CAMPUR ADUK

Friday, December 21, 2018

MENITI JARAK HATI


Satu

Matahari pagi menyembul malu dari balik  bukit di ufuk timur. Angin berkesiuran menggerai dedaunan. Butiran embun masih bersisa di rerumputan. Sementara kawanan burung gereja beterbangan riang dari satu kandang ke lain kandang.

Waktu belum lagi menunjukkan pukul enam. Namun, kampus Fakultas Peternakan telah menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Pak Udin sudah sejak subuh tadi berada di kandang sapi perah. Memerah susu untuk segera diantarkan kepada para pelanggan di sekitar kampus.

Di kandang kerbau, Pak Badu baru saja datang. Ia membersihkan tempat makanan dan minuman. Setelah itu, ia mengisi tempat makanan dengan Hijauan Makanan Ternak (HMT) dan konsentrat. Tempat minuman diisinya dengan air bersih.

Di samping kandang sapi pedaging, ada lapangan rumput untuk penggembalaan. Lumayan luasnya. Setiap pagi Pak Badri melepas sapi ke sana dan baru menggiring sapi pulang ke kandang sekitar pukul 10. "Sapi bali kurang tahan panas." katanya sesekali.

Domba juga punya tempat penggembalaan khusus. Meski demikian, domba-domba sering dilepas di mana saja, kecuali kebun rumput. Lahan itu khusus untuk menghasilkan hijauan yang dipotong untuk diberikan pada ternak di kandang. Domba, kambing, sapi perah, maupun sapi pedaging menyukai rumput unggul seperti rumput gajah, setaria maupun benggala. Fakultas Peternakan mempunyai kebun rumput tidak kurang dari satu hektar.

Matahari mulai merangkak. Meninggalkan bias rona perak.

Pak Dani sibuk di kandang ayam.Tugasnya membersihkan an mengisi kembali tempat makanan dan minuman. Ia membantu penelitian Budi, mahasiswa tingkat terakhir.

"Assalaamu' alaikum, Pak." sapa Budi yang baru datang.

"Wa'alaikum salaam. Wah, De, kebetulan pakannya sudah hampir habis," ujar Pak Dani seraya meletakkan tempat makanan di sebuah petakan kandang.

"Butuh berapa lagi, Pak?"

"Kira-kira tiga puluh kilo."

"Nanti siang kita beli, Pak."

Lelaki tua itu mengangguk seraya tersenyum. Budi mengamati materi penetiliannya. Ia membuka pintu salah satu petakannya. Sebanyak sepuluh ekor ayam brailer yang ada di situ lari menghindar. Budi tertawa kecil. Dia menangkap seekor. Lalu mengangkatnya. 

"Lumayan, Pak. Berat juga bobotnya, ya?"

"Coba timbang, De."

Budi meletakkan ayam tersebut  di timbangan. Pak Dani memperhatikan dengan seksama. 

"Satu koma satu kilo." seru Budi gembira.

"Bagus sekali, De," Pak Dani turut senang.

"Berarti target saya, bobot satu koma satu sampai satu koma dua untuk ayam umur satu bulan tercapai, Pak. Penelitian ini 'kan masih tiga hari lagi."

Lagi-lagi Pak Dani mengangguk seraya tersenyum.

Budi mengembalikan ayam tersebut ke tempatnya semula. Sejenak ia memperhatikan ayam-ayam yang lain. Dalam penelitian ini, ia menggunakan dua ratus ekor ayam.

"Duh rajinnya." terdengar suara lembut. 

Budi menoleh ke pintu gerbang kandang. "Hei, Rini," sapanya raing.

Gadis itu melangkah dan berdiri bersisian dengan Budi. "Mereka tampaknya sehat-sehat sekali," komentar Rini.

"Begitulah tampaknya. Kapan kamu mulai penelitian?"

"Tanggal satu bulan depan."

"Apa materinya?"

"Sama dengan materi kamu. Ayam. Oh ya, Bud, kamu sudah mengerjakan PR Penetasan?  Hari ini dikumpulkan loh."

"Astaga!" Budi membelalakkan mata, "Aku lupa."

"Ya.....," suara Rini tidak tidak bersemangat.

"Kamu sudah, Rin?"

Rini menggeleng lemah. "Bagaimana, ya? Aku belum mengejakan sama sekali." Cewek itu memperbaiki letak kaca mata minusnya. "Kemarin sore Mas Agus ngajak jalan-jalan ke kebun raya. Lelah. Malamnya aku cepat tidur."

"Makanya. Rin, pacaran jangan sampai melalaikan tugas-tugas pelajaran dong."

Rini tidak menyahut.

"Begini aja deh. Aku ada usul...."

"Apa, Bud?" sela Rini cepat. Ada pendar kebahagiaan memercik di matanya.

"Kamu bantu aku dulu. Nanti aku bantu kamu."

"Bantu apaan? Kamu juga belum mengerjakan, kok," gerutu Rini manja.

"Soal itu jangan kamu pusingkan besar. Kamu tahu aku 'kan mahasiswa excellent. Enggak nyombong sih," Budi mengerdipkan sebelah matanya.

"Iya deh," Rini merajuk. "Apa yang bisa kubantu?"

"Sederhana. Tolong bersihkan kadang dan koridor sepanjang kandang ini," sahut Budi santai. 

"Ha!!!" Rini membelalakan mata.

Pak Dani yang sedang meletakan tempat minuman di petakan terakhir tak kuasa menahan senyum.

"Sudah! Kerjakan segera. Jangan banyak omong," tegas Budi.

"Sapunya mana?" tanya Rini dongkol.

"Tuh, di pojok kandang," jawab Budi ringan.

Dengan malas Rini mengambil sapu. Ia memenuhi permintaan Budi sambil memberengut. Melihat itu, Budi tersenyum.

"Hei, nyapunya yang bersih dong. Kata orang-orang tua, kalau anak gadis menyapu enggak bersih, nanti dapat suami berewokan."

"Biarin. Mas Agus orangnya memang berewokan kek," sungut Rini. Tapi, tak urung pipinya menyemu merah. Mata di balik lensa itu tak bisa menyembuyikan kebahagiaan hati.

Budi menatap gadis itu tak berkedip. Rini menyadari hal itu. Ia mendongak. Budi tertawa.

"Kenapa tertawa?" Rini marasa keki.

"Habis kamu lucu. Mulai memberengut, namun hatimu sebaliknya."

Senyum manis mekar di bibir Rini. Wajahnya kian merona merah. "Kamu godain orang saja."

Namun, Budi malah terkekeh-kekeh.

Pak Dani mengumpulkan peralatan kandang. Rini melirik Budi. Cowok itu tengah berdiri santai menyaksikan pemandangan di depannya. Kurang ajar, memangnya aku buruh, dan kamu mandor, geramnya dalam hati.

"Bud, ayo dong kerjakan PR-nya!"

"Tenang saja. Selesaikan dulu pekerjaanmu. Soal PR nanti kamu tahu beres."

"Jangan-jangan kamu mau menipu aku." Rini menghentikan pekerjaannya.

Budi tertawa terbahak-bahak. "Kamu boleh bawa pulang sapu ini jika aku menipumu."

"Buat apaan? Di rumahku juga ada sapu. Lebih bagus dari ini malah!"

"Percayalah, Rin, aku tidak akan menipumu. Makanya, bereskan pekerjaan ini segera."

"Awas, ya, kalau kamu curang!"

Tak berapa lama kemudian, Rini menuntaskan pekerjaannya. "Nah, mana PR itu?" ia menagih.

Budi membuka tas ranselnya. Kemudian mengambil buku PR. "Ini."

"Lho, kamu sudah mengerjakannya?" Rini terkejut.

"Mahasiswa yang baik tidak suka melalaikan tugas-tugas akademisnya, Non."

"Nyindir, ya?" Rini melirik tajam.

"Ah, enggak," Budi mengangkat bahu. Tangan dan matanya turut berimprovisasi.

"Kamu jahat!" Rini memukul Budi dengan tas kuliahnya.

Budi hanya mesem-mesem. "Apa saja yang kita peroleh secara cuma-cuma, pengharaan kita terhadapnya akan kurang," kata Budi dengan nada serius.

"Jahat!" Rini mengumpat seraya berlalu.

"Hei, Rin, jangan lupa. Nanti kembalikan PRku," teriak Budi.

"Enggak! Enggak akan aku kembalikan!" Rini sudah berada di luar kandang.

Budi cekikikan. Ia melirik Pak Dani. Keduanya memainkan mata. Lalu sama-sama terbahak. "Cewek seperti itu perlu sering dikasih pelajaran, Pak. Supaya sadar, kampus bukan tempat dan diperlakukan tak ubahnya seorang raja."

Pak Dani tidak menyabut. Sebagai ganti, ia mengacungkan jempolnya. Kembali keduanya terbahak.

Makin banyak mahasiswa yang berdatangan ke kandang ayam maupun lainnya. Kebanyakan mahasiswa tingkat akhir yang tengah melakukan penelitian. Ada juga beberapa mahasiswa tingkat dua dan tiga giliran piket praktik kadang.

***
Raja siang kian cemerlang. Sinarnya membias kaca. Menghangati Ruang Kuliah-7. Seorang gadis cantik dan lembut masuk ruangan. Mahasiswa tingkat dua itu meletakkan tas. Lalu mengeluarkan tiga buku dan menaruhnya di tiga kursi di kiri-kanannya.

"Pagi, Dewi," sapa seseorang.

"Nana," sambut Dewi gembira.

"Sinta belum datang?"

"Belum," jawab Dewi.

Nana mengambil tempat di samping Dewi. "Aku kesiangan. Hampir telat shalat subuh. Semalam aku terlambat tidur."

"Pasti kamu mikirin Mas Herumu."

"Bukan itu, Wi," wajah Nana memerah juga.

"Bikin PR Genetika. Kamu sudah siap?"

"Sudah sih, tapi enggak tahu, betul atau tidak."

"Auuuw!" Nana menjerit seraya mengangkat kaki. Sementara Dewi tercekat. Ia seperti kena hipnotis. Seekor ular sebesar ibu jari tahu-tahu sudah berada di dekat kaki keduannya.

Seperti tersadar. Dewi segera berlari sambil berteriak, "Hii! Toloooong!"

Nana tak kalah kalutnya. Ia menjambak tangan Dewi.

Tepat di depan pintu, tangan Dewi ditangkap seseorang. Cowok berkaos oblong hitam ketat bertuliskan "REFORMASI BELUM SELESAI" dan ber-jeans belel. "Apa apa?" tanyanya tenang sekali.

"Ad..... ad....ada ular. Tolong, Delta," kata Dewi tergagap. Sementara Nana tidak juga juga melepaskan pegangannya.

"Mana ularnya?" tanya Delta seraya menarik Dewi ke dalam ruangan.

"Ja...ja... jangan, Delta. Dewi takut." Wajah gadis itu pucat pasi. Nana apalagi. Pipinya memutih seperti tidak berdarah lagi.

"Jangan takut."

"Delta, Dewi takut. Jangan!" Dewi meronta. Namun, cengkeraman Delta terlalu kuat. Nana menjerit-jerit. Tangannya tetap mencekal pergelangan tangan Dewi yang satu lagi.

Delta berjongkok. Dewi tertarik, sehingga terjongkok pula. Nana hanya mampu mengikuti tanpa  mampu berpikir apa-apa. Delta menangkap ular tersebut. Nana memalingkan wajah. Dewi memejamkan mata. Ngeri dan geli. Aneh. Binatang itu tidak bereaksi. Tiba-tiba Delta terbahak. Mendengar itu, Dewi membuka mata. Delta menyorongkan binatang itu ke wajahnya. Dewi menjerit. Tapi, tawa Delta terdengar semakin keras. Ia mengangkat ular itu tinggi-tinggi.

"Perhatikan baik-baik," katanya meyakinkan, "masa' sih sama karet saja kalian takut?"

"Haaa!!!" seru Dewi dan Nana hampir bersamaan. Keduanya memperhatikan benda yang berada di tangan Delta. "Ini pasti ulah kamu!" sungut Nana.

"Warming up sebelum kuliah dimulai," jawab Delta ringan.

"Dasar badel!" gerutu Dewi seraya berusaha membebaskan tangannya.

"Tak akan kulepaskan sebelum kamu meminjamkan PR-mu," kata Delta.

"Aaaaaa!" Dewi meronta. Namun Delta terlalu perkasa.

"Berikan dulu PR-mu!"

"Heh, minjam kok maksa!"

"Kamu enggak usah ikut-ikutan, Na. Bagaimana, Wi? Mau minjamin gak?"

"Iyyaa, tapi lepaskan dulu tanganku," mata Dewi bersinar marah.

Delta melepaskan cekalannya. Dalam hati, ia tak tega juga melihat tangan mungil memerah. Jangan-jangan memar, batinnya.

"Hhhh!" dengus Dewi kesal," dasar pemalas!"

Delta cuma mengerlingkan mata elangnya. Dewi menyerahkan PR-nya sambil memberengut. Delta menerimanya dengan senang hati." Ini buku siapa?" tanya Delta seraya menangkat sebuah buku di kursi kosong.

"Buku aku. Kamu mau apa?" Dewi menantang.

"Jangan taruh di sini dong. Kursimu 'kan yang itu."

"Suka-sukaku."

"Kalau aku mau duduk di sini?"

"Jangan," potong Nana.

"Kenapa?"

"Itu kursi Sinta," sela Dewi.

"Sinta? Dia 'kan belum datang."

"Biar belum datang juga...."

"Ooooh, jadi ceritanya nge-booking tempat duduk nih? Delta sinis.

"Peduli apa kamu?" ejek Nana.

"Hei! Memangnya ini kampus punya nenek moyangmu? Aku juga bayar SPP."

"Lho, kok ngotot?" sindir Dewi.

"Kapan kita bisa baut kalau di kelas pada ngegeng. Ada geng cewek cakep. Geng cewek kaya. Geng anak pejabat...."

"Aaaah! Kembalikan PR-ku kalau kamu tidak jadi meminjamnya. Sudah nyotek, ribut lagi!"

"Jangan khawatir, begitu selesai, pasti aku kembalikan." Delta mengeluarkan buku tulis yang disimpan di kantong  belakang celananya. Ia merogoh saku bajunya. "Waduh, lupa bawa pulpen. Pinjam deh, Wi."

"Kamu mau kuliah apa mau ke bioskop sih?"

Dewi geram sekali, namun juga geli.

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Nanti dosen teladan itu keburu masuk."

***
Dosen killer! Itu bukan istilah baru bagi mahasiswa. Bahkan, rasanya tidak lengkap kampus yang tidak punya dosen seperti itu.

Dr. Panji merupakan dosen "favorit" di Fakultas Peternakan. Ulahnya terlalu sering menyakitkan. Banyak mahasiswa yang berdoa, moga-moga bujangan tua itu meninggal dunia dengan "sukses", sesegera mungkin.

Begitu Dr. Panji masuk, kelas mendadak sepi. Semua diam. Banyak mahasiswa, bernapas pun tak berani. Untung saja pernapasan itu berlangsung dengan sendirinya. Semua kepala menunduk. Setiap  orang berdoa agar namanya tidak masuk "nominasi".

Anton melirik ke kiri dan kanan. Hatinya galau bukan buatan. PR genetika itu belum dikerjakannya. Ya Tuhan, lindungilah hamba-Mu yang lewah ini, keluhnya dalam hati.

"Coba kamu, An.....," Dr. Panji tidak meneruskan kalimatnya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling kelas. Seakan-akan ia merasa bangga melihat semua mahasiswanya ketakutan setengah mati terhadapnya.

Anton menahan napas. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Ya Tuhan yang Maha Pelindung, lindunglah hamba-Mu yang tak berdosa ini dari cengkeraman  setan di depan kelas itu, doanya hampir menangis.

"Andri," ujar Dr. Panji memecah hening.

Anton menarik napas lega. Alhamdulillah, Terima kasih, Tuhan, terima kasih. Kamu memang Mahabaik, Anton memuji Tuhan berkali-kali. Andri melangkah gontai ke muka kelas.

"Kerjakan PR nomor satu!" perintah Dr. Panji bagai seorang diktator. Apalagi dengan kacamata yang nyaris berwarna hitam itu. Tambah serem aja.

Duh, nasibku yang sengsara, keluh Andri. Satu menit berlalu. Dua menit. Tiga menit. Tak sebaris kata pun yang ditulis Andri.

"Sudahlah, kamu tidak perlu susah-susah." kata Dr. Panji, "berdiri saja di pojokan sana. Tak perlu lama-lama. Cukup setengah jam." Betapa gampangnya Pak Panji ngomong. Tanpa beban.Tanpa kasiha.

Andri melangkah geram ke pojokan. Ini hukuman yang amat menyakitkan. Memangnya aku ini anak SD apa, gerutunya dalam hati. Ia teringat saat SD. Ketika itu Andri sering disetrap begini. Gara-gara tidak bisa mengerjakan PR juga. Tapi, itu 'kan dulu. Saat ia masih kecil. Sekarang aku sudah gede. Sudah jadi mahasiswa. Harkat manusiawiku terinjak-injak jika begini caranya. Geremutuk gigi Andri menahan emosi yang mendesak-desak di rongga dadanya. Ingin rasanya ia menghajar Pak Panji.

Tiba-tiba Rudi maju ke muka. Ia memegangi perutnya. Wajahnya pucat. Nekad! Mau ke mana si bego itu? Kata Delta dalam hati. Berani-beraninya masuk sarang macan.

"Maaf, Pak. Saya mau ke belakang sebentar. Perut saya sakit," pinta Rudi memelas.

Tapi, Pak Panji malah memberikan sebatang kapur. "Saya tahu, kamu Cuma pura-cura. Ayo, kerjakan soal nomor satu."

Sudah kubilang, jangan sok berani. Rasakan sendiri akibatnya, kata Delta dalam hati. Rudi terpaku. Perlahan ia menoleh ke arah Dr. Panji. "Saya langsung berdiri di pojokan saja deh, Pak," katanya lucu. Namun, tak ada seorangpun yang nekad tertawa. Jangankan itu, tersenyum pun nanti dulu.

"Itu lebih baik," kata Pak Panji tanpa ekspresi. Setan! maki Andri dalam hati.

Andini sedari tadi memegangi pekerjaan Rafli. Ia melirik ke samping. Cowok itu tenang-tenang saja.

"Andini."

Cewek itu tersentak mendengar namanya dipanggil oleh Pak Panji. Rafli tersenyum melihatnya.

***
"Terima kasih, Ref," ujar Andini pelajaran usai. "Untung kamu tolong Dini. Kalau enggak....., ih amit-amit deh. Kalau sampai kena hukuman, malunya enggak ketulungan."
Rafli hanya tersenyum sambil menerima bukunya kembali.

"Sial banget aku hari ini," gerutu Rudi sambil membanting tasnya ke kursi. "Biasanya bolos melulu. Sekali masuk......eeeh pas ketiban sial. Apa Tuhan enggak rela kalau aku jadi mahasiswa yang baik? Gua doain bujangan tua itu sampai mati enggak bakal dapat jodoh."


Dua

Macafe. Seluruh mahasiswa Universitas Bogor tahu kepanjangannya. Mahasiswa Pencinta Cafetaria. Mereka yang lebih banyak berada di cafe daripada di ruang kuliah. Datang ke kampus sering paling duluan dan pulang paling belakangan. Pak Mardi, Dosen Pengantar Bahan Makanan Ternak, meninggalkan Ruang Kuliah-7. Kelas spontan gaduh kayak sarang tawon.

"Dewi," Pandu mencolek bahu si mungil.

"Siapa, sih?" reaksi gadis itu, gusar.

"Aku."

"Pakai colek-colek segala!" Dewi memberengut.

"Duh, segitu galaknya," Pandu menggoda.

"Habis, kamu sih...!" Jika sedang marah begini, gadis itu semakin mungil saja. Mirip penyanyi spesialis tembang lawas, Yuli Shara.

"Pinjam catatan kuliah tadi dong."

"Memangnya kamu tidak kuliah?"

"Kamu seperti tidak mengenalku saja," Pandu merajuk.

"Tapi Dewi 'kan harus mempelajarinya kembali. Mumpung masih hangat di kepala."

"Aku minta waktu lima menit saja. Aku fotokopi. Nanti aku kembalikan catatanmu."

***
Hampir saja Rafli menabrak Dian di Ruang Kuliah- I. Ia mengejar Pembantu Dekan III yang sebentar lagi berangkat ke Jakarta. "Maafkan aku," ujar Rafli.

"Tidak apa-apa. Oh ya, ada surat untukmu," kata gadis berjilbab hijau itu.

"Dari?"

"Coba terka."

"Siapa ya?"

"Pacarmu."

"Diam, cepat dong. Aku lagi buru-buru."

Dian tersenyum. Bibirnya yang tipis tanpa pulasan lipstik tampak bercahaya diterpa sinar matahari. "Annisa."

"Ia adikku," kata Rafli segera. "Mana suratnya?"

"Di seksi pendidikan."

"Kenapa enggak diambilkan sekalian?"

"Memangnya aku ini apamu?"

"Eh....., iya juga ya." Berkata begitu, Raflipun lantas berlalu.

***
Rafli tiba tepat ketika Pak Mujib beranjak dari kursinya. "Assalaamu 'alaikum, Pak. Maaf, boleh minta waktu? Sebentar saja."

"Wa'alaikum salaam. Ada apa, Rafli?" tanya Pak Mujib seraya duduk kembali. Pembantu Dekan III itu cukup kenal dengan Rafli, meskipun baru dua bulan bergaul.

Rafli duduk di hadapan Pak Mujib. "Minggu depan, kelompok Artifical Breeding Club (ABC) ingin berkunjung ke Desa Baru. Ada peternakan kelinci di sana. Kami berniat belajar kepada mereka, Pak."

"Bagus. Memang begitulah seharusnya. Ilmu yang didapat di kampus sudah pasti tidak memadai. Apalagi untuk hal-hal yang sifatnya praktis seperti ini. Mahasiswa kita harus sering meninjau langsung ke lapangan supaya tidak hanya pandai teori. Agar mereka tidak cuma tahu yang idealnya saja."

"Untuk itu, kami memerlukan surat pengantar dari Bapak. Saya diminta ketua ABC menghadap Bapak."

"Sudah disiapkan suratnya?"

"Sudah, Pak." Rafli menyerahkan berkas surat tersebut.

Pak Mujib memperhatikan sejenak, lalu menandatanganinya. "Minta cap di biro dekan, ya," Pak Mujib berdiri.

"Baik, Pak. Terima kasih." Keduanya keluar ruangan beriringan.

Di depan pintu, Andini sudah menunggu. Ia memegangi sepucuk surat. "Dari adikmu."

"Terima kasih. Paling-paling isinya pertanyaan: Kak Rafli, kapan nih Annisa punya calon kakak ipar? Maklum, adikku itu orangnya sedikit usil."

Andini hendak mencubit Rafli, tapi tidak jadi. Ia tidak berani. Hanya wajahnya merona merah. Tak dapat menyembunyikan ketersipuannya.

***
Desa Baru hanya berjarak sepuluh kilometer dari Bogor. Kesohor sebagai penghasil sayuran. Tidak sukar untuk sampai ke sana. Jalan raya sudah dibangun, angkutan umum pun banyak.

Hari minggu. Sebanyak 15 orang anggota klub ABC berkunjung ke sana. Pemimpin rombongannya adalah Suryadi. Dia mahasiswa tingkat III, dan merupakan ketua ABC. Di Desa Baru, ada sepuluh peternak kelinci. Mereka mengunjunginya satu per satu.

"Semua peternakan kelinci di sini berskala kecil. Hanya beberapa ekor. Kenapa, Pak?" tanya Rafli kepada seorang peternak.

"Soalnya, pemasarannya belum selancar ternak ayam, Dik. Orang yang menyukai daging kelinci masih terbatas, padahal rasanya lezat, tidak kalah dengan daging ayam, Umurnya, kami beternak hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri."

"Gampang apa enggak sih, Pak, beternak kelinci itu?" tanya Dewi.

"Kalau saya katakan gampang, barangkali  salah, Mbak. Tapi, beternak kelinci memang mudah. Kandangnya sederhana. Perawatannya tidak perlu repot-repot. Apalagi soal makanan. Gampang. Di sini 'kan banyak sisa sayuran."

Delta menangkap seekor. Ia menimang kelinci putih yang cantik itu. Dewi yang berdiri di sampingnya terpana. Gemas. Tiba-tiba, Delta menaruh kelinci tersebut di dada Dewi. Kontan, gadis itu terkejut dan menjerit. Teman-temannya menoleh ke arahnya.

"Delta, aaaakh," sergah Dewi. Wajahnya terasa panas mendengar tertawaan mereka.

"Mahasiswa Peternakan kok takut sama kelinci?" Delta tidak berniat menarik kembali kelinci tersebut dari dada Dewi. Terpaksa Dewi menangkap kelinci tersebut, kemudian menimang-nimangnya. Mula-mula, ia merasa takut.Tapi kemudian, malah kesenangan.

"Ini baru namanya mahasiswa Peternakan." komentar Rafli.

Dewi tersipu. Delta menggendengkan mata.

"Foto dong," usul Andini.

"Oh ya, sebentar," Masturi bersiap membidikkan kamera.

Tepat sedetik lagi kamera menjepret, tahu-tahu Delta berdiri bersisian dengan Dewi. Tangannya bergayut di bahu gadis itu. Teman-teman bersorak. Dewi mencak-mencak.

"Delta, aaaakh!" kata Dewi jengah.

"begitu aja marah," sahut Delta dengan senyum kemenangan. 

Menjelang pulang, mereka mendapat hidangan sate kelinci. Pak Amin dan Pak Karim yang menyediakan. Wah, mereka senangnya bukan main. Apalagi nasinya, nasi merah yang berasal dari beras tumbuk. Ada kekhasan tersendiri dibandingkan beras giling. Nasi merah lebih harum. Wanginya membangkitkan selera makan. Rasanya, tanpa lauk-pauk pun mereka bisa menghabiskan dua piring perorang. Dan, mereka pun tak malu-malu. Sate ludes. Nasi habis. Buah rambutan tinggal kulitnya.

***
Rafli membuka jaketnya.

"Dari mana?" tanya Yanto, teman sekamarnya.

"Mengantar Gatot beli kado,"

"Siapa  yang ulang tahun?" Mana Yanto tak beranjak dari grafik di hadapannya.

"Mantan pacarnya menikah besok." Rafli meletakkan jaket di gantungan.

"Bekas pacarnya?!" Yanto menghentikan belajarnya. Kepalanya mendongak.

"Iya. Kenapa? Kok heran sih?" Rafli mengenakan kain sarung.

"Enggak juga. Cinta..., cinta....cinta...," Yanto bergumam. Kepalanya terangguk-angguk.

"Heh, kenapa kau?" tanya Rafli seraya menghidupkan lampu belajarnya.

"Sebuah fenomena."

"Jika kauputus sama Rika, itu juga fenomena," Rafli mengedipkan matanya.

"Sebuah fenomena."

"Jika kanputus sama Rika, itu juga fenomena," Rafli mengedipkan matanya.

"Jangan nyumpahin dong."

"Siapa tahu?"

Rafli merapihkan meja belajarnya. Sementara Yanto mengeluarkan potret Rika dari laci mejanya. Ia menatap foto itu penuh cinta.

"Ya ampun," Rafli geleng-geleng kepala. "Belajar, To, belajar. Besok ujian."

***
Dingin menggigit. Bogor, kota kecil yang mungil, masih asyik mendengkur.

"Satu! Dua! Tiga! Satu!" Rafli memberikan aba-aba. Ia keempat kawan kosnya tengah melakukan olahraga.

"Yanto, scot jump-nya yang betul dong!" teriak Rafli.

"Oke! Oke!" Yanto meletakkan kedua tangannya di tengkuk. Ia berjongkok, lalu melompat tinggi. Sebelah kakinya menendang ke depan, sedangkan sebelah lagi menendang ke belakang.

"Bagus. Ini baru namanya gerakan yang berisi," kata Rafli. Ia menghitung beberapa putaran lagi, sebelum mengganti dengan gerakan yang lain.

"Push up!"

Serentak mereka tengkurap dengan kedua tangan mengepal, dijadikan tumpuan di atas tanah.

"Aku yang menghitung!" ujar Yanto. "Satu, dua, tiga....... Dua puluh lima. Tiarap!" kata Yanto, perlahan tapi tegas.

"Ada apa, To?" tanya Bambang heran.

"Ssttt!" Yanto memberi isyarat dengan telunjuknya. Semua menurut. Mata mereka terarah ke luar pagar.

Tak ada apa-apa. Hanya seorang gadis berlalu dihadapan mereka. Wajahnya cantik diterpa sinar lampau. Tampaknya, ia heran melihat kelakuan Rafli dan teman-temannya.

"Sudah, sudah, sudah," kata Yanto. Ceweknya sudah lewat."

"Hah? Dasar!" gerutu Bambang. Tapi, tawa mereka pecah membelah pagi.

"Sekarang sit up," ujar Rafli.

Mereka segera telentang. Kaki lurus, tangan di tengkuk. "Sekarang girilaran aku yang menghitung," kata Arifin. "Satu, dua, tiga, empat...."

"Capek," keluh Santoso.

"Baru 20 kali," ujar Rafli.

"Tiga puluh, tiga satu." Arifin melanjutkan hitungan. "Tiga dua.....," Arifin menggeserkan tubuhnya ke dekat pintu. "Tiga lima." Arifin melompat ke dalam rumah.

Teman-temannya bingung. Belum habis ketidakmengertian mereka, di depan rumah melintas orang gila. Seorang lelaki lusuh yang hanya mengenakan baju kumal, tanda celana "Hhhheee!" seru Bambang seraya menghambur ke dalam rumah. Tanpa di komando, teman-temannya tancap gas juga. Dan, "blug!" pintupun diempaskan keras.

Arifin terpingkal-pingkal sambil bersender di lantai. "Sialan!" Bambang memukul bahunya. 

"Bilang-bilang dong! Enggak setia kawan, kau!"

Namun, akhirnya mereka terbahak-bahak. Menyentak raja siang yang masih terlelap. Sebentar kemudian sang surya menyibak hari dengan sinarnya yang keemasan.

***
"Masak apa hari ini, Bik? tanya Rafli. Ia baru saja pulang kuliah.

"Ikan gabus asin dengan sayur asam dan sambal terasi," sahut Bik Minah.

"Asyiik," kata Rafli seraya melepas sepatunya.

"Tadi, ada kawan Mas Rafli datang ke sini."

"Siapa, Bik?"

"Siapa ya? Bibik lupa," Bik Minah menepuk-nepuk keningnya.

"Laki-laki atau perempuan?" Rafli menyimpan sepatunya.

"Perempuan."

"Cantik?"

"Iya, Mas, cantik sekali."

"Bibik masih ingat ciri-cirinya?"

"Pakai kerudung dan kacamata. Orangnya tinggi."

"Ooooh, Mala. Malahayati, Betul 'kan, Bik?"

"Betul, Mas. Katanya ia 'ngembaliin buku. Tuh, Bibik taruh di rak koran."

"Terima kasih, Bik," Rafli mengambil buku tersebut.

"Pacar Mas Rafli ya?" selidik Bik Minah sambil menggoreng ikan.

"Kalau iya?"

"Bibik senang. Sudah salehan, cakep lagi."

"Ah, Bibik, bicaranya seperti ibu saya saja."

"Betul, Mas, semua ibu pasti ingin punya mantu seperti itu."

Rafli hanya tersenyum. "Ia hanya teman biasa, Bik. Kami sama-sama dari Aneh. Saya di Peternakan, ia di Kedokteran Hewan.

***
Pukul delapan lebih lima menit. Heran, enggak biasa-biasanya Pak Panji terlambat. Para mahasiswa berdoa, moga-moga saja ia tidak masuk.

"Gua sumpahim 'dosen teladan' itu kena penyakit sawan," kata Delta. Terhadap dosen yang satu ini, bawannya memang kesal melulu.

Mendengar itu, Dewi yang duduk di sampingnya menyergah. "Jangan suka mendoakan yang jelek buat orang lain. Salah-salah, kamu sendiri yang kena nanti."

"Biarin. Daripada kalau dia masuk malah nyakitin orang melulu. Malah numpuk dosa."

"Kamu aja yang malas."

"Biar malas, aku selalu mengumpulkan PR."

"Tukang nyontek."

"Kenapa kamu kasih?"

"Habis, kamu maksa."

Subandi, Komandan Tingkat (Komti) II masuk ruang kelas. Ia meraih mikropon. "Pak Panji tidak masuk. Beliau ada seminar di Jakarta pagi ini. Seminar tentang sapi bali," katanya.

"Horeeee!" seru mereka serempak.

"Tapi, ada tugas. Minggu depan dikumpulkan."

"Yaaaaaakh," gumam mereka.

"Tugas apaan sih? Ada-ada saja si Killer itu. Tiap minggu ngasih PR," sungut Delta geram.

"Tukan nyontek dilarang protes," sela Dewi.

"Tenang! Tenang!" Subandi memukul papan tulis dengan penghapus. Kelas agak reda. 

"Sesuai dengan seminar yang dilakukan Pak Panji, kita ditugasi mencari asal-usul sapi bali, lengkap dengan sumber referensinya."

"Huuuuuuuuuu!"

"Satu lagi. Tugasnya sama, tapi materinya berbeda. Sapi Grati."

"Huuuuuuuuuu!"

Dewi menoleh ke arah Delta. "Kamu harus bantu Dewi kalau mau nyotek." Delta tertawa.

"Mau enggak?"

"Iya deh," Delta memainkan mata. "Di mana mencarinya?"

"Di perpustakaan. Kamu pikir di WC apa?"

"Duuuuh, segitu sewotnya."

***
Perpustakaan Fakultas Peternakan lumayan luasnya. Tidak kurang dari 12 x 12 m persegi. Ruang koleksi seluas 4 x 4 m persegi. Ada sekat pembatas dari kaca. Tiga orang pelayang selalu siap melayani para pengguna jasa perpustakaan. Kebanyakan  buku di ruang koleksi isinya tentang peternakan. Ada sebuah rak khusus berisi kumpulan karya ilmiah alumni. Dalam jumlah kecil, terdapat juga bacaan humanisme, kebudayaan, sastra, dan agama. Buku teks kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris. Sebagian kecil dalam bahasa Jerman dan Belanda. Buku teks dalam bahasa Indonesia masih jarang. Dosen-dosen kita memang masih jarang yang menulis buku. Di dekat pintu masuk, ada meja dan buku daftar pengunjung perpustakaan. Di sampingnya, terdapat tak untuk menyimpan tas.

Ruang baca terdiri dari dua bagian. Ada yang tidak bersekat dipenuhi sembilan stel meja-kursi. Sebagian lagi bersekat kayu. Umumnya mahasiswa lebih senang memilih yang tidak bersekat, kecuali mereka yang lagi menyepi atau mau ujian. Ada mahasiswa yang merasa lebih efektif belajar sendirian, namun ada pula sebaliknya. Menurut buku petunjuk cara belajar yang baik, yang bagus sih menggabungkan keduanya.

Ruang baca yang tidak bersekat lebih dipilih karena suasananya sejuk. Tanpa perlu bantuan AC. Apalagi latar belakang pemandangan di luar ruangan. Flamboyan merambak. Bunganya yang kemerahan seakan ingin menggapai tanah. Ada pula akasia yang merindang. Bunganya yang kuning disinari matahari hingga merona keemasan. Selapis sebelum pagar besi yang mengelilingi kampus, berjejer barisan kaliandra. Bunganya yang merah-strawberry bergelantungan digoyang angin.

Ada satu hal lagi. Tapi, ini sebenarnya rahasia. Para mahasiswa dapat memonitor cewek-cewek yang datang dan pergi meninggalkan kampus. Kalau nasib baik, mereka bisa meledek cewek kece yang lewat sendirian. Soalnya, kebanyakan cewek kece kalau pergi ke mana-mana, selalu dikawal, Jika bukan cowoknya, ya teman dekatnya. Jadi orang cakep memang banyak untungnya.

Karena Pak Panji tidak masuk, maka kuliah Pengantar Ilmu Peternakan dimajukan. Dan, pada pukul sepuluh, kuliah sudah selesai.

"Nana mau ikut ke perpustakaan?" tanya Dewi.

"Waduh, sorry, Wi. Nana ada urusan penting sekali. Harus pulang secepatnya. Malah, tadi pagi, niatnya mau bolos."

"Sinta juga harus ke bank sekarang, Wi. Maaf, ya."

"Enggak apa-apa kok. Biar Dewi sama aku saja," sela Delta tiba-tiba.

Mereka berpandangan. Nana mengedipkan mata. Sinta membalasnya.

"Hmmmh! Apa?" Dewi mencubit Nana hingga gadis itu mengaduh kesakitan.

Sinta cukup cerdik.Ia menjauh, sehingga selamat dari cubitan Dewi.

"Nana, yuk kita pergi," katanya.

"Baik-baik ya, Wi. Daaag," ujar Nana.

"Hhmmmmh!" Dewi pura-pura marah.

Tinggal mereka berdua. Mata elang Delta menatap tajam Dewi. Acuh! "Bagaimana?" tanyanya angkuh.

"Apanya yang bagaimana?"

"Jarang-jarang lho aku mau bantu teman untuk menyelesaikan tugas kuliah. Makanya, kamu beruntung karena aku mau membantumu."

"Hmh, ge-er," kata Dewi sambil senyum sinis.

"Bagaimana? Mau dibantu 'nggak?"

"Karena terpaksa aja," sahut Dewi manja.

Mereka lantas menuju ruang perpustakaan. Letaknya di samping Biro Dekan. Delta yang mengisi buku daftar pengunjung perpustakan. Ia menulis nama "Delta & Dewi" di kolom "nama". Dewi tersenyum kecut melihatnya.

Setelah menyimpan tas di rak, lalu, mereka mencari informasi di katalog.

"Di buku apa kita harus mencarinya ya?" tanya Dewi seakan berkata kepada dirinya sendiri.
"Di buku teks barangkali."

"Mungkin. Tapi....., apa enggak di jurnal?"

Teman-teman berdatangan. "Sudah dapat?" Iko langsung ke pokok persoalan.

Dewi menggeleng.

"Kita bagi tugas saja," Delta mengusul. "Tiap orang mempelajari satu buku teks atau jurnal yang kira-kira memuat tulisan mengenai topik yang kita cari. Oke?"

"Setuju!" sahut mereka serentak.

"Stttt! Jangan ribut! tegur seorang petugas. Mereka cuma saling pandang dan mengedipkan mata.

Berapa saat kemudian, semua duduk di kursi masing-masing. Tidak kurang dari tiga stel meja dipenuhi oleh mereka. Tiap orang mempelajari sebuah referensi. Lima belas menit berlalu. Tak seorang pun yang bersorak gembira. Delta menyikut lengan Doni yang duduk di  sampingnya. "Dapat?"

"Dapat apaa? Aku enggak ngerti bahasa Inggris?" sahut Doni serius.

"Ya ampun," Delta tertawa keras sekali. Orang-orang menoleh. "Jadi, dari tadi kamu ngapain aja? Pura-pura baca?"

"Supaya jangan dibilang bodoh saja," suhut anak itu lugu.

Kontan mereka tertawa riuh. Lagi-lagi petugas perpustakaan mengingatkan.

"Makanya, Don, mesti rajin berlatih mempelajari text book. Sarjana harus menguasai paling tidak satu bahasa asing. Kayak gua nih. Ceileeeeh," celetuk Nina.

"Hmmmh, ge-er," sela Iko.

Mereka melanjutkan membaca. Sudah hampir satu jam berlalu, namun belum juga tampak titik terang.

"Jangan-jangan si Killer itu cuma mau ngerjain kita," desis Delta.

"Iya juga ya. Siapa tahu?" Iko menimpali.

"Kapan tobatnya sih tuh orang?" Nina sewot.

Sampai jam buka perpustakaan habis, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Nihil. Mereka meninggalkan perpustakaan dengan langkah gontai.

***
Dua hari berikutnya kuliah penuh terus. Mereka tidak sempat ke perpustakaan, karena jam bukanya hanya sampai pukul satu. Hari Sabtu libur. Tinggal sehari lagi. Tampaknya usaha mereka menemui jalan buntu.

"Sudahlah. Pasrah saja. Toh kalaupun dihukum, kita semua kena," kata Subandi menyerah.

"Eengngng, jangan," rengek Dewi manja. Matanya yang redup mengerjap-ngerjap.

"Habis, mau apa lagi? Kita telah mencari ke sana ke mari, tapi tidak ketemu."

Delta meneguk teh botol, lalu mencomot pisang goreng. Suasana kantin ramai sekali.

"Kamu makan apa lapar sih?" goda Nina.

"Lapar," sahut Delta seraya  mencomot pastel di piring Nina.

"Eeeh, jangan, Itu punyaku."

Tapi, Delta cuma tersenyum kecil, seraya memasukkan pastel itu ke dalam mulutnya.

"Bagaimana, ya?" Dewi mengeluh cemas.

"Apa besok kita bolos saja semua?" usul Delta tiba-tiba.

"Gila! Itu nekad namanya!" seru Subandi.

***
Sore ini sangat cerah. Namun, hati Dewi tidak demikian. Ia sangat gundah. Telepon di ruang tamu berdering. Ria yang mengangkat.

"Halo," terdengar suara di seberang sana.

"Ya. Mau bicara sama siapa?"

"Dewi ada?"

"Dari siapa?"

"Bilang saja dari masnya. Delta."

"Tunggu sebentar ya." Ria meletakkan gagang telepon di meja. "Wi, ada telepon dari cowokmu."

Dewi yang sedang menyisir rambut seusai mandi, terkejut. Matanya membeliak. "Jangan meledek ah. Mentang-mentang kamu sudah punya cowok."

"Betul, ia mengaku masmu. Delta namanya."

"Delta?" Dewi mengernyitkan alis.

"Tuh kan. Ketahuan ya. Sombong. Punya pacar enggak kasih tahu."

Dewi tidak menyahut. Ia segera meraih gagang telepon. "Helo," suaranya terdengar lembut.
"Hai, Dewi," sahut Delta gembira.

"Ada apa, Delta?"

"PR Genetika sudah selesai?"

"Belum. Aduh....., gimana ya? Dewi bingung nih. Dewi takut dihukum Pak Panji."

"Sesekali enggak apa," pancing Delta.

"Aaaaakh," Dewi merajuk.

"Habis,kamu sejak dilahirkan sampai jadi mahasiswa enggak pernah ada yang marahin. Mentang-mentang anak bungsu. Padahal, hidup 'kan tidak seindah itu. Ada tenang, ada lucu, senang, takut, tegang, sedih, haru...."

"Delta sekarang sudah jadi pujangga ya?" potongan Dewi.

Delta tertawa lepas.

"Jadi, soal PR bagaimana? Delta sudah dapat belum?"

"Hm."

"Delta, kasih tahu Dewi dong."

"Enggak mau."

"Aaaaakh," rengek Dewi manja.

"Oke, boleh. Tapi Dewi mesti janji."

"Janji apaan?"

"Kalau kuliah duduknya di samping Delta terus."

"Lho, katanya enggak boleh nge-booking tempat duduk?"

"Mau dikasih tahu 'nggak?"

"He em deh."

"Oke. Dengerin baik-baik ya. Catat yang betul. Delta di wartel nih. Kalau kelamaan, Dewi harus bayar pulsanya."

"Sebentar, Dewi ambil kertas dulu."

"Tak usah repot, Wi. Ini kertas dan pulpen," Ria menyodorkan.

"Waduh, kamu nguping ya?" Dewi tersipu.

"Sorry, enggak sengaja, Wi."

"Hei, Wi, kamu ngomong sama siapa?"

"Maaf,Delta. Teman Dewi sekamar."

"Cewek?"

"Enggak. Kakek-kakek."

Delta tertawa geli.

"Dewi sudah siap,"

"Baiklah. Sapi Bali berasal dari banteng liar yang didomestkasi. Namanya Bos Sondaicus. Sedangkan Sapi Grati berasal dari sapi persilangan., sapi perah Frisian Holstein dengan sapi lokal di Jawa Timur."

"Sumber referensinya apa?" tanya Dewi mengejar.

Delta lalu menyebutkan sebuah buku teks berbahasa Inggris.

"Kapan Delta dapat ini? Di mana?"

"Hari pertama kita keperpustakaan rame-rame itu lho."

"Oh, jadi waktu itu Delta sudah mendapatkan ya?"

"Hm."

"Iih, jahat!"

Terdengar tawa keras di seberang sana.

***
Hari baru menunjukkan pukul tujuh. Namun Ruang Kuliah-7 sudah ramai. Semua sibuk mencari contekan. Dewi datang dengan wajah ceria. Semalam ia telah menyalin PR itu sebanyak 10 kali.

"Tenang," kata Dewi. "Delta sudah menemukannya."

"Dapat di mana?" tanya Nina heran.

"Sudahlah, jangan banyak tanya. Ini catat,cepat." Dewi membagikan salinan yang telah disiapkan.

"Waduh, makasih banget, Wi," seru Andri.

"Wi, kamu cakep deh."

"Huuu, Rudi, ceritanya merayu nih yee," ujar Nina.

"Gombal," sahut Dewi.

"Alhamdulillah," seru Iko gembiranya setengah mati.

"Selamat, selamat, selamat," Andini bergumam. Ketika Pak Panji masuk dan mengumpulkan tugas, semua mahasiswa menyerahkan, dan.... semua betul.

Pak Panji tersenyum. Itulah senyumnya yang pertama pernah mereka lihat.


Tiga

Masjid al-Hikmah terletak di jantung kampus Peternakan. Indah sekali bentuknya. Arsitekturnya bergaya Turki. Luasnya tidak kurang dari 800 meter persegi. Bertingkat dua, tinggi, dan luas, Masjid itu tampak sangat megah. Di lantai dasar terdapat tempat bersuci, perpustakaan, ruang dosen Agama Islam, dan ruang marbot. Ketika Rafly tiba, Umar sedang menjemur pakaian di samping masjid. Ia tinggal di masjid bersama Usman, Amir, dan Hasan.

"Kamu kuliah?" tanya Rafly setelah mengucapkan salam.

"Masih lama, Raf," sahut Umar santai.

"Eh, lima menit lagi lho."

"Toleransinya setengah jam," Umar tertawa kecil.

"Susah ngomong sama kamu," Rafly pun ngeloyor pergi tanpa lupa mengucapkan salam.

Umar melanjutkan pekerjaannya. Banyak teman yang menyapanya. Ia menjawab dengan santai. Tanpa beban. Selesai menjemur pakaian, Umar mandi. Lalu mengenakan pakaian sederhana, tapi rapi. Rambutnya tidak gondrong, juga tidak pendek. Potongannya nyentrik. Ada kesan lucu melihatnya. Apalagi jidatnya yang lebar seperti filsuf.

Umar meraih sepatuhnya. "Ya ampun, kotor amat," Tadi malam sepatu itu memang sempat masuk lumpur. Hujan turun amat lebar saat  Umar pulang dari tempat kost Rafly. Minjam laporan praktikum. Hari ini mesti dikumpulkan.

Umar mengambil kain basah. Ia mengelap sepatunya sampai bersih. "Waduh, semirnya habis lagi. "Ia membuang kotak semir yang sudah kosong ke tempat sampah.

Umar meraih semir hitam milik temannya. Padahal, sepatu satu-satunya yang ia miliki berwarna coklat. "Apa boleh buat daripada tidak disemir sama sekali?" gumamnya.

Umar mengambil sebuah buku sulit. Ia melipatnya menjadi dua. Sebatang pulpen menjepit ujung saku bajunya. Pukul delapan lebih 10 menit. Umar meninggalkan masjid. Jarak dari masjid ke Ruang Kuliah-7 hanya 25 meter. Mendengar pintu diketuk, Pak Mardi berhenti menulis. Dosen Mata Kuliah Pengantar Bahan Makanan Ternak itu menoleh ke pintu kelas. Umar membuka pintu dengan tenang. Pak Mardi menengok jam tangannya.

"Masih boleh saya masuk, Pak?"

"Sejak pertama kali saya mengajar di kelas ini, kamu selalu saja terlambat."

"Maklum, rumahnya jauh, Pak," celetuk Delta.

Teman-temannya tertawa.

Sementara Umar cuma mesem-mesem. Sejak SMP saya memang selalu terlambat kok, katanya dalam hati.

"Sudah, duduk sama," kata Pak Mardi akhirnya.

Pak Mardi melanjutkan kuliah. Topik pembicaraannya adalah kandungan nutrisi beberapa jenis bahan makanan ternak yang agak jarang digunakan. Misalnya biji saga, biji rambutan, kulit pisang dan biji kapuk.

Delta duduk berdampingan dengan Dewi. "Kamu enggak mencatat?" tanya Dewi perlahan. 
Delta menggeleng. "Aku malas baca catatan sendiri. Mending pinjam catatan kamu, lebih semangat."

"Konyol," kata Dewi seraya memusatkan perhatiannya kembali.

"Saudara-saudara," kata Pak Mardi. "falsafah topik pembicaraan kita kali ini sederhana. Pakan yang kita berikan kepada ternak tidak selamanya harus yang sudah umum digunakan. Manfaatkanlah potensi yang ada di daerah itu. Jika daerah itu adalah daerah penghasil keripik pisang, kita dapat memanfaatkan kulit pisang untuk ternak, khususnya kambing. Itulah pentingnya kita mempunyai pengetahuan tentang bahan makanan ternak."
Tinta pulpen Rafly habis. "Dini bawa  dua pulpen?" tanyanya kepada Andini yang duduk di belakangnya.

"Sebentar," Andini merogoh tasnya. "Ini," katanya.

"Terima kasih,"

"Ada yang ingin bertanya?" tanya Pak Mardi selesai menerangkan.

"Ada, Pak," sahut Delta keras, "Umar."

Semua mata tertuju kepada Umar. Ternyata anak itu sedang asyik mendengkur. Tangan kanannya masih memegang pulpen di atas kertas, tapi tak ada gerakan sedikit pun. Kelas mendadak riuh. Pak Mardi pun sampai tertawa.

"Mar, Umar! Bangun!" Masturi menyentuh lengannya.

Umar terjaga. Ia langsung menulis di kertas catatannya. Entah apa.

"Kamu nulis apa, Mar?" tanya Delta.

"Catatan kuliah," celetuk Masturi yang disambut tawa teman-temannya. Pak Mardi geleng-geleng kepala.

Umar mengangkat wajah. Matanya agak merah. Ia tersenyum kecil.

Tiba-tiba seberkas cahaya menyambarnya. Pandu beraksi dengan kameranya. Ia seorang wartawan freelance. Dan sorak-sarai pun memenuhi RK-7.

***
"Kamu belajar kung fu di mana, Mar?" tanya Rafly ketika jam kuliah usai.

"Kenapa?"

"Kok bisa tidur tanpa goyang ke samping atau kedepan ke belakang? Jago kung fu 'kan biasanya tidur di atas pohon dan gak jatuh."

Umar cuma tertawa kecil.

"Kenapa kalau kuliah kamu tidur melulu?" tanya Rafly lagi.

"Ini sebetulnya sejak SMU. Ada bagian syarafku yang terganggu."

"Ooooh, begitu. Enggak minum kopi dulu sebelum kuliah?"

"Pengaruhnya cuma sebentar."

"Kalau begitu kuliah bawa kopi saja. Bungkus plastik."

"Ah, seperti anak TK saja."

***
Umar sedang asyik menyetrika pakaian. Usman mempelajari buku tafsir Al-Qur'an. Terdengar pintu ruang marbot ada yang mengetuk. Menyusul ucapan salam. Seorang mahasiswa Tingkat Persiapan menanyakan Amir.

"Kak Amir belum pulang," kata Usman, mahasiswa Tingkat III Fakultas Peternakan.

"Mar, Amir ke mana?" tanyanya kepada Umar.

"Kunjungan ke peternak. Belum pulang juga rupanya." Umar melipat celana panjang. Tinggal dua potong baju lagi.

"Dari golongan berapa, De?" tanya Usman.

"Golongan 8 Kelompok III."

"Kalau begitu, kamu saja yang mengisi, Mar. Kasihan mereka menunggu. Aku harus berangkat sekarang." Berkata begitu. Usman lalu membereskan bukunya. Ia menyisir sekali lagi. Merapihkan pakaiannya dan mengenakan parfum. Sore ini, ia harus memberikan ceramah di salah satu kelompok pengajian mahasiswa.

Umar mencabut stop kontak. "Silakan duluan,  De. Nanti saya menyusul. Tempatnya di lantai dua 'kan?"

Yang ditanya mengangguk, lalu permisi.

Umar menyimpan pakaian yang sudah disetrika di lemari plastik. Pakaian yang belum  disetrika disimpan di sana juga. Diletakkan di atasnya. Ia membuka kausnya, kemudian mengambil sebuah baju dan celana panjang dari lemari.

Hasan baru saja pulang praktikum. Ia sekelas dengan Usman. "Mau ke mana, Mar?"

"Asistensi Agama Islam. Amir belum pulang."

"Pakaianmu kok kusut begitu?"

Umar memperhatikan bajunya. "Astaghfirullah. Salah ambil." Umar berbalik dan mengganti bajunya. 

Tiga menit berikutnya Umar sudah berada di hadapan 45 mahasiswa. Ia memberikan asistensi. Gaya dan cara bicaranya yang lucu sering mengundang tawa. Suasan pun menjadi hangat dan tidak kaku.

***
Kuliah Pak Mardi sudah berlangsung satu jam pelajaran. Delta beberapa kali melirik Umar yang duduk di ujung barisan. Heran, kok dia nggak tidur di kelas, batin Delta.

"Ada yang mau bertanya? Silakan," kata Pak Mardi.

"Saya, Pak," Umar mengacungkan jari. Teman-temannya terkejut. "Mungkinkah kita memberikan pakan konsentrat 100 persen kepada sapi perah?"

"Saya pikir, tidak mungkin. Sebab, sapi perah adalah hewan ruminansia. Ia memerlukan hijauan yang mengandung serat kasar agar rumen-nya bisa berfungsi dengan baik. Jadi, harus dikombinasikan. Nah, perbandingan yang dianggap paling ideal saat ini adalah 60 persen hijauan dan 40 persen konsentrat. Hal ini berbeda, misalnya dengan ayam. Ayam termasuk kelompok unggas. Ternak ini bisa diberi konsentrat sampai 100 persen, sebab tidak punya rumen."

Selesai kuliah, Delta menemui Umar. Ia menanyakan resep manjur yang dipakai Umar.

"Enggak pakai resep-resepan," tukas Umar.

"Ah, jangan begitu. Aku ingin tahu. Mana tahu suatu saat aku juga mengalami penyakit seperti kamu."

"Benar kok. Enggak ada rahasia apa-apa."

"Tapi kok kamu bisa tahan begitu?"

Umar membuka sebuah kancing bajunya.Ternyata, ada sebungkus kopi yang menggantung di dadanya, lengkap dengan sedotan plastik. "Ini rahasianya." kata Umar.

Melihat itu, Delta tertawa keras sekali. Teman-temannya berkumpul. Setelah tahu apa yang terjadi, meledaklah tawa mereka.

***
Setiap hari Selasa, mahasiswa Peternakan Tingkat II mengadakan pengajian di Masjid Al-Hikmah. Dimulai pukul tujuh dan berakhir 10 menit menjelang pukul delapan. Barisan diatur sedemikian rupa, laki-laki duduk di depan, sedangkan perempuan di belakang. Pemberi materi umumnya adalah senior mereka. Kadang-kadang juga dosen mata kuliah Agama Islam.

Pagi ini, Amir yang mengisi materi ceramah. "Salah satu hadits Rasulullah yang paling menarik bagi kita, para remaja, adalah yang terjemahannya sebagai berikut. 'Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan perlindungan Allah pada hari yang tidak ada perlindungan sedikit pun, kecuali perlindungan Allah, yakni hari perhitungan di Padang Mahyar. Mereka itu adalah pertama, imam atau pemimpin yang adil. Kedua, pemuda yang selalu beribdah kepada Allah. Ketiga, pemuda yang harinya senantiasa terikat kepada masjid. Keempat, dua orang pemuda yang berkasih sayang karena Allah, berkumpul dan berpisah karena Allah. Kelima, pemuda yang dirayu oleh wanita cantik dan terpandang, namun ia menolak dengan berkata, 'Aku takut kepada Allah'. Keenam, pemuda yang bersedekah atau berbuat kebaikan dengan diam-diam, tanpa hendak mencari pujian masyarakat. Ketujuh, pemuda yang mengingat Allah di tengah malam nan lengang, lalu ia menangis. iedan kasih sayang Allah swt."

Mahasiswa Peternakan II jumlahnya 150 orang. Tapi, dalam acara pengajian seperti itu, yang hadir hanya sekitar 50 orang. Dan, kebanyakan yang hadir adalah wanita. Mereka umumnya mengenakan jilbab. Memang belum mudah mengajak orang-orang muda ke masjid. Tetapi, belum tidak identik dengan tidak. Orang-orang muda memerlukan pendekatan khusus. Sebab, mereka punya banyak kemauan, banyak keinginan. Cita-cita mereka besar. Idealisme mereka tinggi. Sementara itu, gelora nafsu masa muda masih besar mengalir dalam diri mereka. Berbeda halnya dengan orang-orang tua yang sudah tenang. Mereka sudah kenyang makan asam garam kehidupan. Sekarang, mereka ingin hidup damai menjalani sisa umur.

Orang-orang tua melakukan ibadah demi mengejar surga. Sementara orang-orang muda menciptakan karya-karya besar yang mengantarkan mereka kepada surga.

***
Mahasiswa Peternakan II bertanding sepakbola dengan mahasiswa Peternakan III. Acara dilangsungkan sore hari, di Lapangan Sempur. Pertandingan berlangsung seru. Tiap-tiap tim ngotot untuk menang. Peternakan II ingin mengalahkan kakak kelasnya. Sementara Peternakan III malu kalau sampai terjadi hal itu. Mereka bermain habis-habisan. Peternakan II dimotori oleh Delta, Andri, dan Rafly. Yanto yang bermain di barisan belakang ternyata cukup alot juga. Dewi dan Andini bertindak sebagai seksie konsumsi. Mereka berdiri di dekat gawang Peternakan II.

"Ayo, Delta, serang terus," teriak Dewi.

Delta tersenyum sambil melambaikan tangan pada Dewi. Andri mengoper bola kepada Rafly. Andini dan Dewi berteriak-teriak memberikan semangat. Seorang lawan menghadang Rafly, namun pemuda itu mampu mengutik bola dengan manis sekali. Rafly mencari ruang tembak. Tetapi, pertahanan lawan ketat sekali. Saat itulah Rafly melihat Delta berada dalam posisi yang bagus sekali, di samping kotak penalti. "Delta," kata Rafly seraya mengoper bola. Delta memantulkan bola sekali. Ia menendang bola itu sambil menjatuhkan diri. Ternyata, tendangan saltonya sangat keras dan masuk tepat di pojok kanan gawang. Suporter Peternakan II bersorak-sorai. Mereka melonjak-lonjak  kegirangan.

"Delta," panggil Dewi dari pinggir lapangan. 

"Hei, Dewi," Delta kembali melambaikan tangannya.

Pertandingan semakin seru. Dan, sepuluh menit kemudian, gawang Peternakan III kembali kebodohan. Kali ini giliran Rafly yang jadi pahlawan.

Dewi dan Andini berpelukan. "Hebat," seru Dewi.

***
Hujan gerimis mengiringi temaram senja hari. Kelompok III mengadakan acara buka puasa bersama. Banyak juga yang datang. Hampir mencapai 60 orang. Sebelum buka puasa, diadakan kuliah tujuh menit alias kultum. Yang mengisi kultum adalah Amir. Acara berlangsung rileks dan kerap diselingi tawa ceria. Begitu terdengar beduk maghrib, mereka minum cocktail dan makan kue lapis legit.

Selesai shalat maghrib acara dilanjutkan dengan makan malam bersama. Nasi uduk dengan lauk dan bumbu bawang goreng, kerupuk, sambal, telur dadar yang diiris kecil-kecil, dan kacang goreng. Hidangan itu dimasak oleh para mahasiswi. Sedangkan mahasiswa kebagian tugas menjemput makanankan minuman maupun perabot dari tempat kos salah seorang 'koki' ke masjid.

Mereka tidak menggunakan piring. Cukup pinggan saja. Sebuah pinggan cukup untuk lima hingga delapan orang. Mereka makan bersama, tanpa sendok, dan garpu. Begitu akrab dan bersahabat.

"Yang mau tambah, silakan," kata seorang mahasiswi.

"Leo, kunyah dulu baru ditelan," celetuk seseorang dari mereka.

"Jangan buka rahasia, kawan," Leo tersipu. Namun, suapannya malah lebih besar.

"Leo! Malu dong sama Kak Amir."

"Ah, enggak kok ya, Kak. Kalau enggak habis malah mubadzir. Terbuang sia-sia. Dosa. Lebih baik dihabiskan. Betul 'kan, Kak?"

"Huuuuu!" teriak teman-teman Leo.

Amir Cuma tersenyum. Ia juga makan sepinggan dengan mereka.Tidak ada jarak di antara mereka. Suatu citra hidup yang menawan.

"Ini yang masak siapa, sih?" tanya Leo tiba-tiba. 

"Ruri," sahut seorang temannya.

"Keasinan. Ingin buru-buru kawin ya?"

"Kamu! Macam-macam saja!" Ruri mencak-mencak. "Usil!"

Teman-temannya tertawa.

"Biarpun keasinan, tapi kamu 'kan senang, Leo?"

"Karena Ruri yang memasaknya."

"Gombal!" Ruri memalingkan wajah.

Selesai acara, satu per satu dari mereka meninggalkan masjid. Leo kebagian tugas mencari bemo dan mengantar perabot ke rumah kos Ruri.

"Nah, begitu dong. Kalau makan paling banyak, harus rajin bantuin kita," komentar seorang mahasiswi.

"Ini gara-gara nganter-nya ke rumah Ruri aja, makanya aku mau."

"Huuu, rayuan kuno! Ketinggalan zaman!" Ruri makin keki. "Sekali lagi kamu ngomong begitu, awas ya!"

"Ini gara-gara nganter-nya ke rumah Ruri aja, makanya aku mau," Leo nekad.

"Sableng!" Ruri ngambek. Ia menjauh.

"E....eh, jangan begitu dong. Ayo Ruri, kita pulang," bujuk Leo.

"Enggak mau! Pulang aja kamu sendiri!"

"Tapi......, perabot ini?"

"Masa bodoh!"

"Sudahlah, Rur," Irna melerai, "bisa-bisa, nanti kamu malah jadian sama Leo."

"Nah, 'kan?" Leo merasa mendapat angin.

"Idiiiih! Amit-amit punya cowok kayak kamu."

"Jangan takabur. Jodoh di tangan Tuhan. Sudah sering terjadi, sepasang cowok-cewek yang sering berantem, akhirnya malah jadi pasangan suami-istri," sela Rinto.

Ruri merasa terpojok.

"Marilah kita pulang sekarang, Rur. Enggak enak sama sopir bemo. Dari tadi nungguin kita." Leo membuka pintu depan. Ia mempersilakan Ruri masuk.

"Enggak mau. Aku di belakang aja," kemanjaan Ruri muncul kembali.

Ruri mengambil tempat di belakang. Leo duduk di belakang juga.

"Kenapa kamu tidak duduk di depan?" tanya Ruri.

"Karena aku setia sama kamu yang duduk di belakang."

"Sok romantis," Ruri tersipu.

"To, ternyata benar juga katamu tadi," kata Leo seraya tertawa lebar, begitu kendaraan roda tiga itu mulai melaju.

Teman-temannya bertepuk tangan.

Semua sudah pulang. Tinggal seorang mahasiswi berjilbab. Ia berdiri mematung di tangga masjid. 

Amir heran melihatnya. "Belum pulang?" tanyanya.

Gadis itu mengangguk, lalu menunduk.

"Sari nunggu siapa?" tanya Amir lagi. Matanya melihat sekeliling. Tidak ada mahasiswi yang lain.

"Fatima sedang sakit. Saya pulang sendiri. Boleh saya minta tolong diantar?" tanya Sari perlahan.

"Bawa payung?"

Gadis itu mengangguk.

"Kalau begitu, sebentar ya."

Amir menukar kain sarungnya dengan celana panjang. Ia mengenakan jaket kulit. Terkejut Sari ketika melihat Amir menuntun sepeda motor. "Saya tidak mau dibonceng motor, Kak," katanya buru-buru. Dadanya berdebar keras.

"Tentu saja tidak. Sari berjalan kaki, saya naik motor perlahan-lahan, mengantar  Sari sampai di rumah."

Amir segera menghidupkan mesin motornya. "Ayo, kita berangkat."

Gerimis masih jatuh. Sari mengembangkan payungnya. Gadis itu berjalan di sisi kiri jalan. Amir di sebelah kanannya. Jarak masjid ke rumah kos Sari sekitar satu kilometer. Malam tanpa bintang. Namun, sinar lampu motor Amir cukup menolong gadis itu. Selama perjalan, mereka sedikit sekali melakukan percakapan. Sari menjawab seperlunya saja. Mereka lebih banyak berdiam diri. Sampai di tempat Sari, Amir segera permisi. Ia melarikan sepeda motornya cukup cepat. Sebentar saja, ia sudah tiba kembali di masjid.


Empat

Sudah menjadi tradisi yang terkenal sejak dulu, Fakultas Peternakan punya acara pesta "Malam Koboi". Acara itu diadakan tiap tahun, bersamaan dengan pelepasan sarjana baru.

Namun, dalam dua tahun terakhir ini, acara tersebut tidak diadakan. Sebagian besar dosen lebih suka masa bodoh. Acuh. Ada juga yang lebih suka acara itu tak diadakan lagi. Mereka berpendapat, acara itu tak diadakan lagi. Mereka berpendapat, acara tersebut hanyalah hura-hura. Apalagi kadang-kadang ada yang mabuk. Memang, mereka bukan mahasiswa Peternakan, melainkan pengunjung dari luar. Namun, yang jadi sorotan masyarakat tetaplah Fakultas peternakan.

Belakang ini, ada yang menghendaki acara "Malam Koboi" dihidupkan kembali, Terutama mereka, dosen-dosen muda, yang juga alummi Fakultas Peternakan.

Mengawali semester genap, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mengadakan voting di setiap kelas. Tujuannya untuk mengetahui pendapat umum mengenai acara "Malam Koboi",
Ikang, Seksie Keamanan BEM, bersama dua orang temannya masuk II. Ia menyampaikan pengantar sebentar, lalu meminta mereka menyediakan secarik kertas kecil.

"Dengarkan. Saudara tidak perlu menulis macam-macam, Cukup 'ya' atau 'tidak'. Apakah Saudara setuju dengan adanya acara 'Malam Koboi'? Kalau setuju, cukup menjawab 'ya'. Namun kalau tidak maka Saudara mesti memberikan alasan."

Rafly mengacungkan jari. Ikang mempersilakan. "Rasanya tidak adil, Kak. Mengapa kalau menjawab setuju, kami tidak boleh memberikan alasan apa-apa? Siapa tahu kami bisa memberikan masukan berharga, misalnya tentang mata acara."

"Mata acara akan disusun oleh panitia."

"Apakah kami tidak boleh memberikan usulan?"

"Tugas kami hanyalah mengumpulkan data."

Kelas gaduh. Rafly tidak puas. Namun, ngotot pun percuma.

Setelah diadakan perhitungan atas semua suara yang masuk, ternyata jawaban "ya" menang tipis. Berarti, acara tersebut akan dihidupkan kembali.

***
Keesokan harinya, di Masjid al-Hikmah diadakan acara buka puasa bersama. Yang hadir sekitar 50 orang. Kebanyakan, mahasiswa Peternakan tingkat II.

"Sudah rahasia umum," Amir memulai pembicaraan, "sejak dulu, di kampus Peternakan, ada tiga golongan mahasiswa. Golongan hijau, yakni kelompok mahasiswa yang sering disebut orang-orang fanatik, orang-orang masjid. Kita-kita inilah, insya Alloh. Ada juga golongan kuning. Mereka orang-orang Islam juga. Tetapi, mereka lebih seks hura-hura. Mereka mengaku muslim, namun tidak akrab dengan masjid. Kadang-kadang, shalat masih ditinggal. Jarang ngaji, apalagi puasa sunnah. Terakhir, golongan merah, yakni mahasiswa non muslim."

Amir berhenti sebentar. Ia memperhatikan teman-temannya. Mereka menanti uraian berikutnya.

"Antara kelompok hijau dan kuning sering terjadi konflik, meski tidak selalu muncul ke permukaan. Kelompok kuning bergabung dengan kelompok merah.

Salah satu acara yang ditentang oleh kelompok hijau adalah tradisi "Malam Koboi". Kita menentang acara tersebut karena tidak melihat lebih banyak hura-huranya ketimbang manfaatnya. Lebih  banyak maksiatnya, terutama karena dilakukan pada malam hari.

Malam itu gelap Sesuatu yang gelap itu tidak jelas. Acara yang dilakukan pada malam hari, seperti "Malam Koboi", tidak jelas hukumnya. Bahkan, cenderung ke haram.

Dua tahun lamanya kita berhasil tidak mengadakan acara itu. Ketika itu, orang-orang kitalah yang memegang BEM. Namun kini, tidak ada orang-orang kita di sana. Yakh, ini kesalahan kita juga. Kesalahan kami yang senior. Kami tidak melakukan regenerasi dengan baik,"
Rafly mengucap wajahnya, lalu memain-mainkan pulpennya.

Di barisan belakang. Dian tercenung menatap karpet penutup lantai. Endah memperbaiki letak kacamatanya. Suasana agak tegang menyelimuti mereka.

"Kita kecolongan!" suara Amir keras. "Kita kecolongan karena kelalaian kita sendiri. Acara "Malam Koboi" akan dihidupkan kembali. Menyesal sekali, kami tidak sempat mengantisipasi hal ini  sebelumnya di kelas II. Segalanya sudah terjadi Sekarang, yang  mungkin kita lakukan hanyalah tidak menyukseskan  acara tersebut. Kalian jangan memberikan dukungan apa pun. Kalaupun kita tidak mampu melarang suatu bentuk kemaksiatan, paling tidak kita tidak melibatkan diri di dalamnya. Dan berdoa, semoga mereka diberi petunjuk oleh Allah, Yaakh, memang ini pertanda iman yang lemah. Namun, lebih baik daripada tidak sama sekali."

***
Tengah malam telah lewat. Suasana rumah kos Rafly sudah sepi. Semua sudah lelap, kecuali Rafly. Ia masih duduk di hadapan meja belajarnya. Bukan lagi belajar. Bukan. Tak ada satu pun catatan kuliah di mejanya.

Tangannya bertopang di dagu. Sementara itu, keningnya panas. Pikirannya tegang.

Ia senantiasa digoda oleh pikirannya tentang acara "Malam Koboi". Ia merasakan banyak benturan di kampus Peternakan. Sebenarnya, waktu masih di Tingkat Persiapan, ia sudah melihat hal ini. Namun sekarang, semakin jelas. Lebih keras.

Hal ini tidak pernah dijumpainya ketika SMU. Semua teman sekolahnya beragam Islam. Di antara mereka banyak yang taat. Rafly salah satunya. Ayahnya adalah seorang ulama yang disegani di daerahnya.

Acara kesenian dan olahraga sering dilakukan baik di sekolah maupun tempat-tempat umum. Namun, tidak pernah terjadi benturan. Tidak seperti di sini. Apakah karena ketika itu mereka masih remaja yang lugu? Belum banyak mengetahui mana yang boleh dan mana yang dosa? Mana perbuatan baik dan mana perbuatan maksiat?" Belum mengenal tipu daya dunia.

Yanto menggeliat. Matanya silau terkena sinar lampu. Perlahan ia membuka mata sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Belum tidur, Raf?" tanyanya lebih mirip gumam.

"Ya."

"Jam berapa sekarang?"

"Satu. Kamu mau shalat tahajjud sekarang?"

"Nanti aja deh. Jam dua. Weker sudah kusetel tadi." Yanto menarik selimutinya. Ia membalikkan badan. Menghindari cahaya lampu jatuh ke wajahnya.

Rafly kembali tenggelam dalam menungnya. Ia membuka laci meja. Ada sebuah foto ukuran postcard.

Rafly meraihnya. Tampaklah ibu dan ayahnya tengah tersenyum. Ibunya mengenakan baju kurung dan kain batik. beliau berkerudung. Sedangkan ayahnya memakai baju takwa dilapisi jas biru dengan paduan kain sarung motif kotak-kotak. Sebuah sorban putih melilit di kepalanya.

"Hati-hati di tanah orang, anakku,"  terngiang kembali nasihat ayahnya ketika ia hendak berangkat. "Jaga dirimu, akhlakmu, dan tingkah lakumu. Sebab, hal-hal itulah yang pertama kali dilihat oleh masyarakat. Kenali lingkungan barumu. Kamu mesti menyesuaikan diri terhadap masyarakat sekitarmu. Ingat, itu tanah mereka. Mereka bisa berbuat apa saja kepadamu jika kamu melakukan sesuatu yang bodoh. Sebab, seperti juga kita, mereka cemburu dan marah jika nama baik daerah mereka dicemari."

Rafly mengangguk. Hatinya amat  terharu Bagaimanapun, ini adalah perpisahan dengan keluarganya untuk pertama kali. Ibunya  malah hanya menunduk sejak tadi. "Belajarlah dengan baik. Ingat, di kecamatan ini, cuma kamu yang jadi mahasiswa. Masyarakat menaruh harapan besar padamu. Mereka menjadikan kamu sebagai figur. Mereka turut mendoakanmu. Jangan kecewakan mereka. Jangan kau sia-siakan harapan dan  penantian mereka yang mengasihi, mencintai, dan mendoakanmu.

Terakhir, ingatlah selalu kepada Tuhan. Itulah modal  hidup bahagia di dunia maupun di akhirat. Di masa pun kamu berada, apa pun permasalahan hidupmu, yakinlan bahwa Tuhan senantiasa melihatmu dan bersedia menolongmu. Kamu harus selalu berprasangka baik terhadap-Nya."

Rafly mendongak. Ibunya juga mendongak. Mata perempuan itu berair. Rafly memalingkan wajah.

"Sekarang, berangkatlah. Ibu dan Ayah ikhlas melepas kepergianmu. Doa kami selalu menyertaimu.

Jangan hiraukan air mata yang jatuh. Itu biasa. Manusia itu, apalagi perempuan, kalau sedih menangis, bahagia juga menangis. Bertekadlah untuk menebus air mata kesedihan hari ini dengan air mata kebahagian pada hari esok."

Ayah Rafly meraih bahu anaknya. Rafly berdiri. Ia mencium tangan ayahnya, lalu ibunya. Kemudian. ia mencium Annisa. Mati-matian Rafly berusaha menahan tangis. Namun, empasan air mata itu terlalu kuat.. Menghancurkan pertahanannya.

Rafly mengusap wajah. Potret itu masih digenggamnya. "Ibu, Ayah, doakan saya agar menjadi orang yang berguna." gumamnya perlahan.

Ia kembali teringat perihal "Malam Koboi". Pikirannya kembali tegang. Sudah tiga hari ia berusaha mencari jalan keluar yang terbaik.

Bel weker berdering. Pukul dua dini hari. Rafly membangunkan Yanto.

"Ee...., eehmmmmmm," Yanto menggeliat.

"Mau shalat tahajjud enggak? Rafly mengoyang-goyangkan tubuh sahabatnya.

"Kamu duluan, deh," sahut Yanto tanpa membuka mata. "Aku ngantuk sekali."

Rafly menghela napas. "Siang malam kerjamu tidur melulu."

Rafly segera berwudhu dan mengerjakan shalat tahajjud empat rakaat. Dilanjutkan dengan shalat Witir tiga rakaat. Setelah itu, ia membaca Al-Qur'an dua halaman.

Sebelum rebahan, Rafly membangunkan Yanto kembali. Namun, anak muda itu tidak juga mau bangun. Rafly menyetel weker dan meletakkannya di atas lemari. Deringnya yang keras mengusik tidur Yanto. Ia mencari-cari benda tersebut dengan tangannya. hendak mematikannya. Tapi, ia tak menemukannya.

"Bangun! Shalat dulu, nanti tidur lagi," ujar Rafly seraya rebahan di ranjangnya.

Dengan agak malas. Yanto bangun. Beranjak ke kamar mandi.

Di luar, burung hantu menyalak. Seakan-akan hendak mengingatkan, akulah penjaga malam.

***
Rafly mengumpulkan beberapa mahasiswa berjilbab di perpustakaan induk. Gedungnya besar dan megah sekali. Ruang bacanya amat luas. Lantainya dilapisi karpet yang bersih. Jika malas duduk di kursi, membaca dapat dilakukan sambil menjuntaikan kaki di lantai. Masuk perpustakaan sepatu atau sandal mesti dilepas. Di sini, bacaan yang ada lebih bervariasi. Ada berbagai macam bacaan sesuai dengan jumlah fakultas dan jurusan yang ada di Universitas Bogor. Di lantai satu, terdapat buku teks dan buku bacaan umum. Ada satu ruang khusus referensi, seperti karya ilmiah, tesis, disertasi, dan ensiklopedi. Sementara itu, di lantai dua terdapat aneka majalah dan jurnal dari dalam maupun luar negeri.

Rafly bersama 15 orang mahasiswi berjilbab berkumpul di salah satu sudut. Di situ, keadaan tenang  dan sepi.

"Teman-teman, langsung saja ke pokok persoalan, yakni tentang acara "Malam Koboi". Aku tahu, kita semua tidak setuju. Namun, acara tersebut sudah tidak mungkin dibatalkan. Panitia sudah dibentuk.

Mungkin saja kalau kita mau bersikap peduli tak peduli. Aku pikir itu bukan ciri orang muda, apalagi yang mengaku muslim. Tapi, menolak keras-keras atau unjuk rasa pun rasanya tidak mungkin. Tidak efektif."

Dian menggigit-gigit pulpennya. Meskipun usianya sudah 20 tahun, kebiasaannya yang satu ini tidak juga hilang.

"Menurut pendapatku....., sekali lagi, ini pendapatku, satu-satunya cara yang paling ampuh adalah kita menyeruak masuk. Kita harus turut mewarnai acara tersebut."

"Rafly?!!" mereka tersentak kaget.

"Aku mengerti, kalian pasti merasa berat. Aku juga merasa berat hati. Kita harus memilih. Kita harus berani mengambil keputusan, meski dengan risiko yang barangkali cukup besar."
Rafly menatap mereka satu per satu.

"Kita menampilkan acara kesenian yang bernapaskan Islam. Nyanyi dan baca puisi."

"Kita harus nyanyi?" Ita sampai terlonjak dari kursinya.

"Teman-teman. Saya tahu teman-teman punya jiwa seni. Dian, saya dengar, bahkan pernah juara lomba baca puisi tingkat nasional. Sementara teman-teman yang lain, dan Dian juga, pandai nyanyi dan bermain gitar."

"Barangkali itu benar, Rafly," sela Ita. "Namun itu dulu, saat kami belum pakai jilbab. Sekarang, paling-paling kami gitar di rumah,"

"Bagaiman kalau teman-teman mentas?"

"Dengan jilbab seperti ini?"

"Apakah tidak boleh?" tanya Rafly.

"Apa kata orang nanti?"

"Mungkin banyak yang mencemooh. Namun aku yakin, banyak pula yang simpati pada kita. Ini suatu terobosan dalam dakwah di kampus kita."

"Rafly," Ayu menyela. "Katakanlah kami bersedia mentas dengan segala konsekuensinya. Tapi, bagaimana dengan akhwat kita yang lain yang juga memakai jilbab? Citra mereka akan jatuh."

Rafly menggigit bibir. "Begitu jelekkah wanita berjilbab jika mereka melibatkan diri dalam kesenian?" lirih suaranya seakan-akan bertanya kepada dirinya sendiri.

Tidak ada yang menyahut.

"Apakah salah dakwah lewat seni? Rhoma Irama melakukannya lewat lagu dan film. Bimbo dan Taufiq Ismail melalui puisi dan lagu. Ebiet G. Ade lewat lagu. Usman Effendi melalui film. Chairil Anwar juga menulis sajak ketuhanan. Apalagi Amir Hamzah, penyair yang religius itu. HB Jassin menerjemahkan Al-Qur'an secara puitis. Apakah salah? Sedang Imam Syafi'i, seorang ulama besar, Imam Madzhab Syafi'i, juga menulis sajak cinta. Beliau termasuk salah seorang penyair yang dikagumi. Ulama besar, Buya Hamka, juga seorang pengarang roman percintaan. Romannya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bahkan sangat mengharukan dan memabukkan. Demikian pula romannya yang lain, Di Bawah Lindungan Ka'bah. Kita pernah punya penyair, penulis dan seniman yang berdakwah lewat seni. Kita pernah memiliki Muhammad Iqbal, Sa'di, Rumi, Umar Khayyam, Al-Farabi, Sinan, dan Bundoo Khan. Yaakh, aku hanya mengajukan gagasan. Aku tidak punya hak memaksa teman-teman."

***
Sebanyak sepuluh orang menyatakan setuju. Rafly bahagia sekali.

Namun, ia mendapat tantangan keras dari teman-temannya, orang-orang masjid. Ia dipanggil ke masjid. Di ruang marbot, ia mesti berhadapan dengan Amir, Usman, Hasan, dan Umar.

Ia dimarahi habis-habisan oleh Amir.

"Kamu tahu, seni dan olahraga merupakan media yang sangat ampuh yang digunakan oleh Yahudi untuk menghancurkan akidah umat Islam.

Umat dibuat terlena, sehingga melupakan kewajibannya kepada Allah. Lebih dari itu, mental mereka juga dirusak oleh tontonan-tontonan yang membangkitkan nafsu seksual. Kamu tahu,  bagaimana seksinya pakaian renang, pakaian pemain volley putri, pakaian petenis putri. Sementara cabang-cabang olahraga yang lain, pakaiannya tak kalah buruk.

Kamu tahu pula, film-film yang beredar sekarang ini? Apa yang ditonjolkan? Paha dan dada!

Di mana-mana perempuan dijadikan alat. Alat pemuas nafsu seks, alat penarik iklan, alat  penarik langganan di kantor-kantor perubahaan. Zaman benar-besar edan.

Dan sekarang, kamu hendak turut-turutan edan juga. Kamu hendak menjadikan akhwat kita yang pakai jilbab sebagai alat pemuas nafsu mereka yang berjiwa sakit. Kamu hendak menjerumuskan mereka untuk menyukseskan acara "Malam Koboi" yang jelas-jelas kita tentang."

"Jangan salah sangka. Maksud saya hanya hendak menunjukkan bahwa Islam juga punya seni," kata Rafly tenang.

"Dengan menjual tampang akhwat kita, begitu?!" kedua tangan Amir mengepal. Sementara giginya gemerutuk menahan geram.

"Mereka bisa main gitar dan bernyanyi. Apa salahnya dan....."

"Apa salahnya?!" sebuah tamparan Amir mendarat di wajah Rafly. Disusul sebuah pukulan yang tepat mengenai hidungnya. Pemuda itu sama sekali tidak mengelak. Tidak pula melawan.

Ia hanya menyapu darah yang mengucur dari lubang hidungnya.

"Mereka pakai jilbab dan itu lebih tampak bendera Islamnya," kata Rafly sabar.

"Kenapa bukan ikhwan yang bisa main gitar dan menyanyi?" sela Usman.

"Siapa? Mana? Apakah kita punya vokal grup? Bahkan, grup kasidahan dan nasyid pun kita tidak punya. Atau klub drama, teater? Klub pembaca sajak? Mana?" suara Rafly meninggi.

Tak seorang pun yang menyahut.

"Apakah semua kesenian haram hukumnya? Padahal, seni adalah bagian dari perasaan manusia yang paling indah. Setiap orang membutuhkannya, meski tidak semua dapat menjadi penciptanya. Apakah semua cabang olahraga terlarang dalam agama kita? Padahal, Rasul memerintahkan kita agar berlatih naik kuda, berenang, dan memanah?" ujarnya tajam.

Rafly melanjutkan, "Aku kira tidak. Ini hanya soal pilihan. Jika selama ini banyak cabang olahraga dan karya seni yang lebih banyak ditujukan untuk mengundang nafsu, itu karena yang menciptakan, melakukannya, menghasilkannya bukan orang-orang masjid, bukan orang-orang kita. Kenapa kita tidak pernah turun tangan membenahinya dan menghasilkan karya seni dan olahraga yang islami?"

Rafly menatap mereka satu per satu.

"Dalam agama kita, tidak ada istilah kependetaan. Semua orang berhak untuk berdakwah, bukan hanya ulama. Para seniman, pengarang, penyanyi, olahragawan, anak-anak muda, tentara, guru, dokter, penguasa....., semuanya berhak dan wajib berdakwah sesuai profesi dan kemampuan masing-masing. Karena setiap profesi yang baik dalam hidup ini mengandung nilai dakwah. Dan, Islam adalah agama untuk seluruh alam, seluruh umat manusia. Bukan hanya orang-orang pesantren, orang-orang masjid yang memerlukan dakwah. Orang-orang Islam yang katakanlah abangan-meski aku tak setuju dengan istilah ini, karena bagiku Islam itu adalah satu-pun sangat haus akan siraman dakwah. Tiap-tiap kelompok memerlukan pendekatan dakwah tersendiri. Sebab, umat Islam berbeda-beda latar belakang pendidikan, sosial, budaya maupun tingkat pemahamannya terhadap agama. Tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Meski demikian, orang luar pun boleh mempelajari dan menilai agama Islam. Jika ia mau menyatakan diri masuk Islam, pintu senantiasa terbuka. Banyak cara untuk berdakwah. Jika seni bisa dimanfaatkan, kenapa kita harus mengabaikannya? Beri aku waktu untuk melakukannya."

***
Setelah Rafly, giliran Dian dan kawan-kawan yang dipanggil ke masjid. Mereka pun kena marah. Semua mengundurkan diri, kecuali Dian.


Lima

Rafly tercenung sendirian di kamarnya. Teman-temannya sudah tidur semua. Pikirannya seringkali terarah kepada acara "Mala Koboi". Ingat konflik yang terjadi antara orang-orang masjid dengan kelompok hura-hura. Ingat gap antara kelompok yang satu dan kelompok yang lain. Dan akhirnya, ingat kepada dirinya sendiri, saat dimarahi oleh Amir.

Rafly paham betul akan kehati-hati Amir dan teman-temannya yang lain. Ia yakin bahwa apa yang mereka lakukan adalah bukti cinta dan kasih sayang mereka terhadap saudara mereka, sesama muslim.

Namun, antara ia dan mereka terdapat perbedaan watak. Mereka punya watak keras. Rafly sebaiknya, tidak menyukai radikalisme. Jiwanya yang halus tidak menyukai kekerasan. Ia penyabar,  pendamai, dan moderat. Inginnya, dalam berdakwah, merangkul sebanyak mungkin orang dari kelompok manapun. Inginnya, dalam berdakwah, bukanlah membuat mereka yang selama ini jauh dari Tuhan kian menjauh, melainkan menarik mereka dan memberikan penjelasan bahwa pintu tobat senantiasa terbuka bagi orang yang menyadari bahwa dirinya akan dimintakan pertanggungjawaban oleh Allah.

Sekarang, di Kampus Peternakan, mahasiswa muslim terpecah-belah. Ia ingin menyatukannya. Ia ingin menjembatani kesenjangan antara kelompok orang-orang masjid dan kelompok hura-hura. Sebab, mereka sama-sama muslim. Mereka tetap satu. Dan, ada tugas yang jauh lebih mendasar dan mendesak ketimbang saling mengejak dan memelihara konflik di antara mereka.

Tugas besar adalah membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidak-tahuan mereka tentang ajaran agama. Umat Islam saat ini banyak jumlahnya, namun mereka tidak mampu  berbuat banyak untuk mengisi zaman yang besar ini. Sebabnya, mereka bodoh, miskin, dan tidak mengetahui keagungan ajaran Islam.

***
Yanto menyeduh kopi segelas besar. Rafly tertawa memelihara. "Untuk apa kopi sebanyak itu?" tanya Rafly. "Untuk tiga orang juga cukup."

"Aku mau belajar sampai jam dua malam," sahut Yanto mantap.

Mendengar itu Rafly tertawa. "Enggak biasa-biasanya. Tapi, coba saja aku lihat nanti."

"Kamu sudah siap?" tanya Yanto.

"Sudah seminggu lalu."

"Sombong, kau," Yanto berlagak marah.

"Lho, enggak percaya?"

"Mana ada mahasiswa kita yang siap ujian sejak seminggu sebelumnya? Semua 'kan pakai SKS. 'Sistem Kebut Semalam'."

Keduanya tertawa.

"Heh, ada apa?" Arifin masuk kamar, "Ada 'proyek', ya? Kok enggak bilang-bilang sih?"

"Kamu! Pikiranmu enggak lain, 'proyek' alias cewek melulu," ujar Rafly.

"Intermezzo itu penting, kawan."

Bambang masuk kamar pula. Mahasiswa memang begitu, Raf," katanya. "Eh, kalian pernah dengan cerita tentang teman-teman kita yang tinggal di asrama? Mereka itu dari Senin sampai Sabtu omongannya enggak lain, cewek melulu. Tapi, semuanya ada di rumah kalau malam Minggu!"

Mereka tertawa terbahak-bahak. Arifin yang paling keras tawanya.

"Sama juga dengan Arifin," sela Rafly.

"Aku 'kan belum. Belum ngejar. Jangan nyindir ah."

"Cewek mana yang mau sama Arifin? Sudah naik tingkat dengan nilai mepet, weselnya pun selalu kepepet," kata Yanto, menyebabkan mereka kembali tergeletak.

Satu jam berlalu. Yanto sudah lima kali menguap. Ia ngantuk berat. Rafly tertawa kecil melihatnya. Kata orang, minum kopi itu dapat melawan kantuk. Tapi, ini tidak  berlaku bagi Yanto. Ngopi atau tidak, sama saja baginya. Bahkan, tidak jarang kopi jadi pengantar tidurnya.

Yanto melirik Rafly. Yang dilirik cuma tersenyum lebar.

"Sialan. Mata ngantuk amat sih." Ia lalu meneguk kopinya. Tegukan terakhir.

"Aha! Aku ada ide!" katanya tiba-tiba. "Cuci muka dulu deh. Biar lebih afdhol," lonjaknya gembira.

***
Suasa ujian Fisiologi Hewan Ternak cukup menegangkan. Selain jumlah kakak kelas yang mengawasi cukup banyak, dosen senior pun turut menjaga. Profesor Ayub! Demi Tuhan,mahasiswa paling tidak suka diawasi olehnya. Kebanyakan dosen senior orangnya kolot. Kalau ada yang ketahuan menyontek, mereka tidak mengenal ampun. Tidak ada kompromi.

Kakak kelas lain. Mereka tampangnya aja strange padahal lebih banyak ngeceng. Yanto menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Keningnya terasa panas. Keringat dingin membasahi lehernya. Susah amat sih, keluhnya dalam hati. Profesor Ayub meraih mikrofon. "Menyontek boleh, asal tidak ketahuan," guraunya dingin. "Tapi, kalau ketangkap basah, tidak ada ampun. Sorry aja ya."

Bangsat! Maki Yanto dalam hati.

Delta melirik ke samping. Si mungil sedang berpikir keras. Cantik sekali. Delta sampai gemas dibuatnya.

Rafly mengacungkan jari. Dia menanyakan soal nomor 49 yang kurang jelas ketikannya. Gila! Rafly sudah nomor 49, batin Yanto. Aku, nomor 5 saja belum. Sampai waktu ujian habis, belum ada seorang pun yang keluar. Mata kuliah Fisiologi Hewan Ternak memang sukar. Pelajaran hafalan. Padahal, yang mesti dihafal sangat banyak. Kalau tidak ribuan, ratusan. Pada satu organ tubuh saja, nama atau istilah yang harus diingat bisa mencapai 10 buah. Kalau organ tubuh ternak dari 100???

Selesai ujian, Yanto bergegas menemui Rafly. "Gila, kau. Cepat sekali mengerjakan soal. Baru 15 menit sudah nomor 49."

Mendengar itu Rafly tertawa. "Waktu itu aku belum mengerjakan satu soal pun. Aku baru memeriksa soal-soal ujian!"

"Sialan."

Andini yang berdiri di belakang mereka, tertawa. Ia mengembalikan pulpen Rafly yang tadi dipinjamnya.

"Kamu bisa mengerjakan semua soal?" tanya Rafly sambil berjalan pulang.

"Aku lagi apes, Raf," tutur Yanto. "Tadi malam, aku belajar secara acak. Dari diktat yang seratus halaman itu, aku hanya belajar sepuluh halaman. Ternyata, yang keluar di ujian, poin-poin yang tidak aku pelajari. Dasar nasib lagi sial."

Santoso, Arifin, dan Bambang telah menyejajari mereka. Mendengar cerita Yanto, semua tergelak. Hanya Yanto yang tersenyum kecut.

***
Persiapan acara " Malam Koboi" terus dilakukan. Panitia mencari dana ke mana-mana, baik yang ada di fakultas, maupun di luar fakultas, termasuk alumni dan perubahan-perubahan. Mereka menghubungi grup-grup seni fakultas lain maupun SMU-SMU sekotamadya Bogor dan sekitarnya. Poster dipasang di mana-mana. Yang pasti, di Fakultas Peternakan. Di terminal bus, stasiun kereta api, fakultas-fakultas lain, SMU-SMU.

Tengah malam yang sepi. Umar baru saja selesai shalat tahajjud dan witir. Dari masjid, ia berjalan ke depan ruang Badan Eksekutif Mahasiswa. Umar menyobek poster-poster yang dipasang di sana.

Setiap kali disobek, setiap kali itu pula, keesokan harinya, telah ditempel poster pengganti. Rafly tidak luput dari tekanan yang dilakukan oleh orang-orang masjid. Banyak temannya yang memandang lain kepadanya. Namun, ia tenang-tenang saja. Tidak terpancing emosi. Tidak pula berprasangka buruk kepada mereka.

Ia justru selalu berdoa kepada Alloh, "Ya Alloh, kosongkanlah hatiku dari segala prasangka buruk kepada-Mu maupun makluk-Mu. Ya Allah,  penuhilah hatiku dengan sangkaan yang baik terhadap-Mu dan makhluk-Mu."

Dian pun mengalami hal yang sama. Rafly berusaha membesarkan  hatinya. "Saudara-saudara kita tidak bersalah. Mereka hanya tidak memahami langkah kita. Karena itu, lebih baik kita maafkan mereka. Dan, lupakan perlakuan mereka yang kurang simpatik terhadap kita.

Hadapilah hal ini dengan tabah. Ketika dulu Hamka mengarang roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, beliau dikritik dan dibenci banyak orang. Ulama kok mengarang kisah percintaan? Apa-apaan ini? Namun akhirnya, masyarakat, termasuk mereka yang ahli agama, mengerti akan pentingnya seni dalam hidup manusia. Kini, orang-orang malah merindukan figur ulama seperti beliau. Dakwahnya indah. Karyanya pun dipenuhi nilai dakwah," tutur Rafly.

Rafly dan Dian rajin berlatih. Mereka ditemani oleh teman kos Dian, untuk menjaga diri dari fitnah.

***
Saatnya pun tiba. Panggung pentas dibuat seindah mungkin. Letaknya dekat dengan Ruang Kuliah 7. Di depan panggung, ada tenda dan tiga baris bangku untuk dosen dan undangan khusus. Selebihnya adalah ruang terbuka. Malam cerah berhias kemintang. Angin Bogor sedikit nakal. Dingin. Namun, kehangatan suasana menghalaunya. Banyak sekali pengunjung yang datang. Tidak hanya mahasiswa, tapi juga anak-anak SMU. Tidak sedikit yang datang membawa pasangan.

Pukul setengah delapan malam acara dimulai. Pembawa acaranya adalah Fanny, mahasiswi tingkat II yang terkenal paling centil. Postur tubuhnya kurus-mungil. Cantik dan menggemaskan, seperti Ruth Sahanaya.

Acara diawali dengan sambutan Ketua Panitia, Ketua BEM, dan terakhir Pembantu Dekan-III. Setelah itu, Langsung masuk ke acara hiburan. Sementara acara penglepasan sarjana baru telah dilakukan pada siang harinya.

Satu demi satu grup seni musik tampil mempertunjukkan kebolehan mereka masing-masing. Kebanyakan menampilkan musik rock dan country.

"Oke, hadirin yang berbahagia, berikut ini, kita saksikan penampilan yang lain daripada yang lain. Rafly dan Dian....."

Tepuk tangan riuh menggema.. Namun, begitu Rafly dan Dian muncul di panggung, tepuk tangan itu tiba-tiba berhenti.

Mereka terkejut. Heran. Aneh. Apa yang akan dikerjakan oleh cewek berkerudung yang setiap harinya hanya nongkrong di masjid?  Apa yang bisa dilakukan oleh cewek yang mengharamkan segala bentuk kesenian?

Itulah persepsi Masyarakat tentang perempuan berjilbab. Mereka dianggap kolot. Tidak kenal kemajuan zaman. Tidak pandai bergaul. Mereka mencemooh, kenapa sih harus pakai jilbab segala?

Malah, tidak sedikit yang punya sangkaan negatif. Jangan-jangan, perempuan berjilbab itu ada hubungannya dengan organisasi yang terlibat teror?

Rafly dan Dian duduk bersebelahan. Jarak yang memisahkan mereka kurang lebih satu meter. Keduanya menenteng gitar.

Rafly mengucapkan salam, "Assalaamu 'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh." Menyusul musik instrumentalia mengalun lembut. Petikan lagu kelompok Scorpions, "Holidaya", menggelitik perhatian.

Semua terdiam. hadirin terpana. Lengang. Hanya alunan gitar melintasi malam. Semua mata tertuju ke panggung. Dian dan Rafly memainkan gitar dengan baik. Tak kalah dengan para pegitar profesional.

Di antara penonton, ada seorang gadis yang tercenung di barisan tengah. Sebentar ia menatap ke panggung dengan pandangan resah, sebentar ia menunduk dengan perasaan galau. Andini.

Permainan gitar berhenti. Tepuk tangan riuh memecah hening.

"Lagi! Lagi!" teriak penonton.

Rafly dan Dian tersenyum kepada penonton.

Kemudian, kembali hadirin terpaku. Lagu Bimbo, "Tuhan", dialunkan Dian dan Rafly. Syahdu. Menembus kalbu.

"......aku jauh, Engkau jauh
aku dekat. Engkau dekat
hati adalah cermin
tempat pahala dan dosa berpadu...."

Ketika lagu tersebut selesai, penonton sudah tak sabar untuk bertepuk tangan. "Lagi! Lagi!" teriak mereka.

Dian meletakkan gitarnya di kursi. Ia maju sambil memegang secarik kertas.

Dian membawakan puisi Chairil Anwar, berjudul "Doa". Sewaktu SLTP dan SMU, Dian berkali-kali menang lomba baca puisi di kotanya. Rafly mengiringi dengan permainan gitar.

"Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling."

Pembantu Dekan-III berbisik kepada seorang dosen di sampingnya. "Bagus sekali. Ternyata, mereka juga pandai kesenian. Kita membutuhkan mahasiswa-mahasiswa yang seperti ini. Taat kepada Tuhan, pandai, juga bisa seni."

"Terus! Terus!" teriak pengunjung saat Dian usai membawakan puisi tersebut.

"Baiklah," kata Rafly. "Kini, kami akan lantunkan lagu Ebiet G. Ade, "Pernah Kucoba untuk Melupakan Kamu'."

Dian sudah duduk kembali di kursi dan memegang gitar. Lalu, kembali keduanya memesona para penonton dengan lagu-lagu ketuhanan nan syahdu.

"Pernah,
Kucoba untuk melupakan Kamu.....
Tetapi,
Yang kurasakan kemudian
Hidup seperti tak berarti lagi
Dan ternyata bahwa
Hanya kasih sayangMu
yang mampu membimbing tanganku...."

Sebagai penutup, Rafly dan Dian memainkan musik isntrumentalia, penggalan lagu kelompok Scorpions, "Still Loving You". "Terima kasih, wassalaamu 'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh."

Sambutan salam berpadu dengan tepuk tangan riuh dan panjang sekali.
Malam itu kemintang di langit jadi saksi bahwa Rafly dan Dian berhasil merebut simpati paling besar.


Enam

Pentas Rafly dan Dian mengundang beragam reaksi dari mahasiswa Universitas Bogor, khususnya Fakultas Peternakan. Banyak kawan yang beralih menyenangi Rafly, terutama dari golongan hura-hura. Mereka beralasan, inilah terobosan baru dalam dakwah, yang membuat mereka tidak merasa takut untuk mendekat kepada Tuhan.

Namun, tidak kurang pula yang menentang, Memang tidak terang-terangan di hadapan Rafly. Namun, sinar mata dan sikap mereka, jika berbicara, menyiratkan hal itu. Rafly tidak tersinggung. Ia telah memantapkan hati. Tidak akan banyak bicara. Ia tidak akan menimpali konflik dengan mereka. Baginya, mereka-terutama Umar, Usman, Hasan, dan Amir-tetap saudara yang dihormatinya.

Rafly selalu berprasangka baik kepada mereka. Ia tahu, kalau mereka membenci Rafly, bukanlah mereka membenci dirinya. Mereka mungkin membenci tingkah lakunya. Namun Rafly yakin, cita-citanya mulia. Suci. Hanya mereka belum mengerti konsep perjuangannya. Dan, mereka tidak memberi kesempatan kepada Rafly untuk mengungkapkan konsep dan strateginya. Rafly pun tidak hendak ngotot. Ia sedikit bicara, banyak kerja. Sabarlah, Raf. Tabahkan hatimu, Rafly menghibur dirinya sendiri. Ini cuma soal waktu.

***
Dr. Muhammad, sesepuh Masjid al-Hikmah memanggil Rafly dan Dian. Kembali, mereka kena marah dan kritik pedas. Dian hampir menangis. Namun, Rafly tetap tenang. Ia hanya mengatakan, "Beri saya waktu, Pak."

***
Fanny meletakkan tasnya di kursi, lalu berbalik ke luar kelas.

Rafly baru saja datang.

"Rafly, Assalaamu 'alaikum," sapa Fanny riang.

Sejak acara "Malam Koboi" itu, ia memang akrab dengan Rafly.

"Wa'alaikum salaam. Enggak biasanya kamu datang secepat ini, Fan?"

"Menunggu Rafly," sahutnya centil.

Rafly tersenyum.

Dian baru tiba. Ia menghampiri mereka dan mengucapkan salam.

"Duileeh. Enggak boleh aku dekat dengan Rafly barang sebentar saja," Fanny. "Ada apa sih?"

"Gosip baru," Fanny tertawa nyinyir.

"Ah, macam-macam saja kamu ini. Tanya deh sama Rafly."

"Mana dia mau ngaku?"

Rafly cuma angkat bahu.

***
Andini menyendiri di sudut perpustakaan. Ia mempelajari jurnal Animal Science untuk melengkapi kuliah Ruminansia Kecil. Rafly masuk bernama Dian. Mereka mempelajari katalog. Terkejut Andini melihat melihat mereka. Ia mengangkat jurnal yang dibacanya supaya wajahnya tidak terlihat oleh Rafly dan Dian. Ia tidak menyadari bahwa Rafly telah mengetahui kehadirannya.

Andini kembali membaca. Namun, ia tidak bisa berkonsentrasi lagi. Sebentar-sebentar, ia menatap ke depan. Rafly dan Dian telah mendapatkan buku yang mereka cari. Mereka duduk di kursi-meja tengah. Andini semakin galau. Ia betul-betul tidak mampu berkonsentrasi.

"Aku ingin mempelajari sejarah nabi-nabi yang sewaktu mudanya jadi penggembala," ujar Rafly.

"Menarik sekali."

"Kita mesti menghargai bidang yang kita tekuni. Cari sisi-sisi baiknya. Bidang peternakan mempunyai banyak keistimewaan. Berkali-kali Allah menyebutnya dalam Al-Qur'an."

Andini meninggalkan perpustakaan dengan langkah tergesa-gesa.

"Dini," Rafly memanggilnya.

"Ya? Ada apa, Raf?" sahut Andini gugup.

"Mau ke mana?"

"Pulang."

"Kok cepat-cepat, Din?" sela Dian.

"Aku ada janji."

Kamu berdusta, Dini, batin Rafly. Ia menatap gadis itu. Andini melengos.

"Aku duluan," Andini berjalan cepat.

***
Menjelang kuliah, Rafly menemui Andini.

"Pulang kuliah aku tunggu kamu di  perpsutakaan."

"Ada apa?" tanya Andini kaget. Hatinya tiba-tiba resah.

Namun, dosen Ruminansia Besar keburu masuk kelas. Rafly beranjak ke bangkunya. Andini menunduk sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Rambutnya yang hitam legam jatuh di dagunya yang runcing.

Ketika Andini masuk perpustakaan, Rafly telah menunggu. Ruang perpustakaan sudah sepi. Tinggal  empat orang, termasuk Rafly dan Andini.

"Ada apa?" tanya Andini kaku.

"Duduklah, Dini."

Andini duduk di hadapan Rafly.

"Rileks saja."

"Iya, tapi ada apa? Aku mau pulang," kilah Andini.

"Kenapa kamu membuat jarak di antara kita?"

"Ada?"

"Kamu menghindar dariku."

"Tidak."

"Berterus-teranglah. Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa," Andini memalingkan wajahnya.

"Kamu berdusta."

Andini menggigit bibir. Rambutnya jatuh di keningnya. Matanya cemas. "Rafly. Jangan menggangguku. Biarkan aku pulang," pintanya memelas.

"Setelah kamu menjawab pertanyaanku."

"Sungguh. tidak ada apa-apa," Andini mengiba.

"Tadi, Dian tidak masuk kuliah. Kamu tahu dia ke mana?"

"Mana aku tahu? Kamu yang mestinya lebih mengetahui," suara Andini tiba-tiba meninggi.
Rafly tersenyum. "Kamu cemburu?"

Andini melengos. "Aku mau pulang."

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Aku tidak ingin menjawabnya."

"Andini," suara Rafly terdengar berwibawa sekali.

Andini menengadah. Rafly mendapatkan mata gadis itu mulai basah.

Dua orang pengunjung lainnya meninggalkan perpustakaan.

"Aku mencintaimu," bisik Rafly perlahan, namun tegas.

"Rafly, jangan main-main."

"Aku sungguh-sungguh."

"Dian lebih berhak kamu cintai."

"Mengapa?"

"Karena..., karena...., ia lebih akrab denganmu. Ia juga seorang gadis yang taat kepada Tuhan. Berjilbab pula. Bukankah itu figur wanita yang kamu kagumi? Apalagi Dian itu orangnya itu orangnya manis. Ia sepadan denganmu."

"Dian sudah punya kekasih. Masih kuliah di Jakarta."

"Bodong!"

"Mana yang lebih kamu percayai: kejujuranku atau sangkamu?"

***
Praktikum Ruminansia Kecil dilakukan di lapangan penggembalaan di samping kandang domba. Tugas yang dikerjakan adalah menggunting bulu domba. Setiap dua mahasiswa memegang seekor domba. 

Delta sekelompok dengan Dewi. Ia mengenakan wearpak warna coklat. Sedangkan Dewi mengenakan kaos dan celana panjang.

"Kamu yang mengambil domba, Wi," kata Delta.

"Ah, kamu saja," rajuk Dewi.

"Oke, bos," kata Delta dengan mimik wajah lucu.

Delta mengambil seekor domba jantan yang paling besar di kandang, yang biasa dipakai sebagai pemacek (pejantan).

"Ya ampun, besar amat," seru Dewi.

"Biar puas."

"Capek, ah."

"Kalau kamu enggak mau, biar aku saja. Tapi, aku jadi terampil, sedangkan kamu tidak," sahut Delta pura-pura kesal.

"Jangan ngambek dong. Dewi juga ingin pintar."

Delta menyerahkan domba itu kepada Dewi.

"Kamu yang meng-handle-nya," kata Dewi agak ketakutan.

"Tenang saja, Wi. Meng-handle tidak sama dengan mengangkat. Lebih besar dari ini pun kamu pasti sanggup."

Dewi mencoba menjatuhkan domba. Tangan kirinya memegang kaki kiri depan domba. Sementara tangan kanan memegang kaki kanan belakang. Kaki kanan Dewi membantu menolakkan domba. Tapi sulit. Domba itu terlalu besar bagi Dewi.

"Terus, Wi. Kamu pasti bisa," Delta berusaha menyemangatinya. Beberapa teman tertawa kecil menyaksikannya.

Dewi berusaha lebih keras. Dan..., berhasil! Namun, Dewi juga terjatuh. Malah tertimpa domba. Delta tergelak menyaksikan. Demikian pula kawan-kawan yang lain.

Dewi memberengut. "Orang kesusahan ditertawai, bukannya ditolong."

"Sini, aku yang meng-handle." Delta menangkap domba itu. Sebentar saja ia berhasil membuat ternak itu terjatuh. "Makanya, jangan terlalu takut. Rileks aja."

"Dewi mengambil gunting. Ia mulai mencukur bulu domba.

Rafly sekelompok dengan Dian. Sementara Andini dengan Yanto. Dian yang memegangi domba. Rafly yang mencukur. "Nanti gantianlho," kata Rafly.

"Beres," jawab Dian.

Fanny menghampiri Rafly dan Dian. "Ada gunting lagi, Raf? Fanny pinjam dong. Soalnya gunting yang kami pakai tumpul."

"Oh, ada. Butuh berapa?" tanya Rafly seriu.

"Satu aja."

"Ambil sendiri di rumahku."

"Sialan." Fanny berlalu sambil memberengut.

***
Hari kamis kuliah cuma sampai pukul 10.00. Begitu bubaran, Andini langsung ke perpustakaan. Ia mencari referensi tentang meat. Ada PR mata kuliah Ruminansia Besar yang mesti diserahkan hari Senin pekan yang akan datang. Andini mengambil tempat di sudut kiri belakang. Ia menyiapkan sehelai kertas kosong untuk membuat catatan. Suasana perpustakaan ramai sekali. Kebanyakan pengunjung adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang mencarai referensi untuk penyusunan proposal penelitian maupun penulisan karya ilmiah.

Rafly mengambil tempat di kursi paling dengan sebelah kanan. Ia mempelajari majalah Swadaya Peternakan Indonesia.Tak lama kemudian, Fanny muncul. Seperti biasa, ia menyapa Rafly dengan gayanya yang centil. Fanny duduk di hadapan Rafly.

"Aku ada majalah baru, Fan. Kamu mau baca?"

Majalah Islam?"

"Ya."

"Ada tentang jilbabnya enggak?"

"Ada."

"Enggak mau ah."

"Kenapa?" Rafly tertawa.

"Pokoknya enggak mau aja."

Sesekali Andini melirik. Rafly pura-pura tidak tahu. Ia tekun pembaca dan mencatat hal-hal penting.

***
Sejak acara "Malam Koboi" itu, pengajian di Masjid al-Hikmah semakin ramai. Rafly dan Dian berhasil merangkul banyak teman yang selam ini termasuk dalam kelompok hura-hura. Ada keterkejutan di kalangan rekan-rekan yang tergolong orang-orang masjid. Namun, mereka senang juga. Sebab, demikianlah hati orang-orang yang dekat dengan Tuhannya. Senang jika melihat orang lain bertingkah laku baik, melaksanakan ajaran agama.

Umar dan teman-teman yang tinggal di masjid bukan tidak menyadari hal itu. Mereka ingin melihat perkembangannya terlebih dahulu. Bagaimanapun, dalam hal agama, tidak biasa main-main. Hukum Tuhan tidak bisa diubah-ubah oleh manusia. Semua yang wajib tetaplah wajib, tanpa ada toleransi, kecuali dalam keadaan darurat. Itu punya hanya untuk hal-hal tertentu. Rafly dan Dian berusaha mengikis habis jarak yang membentang di antara golongan hura-hura dan golongan masjid. Namun, memang tidak mudah memupusnya hingga habis sama sekali.

***
Andini tidak hadir. Padahal, kuliah hari ini penting sekali. Diktat Profesor Endang sukar sekali dimengerti, tanpa mengikuti langsung kuliahnya. Selain tidak sistematis, bahasanya "terlalu tinggi". Banyak istilah asingnya. 

"Rasanya lebih mudah baca textbook berbahasa Inggris," pernah Delta mengomentari begitu, saking kesalnya.

"Maklum, dia enggak pernah menulis buku," sela Pandu.

"Mendiangan baca tulisan kamu, Du."

"Mau baca cerita pendek tentang Fisiologi Reproduksi Ternak?" Pandu tertawa lepas. Selain wartawan freelance, ia juga seorang cerpenis.

"Daripada baca tulisan profesor sableng!" gerutu Delta.

Seusai kuliah, Rafly mencari Andini di per pustakaan. Dan ternyata, Andini tidak ada. Ia langsung ke tempat kos Andini.

"Assalaamu 'alaikum, Mira. Andini ada?"

"Dini ke perpustakaan pusat, Raf," sahut mahasiswa tahun II Fakultas Kedokteran Hewan itu.

"Kok tidak kuliah?" 

"Entahlah. Belakangan ini, ia memang agak lain sikapnya. Sering ia berdiam diri di kamarnya. Jatuh cinta, barangkali. Ada pesan?"

"Tidak. Biar aku langsung ke sana."

***
"Dini."

Andini menoleh. Ia sangat terkejut melihat Rafly. Jurnal yang dipegangnya hampir lepas. "Dari mana kamu tahu aku di sini?"

"Kenapa kamu tidak kuliah?" Rafly balik bertanya. Ia duduk di hadapan gadis itu, di pojok perpustakaan.

Andini menggelang lemah. "Tidak apa-apa," sahutnya lirih.

"Wajahmu kusut," kata Rafly.

Andini kusut," kata Rafly.

Andini menunduk.

"Kamu terlalu angkuh, Din," ujar Rafly perlahan, tapi tegas. "Kamu bohongi hatimu sendiri. Sesungguhnya. Kamu mencintaiku. Namun, kamu terlalu sombong untuk mengakuinya. Kamu lebih suka menyiksa diri sendiri dengan mengingkari cinta itu."

Andini menutup wajahnya. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Aku tahu, kamu menolak cintaku karena aku orang masjid. Dan, kamu takut kalau menjadi kekasihku, lalu kamu terikat dan terkurung bagai seekor kucing di dalam karung. Kamu takut aku memaksamu pakai jilbab. Kamu takut aku memaksamu pakai jilbab. Kamu takut aku memaksamu puasa Senin-Kamis dan ngaji, baca Al-Qur'an setiap selesai shalat. Kamu takut aku memaksamu menjadi orang asing di tengah pergaulanmu."

Tubuh Andini bergetar menahan tangis. Ia menggigit bibirnya lebih kuat lagi.

"Padahal tidak! Tidak demikian. Aku tidak akan melakukan itu. Islam adalah agama kesadaran. Landasannya keikhlasan. Percuma saja kita melakukan ibadah kalau kita tidak rela. Tidak ada nilai. Padahal, ibadah itu bukan untuk Tuhan. Sebab, Tuhan tidak membutuhkannya. Kitalah yang membutuhkan Tuhan dalam hidup kita. Tidak ada paksaan dalam agama. Yang ada hanyalah ajakan. Dakwah. Sebab, pertanggung jawaban di akhirat, sifatnya pribadi. Manusia terhadap Tuhannya. Tiap orang hanya mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri, dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain."

Andini menjatuhkan wajahnya di atas meja. Ia terisak. Napasnya terdengar berat sekali. Dadanya sesak. Rafly membiarkan sampai gadis itu mulai tenang kembali.

"Ya, aku tidak akan memaksamu. Tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan cinta. Kebahagian cinta hanya akan tercipta jika dua pribadi saling mencintai, saling memberi, dan menerima dengan adil. Sedang pemaksaan adalah kezaliman."

Suasana sepi mencekam.

Rafly berdiri. "Maafkan aku. Aku telah mengganggu kesibukan belajarmu. Akan pergi. Assalaamu 'alaikum."

Rafly melangkah gontai. Hatinya meranggas. Ruang perpustakaan seperti padang pasir yang teramat luas dan lengang. Tandus. Ia berjalan tanpa harapan. Andini mendongak. Pipinya yang putih masih basah. Wajahnya pias. Punggung Rafly kian menjauh. Ia sudah hampir tiba di pintu ketika terdengar suara parau.

"Rafly...."

Rafly menghentikan langkah. Ia menoleh ke belakang. Andini memandangnya sayu. Amat mengharap.

"Rafly...."

"Dini." Tanpa sadar Rafly berlari menghampiri gadis itu.

Andini menyapu wajahnya. Matanya basah. Bening seperti cermin.

"Dini, kamu terima cintaku?" tanya Rafly antusias.

Lama baru Andini menyahut.

"Rafly, berterus-teranglah. Kenapa kamu memilih Dini?" tanyanya lirih.

Mendengar hal itu, Rafly tertawa lebar. "Karena kamu gadis yang baik," ucapnya tulus.

"Aku takut kamu salah pilih. Banyak gadis lain yang lebih baik daripada aku. Ada Dewi, Fanny, Iko, Atau, Ami, Ayu dan Mia yang pakai jilbab."

"Ini urusan cinta, Dini. Tak seorang pun yang berhak memaksaku untuk mencintai gadis yang tidak aku cintai. Bagiku, kamulah yang aku cintai."

"Kamu yakin?"

"Aku bahkan optimis, suatu saat nanti, kamu pakai jilbab," Rafly mengukir segurat senyum kedamaian.

"Rafly, Dini mencintaimu. Dini berjanji...."

"Tidak usah diucapkan, kekasih," potong Rafly.

"Berjanjilah di dalam hatimu sendiri. Sebab, sinar mata, sikap, dan getar suara sering lebih fasih mengungkapkan isi hati kita......"


Tujuh

Bulan pertama di tingkat III.

Masih pagi. Rafly kebagian tugas memberi makan kelinci. Pakan sudah disiapkan oleh petugas kandang. Mahasiswa tinggal memberikan saja.

Andini datang menghampirinya. Wajahnya tampak ceria. Ia mengenakan baju tangan panjang dengan kancing depan hingga leher. Creme warnanya. Roknya berwarna coklat tua, panjang melewati lututnya.

"Assalaamu 'alaikum, Raf. Ada yang perlu Dini bantu?"

"Enggak usah. Ditegok saja sudah syukur."

Andini memalingkan wajah. Ia tersipu. Wajahnya yang lembut, merah berseri.

"Rafly."

"Ya."

"Dini mau pakai jilbab."

"Apa?!" Rafly menghentikan pekerjaannya.

"Dini mau pakai jilbab," tegas Andini.

Rafly bengong.

"Kok Rafly heran? Kalau Tuhan hendak memberikan hidayah, tiada sorang pun yang bisa menahannya. Bukankah begitu kata Ustadz Didin?"

"Maaf, maafkan aku, Din. Aku terlalu bahagia. Alhamdulillaah. Tapi sebentar, apa kamu ingin pakai jilbab karena jadi kekasih Rafly?"

Andini menggeleng. "Tidak."

"Jujur?"

"Iya. Liburan panjang kemarin Dini manfaatkan untuk mempelajari buku-buku agama yang Rafly berikan. Tafsir Al-Azhar susuna Buya Hamka dan terjemahan Al-Qur'an H.B. Jassin sebagian telah Dini baca. Meresap sekali ke dalam hati. Dini merasakan, betapa indahnya ajaran agama Islam. Dan, cinta Dini kepada Allah dan Nabi Muhammad semakin besar."

"Syukurlah kalau begitu."

"Pulang kuliah nanti, antar Dini beli jilbab ya."

"Boleh. Tapi, aku kurang begitu paham mode pakaian wanita, khususnya jilbab. Bagaimana kalau kita minta bangunan Dian. Eh, kamu masih cemburu sama dia?" Rafly tersenyum kecil. Andini mendelik.

"Dian menyukai mode. Ia pandai memilih kombinasi warna yang cocok. Aku yakin ia dapat membantumu. Lagi pula, ia seorang perempuan. Lebih tahu hal-hal detil tentang wanita ketimbang aku. Ya enggak?"

Andini cuma mesem sambil mengerlingkan mata.

***
Pulang kuliah, mereka ke Toko Buku Wali Sanga di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Toko kebanggaan H. Masagung itu, selain menjual buku-buku agama Islam dan kaligrafi, juga menyediakan bermacam-macam jilbab. Andini terpesona begitu masuk. Semua pramuniaga perempuan memakai jilbab.

"Mereka cantik-cantik ya," bisiknya kepada Rafly.

"Jika kamu sudah pakai jilbab, aku yakin, kamu lebih cantik dari mereka," sahut Rafly berbisik.

"Gombal."

Dian tersenyum melihat adegan itu. Banyak sekali pilihan yang tersedia. Andini sampai bingung memilihnya. "Semua bagus," komentarnya.

"Memang. Tapi, ada yang kurang cocok buat Dini. Ini menyangkut soal warna, motif maupun mode," ujar Dian.

"Andini berkulit putih. Tubuh tinggi semampai seperti gadis Arab. Hidung mancung. Wajah jelita. Jilbab model dan warna bagaimana yang cocok?" tanya Rafly manja.

Andini melotot. Pramuniaga yang melayani sampai tersipu. Rafly menunduk sambil melirik ke atas. Lucu. Setelah memilih-milih sampai hampir dua jam, Andini memutuskan untuk membeli tiga setel. Baju hijau lumut motif polos dengan pasangan kerudung hijau tua. Creme polos dengan timpalan kerudung coklat tua dan setelan jilbab putih susu.

"Mau dipakai sekarang?"

"Besok pagi saja," sahut Andini manja.

***
Pagi-pagi sekali, Dian sudah tiba di kelas. Kemarin, Rafly berpesan kepadanya. "Tolong bimbing Andini. Pada saat pertama mengenakan jilbab, mungkin sedikit banyak ia mengalami goncangan psikis. Kamu sudah lama pakai jilbab, sudah pengalaman. Lagi pula, kamu wanita. Kalian bisa lebih bebas berbincangan-bincang. Sedangkan aku pria. Aku harus membatasi diri. Di samping menghindari fitnah, yang lebih penting adalah menjaga kesucian diriku maupun dirinya."

Tak berapa lama, Rafly pun tiba. "Dini sudah datang?" tanyanya.

"Sabarlah. Seperti setahun enggak ketemu aja."

"Bukan begitu, Dian, Ini 'kan hari pertama ia pakai jilbab."

"Memangnya jilbab barang misterius apa? Barang baru? Barang aneh? Kok kamu bingung banget sih?"

"Sorry, sorry. Aku terlalu cengeng."

"Nah, itu Andini datang."

Rafly menengok ke luar kelas. Hampir ia tidak percaya pada penglihatan matanya. Andini mengenakan setelan jilbab putih. Betapa anggunnya. Tanpa terasa, air mata Rafly menitik. Ya Alloh, saya tidak punya kuasa apa-apa. Andini memakai jilbab, bukan karena perjuangan saya, melainkan atas karunia-Mu semata. Engkau memberikannya kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, doa Andika dalam hati.

Mereka menyongsong Andini di muka pintu kelas.

"Assalaamu "alaikum," sapa Andini lembut diiringi sunggungan senyum tulus.

"Wa'alaikum salaam," sahut mereka serempak. Ada sinar kebahagiaan memancar di wajah mereka semua.

Dian mencium pipi kiri dan kanan Andini. "Cantiknya kamu, Din," pujinya.

Andini tersipu dan mencubit sahabatnya itu. Rafly menatap Andini terharu. Andini balas menatapnya. Ada sinar kasih yang memancar di mata sepasang insan itu.

"Seandainya aku belum mengenalmu, pasti aku menebakmu gadis Pakistan. Sungguh, semampai, cantik, dan anggun," ujar Rafly.

Andini mesem. Betapa cantik wajahnya. Demi Tuhan, Rafly gemas sekali. Makanya ia cepat-cepat menundukkan pandangan.Tak lama kemudian, teman-teman berdatangan. Mereka, terutama yang pakai jilbab, menciumi Andini.

Tidak ketinggalan si centil Fannya. Ia menemui Rafly. "Hebat kamu, Raf, pacarmu sekarang sudah pakai jilbab," katanya ikhlas.

"Nah, kamu kapan, Fan?" tanya Rafly.

"Nanti, kalau aku sudah punya pacar yang seperti kamu."

"Amin." Berkata begitu, Rafly berdoa dala hati, Ya Allah, petunjuk adalah milik-Mu. Jika Engkau menghendaki, Engkau dapat memberikannya kepada Fanny sebagaimana telah Engkau berikan untuk Andini."

***
Kuliah pertama kosong. Rafly memanfaatkan waktu untuk shalat dhuha di Masjid al-Hikmah. Biasanya, ia melakukannya di rumah. Tapi tadi pagi, tidak sempat lagi karena terburu-buru. Selesai shalat, Rafly membaca Al-Qur'an sebentar. Setelah itu, keluar dari masjid. Di tangga masjid, ia berpapasan dengan Andini dan Dian. Kedua gadis itu baru saja selesai menunaikan shalat dhuha. Rafly memandang wajah Andini. Alangkah bening wajah itu. Mata indah. Wajahnya masih basah oleh air wudhu.

"Dini, hal yang penting kamu perhatikan adalah jangan bersikap eksklusif. Jangan memisahkan diri dari masyarakat. Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Bukan untuk satu golongan tertentu. Jangan merasa sok suci. Jangan merasa tinggi hati kepada teman-teman yang sampai saat ini belum pakai jilbab. Jangan merasa benar sendiri. Boleh jadi ada di antara mereka yang hatinya justru lebih putih daripada kita karena tidak pernah mencela, menyakiti maupun menjelekkan orang lain. Isi hari manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya. Pintaku, kamu harus tetap baur dengan kawan-kawan. Seperti biasa. Namun, tentu saja ada batas-batas tertentu yang harus diperhatikan. Jika kamu mampu berbuat demikian, insya Alloh kamu dapat merangkul banyak saudara kita yang selama ini sering disebut golongan hura-hura. Mereka mesti kita rangkul. Mereka butuh dakwah. Kita harus berbuat sesuai kemampuan kita," nasihat Rafly.

Andini menangguk. "Insya Allah, Raf. Doakan Dini, ya."

***
Pekan pertama di awal bulan, Andini pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta. Mereka terkejut. Terutama papa Andini. "Siapa yang menyuruhmu mengenakan pakaian seperti ini?" tanyanya emosi.

"Tidak ada orang yang menyuruh, Pa. Andini mengenakannya atas kesadaran Andini sendiri."

"Kenapa harus pakai yang seperti ini segala?" Papa Andini berasal dari keluarga campuran Islam dan Kristen. Sebagian saudara kandungnya masih memeluk Kristen.

"Ini perintah Tuhan, Papa."

"Papa tidak suka. Apa kata orang nanti? Ini Indonesia, bukan Arab."

"Jilbab bukan kebudayaan Arab, Pa. Jilbab adalah ajaran Islam. Dan sekarang, sudah banyak wanita Indonesia yang memakai jilbab."

"Pokoknya Papa tidak setuju, titik."

Andini tercenung di kamarnya. Matanya berair. Mamanya datang membujuk.

"Sudahlah, buka saja jilbabmu. Yang penting kamu bersikap dan bertingkah laku baik. Biarpun tidak pakai jilbab."

"Tidak, Ma," potong Andini, "kenapa Dini harus mundur dan meninggalkan karunia Tuhan ini? Belum semua orang mendapatkan hidayah seperti ini. Alangkah terpujinya seorang muslim yang pakaian maupun segala tingkah lakunya sesuai dengan ajaran Islam."

Papa Andini masuk kamar. "Aku beri kamu waktu seminggu untuk mengambil keputusan. Kamu boleh lepas itu kerudung dan kiriman per bulan tetap aku berikan, atau kamu tetap pakai kerudung, namun tidak boleh menginjakkan kaki di rumah ini lagi," ancamnya.

"Papa!" teriak Anastasia, adik Andini.

"Jangan emosi, Pa," kata mama Andini.

"Kalian semua diam! Kalian semua 'kan hanya makan hasil jerih payahku. Aku yang setiap hari, siang dan malam membating tulang."

Andini menyapu air matanya. Ia menatap papanya. 

"Baiklah, Pa. Dini akan meninggalkan rumah ini. Maafkan segala kesalahan Dini. Jika Allah berkenalan, kita pasti berkumpul kembali dalam keadaan yang lebih baik dari sekarang. Ketika hidayah-Nya telah datang kepada kita semua."

"Mbak Dini!" Anastasia memburu kakaknya.

Andini membelai adiknya. "Sabarlah. Jaga dirimu baik-baik. Rajin belajar ya, supaya lulus dengan nilai terbaik dan lulus SPMB."

Andini meraih tasnya. Bergegas ia meninggalkan rumah itu. Tidak lebih dari setengah jam ia berada di sana. Seperti baru terbangun dari tidur, mama Andini berseru memanggil anaknya. "Dini!!"

Namun, papa Andini menutup pintu. "Biarkan anak durhaka itu pergi!"

***
Ketika Andini menceritakan hal itu kepada Rafly dan Dian, mereka sempat terkejut. Tak tahan, Dian menitikkan air mata. Rafly menghela napas panjang. "Dini, kamu ikhlas atas semua ini?" tanyanya.

Andini mengangguk.

"Syukurlah kalau begitu. Aku yakin, cobaan ini akan berganti dengan karunia yang besar dari Allah. Papamu sama sekali tidak membencimu. Ia hanya membeci kebenaran yang kamu tegakkan karena ia belum memahami hakikat kebenaran itu. Gengsinya terlalu tinggi sehingga menutupi hatinya."

"Aku mencintai mereka, Raf, Papa, Mama, dan Tasia," lirih suara Andini.

Sementara Dian tak sanggup berkata apa-apa. Ia tidak pernah mengalami hal seperti ini karena ibu maupun bapaknya seorang dai. Merekalah yang menganjurkan Dian untuk mengenakan kerudung sejak Dian masih duduk di kelas satu SLTP. Rafly menarik napas panjang. "Ya, aku paham. Siapakah orang yang tidak mencintai keluarganya? Namun kadang-kadang, perjuangan hidup dan perbedaan prinsip memisahkan mereka buat sementara waktu."

Lalu, keadaan menjadi sepi. Masjid al-Hikmah seperti turut terharu mendengar penuturan kisah salah seorang makhluk-Nya yang benama Andini.

"Apakah menggeleng. "Jika cuma urusan cinta semata-mata, kamu memang harus gentle menghadap papa. Namun, ini soal agama. Kamu tidak perlu bertanggung jawab kepada papa atas apa yang Dini lakukan."

"Subhanallah," seru Rafly. "Kamu memperoleh kemajuan yang pesat sekali dalam pemahaman agama. Din."

Dian mengangguk.

"Alhamdulillaah," kata Andini.

Lalu, kembali sepi mendera. Rafly berpikir keras.

"Aku bertanggung jawab. Aku akan berusaha membiayaimu. Mudah-mudahan Allah memberikan rezeki yang halal dan baik kepada kita," ujar Rafly.

Andini merogoh sekunya. "Ini cincin dan kalung yang kupunya. Tolong jualkan untuk biaya hidupku. Paling tidak sebulan pertama."

Mata Rafly berkaca-kaca. "Simpanlah kalungmu. Cukup cincin saja yang kita jual. Mudah-mudahan, aku segera memperoleh pekerjaan. Oh, ya, pesanku kepada Dini dan Dian, sembunyikan kisah ini supaya orang lain tidak mengetahuinya. Agar orang lain tidak turut merasa susah karenanya. Duka kita, biarlah kita sendiri yang menanggungnya."


Delapan

Rafly memberikan les privat di rumah Pak Budiman, seorang pengusaha yang memiliki sejumlah perusahaan besar di Jakarta. Anak gadis satu-satunya, Puspita namanya. Ia memberikan les pengajian Al-Qur'an ba'da magrib. Lalu dilanjutkan dengan les Matematika dan Fisika setelah makan malam. Seminggu empat kali.

"Kamu harus belajar lebih keras, Raf," ujar Andini.

"Ya. Aku memang harus lebih keras belajar."

"Tapi ingat, jaga kesehatanmu baik-baik."

"Tenanglah, Din. Aku setiap hari olahraga di tempat kos. Setiap minggu, kami belajar ilmu bela diri, Arifin yang mengajar. Kakeknya seorang guru silat."

"Aku akan berusahan banyak membantumu. Terutama melengkapi catatan kuliah dan mengetikkan laporan praktikum."

"Terima kasih banyak. Jangan terlalu memanjakan diriku. Nanti aku jadi lelaki yang cengeng."

***
Fakultas peternakan dikunungi murid-murid SMU 1 Bogor. Senat Mahasiswa yang menyambutnya. Ir. Syahrir, dari Seksi Pendidikan Fakultas, turut melayani. Mereka diajak berkeliling dari kandang yang satu ke kandang lainnya, dari satu laboratorium ke laboratorium lainnya. Mereka juga diajak masuk ke perpustakaan.

"Jika kami butuh informasi tentang peternakan, bolehkah kami datang ke sini?" tanya salah seorang dari mereka.

"Oh, boleh. Boleh saja. Perpustakaan kami senantiasa terbuka bagi siapa saja yang ingin mencari pengetahuan di sini. Hanya untuk ketertiban administrasi, diharapkan membawa surat pengantar dari sekolah," sahut seorang petugas perpustakaan.

Delta dan Rudi sibuk ngeceng. Demikian pula Bono, teman akrab Delta. Mereka punya wajah mirip, sehingga sering disangka beradik-kakak. Padahal, Delta orang Surabaya, sedang Bono orang Jogja. Macam-macam saja yang dilakukan ketiga pemuda itu. Mereka ikut ke mana pun rombongan berjalan. Dan, mereka berusaha mencari-cari perhatian. Kadang-kadang, bertanya ini-itu kepada cewek-cewek yang cantik. Tidak jarang, berusaha menjelaskan sesuatu, namun keliru. Karuan saja, tawa sesekali tak terkalahkan.

***
Rafly menerima surat dari adiknya. Ia membacanya di kampus, bersama Dian dan Andini. Kak Rafly. Anis punya teman laki-laki. Satu SMU. Sekelas bahkan. Ia sering memperhatikan Anis. Anis sering ditolongnya, terutama membuat gambar mistar, mata pelajaran yang paling Anis benci. Tetapi, ia sekarang pindah ke Padang. Anis merasa sedih. Ia bilang, ia juga sedih harus berpisah. Namun, papanya pindah tugas. Apa boleh buat. Ia bilang, ia akan kirim surat kepada Anis.

Aneh, Kak, Anis kok seperti merasa kehilangan sesuatu. Sekarang Anis seperti tidak bergairah lagi pergi ke sekolah. Kak, apakah ini yang disebut cinta? Tolong Anis dong. Kasih advice begitu.

Salam Kangen
Annisa

Rafly memandang Andini dan Dian. Mereka tersenyum.

"Betul, kamu jatuh cinta, manis," gumam Rafly.

"Jawablah suratnya, Raf. Kasihan Nisa. Ia sedang butuh pertolongan," kata Andini.

"Bagaimana kalau kita menjawabnya bertiga?" usul Rafly.

"Boleh. Tapi yang ditulis cukup namamu," sahut Dian.

"Biar saja ditulis nama kita semua. Nisa itu orangnya sebetulnya kocak kok,"

Rafly datang ke tempat kos Andini. Ia minta ditemani Yanto untuk menjaga diri dari fitnah. Terpaksa Rafly menceritakan persoalan mereka kepada Yanto. Mira juga telah diberitahu oleh Andini dan Rafly bisa memahani hal itu.

"Kok matamu sembab begitu? Apa apa?" tanya Rafly.

"Aku teringat Tasia. Hari ini ulang tahunnya yang ke-17. Aku sedih tidak bisa berada di sisinya dan tidak bisa memberikan apa-apa." sahut Andini lirih. Ia ditemani Mira.

"Sudahlah, Din. Tasia pasti memahami keadaanmu."

Rafly merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan amplop berisi uang. "Ini gaji pertamaku. Gunakan untuk membayar keperluan hidupmu. Jika ada kelebihan, tabunglah. Mana tahu suatu saat kamu mendadak butuh uang."

Andini menerima amplop itu dengan gemetar. Ia menangis. Mira menunduk sambil menggigit bibir.

"Mengapa menangis?" tanya Rafly lembut.

"Aku, aku, sedih melihatmu. Susah payah kau bekerja keras untukku. Untuk seorang gadis yang belum tentu jadi istrimu. Kamu begitu ikhlas."

Yanto menyaksikan adengan itu dengan perasaan tak menentu. Ia menunduk.

Rafly berusaha tersenyum. "Sudahlah, Din. Aku malah bangga dan bersyukur kepada Alloh."

"Atau...., aku bekerja juga mencari uang? Mengajar misalnya? Atau pekerjaan lain?" tanya Andini.

Rafly menggeleng. "Tidak usah, selama aku masih mampu. Lebih baik kita adakan pembagian tugas. Kamu lebih banyak lagi mempelajari buku-buku agama. Pelajari juga perihal kehidupan rumah tangga muslim, termasuk tentang kehidupan suami-istri dan cara mendidik anak.

Kamu harus meningkatkan ketakwaan kepada Alloh. Bantulah aku dengan doamu. Karena sesungguhnya, tiada karunia Alloh yang paling besar bagi seorang lelaki dalam hidupnya, kecuali istri yang salehah."

"Buku-buku yang kupinjam, sudah selesai kubaca."

"Baik. Besok di kampus, aku bawakan buku-buku yang lain. Mira, tolong bantu jaga Andini, ya Jangan kasih melamun terus."

"Beres, Raf," Mira tersenyum.

"Dini juga ingin pesan sama Yanto. Tolong Rafly diperhatikan. Jangan sampai tidur terlalu malam dan bekerja terlalu keras."

"Tenanglah, Din. Selama ada Yanto, semua aman kok."

Rafly berdiri.Yanto juga.

"Aku pulang sekarang. Jaga dirimu baik-baik, Din. Assalaamu 'alaikum"

Andini mengangguk. "Wa'alaikum salaam. Raf, jaga kesehatanmu," lirih suara Andini saat pemuda itu sudah berada di jalan raya.

***
Ketika Andini pulang kuliah, Anastasia sudah menunggu di ruang tamu.

"Tasia," seru Andini terkejut campur gembira.

"Mbak Dini."

Mereka berangkulan. Selama beberapa detik tidak terdengar sepatah kata pun. Masing-masing tenggelam dalam keharuan yang mencekam.

"Mbak, kamu sehat-sehat saja 'kan?" bisik Anastasia parau.

"Ya sayang. Kamu juga baik 'kan?" sahut Andini lirih.

Anastasia mengangguk dengan sinar matanya.

"Mama? Papa? tanya Andini.

"Mereka sehat."

Andini merenggangkan pelukan. Ia menyapu air mata adiknya. Tangannya membelai rambut adik yang dikasihinya itu.

"Yuk, masuk ke dalam." Andini membuka pintu kamar.

"Naik apa ke mari? Bus atau kereta?" tanya Andini ketika mereka sudah duduk di tempat tidur.

"Mobil. Aku bolos. Mbak. Soalnya takut kesorean pulang, nanti kena marah Papa."

"Jangan sering-sering ke mari, nanti kamu sering bolos sekolah."

Anastasia tidak menyahut. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Aku tadi beli dua bungkus nasi padang di terminal Bogor."

"Apa lauknya?"

"Rendang kesukaan Mbak. Yuk, kita makan."

"Oke, thanks. Selesai makan, baru kita shalat zabur."

Mereka makan dengan lahap sekali. Keharuan, kebahagian, dan kesedihan berbaur dengan rasa lapar yang menyengat.

Aku tidak bisa lama-lama di sini. Takut nanti Papa marah," kata Anastasia seusai mereka shalat.

"Ya, aku tak bisa menahanmu. Pulanglah segera."

"Tapi, aku ingin tanya. Mbak punya uang?"

"Punya."

"Dari mana?" 

"Ada yang menanggung biaya hidupku."

"Ia orang baik-baik, bukan?"

"Calon suamiku."

"Mbak sudah punya calon suami?"

"Ya."

"Siapa namanya?"

"Rafly. Orang Aceh."

"Aku ingin sekali bertemu dengan pemuda berhati mulia itu. Bagaimanapun aku berutang budi kepadanya. Ia telah menjaga Mbakku."

"Sudahlah. Tasia. Kelak kamu akan kukenalkan kepadanya."

Anastasia mencopot kalungnya. "Ini, terimalah. Siapa tahu suatu saat Mbak butuh uang mendadak dan besar. Mbak bisa menjualnya."

"Jangan, sayang. Pakailah kembali kalung ini."

"Baiklah kalau begitu. Aku harus pulang sekarang. Jangan-jangan Papa keburu kembali dari kantor."

Kembali mereka berpelukan penuh keharuan.

***
Anastasia terkejut begitu tiba di depan rumah. Baby Benz hijau papanya sudah diparkir di garasi. Ia hendak masuk lewat pintu samping, namun keburu dipanggil papanya. "Sini kamu." kata papanya dingin.

Takut-takut Anastasia mendekat.

"Dari mana kamu?"

"Dari....dari..."

"Menengok Dini, betul?"

Anastasia mengangguk perlahan.

Tiba-tiba sebuah tamparan bersarang di wajahnya. Anastasia mengerang kesakitan.

"Kamu juga mau ikut-ikutan durhaka, ya? Boleh! Boleh saja! Aku tidak keberatan kalaupun semua penghuni rumah ini pergi."

"Sudah, Pa," mama melerai.

"Kenapa kamu biarkan Tasia pergi ke Bogor, Ma?"

"Mana aku tahu? Ia pergi tanpa bilang dulu kepadaku."

"Hegh.....!" Papa Tasia membanting pintu.

***
Mbak Dini.
Tasia dimarahi habis-habisan oleh Papa. Barangkali Tasia tidak bisa ke mari lagi. Salam buat kekasih Mbak. Bilang padanya supaya ia menjaga Mbak dengan sebaik-baiknya.

Kasih sayang 
Adikmu seorang 
Anastasia

Menetes air mata Andini membaca surat tersebut. Adikku sayang, maafkan aku. Kamu harus turut menderita lantaran aku, desahnya lirih. Andini membahas surat adiknya.
Tasia sayang.

Sudahlah. Jangan pernah lagi datang ke Bogor. Juga jangan surati aku lagi agar kamu tidak kena marah Papa lagi. Percayalah, diriku baik-baik saja dalam lindungan Allah.
Semoga kita dapat berjumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik.
Kecup sayang
Mbak Dini.

Andini kebagian tugas memberi makan ayam. Dewi mengantarnya.

"Sudah besar-besar ayamnya. Minggu depan jadi dong kita makan sate," ujar Dewi berseri.

"Kamu suka ayam disate atau digulai, Wi?"

"Dua-duanya."

Mereka tertawa akrab.

"Eh, Din, ngomong-ngomong, kamu merasa risih apa enggak sih pakai jilbab," tanya Dewi serius.

Sebelum menjawab, Andini mengukir segurat senyum. "Enggak tuh."

"Sungguh? Aku tanya serius, Din."

"Bener, Wi. Pakai jilbab itu kelihatannya saja repot. Dulu, aku juga menyangka begitu. Eh, begitu aku memakainya, rasanya nyaman. Aku nyesel, kenapa enggak dari dulu memakainya."

"Kayak orang kawin saja. Kata mereka yang sudah kawin, "Aku nyesel kawin. Nyesel. Kenapa enggak dari dulu'."

"Ada apa nih ngomongin soal kawin?" Fanny yang baru tiba, menyela. "Apa ada yang mau kawin?"

"Ada. Si Jhoni dengan si Mawar," sahut Andini.

"Sialan. masa' sapi perah," gerutu Fanny.

"Kami sedang bicara soal jilbab, Fan," kata Dewi.

"Sepertinya kok menarik, ya. Aku lihat teman-teman yang pakai jilbab tidak mengalami hambatan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademis, baik di kelas maupun lapangan. Dan, sepertinya mereka itu tenang, nyaman, dan aman."

Fannya diam. Tampaknya ia tengah memikirkan sesuatu.

***
Seperti biasa, setiap malam Kamis Rafly memberikan les Matematika. Ia agak sedikit heran. Puspita anaknya cerdas, tapi malam ini ia lambat sekali menangkap penjelasan-penjelasan Rafly. Ia juga beberapa kali membuat kesalahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan.

"Ita sakit?" tanya Rafly penasaran. 

Puspita menggeleng.

"Atau, ada problem dengan keluarga? Atau dengan teman?"

Kembali Puspita menggeleng.

"Tapi, Ita tidak seperti biasanya. Kalau Kak Rafly boleh tahu, ada apa?"

Gadis itu tidak menyahut. Ia hanya menatap Rafly dengan pandangan mata sayu, seperti mengharap sesuatu.

"Ita, kalau kamu berkata jujur, saya akan senang sekali."

Puspita menunduk.

"Ita...., Ita mencitai Kakak."

Rafly menghela napas panjang.

"Ita."

Puspita mendongak.

"Saya telah menganggapmu sebagai adik saya sendiri. Di Aceh, saya juga punya adik yang sebaya denganmu."

Tiba-tiba gadis itu menangis.

***
Keesokan harinya. Puspita tidak ada di rumah.

"Ita menginap di rumah neneknya, Raf. Mari kita ngobrol-ngobrol sebentar," ujar Pak Budiman.

Mereka ngobrol di ruang tamu. Pak Budiman bertanya kepada istrinya lewat sinar mata.
"Papa saja yang bicara," usul istrinya.

"Begini, Raf. Tadi malam, Ita menangis terus sampai larut malam. Setelah susah payah kami tanyai, baru ia mau berterus terang. Mungkin kepadamu ia juga telah mengatakannya."

"Ya, Pak. Ia mencintai saya."

"Syukurlah kalau begitu. Kami pun memang sangat senang kepadamu. Tingkah lakumu menyenangkan hati. Agamamu baik. Kamu juga pintar. Sungguh beruntung orang tua yang punya menantu seperti kamu. Tapi Ita bilang, kamu menganggapnya tidak lebih dari adik. Ia ngambek. Tolonglah kami, Raf. Hanya kamu yang bisa melakukannya."

Rafly menatap suami-istri itu dengan pandangan sopan dan hormat. "Bapak dan Ibu, lebih baik saya berterus terang. Bapak dan Ibu sudah saya anggap sebagai orang tua saya sendiri dan Ita sebagai adik sendiri."

Rafly berhenti sejenak. Kemudian dia melanjutkan, "Sebetulnya, saya bekerja di rumah keluarga ini untuk menghidupi seseorang."

"Seseorang? Siapa itu?" tanya ibu Budiman.

"Ia calon istri saya. Andini namanya."

Rafly lalu menceritakan hubungannya dengan Andini, apa adanya. Pak Budiman terharu mendengarnya. Bahkan istrinya sampai terisak.

***
Mati-matian Bapak dan ibu Budiman serta Rafly menyadarkan Puspita. Mulanya gadis itu tidak mau mengerti. Ia terus ngambek. Terpaksa Rafly mengajak Andini ke rumah Tuan Budiman. Syukurlah, Andini menhadapi hal itu dengan penuh kedewasaan. Ia bahkan yang berhasil membujuk Puspita.

"Ita ingin sering main ke rumah Mbak Dini," kata Puspita ketika Rafly dan Andini hendak pulang.

"Mbak Dini tentu senang sekali," jawab Andini.

"Tapi, kalau ke rumah Kak Rafly enggak boleh ya? Nanti Mbak Dini cemburu dong," kata gadis itu manja.

"Bukan, yang cemburu tentu Papa dan Mama. Soalnya Ita anak satu-satunya," kilah Rafly.

***
Acara buka bersama Fakultas Peternakan-III berlangsung ramai. Namun, begitu mereka hendak pulang, hujan turun cukup lebat. Rafly dan kawan-kawan tidak membawa payung. Sejak tadi, mahasiswa Tingkat Persiapan ingin beli payung, tapi sampai sekarang belum juga kesampaian.

Andini harus pulang sendirian, karena teman-teman yang pulangnya searah dengan dia, kali ini tidak hadir. Sudah agak malam, namun hujan tidak menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Semua sudah pulang. Tinggal Andini, Rafly, dan kawan-kawan kosnya.

"Raf, lebih baik kamu antarkan Dini sekarang. Kasihan, sudah malam," kata Yanto.

"Bagaimana, Din? Pulang sekarang?"

"Tapi, Dini cuma bawa payung satu?"

"Tidak apa-apa. Kamu pakai payung, biar aku basah-basahan saja."

"Nanti kamu sakit."

"Insya Allah, tidak. Pulang dari kostanmu aku akan mandi air hangat."

Akhirnya, mereka berdua meninggalkan masjid. Andini mengembangkan payungnya, sendirian. Rafly menyejajarinya satu meter di sebelah kanannya.

***
Pagi-pagi Mira menyerahkan sepucuk surat kecil kepada Rafly. "Dari Dini" ujarnya.

Rafly,

Maaf, Dini tidak masuk kuliah hari ini. Jilbab Dini basah semua. Ini memang musim hujan dan Dini agak lalai mengatur penggunaan jilbab-jilbab yang Dini punya. Nanti Dini pinjam catatanmu ya?

Andini

Sekarang, di Masjid al-Hikmah, juga dijual jilbab, Stok yang ada memang tidak banyak, tapi lumayanlah.

Pulang kuliah Rafly ke tempat kos Andini. Syukurlah sudah ada jilbab Andini yang kering dan bisa dipakai.

"Kita ke Masjid al-Hikmah, yuk,"

"Untuk apa?"

"Beli jilbab baru."

"Kamu 'kan belum gajian."

"Memang.Tapi aku tidak rela kalau calon istriku sampai tidak masuk kuliah gara-gara jilbabnya basah semua. Aku jual jam tanganku."

"Kenapa kamu jual jam tangan itu?" Andini agak marah.

"Memangnya kenapa?"

"Benda itu penting bagimu. Kamu 'kan orang sibuk. Mestinya kamu tidak usah sampai jual jam segala. Insya Allah, kejadian ini tidak akan terulang kok," Andini sedikit menyesalkan.

"Dini, kamu masih ingat pesan Tasia kepadaku tempo hari, agar aku selalu menjagamu?"

"Raf," bergetar suara Andini. "Kamu terlalu banyak berkorban untukku. Hanya satu hal yang aku khawatirkan, kalau-kalau kita nanti tidak sampai berumah tangga."

"Kenapa?"

"Jodoh siapa yang tahu?"

Rafly tersenyum. "Andini, Andini. Kenapa harus memusingkan hal ini segala? Pengorbanan untuk cinta karena Allah bukanlah investasi dalam bisnis. Jika pun cinta itu tidak sampai pada apa yang kita harapkan, tak ada seorang pun yang wajib membayar pengorbanan yang telah diberikan."


Sembilan

Pada pembentukan panitia "Malam Koboi", Rafly terpilih sebagai ketua. Kebanyakan anggota panitia adalah orang-orang yang akrab dengan Rafly. Mereka antara lain Dewi, Fanny, Dian, Ami,  dan Rudi. Andini, Yanto, Arifin, Bambang, dan Santoso juga jadi panitia. Sebagian besar panitia adalah mahasiswa yang memakai jilbab.

Inilah kesempatan yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Rafly. Pada rapat panitia yang pertama, ia mengajukan usul supaya acara dilaksanakan siang hari.

"Aku tidak setuju," potong Delta segera. "Namunnya juga "Malam Koboi", masa' dilakukan siang hari? Kayak enggak 'ngerti bahasa Indonesia aja!"

"Sebutan "Malam Koboi' itu 'kan dibuat oleh kita dan kita boleh saja menggantinya dengan 'pertemuan koboi' atau 'Cowboy Party', misalnya," tukas Rafly.

"Belum pernah ada sejarahnya "Malam Koboi' dilakukan siang hari!" kata Bono sinis.

"Kita bikin sejarah baru."

"Rafly. Acara siang hari itu apa menariknya?" tanya Robert.

"Kalau malam hari?" Rafly balik bertanya.

"Banyak. Suasananya romantis. Lampu bisa diatur dengan baik dan sangat menarik. Dan, orang-orang lebih suka menonton jika acaranya malam hari," sela Delta.

"Siang hari pun banyak hal menariknya," tegas Delta.

"Apa itu? Lampu? Enggak ada pengaruhnya!" cibir Bono.

Rafly menarik napas panjang. "Kita orang-orang muda. Kita tidak boleh terpaku pada jejak langkah pendahulu kita. Kita harus kreatif mencari dan menciptakan jejak-jekak baru. Okelah, kita memang tidak bisa bermain-main dengan lampau. Namun, bukankah kita bisa melakukannya dalam hal-hal yang lain? Kita bikin panggung dengan rekor yang bagus. Kalau perlu dindingnya dari kulit ternak Toh kita punya banyak, tersimpan di gudang. Di samping itu, kita bisa menarik penonton sebanyak mungkin dengan menampilkan tokoh-tokoh yang beken dalam bidang seni, seperti Grup Bimbo dan Ebiet G. Ade."

"Pokoknya, aku tetap tidak setuju! Titik!" Delta menggebrak meja.

"Oke! Jadi maumu apa?" Rafly menantang. Ia berdiri sementara matanya menatap tajam kepada Delta dan Bono. Kedua anak muda itu hendak memukul Rafly, namun tidak jadi. Pesona wibawa Rafly mengalahkan niat mereka.

Arifin pulang ke tempat kos dengan wajah berseri. Karuan saja teman-temannya heran. Sebab, itu enggak biasa-biasanya.

"Nanti malam aku traktir kalian makan bakso," ujarnya riang.

"Baru dapat wesel, ya?" tanya Santoso.

"Betul. Tapi ada yang lebih penting dari itu."

"Apa?" Bambang penasaraan.

"Nanti malam kalian kuberitahu, oke?"

"Pake nunggu nanti malam segala. Memangnya terlalu penting apa," Yanto menggerutu.

Ba'da maghrib mereka makan  bakso di warung "Sedap lezat".

"Boleh tambah, Fin?" tanya Bambang, belum apa-apa.

"Makan sajalah dulu. Satu mangkok saja belum tentu habis."

"Fin. Biasanya sehabis makan bakso, makan pisang goreng, nikmatnya bukan main," gurau Rafly.

"Betul, Fin. Bagaimana kalau dari sini kita lanjutkan ke warung Pak Hamdan? Di sana, pisang gorengnya gede-gede lho," Bambang menimpali.

"Boleh. Boleh. Tapi bayar masing-masing."

"Huuu....."

Selesai makan bakso, barulah Arifin bercerita. "Hari ini, aku sudah punya pacar. Mahasiswa Tingkat Persiapan. Anita namanya," ungkap Arifin gembira.

"Cantik?" tanya Bambang. 

"Tentu dong. Aku pakai prinsip Rafly: cantik dan salehah. Ya enggak, Raf?"

"Pakai jilbab, ya?" tanya Rafly.

"Hmm..."

"Punya pacar pakai jilbab enggak boleh dicium, lho," kata Yanto.

"Boleh kok."

"Ah, siapa bilang?" tanya Bambang.

"Ustadz. Tapi nanti, setelah nikah."

"Enggak usah disebut," kata Yanto pura-pura sewot. Namun teman-temannya malah tertawa.

***
Dewi mengenakan jilbab! Sebuah kejutan lagi di kampus Peternakan. Delta marah-marah.

"Lho, kamu kenapa sewot?" tanya Dewi tak mengerti.
"Kenapa sih kamu mesti pakai jilbab segala?"

"Mestinya kamu bersyukur kepada Tuhan. Alhamdulillaah, bertambah satu lagi saudaraku yang sadar. Bukannya malah marah-marah. Kamu ini aneh."

"Aku takut, Wi."

"Takut apa?"

"Tidak bisa godain kamu lagi. Tidak bisa memelukmu dari belakang lagi. Tidak bisa......Wi, aku sebetulnya mencintaimu. Tapi aku takut ditertawakan kalau mengungkapkannya."

Mendengar itu, Dewi tertawa.

"Malah aku tertawakan. Kenapa enggak dari dulu kamu nyatakan kepadaku? Untung sampai detik ini, aku masih sendiri."

"Wi, kamu tidak sedang main-main, bukan?"

Delta masih tidak percaya.

"Kamu serius apa enggak sih?"

"Ya, serius," sahut Delta dengan mimik wajah lugu dan lucu.

"Kok kamu enggak percaya sama penuturan kekasihmu sendiri?"

"Sorry, sorry deh, Wi. Aku cinta padamu luar dalam, lahir-batin, dunia-akhirat," rayu Delta.

"Ya, ya, ya, aku tahu. Sekarang, sudah pergi sana! Soalnya tanganmu itu suka nakal, Perlu dicatat dulu,"

"Iya deh," Delta ngeloyor pergi sambil tertawa.

***
Menyusul keesokan harinya, Fanny pakai jilbab juga. Wah, ini benar-benar kejutan. Banyak orang yang hampir tidak percaya. Si centil itu kok bisa berubah begitu, ya?

"Rafly, Assalaamu 'alaikum," sapa Fanny lembut. 

"Wa'alaikum salaam. Eh, Fan, aku ada majalah baru. Tapi ada tentang jilbabnya lho," Rafly tertawa kecil.

"Biarin. Aku pinjam, Raf. Pokoknya kalau kamu punya majalah-majalah yang ada jilbabnya, pinjami aku ya."

"Boleh. Aku senang sekali. Andini pun pasti senang."

Namun, Bono marah-marah. "Buat apa pakai jilbab segala? Aku sudah tahu jelek-cakep dirimu!"

"Hmm, justru karena sudah sama-sama tahu kartu masing-masing, maknanya mending kita bareng-bareng tobat kepada Tuhan, Bon," jawaban Fanny tepat sekali mematikutukan Bono. Cowok itu kontan menunduk.

"Ayo, tunggu apa lagi? Nanti kamu ketinggalan sepur, lho."

"Apa yang mesti aku lakukan?"

"Mulai dari yang sederhana. Lengkapi sembahyangmu, 17 rakaat sehari semalam. Sehari sekali bacalah Al-Qur'an.

Bekerja keras menyukseskan acara 'Cowboy Party' aku kita juga suatu perjuangan yang besar. Mari kita buktikan bahwa acara seni bisa dilakukan pada siang hati. Acaranya sangat meriah, sekaligu bisa diterima secara agama."

Bono menatap gadis itu dengan pandangan takluk.

"Fan, aku....., aku...., boleh aku mencintaimu?" tanyanya terbata-bata.

"Mengapa tidak? Aku memang belum punya kekasih kok."

"Benar, Fan? Eh, cewek-cewek pakai jilbab, apa seperti kamu, Fan? Bicaranya dalam hal yang satu ini kok blak-blakan betul? Biasanya cewek 'kan malu-malu kucing."

"Ah, enggak usah tanyakan hal itu segala."

"Tapi, betul kamu terima cintaku, Fan?" Bono masih ragu.

"Iya, Tapi ingat, kita hanya akan tiba di tempat tujuan pada waktu yang sama jika kita menumpang sepur yang sama jam berangkatnya. Kamu mengerti?"

***
Mama Andini tercenung di kamar. Ia teringat anaknya. Suaminya marah. "Apa kamu sedang memikirkan Andini?"

"Ya."

"Untuk apa anak durhaka itu dipikirkan?"

"Ia anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Ia darah dagingku."

"Sudah! Sudah!"

"Belum cukupkah Andini menerima hukuman atas keputusan yang diambilnya?"

Suaminya tidak menyahut.

"Belum tibakah giliran kita untuk sadar? Andini telah mendahului kita dalam hal kesadaran berislam."

"Kamu mau ikut-ikutan anak dushaka itu ya? Pakai kerudung, ha?!"

***
Andini menerima surat dari mamanya:

Jangan kamu balas surat Mama. Nanti papamu marah. Harapan Mama, semoga kamu sehat-sehat saja.

Mama

Berbagai persiapan untuk acara "Cowboy Party" dilakukan dengan sungguh-sungguh. Undangan disebar di mana-mana. Panitia berhasil memperoleh kesediaan Grup Bimbo dan Ebiet G. Ade untuk tampil.

Ancara didahului dengan pelepasan sarjana baru. Suasana sangat mengharuskan. Kebanyakan sarjana baru di dampingi oleh tua dan kekasihnya masing-masing.

Kemudian, para pengunjung yang membludak sudah tidak sabar lagi menantikan penampilan pemusik pujaan mereka. Banyak sekali penonton yang hadir, dari berbagai kalangan. Yang pakai jilbab pun banyak sekali. Umar dan kawan-kawannya juga hadir.

Acara berlangsung dengan sukses.

Amir menjabat tangan Rafly. "Inikah konsepmu, Raf?"

"Ya, alhamdulillah,  Allah telah menolong kita."

"Menarik sekali, sekaligus tidak menyimbang dari ajaran Allah dan Rasul-Nya, insya Allah. Maafkan atas kekasaranku tempo hari. Aku hanya cemburu, ghirah, takut nama baik Islam dicemari."

"Sudahlah, Saudaraku. Jauh-jauh hari aku sudah memaafkan kejadian tersebut. Aku hanya ingin kita menyadari bahwa kita membutuhkan tokoh-tokoh dari berbagai watak. Kita memerlukan figur Umar ibnul Khaththab yang tegas dan keras, tapi amat penyayang. Kita butuh figur Abu Bakar yang lemah lembut dan sangat berhati-hati dalam melaksanakan ajaran Islam. Kita mendambakan figur Ali bin Abi Thalib yang cerdas dan cerdik. Kita merindukan orang yang suka beramal dengan harta bendanya, sebanyak-banyaknya, seperti Utsman bin Affan. Kita membutuhkan orang yang gagah perkasa, ahli kemiliteran seperti Khalid bin Walid. Kita memimpikan pemimpin yang adil, seperti Umar bin Abdul Aziz.
Kita juga butuh penyair-pemikir besar seperti Muhammad Iqbal. Kita butuh seniman muslim. Kita butuh penyair muslim. Kita butuh pengarang dan penulis muslim. Kita butuh ahli mode dan perancang muslim. Kita butuhkan semuanya. Setiap orang Islam dapat memberikan kontribusi jasa bagi perjuangan din yang mulia ini. Semuanya. Karena itu, lebih baik kita hilangkan segala kecurigaan yang ada di antara kita. Kita hapus jarak di antara kita. Kita berbaur. Sebab, Islam adalah satu."

"Ya, aku mengerti. Aku bangga punya Saudara seperti kamu. Namun, kami tinggal di masjid. Tentu citra masjid harus dijaga dengan baik,"

"Aku pun mengerti. Inilah yang justru harus kita tempuh. Menyelaraskan kehidupan di dalam maupun luar masjid karena di dalam maupun luar masjid, kita tetap menyandang predikat muslim."

***
Sore hari Rafly dan Andini berkunjung ke rumah Pak Budiman.

"Bagaimana acaranya, Rafly? Bapak dengar dari Ita, meriah sekali."

"Oooo, Ita nonton rupanya, ya?"

"Iya. Tapi Kak Rafly enggak melihat Ita. Kak Rafly sibuk sekali. Sudah pantas jadi bos sekarang."

Rafly tertawa kecil. "Pak, kami datang atas nama panitia. Kami ingin menyampaikan terima kasih atas sumbangan yang Bapak berikan. Terlalu besar bagi kami, sehingga kami tidak tahu mesti berkata apa," kata Rafly.

"Ah, sudahlah. Bapak ingin berbuat kebaikan dengan rezeki yang Bapak peroleh. Dan, Bapak melihat pentingnya acara yang kalian selenggarakan. Kalian adalah anak-anak muda. Mudah sekali dibangkitkan semangat perjuangannya, meski hanya dengan suntikan harapan dan penghargaan yang kecil sekalipun."

"Terima kasih, Pak."

Pak Budiman menyeruput teh hangat yang tersedia di atas meja. Tak lupa ia mempersilakan kedua tamunya untuk menikmati minuman dan makanan ringan yang disediakan.

"Sebentar. Papa Andini namanya Pak Utomo, betul?"

"Iya. Dari mana Bapak tahu?" Andini terkejut.

"Beliau mitra usaha saya."

Andini menunduk. Hatinya pilu.

"Sekarang papamu ke Los Angeles. Dalam rangka bisnis juga."

Telepon berdering.

"Biar Papa yang mengangkat," kata Pak Budiman seraya bangkit dari tempat duduknya.

"Dini. Ada telepon untukmu. Dari papa."

"Apa?!" Andini sampai terlonjak. Tangannya gemetar memegang gagang telepon itu.

"Assalaamu 'alaikum."

"Wa'alaikum salaam. Dini? Betul ini Andini?" terdengar suara bertegar di seberang sana.

"Betul. Dini ngomong sama Papa, ya?"

"Betul, Nak. Betapa rindunya aku mendengar suaramu."

"Papa," seru Andini emosi.

"Anakku, kamu baik-baik saja, bukan? Kamu sehat?"

"Ya, Pa. Bagaimana dengan Papa?"

"Aku sering sakit-sakitan sepeninggalmu, Nak."

"Oooo......Pa, maukah Papa memaafkan Dini?"

"Mestinya aku yang bertanya, Nak. Maukah kamu memaafkan Papa? Papa adalah ayah yang kejam, biadab. Papa sia-siakan anak sendiri, hanya karena ia menegakkan sebuah kebenaran."

"Sudahlah, Pa. Dalam hidupnya, seorang manusia kadang-kadang terpeleset ketika berjalan. Tetapi, selama masih ada umur, selalu terbuka pintu untuk kembali."

"Anakku Anak muda itu, yang menurut penuturan Pak Budiman menghidupimu, bagaimanakah kabarnya? Aku ingin bertemu dengannya suatu saat."

"Ia baik-baik saja, Pa. Ia malah sering merindukan Papa."

"Ah, seharusnya aku bersyukur kepada Tuhan melihat anak-anak muda seperti kalian."

Ibu Budiman meneteskan air mata menyaksikan pemandangan yang mengharukan itu. Pak Budiman hanya menunduk. Ita juga. Hanya Rafly yang sebentar-sebentar melihat ke arah Andini.

"Pa, Mama dan Tasia bagaimana?" tanya Andini lirih.

"Mereka sehat. Tapi, tubuh mereka lebih kurus sekarang. Ah, kamu pun pasti kurus, Nak."
Andini menggigit bibir. "Pa. Mungkinkah kita berkumpul kembali?"

"Tentu, Nak. Pasti. Hari itu akan tiba."

"Papa kapan pulang?"

"Hari Selasa."

"Boleh Dini jemput di Cengkareng."

"Jangan lupa, ajak anak muda yang berbudi mulia itu."

"Insya Allah."

Agak sebentar keadaan sepi. Tak ada yang mampu bicara.

"Anakku, Papa ingin kita sekeluarga umroh. Dan, anak muda itu juga tentu."

"Papa, benarkah?"

"Ya, sayang. Papa ingin menebus dosa-dosa Papa."

"Oh, Tuhan. Alhamdulillaah."

Selesai pembicaraan, Andini melonjak gembira.

"Papa ingin pergi umroh bulan depan," katanya.

"Kalau begitu kita pergi umroh bulan depan juga, Ma, Ita," ujar Pak Budiman.

"Kak Rafly juga," sela Ita.

"Kak Rafly biar papa saya yang membiayainya."

***
Hampir pukul 10 pagi ketika pesawat Boeing 737-400 milik China Airlines itu mendarat mulus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Andini dan Rafly menunggu di ruang kedatangan. Mereka ditemani Badrun, sopir pribadi Tuan Utomo.

Butuh waktu hampir setengah jam sejak petugas bandara mengumumkan bahwa pesawat dari Los Angeles itu telah mendarat, sampai Andini bisa melihat tubuh papanya melangkah menuju pintu keluar. Di belakangnya, Badrun mendorong troly berisi koper dan tas. Andini tak kuasa menahan diri. Dia segera memburu papanya.

"Papa!" serunya.

"Anakku!" sahut Tuan Utomo penuh emosi.

Ayah dan anak itu berpelukan erat. "Dini kangen sekali sama papa," suara Andini bergetar. Air matanya berjatuhan.

Tuhan Utomo pun tak mampu menahan haru. Dia membuka kaca matanya. Dengan ibu jarinya, ia membersihkan air mata yang menitik.

Tuan Utomo membelai kepala Andini yang dibalut kerundung putih. "Kamu tambah cantik, Nak. Baru Papa sadari, ternyata kerudung membuat wanita bertambah anggun," ujarnya lembut.

Andini menyapu air matanya dengan sehelai sapu tangan. Dia berusaha tersenyum.

"Terima kasih, Pa."

"Assalaamu'alaikum, Om. Saya Rafly," sapa Rafly begitu berhadapan dengan Tuan Utomo.

"Wa'alaikumsalaam. Jangan panggil Om. Panggil saja Papa."

Rafly mengulurkan tangan. Tapi Tuan Utomo malah memeluknya. "Kamu seorang gentleman. Terima kasih telah menjaga dan merawat anak gadisku," bisiknya parau.

"Sudahlah, Pa. Papa beruntung mempunyai putri sebaik Andini. Dia seorang wanita yang sangat saleh," sahut Rafly.

Tak lama kemudian Badrun datang dengan Mercedes E320 rona hitam. "Kamu duduk di depan, Din. Papa mau ngobrol sama Rafly."

"Papa, seperti enggak ada hari esok saja," Andini pura-pura marah.

Sedan mewah itu segera meluncur ke arah ibukota Jakarta.

"Kita jangan langsung pulang," kata Tuhan Utomo.

"Kasihan mama menunggu, Pa. Dini juka'kan kangen sama mama," sela Andini.

"Sekali-kali tak apa, Din. Biar mamamu menunggu. Papa mau ajak kalian makan dulu."

"Di mana, Pa?"

"Rumah makan Arab. Nasi kebulinya nikmat sekali."

"Sejak kapan Papa senang makanan Arab?" tanya Andini heran.

"Dua bulan lalu. Waktu itu Papa diajak sama seorang teman makan siang di Rumah Makan IFNA. Lokasinya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Pertama kali makan nasi kebuli di tempat itu, Papa jadi ketagihan. Hampir tiap minggu Papa selalu mampir ke tempat itu. Mama pun pernah Papa ajak, dan dia juga suka."

Setelah menempuh perjalanan hampir 45 menit, mereka keluar di pintu tol Cawang. Lalu belok kiri menyusuri Jl Otista. Tiba di depan nomor 84 A, sedan mewah itu berhenti.

Pemilik restoran, Muhammad, menyambut Tuan Utomo dengan ramah. "Selamat datang, Pak. Silakan," kata lelaki muda keturunan Hadramaut itu.

"Kenalkan Mas Muhammad, ini putri saya. Andini. Dan ini anak muda yang selama ini selalu menjaganya, pemuda asal Aceh bernama Rafly."

"Mari, mari, silakan. Mau pesan apa?" kata Muhammad seraya memberikan daftar menu.

Mereka semua memesan nasi kebuli, Kokinya adalah ibu kandung Muhammad, Ny Badiah namanya. Perempuan setengah baya itu sudah puluhan tahun melayani pesanan nasi kebuli untuk pesta pernikahan, khitananm akekah, maupun syukuran. Atas usul dari banyak orang, sejak beberapa bulan lalu dia membuka restoran khas Timur Tengah. Sajian utamanya adalah nasi kebuli, masakan khas Arab yang dibuat dengan menggunakan aneka rempah dicampur kaldu kambing dan daging kambing muda.

Sambil menunggu pesanan datang, Rafly sebentar-sebentar melirik Andini dan Tuan Utomo. Dia seperti ingin berkata sesuatu, tapi ditahannya.

"Ada apa, Raf?" tanya Tuan Utomo.

Rafly diam sejenak. Setelah itu, baru dia bicara.

"Begini, Pa. Saya ingin melamar putri Bapak dan segera menikahinya."

"Secepat itukah? Kalian 'kan masih setahun lagi baru lulus."

"Betul, Pa. Ini semata-mata untuk menjaga diri dari fitnah dan godaan. Lagi pula, walau sudah menikah, kami tak harus tinggal serumah dulu. Kami bisa menunggu sampai kuliah rampung."

Tuan Utomo menatap anak gadisnya. Andini salah tingkah. Ia menunduk.

"Bagaimana, Din? Kamu mau menjadi istri Rafly?"

"Kalau Papa mengizinkan."

Tuan Utomo menatap Rafly dan Andini bergantian.

"Asal kamu tahu ya, Raf, Andini itu orangnya keras kepala lho," kata Tuan Utomo sambil tersenyum. Andini mencubit lengan papanya.

"Itu dulu, Pa. Sekarang, setelah memakai jilbab, Dini adalah gadis yang paling lembut sedunia."

"Ih, gombal!" Andini pura-pura marah. Tapi wajahnya merona merah. Sumringah.

"Raf, kamu boleh menikahi putriku, tapi ada satu syarat."

"Apa, Pa?" tanya Rafly dan Andini hampir bersamaan.

"Akad nikahnya harus dilakukan di depan Ka'bah, waktu umrah bulan depan, Setuju?"

"Setuju, Pa. Terima kasih. Alhamdulillah," Rafly mencium tangan Tuan Utomo.

"Eh...kamu setuju enggak, Dini?" tanya Tuan Utomo.

Andini cuma tersenyum manja. Dia pun mencium tangan paparnya. "Terima kasih, Pa,"

"Masih ada satu syarat lagi," kata Tuan Utomo.

Rafly dan Andini saling berpandangan.

"Setelah menikah kalian harus tinggal serumah. Papa tak mau anak  gadis Papa tidur sendirian dan kedinginan."

"Pa,,,,?!!!"Rafly tak kuasa menahan keharuan.

Andini menitikkan air mata.

"Papa akan membantu biaya hidup kalian seperlunya. Tapi kalian harus berjanji untuk menyelesaikan kuliah. Setelah itu kalian harus memberi Papa cucu-cucu yang cantik dan lucu."

"Kami berjanji, insya Allah bisa memenuhi harapan Papa," kata Rafly.

Tuan Utomo menjabat erat tangan Rafly. Andini menyaksikan sambil tersenyum. Rafly menatap wajah calon istrinya. Dia menemukan telaga bening mengalir di matanya.

***


Karya: Irwan Kelana

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK