetapi, usaha keras ini pun tetap sia-sia. Berbulan-bulan lamanya dengan lincah dan cekatan Wonakaka selalu berhasil menghindar.

Di tengah kejengkelan dan keputusan itu, datanglah tawaran bantuan dari seorang berkebangsaan Indo-Belanda yang sudah lama tinggal di Kodi. Ia hidup sebagai pedagang, namun bilamana diperlukan ia siap membantu Belanda. Orang itu adalah J.R. Theedens. Ia sudah kaya raya di atas penderitaan bangsa Kodi. Meskipun ia banyak kenal dengan orang-orang Kodi, hatinya tidak pernah mau berkiblat kepada rakyat Kodi. Hatinya tetap hati Belanda. Rupanya ia melihat kesempatan untuk mengeduk keuntungan lebih banyak lagi. Penderitaan yang tengah dialami oleh Wonakaka akan dimanfaatkan benar olehnya.

Pada suatu hari, Theedens mengirimkan utusan, seorang Kodi, untuk menemui Wonakaka di tempat persembunyiannya. Utusan tersebut membawa pesannya bahwa ia akan membantu perjuangan Wonakaka. Untuk untuk itulah maka ia mengundang Wonakaka untuk datang ke rumahnya.

Pada awalnya Wonakaka sangat meragukan nilai baik Theedens ini. Ia sudah mendengar sepak terjang orang Indo tersebut, yang hanya mau mencari keuntungan bagi diri sendiri. Akan tetapi, karena manisnya kata-kata serta bujuk rayu utusan tersebut, akhirnya Wonakaka mau memutuskan untuk memenuhi undangannya.

Dalam hati kecilnya Wonakaka sudah merasakan bahwa itu semua hanyalah tipu muslihat untuk menangkapnya saja. Akan tetapi, agaknya Wonakaka yang gagah berani itu tetap tidak merasa takut. Demi perjuangan bangsanya ia mau mengambil risiko seperti itu. Ia pun tidak merasa gentar seadainya ia benar-benar ditangkap.

Utusan itu juga menyampaikan pesan khusus kepada Wonakaka bahwa Theedens akan mendamaikan Wonakaka dengan pihak Belanda sehingga Wonakaka dapat kembali ke kehidupan seperti sediakala. Bahkan melalui utusan itu, Theedens berani menjanjikan bahwa pasukan Belanda tidak akan pernah pernah mempersulit. Akan tetapi, Wonakaka tetap teguh dan tidak bergeming. Ketika hampir-hampir tidak ada harapan untuk membujuknya lagi, akhirnya utusan itu mengeluarkan senjata pamungkasnya, yakni bahwa Theedens ingin menjadi menantu Wonakaka. Bahkan Theedens juga berjanji untuk mengadakan upacara adat, baik pada waktu pernikahan maupun pada saat penandatanganan perdamian dengan pihak Belanda. Upacara semacam ini sudah biasa dilakukan setiap akhir perang saudara.

Akhirnya, Wonakaka pun masuk dalam muslihat dan perangkap Theedens yang menjadi antek Letnan Baarrensen itu. Peristiwanya persis seperti yang dialami oleh pejuang besar Pangeran Diponegoro yang dipaksa menyerah setelah ditipu akan diajak berdamai.

Dari rumah Theedens yang memang menyambutnya dengan ramah tamah, Wonakaka dibawa ke markas Letnan Baarrensen di Bondo Kodi. Di situ kecurigaan Wonakaka belum sebegitu tebal. Ia di sambut oleh barisan kehormatan. Akan tetapi pahlawan Kodi ini tetap saja tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia sudah siap menanggung segala risiko karena sudah kepalang basah untuk mundur. Dalam kesempatan itu ia masih berani menentang Belanda dengan kata-katanya yang lantang. "Kemenangan di pihak Belanda diperoleh dengan jalan kotor, Sedangkan kekalahan di pihak kami sebenarnya hanyalah kekalahan lahirlah saja. Perjuangan kami akan diteruskan oleh generasi yang akan datang!"

Ucapan lantang Wonakaka dalam bahasa Kodi ini merupakan keberaniannya untuk menantang Letnan Baarrensen yang diduga akan bertindak curang dan tidak ksatria. Jiwa keprajuritan Letnan Baarrensen pasti akan tersentuh mendengar ucapan kepahlawanan itu. Nyatanya tidak! Ketika Letnan Baarrensen meminta seseorang untuk menerjemahkan ucapan Wonakaka itu ke dalam bahasa Belanda, mendadak wajahnya berubah menjadi merah padam. Hatinya sangat berang dilecehkan oleh Wonakaka. Dengan segera ia memerintahkan pasukannya yang sedang membentuk barisan kehormatan itu untuk bertindak. Tanda perlawanan sedikit pun, Wonakaka dan beberapa teman dekatnya berhasil ditangkap.

Sekali lagi, upaya penangkapan pahlawan daerah dengan cara tipu muslihat yang hina dan kotor berhasil dilaksanakan dengan baik dan membuahkan hasil. Letnan Baarrensen dan pasukan Belanda menjadi puas bukan main.


13. Akhir Perang Wonakaka

Sepuluh hari lamanya Wonakaka dan anak buahnya yang berjumlah enam puluh orang dipenjarakan di tempat penahanan yang sempit dan pengap. Kemudian, bersama-sama mereka digiring menuju Pero untuk selanjutnya diberangkatkan ke Kupang, Dari Kupang, mereka dipisah-pisah dan dipenjarakan di seluruh pelosok Indonesia.

Sehari setelah Wonakaka ditangkap, Rato Loghe Kandua juga ditangkap. Raja ini bahkan mengalami penderitaan dan penghinaan yang luar biasa. Tangannya dibelenggu dan tubuhnya di masukkan ke kandang. Beberapa hari kemudian ia dipaksa berjalan kaki menuju Mamboro. Selama dalam perjalanan ia terus-menerus disiksa, sehingga belum sampai ke tempat yang dituju, ia meninggal dunia.

Wonakaka sendiri akhirnya dibuang ke Cilalap, Jawa Tengah, selama 20 tahun ia menjalani hukuman itu sampai akhirnya meninggal dunia karena  terkena penyakit cacar.

Teman-teman Wonakaka lainnya seperti Haghu Dari, Mali Gheda, Pako Labire, Rangga Tunu Yinggo, Lembar Poler, Wora Ngandi, Ra Boko, Wora Bombo, Rohi Talu Popo, dan sebagainya dibuang ke segala penjuru Indonesia.

Perang Wonakaka berakhir sudah. Belanda memperoleh kemenangan yang gemilang, kendatipun, seperti biasanya, kemeangan itu selalu diperoleh melalui cara-cara yang hina dan kotor. Tipu muslihatlah yang dapat mengalahkan Wonakaka dan perjuangan rakyat Kodi pada umumnya.

Dilihat dari luas jangkauannya, perlawanan rakyat Kodi di bawah pimpinan Wonakaka memang tidaklah besar, karena hanya terbatas di daerah Kodi saja. Jumlah pasukan Wonakaka juga hanya beberapa ratus orang saja, itu pun dengan hanya berbekal senjata tradisional yang sangat sederhana. Ini berlawanan dengan senjata Belanda, yang lengkap dan canggih untuk ukuran pada masa itu. Akan tetapi, dilihat dari nilainya, kepahlawanan Wonakaka dan para pejuang Kodi lainnya tidaklah kalah dari para patriot bangsa dari daerah-daerah lain.

Wonakaka akan tetap dikenang sebagai pejuang dari Kodi. Keberanian dan ketegaran hatinya menjadi suri teladan bagi rakyat Kodi khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.

Buku Bacaan
Doko, I.H. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Nusa Tenggara Timur, Balai Pustaka, Jakarta, 1981.
Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia, Cetakan ke VII, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Sejarah Nasional, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara Timur, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, 1986.


Karya: Djoko Dwinanto

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK