Adalah seorang anak kira-kira berusia sekitar 14-15 tahun. Kliwon namanya. Tepatnya itu dilahirkan pada tanggal 11 September 1988. Kliwon tercatat sebagai siswa SLTP di desanya. Kini ia duduk di kelas III. Setiap masuk ruang perpustakaan di sekolahnya, ia pasti membaca dan meminjam buku. Ketekunannya membaca sudah dirintis sejak ia duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Kegemarannya membaca buku itu menjadi perhatian khusus Pak Sardal, guru kelas dan kebetulan pula sebagai pustakawan di sekolah Kliwon. Berkat bimbingan Pak Sardal ia menjadi kutu buku. Tidak ada waktu luang bagi Kliwon sebab waktu luang selalu ia gunakan untuk membaca. Kebiasaan Kliwon untuk selalu membaca buku kapan saja dan dimana saja itu diikuti sebagian teman-temannya.
Suatu hari ketika Kliwon seperti biasanya ke perpustakaan untuk mencari-cari buku, secara kebetulan menemukan buku yang isinya tentang artitektur rumah Jawa tradisional. Ia pun tertarik dan ingin membacanya. Ia berharap lebih dari itu untuk mengetahui secara dalam tentang arsitektur rumah Jawa tradisional.
"Awas hati-hati Won, itu buku baru, jangan sampai sobek!" Pak Sardal mengingatkan. Pak Sardal sebagai guru dan yang bertanggung jawab mengelola perpustakaan selalu mengingatkan kepada siapa saja termasuk Kliwon yang membaca dan meminjamkan buku supaya buku selalu terjaga rapi, bersih dan tidak rusak. Meskipun sesungguhnya di ruang perpustakaan sudah terjaga rapi, bersih dan tidak rusak. Meskipun sesungguhnya di ruang perpustakaan sudah terpasang papan peringatan: "Cucilah tangan sebelum memegang buku", "Jagalah kebersihan","Awas hati-hati jangan sampai robek" dan sebagainya. Karena itu buku-buku yang ada di perpustakaan sekolahan Kliwon nampak terawat rapi, bersih dan tidak rusak.
"Saya tertarik buku ini Pak! bolehkah saya pinjam untuk dibawa pulang?" ujar Kliwon yang tertarik dengan buku itu dan ingin membaca di rumah. "Tentu saja boleh," jawab pak Sardal mengabulkan keinginan Kliwon. Setelah bel berbunyi tanda masuk, Kliwon bergegas masuk kelas melanjutkan pelajarannya. Dengan perasaan yang hingar-bingar, senang, ia menyelipkan buku yang dipinjamkannya ke dalam tas. Dalam hati ia berharap pelajaran sekolah cepat berakhir dan pulang sampai rumah membaca buku yang dipinjamnya itu.
Dengan sabar ia mendengarkan pelajaran yang sedang diterangkan guru kelasnya. Saat guru Kliwon menerangkan tentang sumber alam yaitu hutan termasuk hasil hutan terutama kayu jati. Kayu jati adalah hasil hutan yang mahal harganya. Karena itu masyarakat dilarang untuk mengambil kayu jati di hutan seenaknya. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan hutan yang akibat lebih jauh adalah terjadinya petaka seperti banjir, sumber air kering, tanah tandus karena hutan gundul dan sebagainya. Kerusakan hutan ini akan merugikan manusia itu sendiri. Demikian guru kelas Kliwon menerangkan tentang sumber alam. Untuk menjaga kelestarian hutan diupayakan dengan salah satu cara melalui penanaman kembali setelah penebangan.
Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, Kliwon mengajukan pertanyaan kepada gurunya, "Saya tahu Pak bahwa yang dimaksud penanaman kembali atau yang disebut juga penghijauan kembali tanah hutan yang gundul adalah reboisasi, betul kan Pa?"
"Betul kamu Won bahwa penghijauan kembali tanah hutan gundul itu reboisasi," pak guru Dipo, guru kelas Kliwon membenarkan pendapat Kliwon.
"Dan reboisasi erat hubungannya dengan erosi Pak?" Sadeli teman sekelas Kliwon menyambung.
"Yah betul juga kamu Sadeli," pak Dipo membenarkan. "Jadi maksudnya jika tanah hutan itu gundul, tanah yang tidak ada tumbuhannya menyebabkan erosi atau longsor," begitu pak guru Dipo menerangkan kepada siswa-siswinya pak guru Dipo nampak bersemangat.
Namun dibalik semangat pak Dipo itu Kliwon mulai tidak dapat menahan kesabarannya. Dalam hatinya ini ingin pak Dipo mengakhiri menerangkan dan lonceng tanda usai sekolah dibunyikan. Ia ingin cepat pulang dan membaca buku tentang arsitektur rumah Jawa yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolahnya. Kliwon sungguh berniat mempelajari dan mengetahui arsitektur rumah Jawa tradisional terutama bangunan joglo. Entah apa yang menjadi alasan Kliwon sehingga tertarik kepada arsitektur rumah Jawa tradisional khususnya bangunan rumah Jawa jenis joglo. Mungkin saja bangunan rumah Jawa bentuk Joglo ini menurut pikiran Kliwon menunjukkan kekhasan budaya Jawa. Jaman sekarang jarang anak-anak seusia Kliwon yang mau memperhatikan budaya kita bangsa Indonesia termasuk budaya Jawa.
Anak-anak yang hidup dan tinggal di daerah-daerah pedesaan saja tidak begitu mengenal dengan baik budaya di daerah mereka masing-masing. Bahkan adakalanya kelihatan asing bagi mereka apalagi mereka anak-anak yang hidup dan tinggal di perkotaan yang kebanyakan telah dicekoki dengan permainan-permainan modern seperti yang tersaji dalam play-station, film anak-anak di televisi misalnya Doraemon, Batman, Superman, Power Ranger dan sejenisnya.
Jenis-jenis atau bentuk rumah Jawa tradisional seperti rumah joglo nampak asing bagi mereka. Di desa yang mengikuti dan menirukan gaya hidup perkotaan banyak diantaranya merubah bentuk rumah tradisional menjadi rumah dengan bentuk baru yang unsurnya budaya asing (=barat); seperti antara lain bentuk Spanyolan. Tidak hanya bentuk rumah, jenis makanan pun yang menunjukkan kekhasan daerahnya, ada sebagian besar di antara mereka sudah tidak lagi mengenal dengan baik. Misalnya makanan tradisional yang bahannya dari ketela pohon seperti gethuk, cemplon, lenthuk, gatot, tiwul, sawud; yang bahannya dari jagung seperti growol dan sebagainya.
Bagi Kliwon semuanya itu perlu dipelajari dan untuk diketahui. Dalam era globalisasi ini di tengah-tengah menjamurnya peralatan canggih seperti komputer, televisi, video dan alat-alat komunikasi canggih lainnya, perlu dihadirkan pelestari nilai-nilai tradisional dan seterusnya diwariskan pada generasi penerus agar tidak kehilangan jejak budaya bangsa kita sendiri yang bernilai luhur seperti Kliwon dan anak-anak bangsa yang lain seusia Kliwon.
Kliwon yang sadar dan tergugah untuk selalu membaca buku diikuti oleh teman-temannya sekelas. Ini sangat menggembirakan bapak dan ibu guru Kliwon karena anak didik mereka aktif membaca. Disadari oleh bapak dan mereka aktif membaca. Disadari oleh bapak dan ibu guru bahwa budaya membaca orang Indonesia termasuk juga anak-anaknya memang rendah. Padahal tanpa membaca buku tidak mungkin mempunyai wawasan pengetahuan luas. Orang yang tidak pernah membaca diibaratkan pasti akan buta tentang apa yang ada di sekelilingnya. Membaca dapat dilakukan di sembarang waktu dan tempat. Tidak hanya di sekolah, kantor, perpustakaan tetapi di manapun orang dapat membaca. Yang penting ada tidaknya kemauan untuk membaca buku. Kalau memang demikian maka budaya membaca perlu digalakkan. Kliwon yang telah menyadari arti penting membaca, satu buku setebal 164 halaman selesai dibaca dalam waktu singkat di rumahnya. Keesokan harinya buku itu ia kembalikan ke perpustakaan sekolah. Inilah kepuasan batin yang dirasakan Kliwon.
Setelah bertemu dengan pak Dipo, Kliwon menanyakan tentang orang Jawa dalam membuat rumah tempat tinggal. Kebetulan pada saat itu pak Dipo sedang menerangkan pelajaran Sejarah Indonesia.
"Pak Guru, apakah dahulu orang Jawa sudah dapat membuat atau membangun rumah sebagus sekarang ini?" pertanyaan Kliwon ini agak menyimpang dari pokok bahasan hari itu, namun pak Dipo menerima pertanyaannya dan berusaha untuk menjelaskan.
"Duhulu orang Jawa membuat tempat tinggalnya dengan batu, kemudian atapnya dari ijuk atau alang-alang, jadi belum seperti sekarang," begitu pak Dipo mulai menjelaskan pada Kliwon. Lanjut dari pak Dipo, "Dari sumber lain menunjukkan bahwa bangunan tempat tinggal orang Jawa berupa batu-batu yang ditumpuk seperti candi. Tetapi jaman itu belum dikenal bangunan candi. Candi baru dikenal bangsa Indonesia termasuk orang Jawa setelah orang India dengan agama Hindunya masuk di Indonesia. Bentuk bangunan rumah tradisional orang Jawa yang paling sederhana disebut panggangpe, kampung, limasan dan bentuk bangunan rumah tradisional orang Jawa yang dianggap paling akhir adalah bentuk joblo. Kalau dilihat dari relief-relief pada dinding candi hampir dipastikan bahwa bangunan rumah orang Jawa itu lebih dahulu ada sebelum adanya bangunan candi."
"Kalau memang begitu bangsa Indonesia juga termasuk didalamnya orang Jawa hebat ya pak," sahut Kliwon. "Yah memang begitu kenyataannya," pak Dipo menegaskan. Selanjutnya pak Dipo memberikan gambaran, orang Jawa bangsa Indonesia pada umumnya dikenal orang yang sabar, alon-alon waton kelakon. Seperti pembangun candi-candi yang sekarang kita lihat. Pembuatannya itu butuh kesabaran, ketekunan, butuh waktu lama untuk menyelesaikan dan menyempurnakan. "Kalau begitu tidak asal jadi ya pak?" tanya Kliwon. "Ya betul Won," jawab pak Dipo.
"Lalu kapan orang Jawa mulai membangun rumah menggunakan bahan dari kayu jati pak?" Kliwon bertanya kepada pak Dipo. Pak Dipo menjawab, "Begini Won, berdasarkan naskah kuno yang kebetulan saya baca, disana disebutkan bahwa orang Jawa mulai membangun rumah dengan bahan kayu jati sejak jaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Mamenang ibukota Kerajaan Kediri."
"Apakah membangun rumah dari bahan kayu itu lebih ringan biayanya daripada membangun rumah dengan bahan batu?" tanya Sadeli kepada pak Dipo.
"Kalau dari segi biaya, malah lebih mahal bila menggunakan bahan kayu, apalagi kayu jati. Namun karena ingin lebih mudah dan ringan penggarapannya maka dipilihlah kayu sebagai bahan rumah. Bangunan rumah dari bahan kayu mudah dikerjakan dan jika ada bagian-bagian yang rusak akan mudah untuk menggantinya," lengkap pak Dipo.
Pak Dipo melanjutkan menerangkan kepada murid-muridnya, "hanya saja rumah dari bahan kayu atau adakalanya digunakan juga bahan dari bambu untuk mengerjakannya dilakukan dengan cara gotong-royong, tolong menolong. Di desa sering disebut dengan istilah sambatan. Karena itu membangun rumah pada umumnya tidak banyak menemui kesulitan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan membangun rumah. Misalnya membuat atap dari ijuk, menganyam dinding dari bambu dan sebagiannya," pak Dipo menjelaskan pada mereka.
"Menurut pak guru, rumah yang bahannya dari batu dengan rumah yang bahannya dari kayu lebih tahan yang mana pak?" tanya Kliwon. "Begini Won kamu dapat melihat bangunan Masjid Demak, Masjid Besar Yogyakarta, itu bahannya dari kayu bahkan kayu jati pilihan. Kamu lihat Won kedua bangunan Masjid itu kelihatan masih kokoh," jelas pak guru Dipo.
"Jadi lebih awet dari kayu ya pak," tanya Kliwon.
"Ya tergantung kayunya," jawab pak guru Dipo. "Kalau kayunya hanya kayu randu atau kayu lamtoro ya cepat rusak. Apalagi atapnya hanya dari bahan alang-alang tentu saja cepat rusak. Kamu lihat bengunan Candi Ratu Boko di Prambanan Yogyakarta dahulu bangunan depan berupa gapura, atapnya dari rumput alang-alang. Nah yang kita jumpai sekarang gapura dari batu pada pintu utama masih utuh, atapnya sudah tidak ada lagi."
"Tentang bangunan rumah tempat tinggal bagaimana perkembangannya khususnya bangunan rumah Jawa tradisional pak?" Kliwon bertanya.
"Oh.....begini ya Won, yang saya ketahui rumah tinggal orang Jawa yang juga disebut omah dari waktu ke waktu mengalami perkembangan terutama bentuknya. Dari yang paling sederhana sampai kepada yang sempurna yaitu bentuk panggangpe, kampung, limasan dan yang terakhir lebih sempurna adalah bentuk joglo. Perkembangan bentuk bangunan rumah Jawa ini menyesuaikan dengan kebutuhan akan tempat tinggal dan sejalan pula dengan perkembangan kebudayaan," begitu pak guru Dipo menjelaskan kepada Kliwon.
Atas penjelasan pak Dipo itu Kliwon masih ingin mengetahui lebih lanjut. Karena itu ia kembali menanyakan kepada pak Dipo tentang bentuk-bentuk atau jenis-jenis bangunan rumah Jawa tradisional. "Begini pak saya tertarik dengan perkembangan bentuk rumah Jawa tradisional. Bagaimana pak, apakah masing-masing bentuk bangunan Jawa tradisional itu juga mengalami perkembangannya?" tanya Kliwon kepada pak Dipo.
"Benar Won apa yang kamu pikirkan itu, tapi nanti dulu Won, kalau saya perhatikan kamu ini rupa-rupanya ingin mengetahui benar tentang bangunan rumah Jawa tradisional," pak Dipo meyakinkan bahwa Kliwon ingin benar mengetahui rumah Jawa tradisional. "Ya pak, saya ingin mengetahui rumah Jawa tradisional," jawab Kliwon. "Kalau begitu Won, agar tidak keliru, bukan saya tidak mau Won tetapi saya sarankan coba kamu ketahui tentang bangunan rumah Jawa tradisional kepada Rama Empu dan pak Mangun. Saya kira kedua beliau itu tepat dan kamu akan puas," begitu saran pak Dipo kepada Kliwon. Ia yang telah banyak memperoleh penjelasan dari pak guru Dipo, setelah mengucapkan terima kasih mohon diri untuk menemui Rama Empu dan pak Mangun. Tetapi akan pulang lebih dahulu mempersiapkan segala sesuatunya untuk bahan bila nanti bertemu Rama Empu dan pak Mangun.
Kliwon yang ingin mengetahui lebih rinci tentang bangunan rumah Jawa tradisional menerima saran pak Dipo dengan penuh harap. Ia sangat berharap dari Rama Empu dan pak Mangun akan mendapat pengetahuan yang mendalam mengenai bangunan rumah Jawa tradisional. Karena itu dengan semangat yang didorong oleh keinginannya yang kuat untuk mengetahui dan lebih mengenal bahan bangunan rumah Jawa tradisional, Kliwon akan menemui Rama Empu dan pak Mangun. Ia berpikir bahwa kebetulan rumah tinggal pak Mangun bentuknya masih tradisional yaitu joglo.
Sesampai di rumah seperti biasanya setelah berganti pakaian Kliwon mencuci tangan dan kaki. Kebiasaan ini dilakukan Kliwon sejak kecil. Sejak dini ia dilatih orangtua khususnya ibunya untuk selalu menjaga kebersihan. Ini dilakukan Kliwon dan menjadi kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya.
Malam harinya Kliwon merenung untuk merekam kembali pertemuan dengan pak guru Dipo. Kliwon yang ingin mengenal lebih dekat bangunan rumah Jawa tradisional merasa sangat beruntung memperoleh banyak keterangan dari pak Dipo gurunya. Walaupun apa yang diberikan pak guru Dipo hanya sebagian kecil bentuk-bentuk rumah Jawa tradisional seperti panggangpe, kampung, limasan dan joglo. Akan tetapi penjelasan pak guru Dipo ini merupakan pembuka jalan bagi Kliwon untuk mengenal lebih rinci bangunan rumah Jawa tradisional. Apalagi pak guru Dipo telah menyarankan Kliwon agar menemui Rama Empu dan pak Mangun yang dianggap mumpuni dalam hal seluk beluk bangunan rumah Jawa tradisional.
Karena itu sebelum tidur Kliwon menyusun rencana untuk menanyakan hal-hal yang perlu ditanyakan baik kepada Rama Empu maupun pak Mangun. Ia akan mengawali dari Rama Empu perihal bentuk rumah Jawa yang paling sederhana yaitu panggangpe. Kemudian bentuk rumah Jawa kampung, setelah itu Kliwon akan menemui pak Mangun. Dari pak Mangun ini Kliwon akan menanyakan tentang bentuk bangunan rumah Jawa limasan dan joglo.
Selesai menyusun rencana untuk hari esok Kliwon pergi tidur disertai harapan dapat bertemu Rama Empu dan pak Mangun sehingga hari itu apa yang diinginkan Kliwon semuanya dapat diselesaikan. Teriringi suara-suara jangkerik dan binatang malam lain Kliwon tidur dengan pulas.
2. Kliwon Mengenal Beberapa Bentuk Rumah Panggangpe
Keesokan hari bersamaan dengan berkumandangnya suara adzan Subuh, Kliwon mulai bangun tidur. Ia kemudian pergi ke sumur ke padasan untuk wudhu. Selesai wudhu Kliwon melakukan sholat Subuh. Selesai sholat Kliwon membantu orang tuanya untuk mengerjakan tugas-tugas rutin di rumah termasuk membersihkan kamar tidur dan merapikan tempat tidurnya. Setelah semua tugas pekerjaan selesai, Kliwon mengambil handuk terus ke kamar mandi. Selesai mandi, Kliwon merapikan diri di kamarnya. Seperti ini ia lakukan setiap hari hingga baginya merupakan kebiasaan dan kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan.
Ibu Kliwon yang sejak tadi memperhatikan menegur, "Tumben Won, hari ini hari libur kamu berpakaian rapi, ada apa Won."
Memang hari ini Kliwon tidak pergi ke sekolah, karena kebetulan libur panjang. "Mau ke rumah Rama Empu."
"Ada apa Won ke rumah Rama Empu?" Ibu Kliwon bertanya.
Kemudian Kliwon menjelaskan maksudnya, "Begini bu saya telah membaca buku yang saya pinjam dari Perpustakan Sekolah."
"Buku apa itu Won?" tanya ibu Kliwon.
"Ini bu, buku tentang Bangunan Rumah Jawa Tradisional, dan saya juga telah mendapat penjelasan sedikit dari pak guru Dipo. Oleh Pak Dipo saya disarankan menemui Rama Empu dan pak Mangun. Katanya dari Rama Empun dan pak Mangun saya akan dapat keterangan lengkap. Nah hari ini kebetulan hari libur saya mohon pamit ke rumah Rama Empu dan pak Mangun, Bu. Biar tidak mengganggu hari sekolah," begitu Kliwon menjelaskan maksudnya kepada ibunya.
"Ya Won, tetapi makan dulu sebelum berangkat," ibu Kliwon mengingatkan untuk makan pagi lebih dahulu.
Selesai makan Kliwon berpamitan kepada ibunya. "Ya Won, hati-hati, kalau sudah selesai, cepat pulang," kata ibu Kliwon. Di hari itu Kliwon bermaksud untuk terlebih dahulu menemui Rama Empu. Dari Rama Empu Kliwon akan menanyakan perihal bentuk rumah panggangpe beserta beberapa jenisnya. Sesampai di rumah Rama Empu, Kliwon menyapa "permisi". Dari dalam keluar seorang wanita sebaya ibu Kliwon. "Mari ada apa nak," tanyanya. "Mau bertemu Rama Empu Bu, apa beliau ada?" Kliwon menjawab dan mengutarakan maksud kedatangannya. "Oh, ada nak, mari masuk dan silahkan duduk." Ibu tadi mempersilahkan Kliwon masuk dan duduk.
Tidak lama kemudian Rama Empu keluar dan Kliwon menyampaikan salam hormat dengan berjabat tangan dan memperkenalkan dirinya. Rama Empu menyambutnya dengan senyum yang membuat rasa sejuk di hati Kliwon. "Eh, kamu Won," ucap Rama Empu. "Ada apa Won, apa yang kira-kira kamu butuhkan dari saya," lanjut Rama Empu. Kliwonpun mengutarakan maksud kedatangannya kepada Rama Empu. "Begini Rama, saya membaca buku tentang bangunan rumah Jawa tradisional, yang saya pinjam dari Perpustakaan Sekolah. Saya tertarik pada buku itu karena ingin mengenal lebih dekat bangunan rumah Jawa tradisional. Buku itu sudah saya baca dan saya tanyakan kepada pak guru Dipo mengenai hal-hal yang bagi saya kurang jelas. Pak Guru Dipo menjelaskan dan menyarankan kepada saya bila saya ingin mengenal lebih dekat bangunan rumah Jawa tradisional supaya menemui Rama Empu dan juga pak Mangun. Karena itu saya datang pada Rama Empu untuk bila Rama Empu berkenan memberikan keterangan tentang bangunan rumah Jawa tradisional."
Rama Empu mengangguk-anggukkan kepala dan dalam hati beliau merasa bangga atas maksud dan tujuan Kliwon. Beliau merasa bersyukur masih ada generasi muda yang hidup di alam modern mempunyai keinginan untuk mendalami kebudayaan sendiri. "Oh, itu maksud kamu Won, ya saya akan berusaha semampu mungkin," Rama Empu menanggapi maksud Kliwon. "Jadi apa Won yang kamu harapkan dari saya, "Lanjut Rama Empu. "Begini Rama dari buku yang saya baca dan juga penjelasan dari pak guru Dipo bangunan rumah Jawa tradisional itu ada beberapa jenis. Mulai dari bentuknya yang paling sederhana sampai yang boleh dikatakan sempurna yaitu dari bentuk bangunan yang disebut Panggangpe, Kampung, Limasan, dan Joglo. Untuk kali ini barangkali Rama Empu dapat menjelaskan bentuk bangunan Panggangpe dan bentuk bangunan Kampung," "Ya, saya coba Won, tetapi kalau ada kekurangannya kamu bisa menanyakan kepada pak Mangun atau pak guru Dipo," Rama Empu menyanggupi apa yang diminta Kliwon.
"Jadi bagaimana Rama, bentuk bangunan rumah Panggangpe itu dan sekalian bentuk bangunan rumah Kampung," Kliwon mengajukan pertanyaan kepada Rama Empu. Rama Empu memberikan penjelasan kepada Kliwon, "Begini Won saya akan memulai dari kata Panggangpe. Saya belum akan menjelaskan rumah Panggangpe. Kata Panggang, memanggang artinya kurang lebih memanaskan sesuatu di atas api yang membara supaya kering. Misalnya jaman dulu dan sekarang ada beberapa diantaranya masih melakukan yaitu apabila kain yang belum kering karena tidak ada panas matahari, agar kering orang membakar arang dalam tungku, di atas tungku dengan arang yang membara diletakkan kain yang belum kering. Karena kena diletakkan kain yang belum kering. Karena kena panas arang kain itu akan mengering. Itu arti panggang Won." "Seperti saya pernah lihat nenek memanggang kain popok adik saya yang belum kering," Kliwon meyakinkan pada dirinya tentang arti panggang yang disampaikan Rama Empu.
"Kemudian kata pe," lanjut Rama Empu, "Berasal dari kata epe atau pepe, artinya dijemur sinar matahari. Jadi keseluruhan panggangpe kurang lebih berarti memanaskan sesuatu di bawah terik sinar matahari," begitu Rama Empu memberikan arti kata panggangpe.
Kliwon yang anak cerdas dan penuh perhatian kembali bertanya kepada Rama Empu. "Jadi bagaimana Rama kaitannya dengan rumah yang disebut panggangpe itu?" "Ya kalau rumah panggangpe ini bukan rumah untuk tempat tinggal," lanjut Rama Empu. "Itu lho Won, kamu dapat lihat bentuk rumah panggangpe itu bangunan di sawah yang biasanya digunakan pak tani untuk berteduh dan beristirahat, di pasar tempat untuk berjualan untuk menjemur daun teh, tembakau, ketela pohon, kedelai dan hasil bumi lainnya," begitu Rama Empu menunjukkan contoh panggangpe kepada Kliwon.
"Jadi rumah panggangpe bukan rumah untuk tempat tinggal, ya Rama?" tanya Kliwon.
"Bukan Won," Rama Empu mengiyakan. "Dan kalau kau tahu, rumah panggangpe seperti saya sebutkan tadi bentuknya sederhana, mudah dibuat, biaya pembuatan ringan, kalau rusak resikonya kecil. Seperti saya ceritakan tadi Won, gubug di tengah sawah, warung, bangunan gudang di stasiun atau pelabuhan. Tapi bentuknya sederhana, bentuk rumah panggangpe ini mudah dikembangkan, ditambah sana-sini sesuai kebutuhan," begitu Rama Empu menjelaskan.
"Bukan Won," Rama Empu mengiyakan. "Dan kalau kau tahu, rumah panggangpe seperti saya sebutkan tadi bentuknya sederhana, mudah dibuat, biaya pembuatan ringan, kalau rusak resikonya kecil. Seperti saya ceritakan tadi Won, gubug di tengah sawah, warung, bangunan gudang di stasiun atau pelabuhan. Tapi bentuknya sederhana, bentuk rumah panggangpe ini mudah dikembangkan, ditambah sana-sini sesuai kebutuhan," begitu Rama Empu menjelaskan.
Rumah panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan merupakan bentuk bangunan dasar. Bangunan rumah bentuk panggangpe ini merupakan bangunan pertama yang digunakan orang Jawa untuk sekedar berlindung dari gangguan angin, dingin, hujan dan panas matahari. Bangunan rumah panggangpe mempunyai tiang sebanyak 4 buah dan pada sisi kelilingnya diberi dinding sekedar penahan hawa ini mempunyai beberapa macam bentuk sesuai dengan kebutuhan manusia.
Kliwonpun bertanya kepada Rama Empu, tentang beberapa macam bentuk rumah panggangpe dalam perkembangan berikut. "Rama, apakah bentuk bangunan rumah panggangpe mempunyai tiang sebanyak 4 buah dan pada sisi kelilingnya diberi dinding sekedar penahan hawa ini mempunyai beberapa macam bentuk sesuai dengan kebutuhan manusia.
Kliwonpun bertanya kepada Rama Empu, tentang beberapa macam bentuk rumah panggangpe dalam perkembangan berikut. "Rama, apakah bentuk bangunan rumah panggangpe ini tidak pernah mengalami perkembangan," tanya Kliwon. "Ya tentu Won, sebab kebutuhan manusia khan bertambah," jawab Rama Empu. "Kalau begitu Rama, mohon sekalian Rama Empu dapat menjelaskan bagaimana perkembangan rumah Jawa bentuk panggangpe ini," desak Kliwon agar Rama Empu menjelaskan perkembangan rumah jawa bentuk panggangpe.
"Tetapi Won, sebelum saya lanjutkan pembicaraan kita ini diminum dan dimakan dulu singkong rebus hasil tanaman dari tegal," Rama Empu mempersilahkan tamu kecilnya untuk minum dan menyantap singkong rebus. Kliwon pun minum dan menyantap singkong rebus Rama Empu. "Kenapa Won kelihatannya kamu ingin sekali mengetahui rumah panggangpe ini," tanya Rama Empu. "Ya Rama, sebab saya ingin mengenal rumah Jawa tradisional," jelas Kliwon.
Rama Empu mengangguk-anggukkan kepala dan dalam hatinya memuji Kliwon. Anak yang masih mau peduli mengetahui kebudayaan sendiri. Rama Empu pun selanjutnya menjelaskan kepada Kliwon tentang perkem-bangan rumah Jawa tradisional bentuk panggangpe yang masih sederhana disana-sini belum diberi tambahan bangunan dan belum bervariasi.
"Begini Won, seingat saya akan mencoba," Rama Empu mengawali penjelasannya kepada Kliwon. "Bentuk rumah Jawa tradisional yang paling sederhana seperti telah saya sebutkan tadi yaitu panggangpe berikutnya dapat dilihat dengan adanya beberapa variasi sebagai berikut:
- Ada rumah panggangpe trajumas yakni rumah bentuk panggangpe yang menggunakan tiga pengeret serta enam buah tiang.
Rumah panggangpe gedhang selirang atau pisang sesisir. Rumah ini sudah berubah dari rumah pokok yaitu dengan menambah atap emper pada bagian belakang. Salah satu bentuk panggangpe dibuat lebih rendah dari yang lain. Rumah panggangpe gedhang selirang ini menggunakan tiang yang jumlahnya enam atau delapan. Atapnya terdiri atas sebelah sisi dua tingkat.
- Rumah panggangpe empyak setangkep yaitu dua buah empyak panggangpe yang dipertemukan pada sisi depan lalu diberi tiang depan. Ada bentuk lain panggangpe empyak setangkep yaitu bentuk atapnya yang melebar diperpanjang sampai depan kelihatan menonjol sehingga menutupi bagian atas atap depan. Bentuk rumah panggangpe empyak setangkep ini lazimnya digunakan gudang. Rumah ini menggunakan enam atau sembilan tiang."
"Maaf Rama," sela Kliwon ingin bertanya, "kalau rumah yang membujur panjang tampak sederhana itu bentuk apa Rama?" "Dimana kamu melihat itu?," tanya Rama Empu kepada Kliwon. "Ya banyak Rama misalnya di gudang-gudang beras, pabrik-pabrik, ada di pinggir-pinggir pantai, saya sering melihat Rama," jelas Kliwon.
Rama Empu diam sejenak agaknya mengingat-ingat apa yang dikatakan Kliwon. "O...itu ya Won," Rama Empu mulai ingat dan katanya, "Itu rumah panggangpe yang namanya panggangpe barengan. Dikatakan barengan karena berderet banyak, sejumlah rumah panggangpe berderet banyak menjadi satu. Rumah panggangpe yang satu dengan yang lainnya saling menopang dan bergandengan, jadi kelihatan panjang seperti kereta api. Jumlah tiang yang digunakan dua puluh, tiga puluh, empat puluh dan seterusnya sesuai kebutuhan."
"Betul Rama, jadi itu yang dinamakan rumah panggangpe barengan ya Rama," begitu Kliwon mengatakan kepada Rama Empu. "Ya...tapi masih ada bentuk rumah panggangpe yang perlu kamu ketahui Won," Rama Empu masih mau menunjukkan kepada Kliwon bentuk rumah Jawa panggangpe yang lain. "Ada bentuk rumah panggangpe kodhokan ini sering kita jumpai bangunan kios tetapi atap bagian depan diperbesar dan ditopang tiang. Kalau rumah panggangpe gedhang setangkep merupakan gabungan dari dua bentuk bangunan panggangpe gedhang selirang. Cara menggabungkannya dengan mempertemukan bagian atap paling atas sehingga terlihat adanya satu bubungan. Bangunan rumah panggangpe gedhang setangkap ini sudah agak sempurna dan teduh. Hampir sama dengan bentuk panggangpe empyak setangkep. Seperti itu lho Won yang ada di sebelah selatan sungai, coba kita lihat kesana hanya dekat kok Won," begitu Rama Empu menunjukkan contoh bentuk rumah panggangpe gedhang setangkep kepada Kliwon.
Rama Empu dengan diikuti Kliwon keluar rumah dan keduanya pergi untuk melihat bentuk rumah panggangpe gedhang setangkep yang ditunjukkan Rama Empu tadi. Setelah beberapa saat melihat sambil beristirahat di rumah panggangpe gedhang setangkep Rama Empu berkata kepada Kliwon, "Wan saya kira sudah cukup saya menjelaskan kepada kamu tentang bentuk rumah Jawa panggangpe dari yang sederhana sampai pada yang bentuk rumah panggangpe gedhang setangkep. Nah, bagaimana untuk kali ini kita akhiri dulu dan kita pulang beristirahat. Saya masih ingin mengenalkan kepada kamu, itu kalau kamu mau tahu bentuk rumah Jawa tradisional yang dinamakan Kampung. Tapi tidak sekarang, kamu toh masih libur. Terserah kamu Won, besok yang boleh ya boleh tapi jangan terlalu siang", begitu kiranya Rama Empu masih menyediakan waktu untuk menjelaskan bentuk rumah Jawa tradisional kepada Kliwon.
Kliwon sangat beruntung bertemu dengan Rama Empu dan Kliwon mengucap terima kasih kepada Rama Empu, "Saya mengucapkan beribu terima kasih karena hari ini Rama telah banyak memberikan keterangan tentang rumah Jawa panggangpe." Kliwon terus berpamitan kepada Rama Empu," pamit Rama saya pulang dahulu, besok pagi saya akan datang lagi". "Ya Won hati-hati di jalan," begitu kata Rama Empu.
Hari ini Kliwon boleh berbahagia karena apa yang diharapkan telah didapat di rumah Rama Empu, waktu pada saat itu menunjukkan pukul empat sore dan Kliwonpun sampai di rumahnya.
3. Kliwon Mengenal Rumah Jawa Tradisional Bentuk Kampung
Keesokan harinya seperti biasanya Kliwon mulai Subuh melakukan kegiatan-kegiatan rutin menyelesaikan tugas-tugas di rumah membantu orang tuanya. Hari ini adalah hari kedua masa libur panjang Kliwon. Seperti yang telah direncanakan semula, ia kembali akan menemui Rama Empu yang telah menyediakan waktu untuk berbincang-bincang tentang rumah Jawa tradisional bentuk kampung.
Bangunan rumah Jawa bentuk kampung setingkat lebih sempurna dari bentuk bangunan rumah panggangpe dengan variasinya. Pada bangunan rumah bentuk kampung, bangunan pokoknya terdiri dari tiang yang jumlahnya empat, enam, delapan dan seterusnya. Tetapi pada umumnya bangunan rumah Jawa bentuk kampung ini memerlukan delapan buah tiang untuk penyangganya. Sedang atapnya terdapat pada dua buah sisinya dengan satu bubungan seperti bangunan rumah Jawa bentuk panggangpe empyak setangkep.
Hari itu sekitar pukul setengah sembilan Kliwon berangkat ke rumah Rama Empu dengan berjalan kaki. Ia datang sendirian. Setelah sampai di rumah Rama Empu, Kliwon mengucap salam, Selang beberapa saat keluar Rama Empu sambil membalas ucapan salam Kliwon.
"Oh kamu Won, mari masuk dan silahkan duduk," Rama Empu mempersilakan Kliwon masuk rumah dan duduk. "Sudah saya tunggu lho kamu Won."
"Terima kasih Rama," sahut Kliwon. "Maaf Rama saya terlambat." "Oh tidak apa-apa, yang penting kamu datang menepati janjimu. Terlambat tetapi belum lama kok," begitu Rama Empu.
"Apa yang akan kita bicarakan sekarang Won. Kamu akan bertanya tentang apa?" tanya Rama Empu kepada Kliwon. "Ini Rama tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung," jawab Kliwon sekalian mengingatkan kepada Rama Empu.
"Oh, iya saya hampir lupa Won, maklum orang tua, untung kamu mengingatkan, tetapi pelan-pelan saja ya Won. Karena rumah Jawa bentuk kampung, apalagi yang masih tradisional juga seperti panggangpe mempunyai beberapa variasi," begitu Rama Empu.
Rama Empu kemudian mulai mengawali menyampaikan keterangan dan penjelasan kepada Kliwon tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung.
"Begini yan Won, akan saya jelaskan tetapi nanti apabila kamu kurang jelas boleh dan silahkan bertanya," pinta Rama Empu kepada Kliwon.
"Baik Rama," begitu Kliwon sambil menyiapkan diri mendengarkan penjelasan Rama Empu.
Rama Empu mulai menjelaskan kepada Kliwon, "Bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung ini, rupa-rupanya dilihat dari fungsinya, setingkat lebih sempurna dari rumah bentuk panggangpe. Kalau bangunan rumah bentuk panggangpe, mempunyai tiang yang jumlahnya empat atau enam buah. Sedang bangunan pokok pada rumah Jawa bentuk kampung mempunyai tiang yang jumlahnya empat, enam dan delapan buah. Tetapi kebanyakan menggunakan delapan buah tiang." "Kemudian atapnya bagaimana Rama?" tanya Kliwon.
"Atapnya ya tidak seperti bentuk panggangpe. Atap rumah bentuk kampung terdapat pada kedua belah sisinya dengan hanya satu bubungan atau wuwung," jawab Rama Empu. "Dari bubungannya itu Won kita mengetahui bahwa rumah itu bentuk kampung," "Kemudian Won," lanjut Rama Empu, "Rumah Jawa bentuk kampung ini seperti bentuk panggangpe mengalami perkembangan sehingga dikenal adanya beberapa variasi bentuk kampung."
"Apakah variasi bangunan rumah Jawa bentuk kampung ini sama seperti bentuk panggangge Rama?" tanya Kliwon.
"Ya sebagian ada yang sama, tetapi agar jelas kamu mengenal variasi bentuk kampung akan saya sebutkan satu persatu," begitu Rama Empu. "Jadi beberapa variasi rumah Jawa bentuk kampung ini sebagai berikut:
1. Bentuk Kampung Pacul Gowang
2. Bentuk Kampung Srotong
3. Bentuk Kampung Dara Gepak
4. Bentuk Kampung Klabang Nyander
5. Bentuk Kampung Lambang Teplok
6. Bentuk Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu
7. Bentuk Kampung Gajah Njerem
8. Bentuk Kampung Cere Gancet
9. Bentuk Kampung Semar Pinodhong
Itu lho Won, beberapa variasi rumah Jawa bentuk kampung. Jadi semuanya ada sembilan macam variasi rumah bentuk kampung."
"Bagaimana Rama ciri-ciri masing-masing variasi bentuk kampung itu?" tanya Kliwon yang segera ingin tahu.
"Wah Won, kamu ini kelihatannya buru-buru ingin tahu saja," begitu Rama Empu.
"Iya Rama karena kelihatannya menariik untuk diketahui," Kliwon mengiyakan.
"Ya sudah, dengarkan saya jelaskan satu persatu masing-masing ciri rumah Jawa bentuk kampung tadi," Rama Empu mulai menjelaskan kepada Kliwon dan selanjutnya:
1. Rumah bentuk kampung pacul gawang itu merupakan bentuk bangunan rumah Jawa bentuk kampung yang pokok ditambah dengan bagian bangunan yang bentuknya panggangpe pokok. Sehingga nampak bagian bangunan lain yang berupa serambi atau emper yang letaknya di salah satu sisi bangunan pokok. Tiang yang digunakan semuanya berjumlah enam, delapan atau dua belas. Atap pada dua belah sisinya bersusun atau bertingkat. Pada bentuk bangunan ini hanya ada satu bubungan atau wuwung.
2. Rumah bentuk kampung srotong adalah bentuk bangunan rumah Jawa bentuk kampung pacul gawang ditambah bangunan emper pada bagian sisi belakang bangunan bentuk pokok. Sehingga pada bangunan rumah kampung bentuk srotong ini merupakan bangunan kampung pokok dengan dua bangunan emper yang berbentuk panggangpe. Bangunan rumah ini menggunakan tiang yang jumlahnya delapan, dua belas, enam belas dan seterusnya yang jumlahnya genap.
3. Rumah bentuk kampung dara gepak. Bangunan rumah ini terdiri dari tambahan bangunan-bangunan emper yang ditambahkan disekeliling bangunan pokok. Dengan demikian ada empat bangunan emper yang mengelilingi bangunan pokok. Bangunan rumah bentuk kampung dara depaok ini mempunyai tiang yang berjumlah enam belas, dua puluh juga kadang-kadang dua puluh empat buah tiang dengan atap dua buah yang ada pada kedua belah sisinya dan bersusun dua. Ada kalanya ditambah dua atap lagi pada samping kanan dan kiri bangunan pokok yang bersusun dengan satu babungan atau wuwung."
"Tetapi Won mari ini tehnya diminum dulu dan dimakan singkong rebusnya," ajak Rama Empu mempersilahkan Kliwon untuk minum teh dan makan singkong rebus.
"Baik terima kasih Rama," sahut Kliwon yang segera meminum teh dan menyantap singkong rebus. Dalam hati Kliwon bersyukur karena memang sudah haus, sedari awal Kliwon mendengarkan penjelasan Rama Empu. Tetapi Kliwon senang dan puas.
Kemudian Rama Empu melanjutkan penjelasannya. "Saya lanjutkan ya Won. Sampai dimana tadi?" "Sampai rumah Jawa bentuk kampung dara gepak Rama," Kliwon mengingatkan.
"Oh ya sampai itu ya Won," Rama Empu menjawab, Selanjutnya dikatakan, "Untuk ini kita mulai dari rumah Jawa bentuk kampung klabang nyander. Jadi yang keempat ya Won.
4. Rumah Jawa bentuk kampung klabang nyanber itu bentuk bangunan rumah Jawa kampung yang menggunakan enam belas, dua puluh empat buah tiang bisa juga lebih. Bangunan rumah Jawa kampung klabang nyander ini membutuhkan empat atau enam buah pengeret. Atapnya terletak di kedua belah sisi dan dengan satu bubungan.
5. Rumah Jawa bentuk kampung lambang teplok. Bentuk ini merupakan variasi lain bangunan rumah Jawa bentuk kampung dengan renggangan antara atap brujung, itu atap yang paling atas dengan penanggap yang fungsinya seperti blandar, yaitu untuk penguat susunan kerangka bangunan bagian atas. Bangunan ini mempunyai enam belas, dua puluh empat buah tiang. Dan empat diantaranya terletak di tengan merupakan tiang pokok atau saka guru. Atapnya terletak di kedua belah sisinya dan bersusun dengan posisi merenggang, jadi keduanya tidak berhubungan rapat antara atap atas dan atap bawah. Bangunan ini hanya ada satu bubungan.
6. Rumah Jawa bentuk kampung lambang teplok semar tinandhu. Bentuk bangunan rumah kampung yang menggunakan tiang penyangga brujung di atas bertumpu di atas blandar. Sedang blandar itu sendiri ditopang tiang penyangga di pinggir. Bangunan ini menggunakan dua belas tiang.
7. Rumah Jawa bentuk kampung gajah njerem. Bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung gajah njerem ini menggunakan sebanyak dua puluh atau dua puluh empat buah tiang. Bentuk kampung gajah njerem ini mempunyai tiga buah emper atau serambi. Dua emper terletak di sebelah depan dan belakang dan yang satu lagi di sebelah sisi samping bangunan pokok."
"Jadi Rama, semua bentuk bangunan yang telah Rama jelaskan itu, pusatnya pada bangunan pokok ya Rama," tanya Kliwon untuk menyegarkan ingatannya.
"Ya, begitu Won. Tapi masih ada variasi bentuk rumah kampung yang lain lho Won," begitu Rama Empu.
"Oh iya, masih ada dua bentuk rumah kampung lagi Rama," Kliwon mengingatkan.
"Yang berikut Won", Rama Empu melanjutkan:
8. Bentuk rumah kampung cere gencet. Bangunan ini merupakan gabungan dua bentuk bangunan rumah kampung yang sama, yaitu bentuk bangunan rumah kampung pacul gowang. Cara menggabungkannya atap masing-masing bangunan rumah pokok disatukan, sehingga pada bentuk bangunan ini terlihat adanya dua bubungan dua emper dan satu talang. Tiang yang digunakan sebanyak dua puluh atau dua puluh empat buah.
9. Rumah Jawa bentuk kampung semar pinondhong. Bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung yang disebut semar pinondhong ini menggunakan tiang yang berjajar di tengah sepanjang bangunan rumah. Jadi seperti orang antri tiang yang digunakan bisa berjumlah empat atau enam buah. Atap rumah dikedua belah sisi ditopang oleh sebuah balok kayu yang dipasang secara horizontal. Agar seimbang dipasang kayu menyiku. Bangunan ini mempunyai satu bubungan atau wuwungan saja.
Itulah Won rumah Jawa tradisional bentuk kampung, dengan beberapa variasinya. Jadi semuanya ada sembilan ya Won," begitu Rama Empu.
"Wah, menarik sekali ya Rama. Tapi diantara bentuk-bentuk rumah kampung tadi, yang mana Rama yang biasanya digunakannya orang Jawa?" tanya Kliwon kepada Rama Empu.
"Ya, yang mana ya Won. Tapi itu terserah kepada pemiliknya, terutama bagaimana kebutuhan dan yang penting kemampuan membuat rumah. Kalau keluarganya besar anaknya banyak, padahal masing-masing membutuhkan kamar, padahal masing-masing membutuhkan kamar,lagi pula biayanya ada untuk membangun, ya dibangun rumah besar. Apa mau bentuk kampung srotong atau kampung lambang teplok. Seperti itu lho Won, rumah pak Condro, depan rumah itu. Itu rumah kampung srotong," ujar Rama Empu sambil menunjuk rumah pak Condro yang terletak di depan rumahnya. "Ayo Won diminum, ini dilanjutkan singkong rebusnya."
Kliwonpun minum air teh dan makan singkong rebus yang disajikan. Sambil makan ia berpikir dan di dalam hatinya kagum kepada Rama Empu yang masih segar daya ingatnya, sehingga baginya penjelasan Rama Empu tadi dapat menambah pengetahuan yang sangat berharga, khususnya tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung dengan beberapa variasinya.
Setelah minum dan makan singkong rebus selesai dan dirasa telah cukup, Kliwon mohon pamit kepada Rama Empu.
"Rama, rasanya hari ini saya telah banyak memperoleh pengertian tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk kampung. Untuk kali ini Rama saya mohon pamit dan terima kasih, Rama telah banyak memberikan penjelasan kepada saya, sejak kemarin tentang rumah panggangpe dan hari ini rumah kampung. Saya mohon maaf banyak mengganggu Rama. Karena itu Rama, hari telah sore saya mohon pamit," begitu dengan hormatnya Kliwon mohon pamit.
"Ya Won tidak apa-apa, sama-sama Won, saya malahan senang masing ada anak yang mau memperhatikan kebudayaan sendiri. Mudah-mudahan semua yang telah saya berikan bermanfaat bagi kamu. Nah, kalau pulang hati-hati di jalan dan salam buat bapak dan ibumu," begitu Rama Empu.
"Ya Rama dan permisi," Kliwon berpamitan dengan hormat kepada Rama Empu.
Hari itu sudah sore menjelang Ashar, Kliwon meninggalkan rumah Rama Empu dan berjalan pulang. Sampai di rumah ibunya yang sudah menunggu menyapa "Kok sampai sore Won, apa sudah cukup yang kamu minta penjelasan dari Rama Empu."
"Ya bu, banyak yang diberikan Rama Empu kepada saya. Besok tinggal saya mau menemui Pakdhe Mangun," kata Kliwon.
"Lho ada apa dengan Pakdhe Mangun Won?" tanya ibunya.
"Ini bu saya akan menanyakan tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk limasan joglo dan tajug. Seperti isi buku yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah," jelas Kliwon kepada ibunya.
"Ya sudah, kalau begitu sama mandi terus beristirahat agar badanmu segar," perintah ibunya.
Kliwonpun kemudian mandi dan beristirahat menuruti ibunya. Malamnya kembali Kliwon membaca-baca buku agar dapat menyusun persiapan untuk Pakdhe Mangun.
Malampun telah larut dan Kliwon mulai mengantuk meletakkan buku di mejanya, terus pergi tidur. Tak lama kemudian akhirnya Kliwon tidur dengan pulas.
4. Kliwon Mengenal Rumah Limasan
Mengingat liburan masih setengah bulan lagi, maka Kliwon masih menggunakan saat-saat libur panjang tahunan ini dengan berbagai kegiatan yang positif. Sebelum ke rumah Pakdhe Mangun Kliwon menjumpai teman-temannya satu sekolahan. Dengan teman-temannya ia saling berkunjung. Kali ini ia berkunjung ke rumah Andi dan Dessi, mereka satu dusun. Kliwon masih memburu ilmu yang masih langka dan tidak semua anak tahu yaitu tentang cara dan langkah-langkah orang Jawa membangun rumah. Andi mempunyai tugas mencari kliping soal kendaraan Jawa tradisional, misalnya gerobag, andong, cikar, dokar, keseran dan jenis kendaraan kereta lainnya.
"Asyik juga kamu An," seloroh Dessi ketika mereka bertiga berada di rumah Andi.
"Kalau mau lebih jelas tentang kereta kuda, kamu akan saya ajak ke rumah Rama Empu. Karena Ram punya andong yang bagus," kata Kliwon memberi nasihat kepada Andi.
Kliwon yang sedianya hari ini ingin berkunjung ke rumah Pakdhe Mangun karena ingin membantu Andi yang mendapat tugas membuat kliping kendaraan tradisional menawarkan Andi ke rumah Rama Empu yang kebetulan Rama Empu memiliki andong. "Ah tidak. Saya sedang mencari gambar dan foto tentang kendaraan tradisional, belum sampai pada keterangannya," jawab Andi pasti. Tetapi agaknya Andi memang berhasrat menemani Kliwon pergi ke rumah Rama Empu.
"Lalu dengan Dessi," tanya Andi.
"Dessi mendapat tugas dari Pak Guru mengumpulkan kliping tentang apa?" tanya Kliwon kepada Dessi.
"Ah saya hanya kliping tentang tanaman bonsai," jawab Dessi.
"Wah bagus itu, sekarang tanaman bonsaikan baru memasyarakat. Coba kamu kembangkan. Kalau perlu mencoba membuat sendiri tanaman bonsai, jadi bukan hanya kliping gambar saja," saran Kliwon kepada Dessi.
"Saya belum mempunyai hasrat untuk menanam tanaman bonsai. Saya masih tabu dan agaknya saya belum suka dengan tanaman itu. Entahlah, kapan saya menyukai tanaman," ungkap Dessi.
"Nanti kalau kamu sudah terbiasa akan cinta pula dengan tanaman bonsai, sedikit demi sedikit lama-lama akan mencintai." Kliwon mengisyaratkan kepada Dessi. Kemudian ketiga anak itu menuju rumah Rama Empu bersama-sama. Setelah tiba di rumah Rama, anak-anak itu saling bersalam dengan Rama.
"Wah ini teman Kliwon?" tanya Rama Empu.
"Lho Won, katanya hari ini akan ke rumah Pakdhe Mangun tetapi kemudian kamu ke sini, bagaimana ini Won?" tanya Rama Empu kepada Kliwon.
"Betul Rama," jawab Kliwon dengan sangat sopan. Kemudian Kliwon menjelaskan kepada Rama Empu maksud kedatangannya yang kali ini bersama teman-temannya dan sekalian ingin mendapat penjelasan tentang rumah Jawa bentuk limasan dari Rama Empu.
"Baiklah, kalau begitu kita nanti pergi ke rumah Pak Jawadi karena di sana ada sebuah rumah limasan yang biasa kita jadikan contoh rumah Jawa tradisional yang masih utuh. Walaupun ada berbagai jenis rumah limasan." Rama Empu ingin mengajak Kliwon dan teman-temannya.
"Ke sananya naik apa Rama?" tanya Dessi.
"Tentu naik andong, Rama senang naik kendaraan yang tanpa bahan bakar, biar udara tidak terlalu tercemar oleh asap knalpot," begitu Rama Empu.
"Betul juga kata Rama," sahut Andi kegirangan. Lalu mereka bersama-sama naik andong menuju rumah Pak Jawadi. Dengan perjalanan seperempat jam sudah sampai di rumah Pak Jawadi.
"Ada keperluan apa Rama. Saya terkejut atas kedatangan Rama Empu beserta rombongan," ungkap Pak Jawadi.
"Oh tidak ada apa-apa, biasa silaturohmi". Lalu mereka saling bersalaman. Setelah Pak Jawadi tahu maksud semua itu, Rama Empu mulai menjelaskan tentang rumah bentuk limasan kepada anak-anak terutama Kliwon. Dikatakannya bahwa rumah pak Jawadi ini berbentuk bangunan rumah Limasan Apitan Pengapit, maka panjang dan luas.
"Rumah ini besar dan panjang. Tetapi bukan joglo, lalu apa bentuk rumah ini?" Kliwon bertanya kepada Rama Empu.
"Ini seperti rumah Pakdhe saya Won. Lho lihat panjang dan sangat luas tetapi tiangnya juga banyak, kecil-kecil lagi," sahut Andi.
"Kamu diam saja An. Kamu nggak tahu urusan Kliwon," sergah Dessi. Ketiga anak itu menjadikan suasana berisik saja.
"Sudah, sudah, Rama akan menerangkan kepada kalian semua. Jangan berbicara terus, gantian Rama Empu yang berbicara," begitu Rama Empu.
"Habis ini Rama, Andi selalu saja membuat suasana ramai. Padahal Kliwon itu kan perlu bantuan Rama," sahut Dessi.
"Tidak hanya buat Kliwon. Kamu-kamu semua ini perlu mengetahui tentang apa yang dinamakan bangunan-bangunan rumah Jawa," kata Rama Empu.
"Ah saya kita bangunan rumah itu sama saja Rama. Apa bedanya rumah Jawa kek, rumah Sumatera kek. Sama.....Rama!" Andi agak menyanggah kepada Rama Empu. Rama Empu memaklumi semua itu karena anak seusia Kliwon jarang yang mempunyai nalar tinggi.
"Karena itu kamu harus diam, saya akan menjelaskannya," kata Rama. Semua diam. Mereka duduk bersila tepat di tengah-tengah rumah bagian depan. Kemudian Rama Empu menjelaskan bahwa bangunan rumah yang ditanyakan Kliwon itu bangunan rumah Jawa bentuk Limasan Apitan Pengapit. Bangunan ini merupakan gabungan rumah bentuk Limasan Lawakan yang masing-masing menggunakan ander dan dipertemukan bagian empernya. Bangunan ini mempunyai duapuluh empat atau duapuluh delapan tiang.
"Orang tua Pak Jawadi dahulu menjabat Jagabaya, maka rumahnya besar, walaupun bukan joglo," Rama Empu melanjjutkan penjelasannya.
"Apa Jagabaya itu Rama?" sela Kliwon bertanya.
"Jagabaya adalah jabatan semacam keamanan jaman sekarang," jawab Rama Empu.
"Wow, begitu layak rumahnya panjang sekali," sahut Kliwon. Kliwon memperhatikan bangunan rumah Limasan Apitan Pengapit kepunyaan Pak Jawadi berkeliling rumah. Diamatinya satu persatu. "Itu Rama, tadi disebutkan bangunan rumah bentuk Limasan Lawakan. Itu bagaimana Rama?" tanya Kliwon. "Oh itu bangunan Limasan pokok ditambah emper yang bentuknya Panggangpe. Bangunan emper ini terdapat di sekeliling rumah pokok. Bangunan ini menggunakan enam belas buah tiang pokok dan empat tiang diantaranya terletak di tengah sebagai Saka Goru," jelas Rama Empu. Kemudian Kliwon melihat rumah disamping rumah Pak Jawadi ada rumah agak panjang dan berkepala tiga kecil-kecil. Tetapi termasuk juga rumah yang besar dan luas.
"Itu bentuk limasan pula Rama?" tanyanya.
"Rumah sebelah itu juga limasan, namanya rumah Limasan Gotong Mayit," begitu Rama Empu menyebutkan nama bentuk limasan yang ditunjukkan Kliwon.
"Ah Rama menakut-nakuti saja," sela Dessi.
"Ini bukan mayit beneran, nama rumah saja kok takut," begitu Rama Empu. diterangkan bahwa rumah Limasan Gotong Mayit adalah rumah jenis limasan yang bergandeng tiga. Bergandengan tersebut pada blandar dan pada atap empernya.
"Kalau jenis rumah saya itu bangunan bentuk apa Rama?" tanya Kliwon.
"Kalau rumah punyamu itu bangunan Limasan Pacul Gowang," jawab Rama Empu. Mendengar Pacul Gowang, Kliwon malah tertawa.
"Apa itu Rama?" tanya Kliwon ingin tahu.
"Oh itu, bangunan rumah bentuk Limasan Pacul Gowang bangunan pokok dtambah emper pada salah satu sisi panjangnya, sisi yang lain diberi tritis dan sisi sampingnya diberi atap trebil dan menggunakan dua belas, delapan belas buah tiang," jelas Rama Empu. Kemudian Rama Empu masih memberi contoh-contoh tentang berbagai jenis rumah limasan. Disebutkan ada bentuk rumah Limasan Gajah Ngombe rumah ini bentuk rumah limasan yang hanya memakai sebuah empyak atau sebuah atap pada emper yang terletak pada sisi samping, sedangkan pada sisi lainnya memakai atap trebil. Dan pada kedua sisi yang panjang itu diletakkan cukit atau disebut juga tritisan. Menggunakan enam, delapan, sepuluh buah tiang. Disebutkan pula nama rumah Limasan Gajah Njerum dalam bahasa Indonesia disebut rumah Limasan Gajah Tidur. Rumah ini bangunan rumah limasan yang menggunakan dua buah atap emper pada kedua sisi yang panjang dan sebuah atap emper pada salah satu sisi samping atau pada sisi yang pendek. Sedang sisi lainnya pada sisi samping tersebut menggunakan atap trebil. Bangunan ini menggunakan dua belas, enam belas, dua puluh buah tiang.
"Kalau Kliwon ingat, ketika kita melihat rumah dan bangunan di lingkup kraton dahulu itu, kita menjumpai rumah Limasan Apitan yang bertiang empat disitu kita lihat menggunakan sebuah ander di mana ander tersebut menopang pada molo. Dulu kita lihat di Bangsal Piket di komplek kraton Yogyakarta," Rama Empu mengingatkan kepada Kliwon.
"Wah saya lupa Rama," sambung Kliwon sambil berusaha mengingat-ingat kembali.
"Kamu kan sudah ambil gambarnya, nanti setelah film itu dicetak pasti kelihatan di sana," begitu Rama Empu. Diterangkan selanjutnya bahwa ada juga jenis rumah limasan yang bernama rumah Limasan Klabang Nyander. Rumah ini menggunakan banyak pengeret. Lebih dari empat pengeret dan tiangnya berjumlah empat, duapuluh empat, duapuluh delapan buah seperti Limasan Apitan.
"Jadi rumah itu mirip dengan hewan klabang yang panjang itu Rama?" tiba-tiba Andi bertanya.
"Kira-kira begitu Andi," Rama Empu mengiyakan.
"Lebih baik kita jalan lagi pakai andong supaya mengenal dari dekat tentang rumah Limasan Klabang Nyander ini," ajak Rama Empu. Setelah sampai di tempat Pak Dahlan yang mempunyai rumah model rumah Limasan Klabang Nyander. Rumah ini memang panjang dan banyak tiang, rumah Klabang Nyander punya pengeret lebih dari empat. Kemudian mereka berjalan lebih jauh lagi dan tiba di tempat bapak Pawiro. Pak Pawiro seorang petani kaya yang menempati rumah Limasan Cere Gancet. Mendengar cere gancet Andi dan Dessi tertawa.
"Ini rumah Cere Gancet, Rama? Wah lucu sekali," kata mereka.
"Namanya saja Cere Gancet, tentu menggambarkan tentang rumah yang dempet atau rumah bergandengan. Yaitu pada emper juga bergandengan bisa pada salah satu blandar atau rumah bentuk demikian bis disebut rumah Limasan Kepada Dua," ungkap Rama Empu. "Rumah Limasan Cere Gancet ini mempunyai talang dan menggunakan dua puluh, duapuluh empat tiang," lanjut Rama Empu.
"Wah hebat orang Jawa memang menyimpan banyak bentuk rumah. Jadi tidak sebatas pada satu bentuk rumah saja. Yang namanya rumah limasan saja banyak jenisnya dan bagus-bagus," Kliwon heran.
Rumah Limasan Semar Tinandhu bisa dilihat pada pintu gerbang masjid Besar Yogyakarta yang tiang utama kalau dilihat dari depan tidak kelihatan, namun tiang-tiang pembantu tampak. Disebut Limasan Semar Tinandhu sebab atap brujung ditopang tiang yang bertopang pada blandar. Jumlah tiang yang digunakan enam belas dan empat diantaranya sebagai tiang pembantu, empat tiang pokok di tengah. Atap bersusun dua.
"Apakah ada rumah bentuk limasan ini diluar Yogyakarta dan Jawa Tengah, Rama?" tanya Kliwon pula.
"Ada di kota Cirebon. Yaitu di bangunan Malang Semirang Kraton Cirebon. Di sana ada rumah Limasan Trajumas Lambang Teplok. Pada rumah bentuk ini usuk atap tritisan diperpanjang lewat blandar atau lewat di atas blandar, sedang pada penguatnya tidak diberi penyangga melainkan dikenakan balok penahan terletak di sebelah dalam antara usuk tadi dengan usuk pada atap brujung. Kemudian jenis bangunan rumah berbentuk Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngambang, bangunan yang terdapat di Bangsal Brajayeksa yaitu terdapat di kompleks Kraton Yogyakarta, di mana bangunan tersebut pada ujung molo disebut pula Limasan Lambang Gantung, mengapa? Karena memakai tiang atau cagak bentung sebagai penggantung atap penanggap."
"Kalau begitu bangunan rumah Jawa bisa saya simpulkan ada tiga tingkatan, Rama. Yaitu rumah bentuk Panggangpe dan Kampung kemudian rumah bentuk Limasan dibangun oleh orang-orang kelas menengah," ungkap Kliwon yang hampir mengenal apa yang dinamakan rumah Jawa itu.
"Benar katamu. Sekarang kamu sudah mengenal apa yang dinamakan rumah orang Jawa," Rama Empu mengiyakan.
"Tetapi apakah masih ada lagi bangunan rumah Jawa selain panggangpe, kampung dan limasan, Rama?" tanya Kliwon kepada Rama Empun.
Kemudian kepada Kliwon Rama Empu menunjukkan bangunan rumah Jawa tradisional bentuk yang lain selain panggangpe, kampung dan limasan yaitu bentuk joglo dan tajug. Tetapi karena hari sudah menjelang Ashar, lagi pula Rama Empu mempunyai kepentingan lain maka menyarankan kepada Kliwon untuk menemui Pakdhe Mangun yang kebetulan rumahnya joglo.
Kliwon pun bersama teman-temannya Andi dan Dessi mohon diri untuk pulang dan mengucapkan terima kasih kepada Rama Empu. Dan mereka bertiga pamit, pulang ke rumah masing-masing.
Sesampai di rumah.
"Sudah pulang Won," tanya ibu Kliwon. "Bagaimana ketemu Pakdhe Mangun?"
"Belum bu, tidak jadi. Malahan tadi bersama Andi dan Dessi ke rumah Rama Empu. Sekalian Andi ingin mengetahui tentang andong, Rama Empukan mempunyai andong!" begitu Kliwon menjelaskan kepada ibunya dengan penuh perhatian dan menyuruh Kliwon makan dan beristirahat. Kliwon pun menuruti perintah ibunya.
5. Kliwon Mengenal Rumah Jawa Tradisional Bentuk Joglo
Sisa waktu liburan panjang ini, Kliwon memanfaatkannya dengan kegiatan-kegiatan positif. Kali ini Kliwon masih memburu keterangan tentang rumah Jawa tradisional. Tiga bentuk rumah Jawa tradisional telah didapat, yakni bentuk panggangpe, bentuk kampung, dan limasan. Semuanya dengan beberapa variasinya. Jadi menurut buku yang dipinjamnya dari sekolah, tinggal rumah Jawa bentuk joglo dan juga tajug.
Rencana Kliwon hari ini pasti akan menemui Pakdhe Mangun, yang menurut petunjuk Rama Empu, Pakdhe Mangun ini rumahnya bentuk joglo. Seharusnya rencana menemui Pakdhe Mangun ini sudah dilakukan kemarin,tetapi karena Andi dan Dessi, terutama Andi yang ingin mengetahui tentang andong, niat untuk ke rumah Pakdhe Mangun diurungkan. Kemudian sekalian mengantar Andi, Kliwon kembali menemui Rama Empu. Kebetulan Rama Empu memiliki andong. Kesempatan ini ia gunakan untuk kembali menanyakan rumah Jawa bentuk limasan.
Di hari yang cerah ini Kliwon setelah menyelesaikan kewajibannya, dan sesudah sarapan pagi berpamitan kepada ibunya berangkat akan menemui Pakdhe Mangun.
"Sudah ya Bu, saya berangkat," pamit Kliwon kepada ibunya.
"Ya Won, hati-hati di jalan," ibunya mengingatkan.
Kliwon pergi ke rumah Pakdhe Mangun untuk mengenal lebih dekat tentang rumah Jawa tradisional khususnya rumah Jawa bentuk joglo. Pakdhe Mangun yang rumahnya kebetulan bentuk joglo, masih terawat baik, sehingga kelihatan berwibawa. Kliwon sangat berharap memperoleh pengetahuan bangunan rumah Jawa bentuk joglo dari Pakdhe Mangun.
Sesampai di rumah Pakdhe Mangun, Kliwon beruluk salam. Dari dalam rumah, Budhe Mangun keluar menjumpai Kliwon. Kliwon pun memberikan salam hormat dan mengatakan kalau ingin bertemu Pakdhe Mangun. Maksudnya pun diutarakan pula kepada Budhe Mangun. Kemudian Kliwon dipersilahkan duduk oleh Budhe Mangun yang segera masuk rumah untuk memberi tahu Pakdhe Mangun. Tidak lama kemudian Pakdhe Mangun keluar, dan Kliwon segera memberi salam hormat. Setelah diperilahkan duduk, ia utarakan maksud kedatangannya kepada Pakdhe Mangun. Pakdhe Mangun menerima dengan senang dan telah mengerti maksud kedatangan Kliwon.
Pakdhe Mangun mulai memberikan penjelasan tentang rumah Jawa bentuk Joglo kepada Kliwon.
"Begini nak Kliwon, jika nak Kliwon ingin mengerti dan mengenal rumah Jawa bentuk joglo secara terperinci, Pakdhe sanggup memberi keterangan. Tetapi ya semampu dan sebatas ingatan Pakdhe. Nak Kliwon ini kok seperti wartawan," Pakdhe Mangun menyanggupi permintaan Kliwon, sambil bergurau.
"Oh bukan Pakdhe, saya murid SLTP, Ingin tahu tentang rumah Jawa tradisional bentuk joglo. Supaya kenal lebih dekat Pakdhe," kata Kliwon.
"Mengapa Nak Kliwon ingin lebih mengenal bangunan rumah bentuk joglo. Untuk apa Nak?" tanya Pakdhe Mangun.
"Begini Pakdhe," Kliwon menjelaskan kepada Pakdhe Mangun. "Karena oleh Pak Guru saya ditugasi untuk menyusun kliping tentang bangunan rumah Jawa tradisional. Saya sudah mendapatkan keterangan bentuk bangunan panggangpe, kampung, dan limasan dari Rama Empu. Tetapi masih kurang keterangan tentang bangunan rumah Jawa bentuk joglo. Nah, saya harapkan Pakdhe Mangun dapat memberi keterangan tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk joglo."
Keduanya kelihatan asyik. Kliwon pada pihak yang bertanya nampak semangat, begitu pula Pakdhe Mangun bersemangat dalam menerangkan. Seakan-akan Pakdhe Mangun mencurahkan segala pengetahuannya tentang bangunan rumah Jawa tradisional kepada Kliwon. Pertemuan dan perbincangan antara Kliwon dengan Pakdhe Mangun kelihatan akrab, tidak kaku.
"Kaku begitu nak, Pakdhe akan memulai memberikan penjelasan apa yang nak Kliwon maksud," begitu Pakdhe Mangun mulai memberikan penjelasan kepada Kliwon.
Pakdhe Mangun berkata, "Berniat nak, bangunan rumah Jawa bentuk joglo merupakan bangunan yang jauh lebih sempurna dari bangunan-bangunan sebelumnya, panggangpe kampung, bahkan limasan, seperti yang telah dijelaskan Rama Empu. Bangunan rumah Jawa bentuk joglo ini mempunyai ukuran yang lebih besar bila dibandingankan dengan ukuran pada bentuk bangunan sebelumnya. Bahkan kayu untuk kerangkanya lebih banyak, penyusunannya lebih rumit. Bangunan rumah Jawa bentuk joglo ini ditandai dengan menggunakan blandar bersusun yang disebut blandar tumpangsari. Susunan blandar tumpangsari ini makin ke atas makin melebar atapnya seperti gunung, papak di atas, tidak sampai meruncing. Tanda yang lain bangunan rumah bentuk joglo ini mempunyai tiang banyak, tetapi ada diantaranya empat tiang pokok yang disebut saka guru. Tentang berapa banyak jumlah tiang tergantung pada besar dan luasnya bangunan," demikian Pakdhe Mangun menjelaskan secara garis besar kepada Kliwon.
"Selain tanda-tanda yang Pakdhe sebutkan, apa ada tanda-tanda atau ciri yang lain Pakdhe?" tanya Kliwon kepada Pakdhe Mangun.
"Ada nak Kliwon, yaitu bagian kerangka yang disebut sunduk atau sunduk kili yang berfungsi sebagai penyangga untuk penguat bangunan agar tidak berubah posisinya. Sunduk kili terletak di ujung atas saka guru di bawah blandar. Apabila sunduk kili ini terdapat pada masing-masing sisi, sunduk kili ini disebut koloran atau kendhit," jelas Pakdhe Mangun.
"Pakdhe, waktu saya menanyakan kepada Rama Empu, bangunan rumah Jawa bentuk panggangpe, kampung dan limasan mempunyai beberapa variasi. Bagaimana Pakdhe kalau rumah Jawa bentuk joglo?" tanya Kliwon.
"Ya benar nak, bangunan rumah Jawa bentuk joglo ini juga mempunyai beberapa variasi tetapi tidak seluruhnya sama dengan rumah-rumah Jawa yang lain," Pakdhe Mangun menjawab pertanyaan Kliwon.
"Kalau begitu apa Pakdhe dapat menunjukkan variasi rumah Jawa bentuk joglo ini," Kliwon ingin segera mengetahui variasi rumah Jawa bentuk joglo.
"Oh, ya saya coba ya nak Kliwon. Jadi begini variasi bangunan rumah Jawa tradisional bentuk joglo itu adalah:
1. Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan
2. Joglo Sinom
3. Joglo Jompongan
4. Joglo Pengrawit
5. Joglo Mangkurat
6. Joglo Hageng
7. Joglo Semar Tinandhu
Jadi semuanya ada tujuh macam bentuk joglo, nak," begitu Pakdhe Mangun.
Keduanya kemudian minum teh dan makanan yang telah disajikan Budhe Mangun. Dalam hati Kliwon merasa beruntung betemu Pakdhe Mangun. Karena Kliwon merasa pasti bahwa ia akan mendapatkan apa yang dicari dari Pakdhe Mangun.
Setelah menikmati hidangan, Pakdhe Mangun melanjutkan memberi penjelasan sesuai dengan permintaan Kliwon.
"Begini nak Kliwon, agar nak Kliwon jelas memperoleh gambaran, Pakdhe akan menyampaikan satu persatu dari urutan yang pertama," Pakdhe mangun mulai penjelasannya.
1. Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan. Bangunan rumah Joglo Lawakan ini bentuk joglo yang diatasnya mempunyai usuk panjang, yakni kerangka bangunan penahan atap berbentuk seperti payung. Karena susunannya dari atas ke bawah makin melebar seperti kerangka payung. Bangunan ini menggunakan enam belas buah tiang, empat diantaranya terletak di tengah sebagai saka guru akan tiang pokok. Atapnya empat sisi, bersusun dua dan sebuah bubungan atau wuwung.
2. Joglo Sinom, bangunan rumah joglo dengan emper keliling rangkap dua. Pada lantainya dibuat tinggi. Jumlah tiang tiga puluh enam buah, empat diantaranya di tengah sebagai saka guru, Atap terdiri dari empyak di sisi keliling bertingkat tiga dan satu bubungan dan wuwung.
3. Joglo Jompongan, bangunan ini menggunakan blandar dan pengeret yang berbanding 1:1. Mempunyai saka atau tiang enam belas, atau tiga puluh enam buah. Atapnya empat sisi bersusun dua dari satu wuwung.
4. Joglo Pengrawit, bangunan rumah Jawa bentuk Joglo Pengrawit ini menggunakan lambang gantung. Maksudnya atap brujung merenggang dengan atap penanggap. Atap penanggap menempel pada saka bentung. Atap emper merenggang dengan atap penanggap menempel saka bentung. Bangunan rumah ini menggunakan tiga puluh enam buah saka, empat diantaranya di tengah sebagai saka guru, tiang pokok penyangga bangunan."
"Wah, rumit juga ya Pakdhe," sahut Kliwon.
"Itu belum seberapa nak, nanti lebih rumit lagi. Kalau bangunan itu ukurannya makin besar," begitu Pakdhe Mangun. "Tadi sampai mana ya nak?" tanya Pakdhe Mangun.
"Itu Pakdhe sampai bangunan rumah bentuk joglo pengrawit," jelas Kliwon.
"Kalau begitu mari kita lihat bentuk joglo yang lain. Tapi ini nak sambil diminum dan makanannya dihabiskan," ajak Pakdhe Mangun.
"Baik, Pakdhe," sahut Kliwon.
Kemudian Pakdhe Mangun melanjutkan memberi keterangan kepada Kliwon.
"Sekarang yang ke....
5. Joglo Mangkurat. Bentuk joglo ini hampir sama dengan joglo pengrawit. Hanya bedanya, bangunan joglo pengrawit. Hanya bedanya, bangunan joglo mangkurat lebih tinggi dan lebih besar. Juga nampak pada cara menghubungkan atap penanggap dengan atap penitih atau emper. Joglo Pengrawit emernya disambung dengan saka bentung. Sedang Joglo Mangkurat kedua atap itu dihubungkan dengan balok yang disebut lambangsari. Bangunan ini menggunkan tiang atau saka empat puluh empat buah dan empat buah dan empat diantaranya di tengah sebagai saka guru. Joglo Mangkurat ini mempunyai atap bersusun tiga dengan posisi merenggang, yaitu atap atas brujung, tengah penanggap, atap bawah penitih. Kalau di bawah penitih ditambah satu atap, atap tambahan itu disebut peningrat.
6. Joglo Hageng, bangunan ini hampir sama dengan bentuk bangunan Joglo Mangkurat. Tetapi ukuran Joglo Hageng lebih besar. Lagi pula bentuk Joglo Hageng ini atapnya bersusun empat, yakni atap atas brujung, atap tengah penanggap, di bawah atap penanggap adalah atap penitih, dan paling bawah atap peningrat. Pada keliling bangunan dibuat emper yang diisebut Aratag.
7. Nah ini bentuk bangunan joglo yang terakhir. Bangunan ini disebut Joglo Semar Tinandhu. Bentuk bangunan ini menggunakan dua pengeret dam tiang utamanya hanya dua buah yakni terletak di antara dua pengeret. Bangunan ini tidak untuk tempat tinggal, tetapi digunakan untuk regol, pintu masuk halaman."
Begitu Pakdhe Mangun telah menjelaskan dengan gamblang tentang bangunan rumah Jawa tradisional bentuk joglo dengan beberapa variasinya.
"Nak nak Kliwon itu tadi yang disebut bangunan rumah Jawa bentuk joglo. Bagaimana pendapat nak Kliwon tentang bangunan joglo ini?" begitu Pakdhe Mangun.
"Wah, nampaknya lebih rumit daripada bangunan rumah Jawa bentuk yang lainnya, Pakdhe," begitu Kliwon mengagumi rumah Jawa. Selanjutnya kata Kliwon seraya mengemukakan pendapatnya.
"Bagus Pakdhe, kelihatan agung berwibawa; dan kalau saya perhatikan, bangunan rumah Jawa bentuk joglo dengan segala variasinya menunjukkan ciri-ciri yang pada umumnya mempunyai tiang yang banyak jumlahnya dan satu hal lagi Pakdhe, yaitu diantaranya ada empat tiang pokok itu Pakdhe yang disebut saka guru,"
"Masih ada lagi nak, yaitu susunan blandar yang bersusun yang tadi disebut blandar tumpangsari yang ke atas makin melebar seperti payung. Sehingga bila dilihat dari depan rumah secara keseluruhannya atap brujungnya paling atas puncaknya papak tidak meruncing. Karena ini orang akan mengetahui seperti itulah rumah Jawa bentuk joglo," tambah Pakdhe Mangun.
"Eh, begitu ya Pakdhe, tapi rumit juga," Kliwon berkomentar.
"Ah itu belum seberapa nak. Kalau saya tunjukkan bagaimana susunan ruang dan kegunaannya," ujar Pakdhe Mangun.
"Itu menarik Pakdhe. Jadi apa Pakdhe mau menunjukkan kepada saya?" pinta Kliwon yang ingin lebih mengetahui lebih jauh tentang rumah bentuk joglo.
"Ya nak, saya akan coba jelaskan," Pakdhe Mangun menyanggupi permintaan Kliwon.
Terima kasih Pakdhe, akan saya dengarkan," begitu Kliwon dengan penuh perhatian.
"Begini nak Kliwon," Pakdhe Mangun memulai. "Sebenarnya susunan ruang yang ada pada bangunan rumah Jawa tradisional itu tergantungan pada besar kecilnya bangunan itu dan juga bergantung pada kebutuhan keluarga. Kebutuhan keluarga ini tergantung pada jumlah anggota keluarga. Hanya rumah Jawa bentuk panggangpe tidak begitu banyak ruangannya. Tetapi untuk rumah Jawa bentuk kampung, limasan, apalagi joglo memiliki susunan ruangan yang masing-masing dengan fungsi menurut kebutuhan keluarga, penghuni rumah. Tetapi diantara ketiga bentuk rumah Jawa itu paling tidak ada ruangan yang disebut sethong. Nah Senthong ini terdiri atas senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Khusus senthong tengah, yang juga disebut pedaringan atau pasren, atau petanen tidak untuk ruang tidur. Katanya di situ disediakan tempat istirahat Dewi Sri, dewi padi, dewi kemakmuran. Di dalam sethong tengah ini ada panjangan tempat tidur lengkap dengan bantal dan guling. Juga peralatan hias wanita, kendi, lampu minyak yang disusun banyak yang disebut lampu robyong, genuk, tempat menyimpan beras, teplok lampu minyak kelapa yang diletakkan di tengah-tengah diantara dua genuk. Pada keluarga petani senthong tengah tempat menyimpan benih padi senthong kiwa, tempat menyimpan senjata, atau benda keramat, dan senthong tengen, untuk ruang tidur."
"Tetapi bagaimana susunan ruang bangunan rumah bentuk joglo. Karena Pakdhe, mengingat rumah joglo kan ukurannnya lebih besar dari bentuk-bentuk rumah Jawa yang lainnya," tanya Kliwon.
"Ya memang berbeda nak Kliwon," tegas Pakdhe Mangun.
"Bedanya di mana Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Bedanya begini nak Kliwon, pada rumah Jawa bentuk joglo, yang biasanya dimiliki kaum bangsawan, orang-orang kaya sebab hanya orang-orang bangsawan yang mampu membuat bangunan rumah joglo, Mahal nak, biayanya besar. Jadi kalau bukan orang kaya rasanya tidak mampu membuat rumah joglo. Karena itu rumah dengan bentuk tertentu itu, dapat digunakan untuk menunjukkan kedudukan dan kemampuan penghuni atau pemiliknya," begitu Pakdhe Mangun.
"Kalau begitu, bagaimana Pakdhe susunan ruang bangunan rumah Jawa bentuk joglo tadi?" tanya Kliwon sambil mengingatkan Pakdhe Mangun.
"Oh, iya hampir lupa," begitu Pakdhe Mangun. Selanjutnya, "Susunan ruang rumah Jawa bentuk joglo secara garis besar terdiri dari bagian depan itu disebut pendhopo, ruangan ini luas dan terbuka, tidak ada pagar atau dinding di sekelilingnya. Ruang pendhopo ini biasanya digunakan bila ada hajat atau sehari-harinya untuk menerima tamu, terutama tamu laki-laki. Setelah pendhopo ada ruang yang disebut pringgitan. Pringgitan ini digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit. Wayang disebut juga ringgit. Jadi pringgitan ini berasal dari kata ringgit yang artinya wayang. Sehari-harinya tertutup hanya ada pintu di disebelah kanan dan kiri. Tutup ini disebut seketheng. Akan dibuka kalau digunakan pertunjukkan wayang (wayangan). Setelah pendhopo, pringgitan, adalah perangan dalam yang disebut dalem. Pada ruang dalem ini terdapat itu tadi nak, senthong kiwo, senthong tengen, senthong tengah. Biasanya di depan senthong tengah itu dipasang boneka pengantin laki-laki sebelah kanan dan pengantin perempuan sebelah kiri. Kalau nak Kliwon ingin melihat itu ada di museum Sonobudoyo. Kalau tempat Pakdhe sudah nggak ada. Dulu jaman Simbah saya ya ada susunan ruang yang paling belakang adalah pawon atau dapur tempat untuk keluarga memasak. Kemudian ada bangunan, yang disebut gondhok. Bangunan ini terletak di sebelah kanan kiri bangunan rumah. Pada rumah kaum bangsawan dikeliling pagar tembok yang disebut cepuri untuk masuk halaman ada pintu yang disebut regol itu ada tutup yang disebut rono. Sehingga orang dari luar tidak dapat melihat rumah yang berada di dalam halaman. Kemudian di halaman belakang rumah ada regol yang selalu tertutup. Orang Jawa hanya menyebut regol butulan. Kira-kira seperti itu nak, gambaran susunan rumah bentuk joglo," Pakdhe Mangun mengakhiri penjelasannya.
"Wah, betul-betul rumit ya Pakdhe," Kliwon menggambarkan susunan rumah bentuk joglo seperti yang dijelaskan Pakdhe Mangun.
Begitulah perbincangan Kliwon dengan Pakdhe Mangun, nampak akran, santai. Hingga tidak terasa oleh keduanya hari telah sore. Saat itu berbarengan dengan kumandangnya suara adzan tanda Ashar telah tiba. Karena itu Kliwon setelah mengucapkan terima kasih kepada Pakdhe Mangun yang telah banyak panjang lebar memberikan penjelasan rumah Jawa bentuk joglo.
Jawab Pakdhe Mangun, "Ya sama-sama nak, tapi ini diminum dan dimakan dahulu biar Budhe Mangun tidak kecewa."
"Baik Pakdhe," Kliwon minum teh dan makan makanan yang disuhuhkan Budhe Mangun.
Setelah minum dan makan Kliwon berpamitan dan sekali lagi mengucap terima kasih kepada Pakdhe Mangun, sambil memberikan salam hormat Kliwon berdiri.
"Ya nak, kalau nak Kliwon masih membutuhkan tentang bangunan rumah Jawa tradisional, masih ada bentuk yang lain, yakni bentuk tajug. Sekalian tentang bagaimana langkah-langkah orang Jawa mendirikan bangunan rumah tinggal. Besok kalau nak Kliwon ada waktu jangan sungkan datang kemari saya tunggu," Pakdhe Mangun yang tetap menyediakan diri untuk Kliwon.
"Ya Pakdhe, terima kasih," dan Kliwon pun keluar rumah dan terus melangkah pulang.
Demikian sesampai di rumah setelah berunjuk salam kepada kedua orang tuanya, yang memang menunggu kedatangannya, Kliwon terus langsung mandi. Setelah mandi segar rasanya. Capainya hilang, Kliwon bergabung duduk-duduk dengan orang tuannya. Kliwon bercerita kepada ayah dan ibunya tentang pertemuannya dengan Pakdhe Mangun, hingga makan malam tiba. Sesudah makan malam Kliwon masuk kamar dan beristirahat. Besok Kliwon masih akan menemui Pakdhe Mangun.
6. Kliwon Mengenal Bangunan Rumah Jawa Tradisional Bentuk Tajug
Pada keesokan harinya seperti telah direncanakan, Kliwon setelah menyelesaikan tugas rutinnya, berpamitan kepada orang tuanya untuk berangkat ke rumah Pakdhe Mangun.
"Lho masih ke sana tho Won?" tanya ibunya.
"Iya bu, soalnya Pakdhe Mangun telah berjanji untuk memberikan penjelasan tentang rumah Jawa bentuk tajug. Sudah ya bu," Kliwon pamit.
"Ya, hati-hati di jalan ya Won," pesan ibunya.
Kliwon pun kemudian berangkat ke rumah Pakdhe Mangun. Ia berpikir begitu besar perhatian Pakdhe Mangun atas minatnya untuk mengenal lebih dekat tentang bangunan rumah Jawa tradisional. Karena itu kesempatan ini tidak ia sia-siakan. Ia pun sangat menghargai Pakdhe Mangun.
Setelah sampai di rumah Pakdhe Mangun, seperti biasanya Kliwon mengucap salam. Hari itu kebetulan Pakdhe dan Budhe Mangun sedang duduk di serambi.
"Oh nak Kliwon, sudah ditunggu Pakdhe lho nak," begitu sambutan Budhe Mangun. "Mari masuk, duduk di sini, Budhe Mangun. "Mari masuk, duduk di sini, Budhe akan membuat teh dan menyediakan makanan."
"Wah, terima kasih Budhe, membuat repot Pakdhe dan Budhe saja," sahut Kliwon.
"Ah, tidak apa-apa nak, Pakdhe dan Budhe malah senang nak Kliwon mau datang kemari," begitu Pakdhe Mangun.
Kliwon masuk dan langsung duduk dekat Pakdhe Mangun.
"Bagaimana kabarmu nak, sehat-sehat saja to?" tanya Pakdhe Mangun sembari membuka perbincangan.
"Alhamdulillah, berkat doa dan restu Pakdhe dan Budhe Mangun, saya sehat-sehat," jawab Kliwon meyakinkan.
"Bagaimana penjelasan saya tentang rumah Jawa bentuk joglo, kemarin nak?" tanya Pakdhe Mangun.
"Cukup memuaskan saya Pakdhe," begitu Kliwon yang marasa puas atas penjelasan Pakdhe Mangun.
"Nah sekarang sesuai janji saya kepada nak Kliwon, akan saya jelaskan tentang bentuk tajug," Pakdhe Mangun memulai memberikan penjelasan bangunan betuk tajug kepada Kliwon.
Selanjutnya Pakdhe Mangun menjelaskan, "Begini nak, bangunan rumah Jawa bentuk tajug ini pada umumnya tidak untuk bangunan tempat tinggal. Tidak seperti terutama bentuk kampung, limasan, dan joglo. Bangunan rumah bentuk tajug ini khusus tempat-tempat atau rumah khusus untuk beribadah, seperti langgar, mushola, dan masjid serta gereja."
"Apakah bangunan rumah bentuk tajug ini juga mempunyai variasi seperti rumah Jawa bentuk kampung, limasan, joglo Pakdhe?," tanya Kliwon yang ingin tahu.
"Ya, ada beberapa variasi bangunan bentuk tajug ini," jawab Pakdhe Mangun. Selanjutnya Pakdhe Mangun menyebutkan beberapa variasi bangunan bentuk tajug seperti halnya bangunan rumah bentuk kampung, limasan dan joglo.
"Variasi bangunan bentuk tajug ini ialah Tajug Lawakan, Tajug Lawakan Lambang Teplok, Tajug Semar Tinandhu, Tajug Lambang Gantung, Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, Tajug Mangkurat, Tajug Ceblokan,"
"Jadi variasinya hampir sama dengan bentuk limasan dan joglo ya Pakdhe.Tapi Pakdhe, yang saya belum tahu itu, tanda-tanda Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, Tajug Mangkurat, dan itu Pakdhe Tajug Ceblokan," begitu Kliwon.
Sementara itu Budhe Mangun keluar menyuguhkan minuman teh makanan ketela goreng.
"Mari ini nak diminuman dan ini lho ketela gorengnya. Apa ya namanya, oh iya balok," begitu Budhe Mangun mempersilakan kepada Kliwon.
"Terima kasih Budhe," sahut Kliwon.
Kemudian keduanya, Pakdhe Mangun dan Kliwon menyantap makanan yang disuguhkan Budhe Mangun.
"Wah enak Pakdhe, lagi pula ini baloknya empuk," Kliwon memuji.
"Ya nak, siapa dulu, Budhe," Pakdhe Mangun yang bangga kepada Budhe Mangun. "Ini nak, gigi Pakdhe kan sudah tidak kuat lagi mengunyah makanan yang keras-keras seperti kacang, peyek dan sebangsanya. Jadi kalau Budhe membuat atau menyediakan makanan untuk Pakdhe, ya makanan yang lunak," lanjut Pakdhe Mangun.
Kliwon memaklumi apa ,yang dikatakan Pakdhe Mangun. Memang seumur Pakdhe Mangun rata-rata sudah tidak begitu makan-makanan yang sifatnya keras. Bahkan ada yang sudah makan nasi bubur. Maklum orang tua yang berumur lebih 60 tahun.
"Itu tadi nak," Pakdhe Mangun melanjutkan, "Tentang bangunan rumah bentuk Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, Tajug Mangkurat dan Tajug Ceplokan itu begini:
1. Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, bangunan rumah yang menggunakan tiang satu. Lazimnya orang Jawa menyebutnya saka tunggal. Saka tunggal ini sekaligus berfungsi sebagai saka guru, tiang pokok. Disebut Lambang Gantung karena menggunakan saka bentung pada ujung bawah atap brunjung tempat atap penanggap menempel. Untuk menopang atau brunjung tadi digunakan saka brunjung yang ditopang blandar. Sedang blandar ini ditopang itu tadi oleh saka guru tunggal yang diperkuat kerbil, orang Jawa menyebutnya bahu dhanyang. Bagaimana agar seimbang, untuk supaya seimbang dingunakan dua puluh satu buah tiang. Antara atap brunjung dan atap penanggap susunannya merenggang, tetapi antara atap penanggap dan atap penitih dihubungkan dengan lambangsari.
2. Tajug Mangkurat, bangunan dengan susunan atapnya hampir sama dengan bangunan bentuk Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung. Hanya bedanya pada bangunan bentuk Tajug Mangkurat menggunakan saka guru yang jumlahnya empat buah yang ukurannya lebih besar. Jumlah tiang yang digunakan seluruhnya berjumlah tiga puluh enam buah. Kemudian yang berikut.
3. Apa itu tadi nak, oh iya Tajug Ceblokan. Kalau Tajug Ceblokan itu nak, bangunan yang menggunkan saka atau tiang tertanam dalam tanah. Ini orang Jawa menyebutkan ceblok yang arti sesungguhnya menyatukan ke tanah. Jadi ceblokan ini berasal dari kata ceblok. Bangunan bentuk Tajug Ceblokan ini menggunakan cara Lambang Teplok, karena atap penanggap. Kemudian atap penitip dan atap pengapit dan peningrat dihubungkan balok lambangsari. Bangunan bentuk Tajug Ceblokan ini menggunakan untuk penopangnya tiang yang jumlahnya empat puluh delapan buah, atapnya ada enam belas sisi bersusun empat.
4. Itulah nak, tentang bangunan bentuk Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung, Tajug Mangkurat dan Tajug Ceblokan. Mudah-mudah-an nak Kliwon dapat memahami," begitu Pakdhe mangun yang telah panjang lebar menjelaskan tentang bangunan tajug. Khusus bangunan tajug yang diminta oleh Kliwon tadi."
"Nah, ini nak kita minum dan makan-makanan dahulu sambil istirahat sejenak. Nanti akan saya lanjutkan tentang langkah-langkah yang dipersiapkan orang Jawa, apabila akan membuat bangunan rumah tempat tinggal. Agar nak Kliwon tidak setengah-setengah mengenal bangunan rumah Jawa tradisional," begitu ajak Pakdhe Mangun yang disambut Kliwon dengan senang hati. Dalam hatinya, "Untung saya bertemu Pakdhe Mangun. Tidak sia-sia usaha saya."
Keduanya, Pakdhe Mangun dan Kliwon bersama-sama minum dan menikmati makanan. Tetapi dari dalam rumah Budhe Mangun memanggil-manggil Pakdhe Mangun.
"Pak, makan dulu ini, nak Kliwon sekalian diajak. Ini sudah saya siapkan."
"Ya bu, mari nak itu Budhe sudah menyiapkan makan siang untuk kita," ajak Pakdhe Mangun.
Setelah di ruang makan, Kliwon berujar kepada Budhe Mangun.
"Ah, Budhe ini repot lho. Saya jadinya membuat repot Budhe."
"Ah, tidak nak, Budhe memang sudah menyiapkan. Ini hanya pakai tempe dan tahu bacem, sayurnya sayur lodeh terong. Kalau pakai sambal, ini sambalnya. Mari nak, makannya yang sungguhan," begitu Budhe Mangun.
Pakdhe Mangun, Budhe Mangun bersama makan menemani tamu kecilnya, Kliwon. Kelihatan lebih akrab dan mersa.
7. Langkah-Langkah Mendirikan Bangunan Rumah Tempat Tinggal
Rumah bagi orang Jawa merupakan salah satu kebutuhan hidup utama di samping kebutuhan akan sandang dan pangan. Baginya rumah tempat tinggal yang menurut bahasanya disebut omah itu, dianggap sama dengan pribadi pemiliknya atau penghuninya. Karena itu, bila orang Jawa akan membuat atau mendirikan bangunan rumah tempat tinggal atau omah ini tidak begitu saja dilakukan. Orang selalu memperhitungkan tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual. Bagi orang Jawa omah tempat tinggal itu akan memberikan kebahagiaan lahir batin bagi pemilik dan penghuninya. Karena itulah untuk mendirikan bangunan tempat tinggal ini, ia persiapkan dengan penuh perhitungan yang benar-benar 'pas'. Memiliki dan menempati rumah yang dibuat secara sempurna berdasarkan perhitungan dan norma-norma dianggap sebagai memiliki wahyu.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan bila orang Jawa mendirikan bangunan rumah tempat tinggal. Dua hal ini harus diperhitungkan secara cermat agar dalam mendirikan rumah tidak gagal lagi pula agar rumah yang didirikan nantinya memberikan dan membawa kebahagian lahir dan batin penghuninya. Ketiga hal yang dimaksud adalah pertama tempat dimana rumah itu akan didirikan. Tempat ini adalah tanah: kedua bahan-bahan yang akan digunakan kerangka rumah. Untuk bahan ini kebanyakan orang Jawa menggunakan kayu jati, khususnya bila orang hendak mendirikan bangunan rumah bentuk joglo.
Tetapi pada masa sekarang orang sudah jarang mendirikan bangunan rumah dengan benduk joglo, tidak seperti zaman dahulu. Hal ini disebabkan mahalnya atau besarnya biaya untuk mendirikan satu bangunan rumah bentuk joglo. Di samping itu zaman dengan teknologi yang sudah maju. Bahannya banyak tersedia di toko-toko, seperti besi untuk kerangka rumah, batako, seng, semen, tegel, genteng dan lain sebagainya. Bahan-bahan kayu apalagi kayu jati sudah tidak begitu menjadi perhatian bagi orang yang akan mendirikan bangunan rumah tempat tinggal.
Bangunan dengan bentuk joglo sekarang ini hanya sebagai model saja. Bangunan ini sudah menggunakan bahan seperti semen, besi. Bangunan pokok kalau dulu menggunakan kayu jati untuk saka guru, blandar, sekarang dapat dilakukan dengan sistem cor. Namun untuk daerah-daerah di luar kota masih dapat kita temui bangunan bentuk joglo yang asli, yang bahannya dari kayu jati, misalnya di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, Wonosari, Klaten, Jawa Tengah. Di Yogyakarta bangunan bentuk joglo diupayakan pelestariannya, seperti pada setiap kantor Pemerintah tingkat Kabupaten dan Kacamatan serta Balai Desa seperti nampak tersebar di daerah Gunung Kidul.
Nah, sekarang kita ikuti kembali perbincangan Kliwon yang sepenuh hati ingin mengenal bangunan rumah Jawa tradisional, dengan Pakdhe Mangun. Demikian setelah makan siang selesai, Pakdhe Mangun kembali mengajak Kliwon duduk di ruang tamu, sementara Budhe Mangun membereskan meja makan.
"Nah, nak Kliwon, mari kita lanjutkan. Jadi pembicaraan kita sekarang, saya ingin menjelaskan tentang langkah-langkah yang dipersiapkan orang Jawa dahulu, bila akan mendirikan bangunan rumah tinggal, termasuk rumah bentuk joglo," begitu Pakdhe Mangun.
"Ya Pakdhe. Jadi bagaimana langkah-langkah yang dilakukan orang Jawa bila akan mendirikan bangunan rumah tinggal Pakdhe," tanya Kliwon yang segera ingin tahu.
"Begini nak Kliwon, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, bahkan dijadikan pertimbangan agar dalam membangun rumah besar," begitu Pakdhe Mangun.
"Mengapa demikian Pakdhe?," tanya Kliwon.
"Ya, karena menurut pandangan orang Jawa, rumah atau omah itu adalah pribadinya. Tidak dapat dipisahkan dengan pemilik atau penghuninya. Bahkan ada yang berkeyakinkan bahwa rumah yang baik itu, rumah yang dapat membuat rasa bahagia, tenteram penghuninya, membawa banyak rezeki bagi penghuninya. Itulah dalam membuat rumah orang Jawa menggunakan perhitungan yang teliti, ngelimet," jelas Pakdhe Mangun.
"Jadi harus perlu memperhitungkan tiga hal ya Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Lha iya," jawab Pakdhe Mangun.
"Ketiga hal itu apa saja Pakdhe?" tanya Kliwon kemudian.
"Ya, coba ya nak, akan saya tunjukkan yang pertama tempat dimana bangunan itu akan didirikan. Dalam hal ini letak dan bagaimana tanahnya; kedua bahan-bahan yang akan digunakan. Dalam hal ini kayu, umumnya kayu jati untuk kerangka rumah dan yang ketiga saat atau waktu yang ditentukan untuk memulai pekerjaan membuat rumah," begitu Pakdhe Mangun.
"Jelasnya bagaimana Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Ya, tadi ini nak diminum dan disambil makan," Pakdhe Mangun mempersilahkan Kliwon.
Kliwon pun minum dan menyantap makanan yang dihidangkan Budhe Mangun. Selanjutnya Pakdhe Mangun melanjutkan menyampaikan penjelasan kepada Kliwon.
"Begini ya nak, saya urutkan mulai yang pertama dahulu, yaitu memilih tempat untuk mendirikan bangunan rumah tinggal. Tentang tempat di mana bangunan rumah itu akan didirikan perlu diperhatikan. Dalam keyakinannya orang Jawa percaya ada tempat-tempat atau tanah yang boleh digunakan mendirikan bangunan rumah, juga ada yang tidak boleh atau sebaiknya tidak baik untuk tempat mendirikan bangunan rumah. Tempat yang tidak boleh atau yang banyak dihindari adalah tanah wingit, angker, sangar, contohnya tanah yang pernah digunakan kuburan, bekas keraton seperti Kota Gede, Kerta, dan Pleret. Kalau hal ini dilanggar, penghuni rumah itu akan selalu sial." Selanjutnya masih Pakdhe Mangun.
"Orang Jawa mengenal ciri-ciri dan nama tanah yang boleh dan tidak boleh untuk mendirikan bangunan rumah. Tanah yang boleh dan baik apabila dipillih untuk tempat mendirikan bangunan rumah adalah tanah yang disebut dengan nama:
1. Manikmulya atau baya sangar. Cirinya tanah ini mering ke arah timur. Anggapan orang Jawa tanah manikmulya ini akan memberikan keselamatan, murah rejeki dan juga ketenteraman kepada penghuninya.
2. Indraprastha, ciri tanah ini miring ke arah utara. Ada orang yang menyebutnya dengan nama telaga ngayuda. Kepada penghuninya tanah ini akan membawa rasa kepuasaan dan kebahagiaan. Tanah insdraprastha, atau telaga ngayuda, dinamakan juga Bathara.
3. Sangsang Buwono atau dinamakan juga kawula katuding kala, tanah yang dikelilingi oleh gunung, bukit tanah sangsang buwono ini memberikan kepada penghuninya perilaku yang menarik simpati, cinta kasih para tetangga, dan dapat dipercaya orang lain.
4. Bumi Langupulawa, tanah ini letaknya di atas jurang. Tanah ini memberikan sikap bijaksana kepada penghuninya seperti pendeta.
5. Darmalangit, ciri tanah ini sebagian tinggi memanjang, di tengah-tengahnya membujur ke arah utara dan ke selatan. Atau posisi tanah ini miring ke arah barat dan ke arah timur. Tanah darmalangit ini memberikan harta kekayaan kepada penghuninya.
6. Sri Nugraha, tanah yang baik, pangkat dan pahala kasih Tuhan yang diberikan kepada penghuninya. Ciri tanah ini tinggi di sebelah barat, dan di sebelah timur lebih rendah.
7. Wisnu Anitis, posisi tanahnya tidak merata, terutama di bagian utara. Yang diberikan tanah ini kepada penghuninya kekayaan yang dapat dinikmati sampai anak cucu dan keturunannya.
8. Endragana, cirinya rata di bagian tengahnya dan sekitarnya lebih tinggi. Yang diberikan kepada penghuninya keselamatan.
9. Srimangepel, tanah srimangepel ini terletak di tengah lembah, diapit oleh sumber air. Kupada penghuninya, tanah ini memberikan bahan pangan; padi, beras.
10. Arjuna, cirinya miring ke arah timur, sebelah utara dan sebelah selatan ada gunung atau bukit. Tanah arjuna kepada penghuninya memberikan sifat lapang dada dan disegani.
11. Tiga Warna, tanah yang dikelilingi gunung dan satu diantara menjorok ke tanah itu. Yang diberikan kepada penghuninya rasa tenteram.
Itu nak, nama-nama tanah yang menurut anggapan dan keyakinan orang Jawa baik untuk tempat mendirikan bangunan rumah," begitu Pakdhe Mangun.
"Terus, bagaimana ya Pakdhe, orang Jawa mengetahui bahwa tanah itu baik untuk tempat mendirikan bangunan rumah?" tanya Kliwon.
"Nah itulah nak Pakdhe sendiri tidak begitu jelas bagaimana orang Jawa itu mengetahui bahwa tanah itu baik untuk mendirikan bangunan rumah tempat tinggal, dan bagaimana bahwa tanah itu namanya seperti tadi," jawab Pakdhe Mangun yang sulit menjelaskan selanjutnya.
"Tetapi nak, pengetahuan tentang tanah yang baik untuk mendirikan bangunan rumah itu sudah memang turun temurun dari Kakek Buyut, lagipula dari pengalaman Kakek buyut," jelas Pakdhe Mangun.
"Sekarang Pakdhe, bagaimana tanah-tanah yang dianggap tidak baik untuk tempat bangunan rumah tinggal?" kembali Kliwon bertanya.
"Tetapi nanti dulu nak, ini dilanjutkan makanan dan minumannya," ajak Pakdhe Mangun minum teh dan makan makanan. Keduanya menikmati hilangan yang disuguhkan Budhe Mangun.
"Begini nak, tentang tanah yang tidak baik bila digunakan tempat mendirikan bangunan rumah tinggal, saya sebutkan saja bamanya," begitu Pakdhe Mangun yang akan menjawab pertanyaan Kliwon.
"Baik, Pakdhe," sahut Kliwon.
"Jadi nama-nama tanah yang tidak baik untuk tempat bangunan rumah itu sebagai berikut," Pakdhe Mangun mulai menjelaskan. Selanjutnya Pakdhe Mangun mengatakan, "Nama-nama tanah itu:
1. Sri Sadana, tanah ini posisinya miring ke arah selatan. Siapa penghuni yang menempati rumah di atas tanah Sri Sadana ini akan selalu bertengkar atau berselisih dengan tetangga.
2. Dhandhang Kukulangan, ini tanah bekas kuburan atau paling tidak dikelilingi kuburan. Penghuni yang tinggal di rumah di atas tanah ini akan selalu merasa tidak tenteram, berbuat kejahatan.
3. Kalawisa, tanah ini mempunyai ciri tinggi di sebelah timur dan rendah sebelah barat. Penghuni rumah dia atas tanah ini akan selalu sakit-sakitan di atas tanah ini akan selalu sakit-sakitan bahkan sering kematian anggota keluarganya.
4. Asu Ngelak, tanah ini posisinya terletak di sebelah timur gunung. Penghuni yang tinggal di bangunan rumah di atas tanah ini tidak akur dengan tetangga.
5. Sigarpenjalin, tanah yang disekitarnya terdapat banyak kandungan air. Siapa yang tinggal di rumah di atas tanah ini akan selalu bertengkar dengan tetangga.
6. Singamita, tanahnya ini mempunyai ciri di bagian tengahnya terdapat air. Panghuni rumah di atas tanah ini akan selalu sakit.
"Jadi Pakdhe," begitu Kliwon, "Tanah-tanah tadi karena tidak banyak yang menggunakan ya Pakdhe, karena orang mendirikan bangunan rumah itu, kan ingin tenteram, sehat, syukur-syukur murah rejeki ya Pakdhe."
"Tentu nak, siapapun yang diharapkan ya sehat, ya tenteram, ya murah rejeki," Pakdhe Mangun menegaskan.
"Tetapi bagaimana seandainya terpaksa memilih tanah-tanah tadi. Karena tidak ada yang lain. Lagi pula orang itu cocok?" tanya Kliwon kepada Pakdhe Mangun.
"Ya kalau terpaksa, dibuat sarana-sarana untuk penolak bala. Sebab orang yang percaya tentu akan membuatkan sarana untuk menolak gangguan-gangguan gaib yang mengusik keluarga yang menghuni rumah itu, nak," begitu Pakdhe Mangun. Selanjutnya Pakdhe Mangun menambahkan. "Misalnya ya nak, mengadakan selamatan, menanam kepada kerbau di tanah di mana akan didirikan bangunan rumah."
Kliwon mendengarkan uraian Pakdhe Mangun dengan penuh perhatian. Dalam pikirannya ia merasakan betapa rumitnya orang memilih tanah tempat untuk mendirikan rumah. Kliwon merenungkan betapa hati-hati orang Jawa bila akan mendirikan bangunan rumah tempat tinggal.
"Nah nak Kliwon, sekarang bagaimana persiapan orang Jawa, yakni memiliki dan menentukan bahan-bahan untuk bangunan rumah tinggal," Pakdhe Mangun melanjutkan penjelasannya tentang langkah-langkah berikut, yaitu memilih bahan-bahan.
"Ya, ya Pakdhe," begitu Kliwon agak tersentak, "Bagaimana Pakdhe."
"Ini lho nak, tentang bahan-bahan yang digunakan bangunan rumah," Pakdhe Mangun mengingatkan.
"Oh iya Pakdhe," begitu Kliwon.
Seperti halnya pemilihan tanah, untuk bahan-bahan bangunan ini juga diperlukan perhitungan yang cermat. Khususnya bahan kayu yang biasanya digunakan untuk kerangka bangunan, seperti tiang, blandar, dan sebagainya.
"Nah Kliwon, pada waktu itu kalau orang Jawa akan membangun rumah bahannya dari kayu jati terutama bila akan membangun rumah bentuk joglo. Dan ini tidak mudah lho nak, tidak asal kayu jati. Karena itu katanya mbah Buyut, untuk memiliki kayu jati ini tidak salah pilih, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan melalui bertapa," begitu Pakdhe Mangun.
"Apa kayu jati itu ada yang hebat Pakdhe?" tanya Kliwon. "Di mana Pakdhe hebatnya?" lanjut Kliwon.
"Begini nak Kliwon, kalau saya jelaskan sebetulnya masih terlalu muda untuk hal ini. Tetapi baiklah akan saya coba untuk menjelaskan," ungkap Pakdhe Mangun.
"Tentang apa itu Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Ya tentang ilmu kayu jati. Ilmunya orang Jawa untuk memilih kayu jati," begitu Pakdhe Mangun.
"Bagaimana Pakdhe, ilmu memilih kayu jati itu?" tanya Kliwon.
"Nah, maka dengarkan penjelasan Pakdhe ini. Agar kamu tambah pengetahuan," ungkap Pakdhe Mangun.
"Baik Pakdhe," begitu Kliwon.
Sebelum melanjutkan penjelasannya, Pakkdhe Mangun mempersilakan minum teh dan makanan yang dibuat Budhe Mangun kepada Kliwon. Kliwon menuruti ajakan Pakdhe Mangun. Sambil makan makanan Kliwon merasakan sejuknya pemandangan di sekitar rumah joglo Pakdhe Mangun. Halaman rumah yang cukup luar, tertara tanaman bunga, dan di tata pula tumbuhan bonsai sehingga kelihatan indah dan sedap mata memandang.
Pakdhe Mangun memperhatikan Kliwon dan mengerti bahwa Kliwon sedang menikmati halaman sekitar rumah yang tertata rapi dan indah. Karena itu Pakdhe Mangun mengatakan kepada Kliwon, "Ya begitulah nak Kliwon, bagi Pakdhe yang orang Jawa menganggap bahwa rumah itu seperti halnya surga, rumah adalah istana yang menjamin ketenteraman penghuninya dan rasa kerasan belah tinggal di rumah. Jangan dijadikan neraka yang membuat penghuninya tidak betah. Itulah nak, maka Pakdhe membuat rumah yang bentuknya kuno ini di kanan-kiri perlu dibuat sejuk dengan tanaman yang harus terus dirawat. Rumah ini sendiri ya Pakdhe jaga kekunoannya, sekalian ikut melestarikan kebudayaan Indonesia," ungkap Pakdhe Mangun.
Kliwon mengangguk-anggukkan kepala, merasa senang. Terlihat di sana agak jauh dari bangunan rumah tanaman buah-buahan, yaitu rambutan, mangga, yang kebetulan mulai berbuah.
"Saya juga menanam tanaman buah, tetapi di pot Pakdhe," ucap Kliwon kepada Pakdhe Mangun.
"Apa masih ada tanah yang lain? Kalau masih ada tanah lebih baik tanaman buah bisa dikembangkan di tempat yang luas, jangan di pot," Pakdhe menyarankan kepada Kliwon.
"Sudah tidak ada Pakdhe. Maklum tanah kepunyaan bapak sudah habis. Sudah digunakan rumah. Karena itu Pakdhe, saya menanam tanaman buah pot. Namanya tabulampot, maksudnya tanaman buah dalam pot," Kliwon memberi tahu kepada Pakdhe Mangun.
Pakdhe Mangun tertawa terkekeh-kekeh mendengar istilah tabulampot yang disebutkan Kliwon. Ternyata singkatan dari tanaman buah dalam pot. Dikiranya nama jenis tanaman baru. Kliwonpun tertawa kecil melihat Pakdhe Mangun yang terkekeh-kekeh karena Kliwon menyebutkan tabulampot tadi.
"Ya baik-baik juga," Pakdhe Mangun memuji usaha Kliwon. Selanjutnya, "Memang Pakdhe lihat sekarang banyak orang yang ingin menghias dan memperindah rumahnya dengan berbagai tanaman. Itu tadi ditanam di pot, bonsai jenis-jenis tanaman itu tandanya bahwa orang sekarang kepingin kerasan, betah tinggal di rumah."
Perbincangan Kliwon dan Pakdhe Mangun adalah seputar bahan rumah kayu jati. Bagi orang Jawa yang paham dapat membedakan kayu jati yang paling baik. Pohon kayu jati ini banyak dijumpai di daerah-daerah pegunungan yang tanahnya merah, sedang kayu jati yang tidak baik, kayu jati yang sifatnya lunak, bergetah dan rapuh. Jenis kayu jati ini tumbuh di daerah-daerah pegunungan yang tanahnya berwarna hitam. Karena itu berdasarkan jenis tanahnya orang Jawa membedakan jenis-jenis kayu jati sebagai berikut:
1. Jati bang; kayu ini sifatnya keras dan halus, an berminyak. Jati bang ini mampu bertahan lama.
2. Jati kembang atau jati sungu; kayu ini berwarna hitam seratnya seperti lukisan kembang atau sungu (tanduk). Bila digunakan bahan bangunan bertahan lama, tetapi tidak seperti jati bang.
3. Jati kapur, kayunya lunak, seratnya halus berwarna keputih-putihan. Bila digunakan bahan bangunan kurang bertahan lama. Pohonnya tumbuh di atas tanah berwarna merah, tetapi daya tahannya tidak seperti jati bang.
Sementara itu kita lanjutkan mengikuti perbincangan Kliwon dengan Pakdhe Mangun mengenai bahan bangunan rumah.
"Oh, ya. Kita janji akan ngobrol tentang kayu jati, bukan?" tanya Pakdhe Mangun.
"Iya, Pakdhe. Kliwon itu lupa, nih!" sahut Kliwon.
"Begini, ada beberapa jenis kayu jati sebagai bahan bangunan rumah joglo. Jadi, membangun rumah joglo. Jadi, membangun rumah joglo tidak sembarang ambil dan tebang kayu jati. Pertama kayu jati harus sudah sangat tua. Ciri-cir kayu jati yang baik dan sudah tua antara lain yaitu kayu jati uger-uger," Pakdhe Mangun memulai.
"Apa itu, Pakdhe?" sela Kliwon.
"Kayu jati jenis uger-uger yaitu kayu jati yang berasal dari pohon jati yang bercabang rangkap. Kayu uger-uger ini, kayu jati yang cocok untuk bahan bangunan pintu rumah," begitu Pakdhe Mangun.
"Lalu untuk mendapatkan kayu jati jenis itu di mana Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Tentu saja di hutan jati. Di sana banyak kayu jati yang betul-betul hebat, kayu jati jenis ini biasanya mempunyai serat kayu yang harus serta agak berminyak. Jenis jati yang lain misalnya kayu jati Trajumas, yaitu kayu jati yang berasal dari pohon jati yang bercabang tiga. Jenis jati trajumas ini sangat tepat untuk bangunan bagian kerangka joglo. Misalnya pada molo, blandar, pengeret yang semua ini letaknya di atas. Kemudian jati jenis Pandawa, jenis ini berasal dari pohon jati yang mempunyai cabang lima, kayu jati jenis pandawa ini cocok untuk tiang penyangga joglo atau disebut saka guru, tiang utama joglo. Dan masih banyak lagi jenis kayu jati yang bersifat baik, dan bermutu," begitu Pakdhe Mangun.
"Wah, kalau begitu orang jaman dahulu membangun rumah joglo tidak sembarang buat," sahut Kliwon.
"Betul," Pakdhe Mangun mengiyakan.
"Tetapi apakah aturan-aturan memilih kayu jati seperti itu sampai sekarang bisa diwujudkan demi tegaknya rumah Jawa, Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Tentu sangat sulit, walaupun memang masih ada jenis kayu tersebut, namun untuk memilih mesthi saja langsung di hutan jati," ungkap Pakdhe Mangun.
"Wah, padahal hutan jati sudah sangat langka sekarang," sahut Kliwon.
"Oleh sebab itu, sadarlah, jangan asal terbang pohon. Justru sebaiknya anak muda tumbuh kesadaran untuk reboisasi. Pekarangan yang tinggal sedikit dan hutan di pulau Jawa tinggal beberapa prosen ini harus dijaga kelestariannya. Demi lingkungan hidup, rakyat harus ikut mengamankan kayu, bukan malah mencuri kayu di hutan," Pakdhe Mangun memberi nasihat kepada Kliwon.
"Pakdhe ini, apa-apa tahu saja," sahut Kliwon.
"Lho, jelek-jelek Pakdhe kan pensiunan pegawai kehutanan?. Kita harus patuh kepada pemerintah. Kau tahu, siapa menteri kehutanan?" ungkap Pakdhe Mangun.
"Tahu. Menteri Kehutanan adalah Djamaludin Soerjohadikoesoemo," Kliwon menjawab.
"Nah, itu Pak Udin, atasan Pakdhe. Dia sangat jengkel apabila pegawai penjagaan hutan lalai, sehingga banyak perusakan dana pencurian kayu di daerah hutan jati di Blora sana. Mengapa pegawai hutan yang sudah dibayar pemerintah kurang serius dalam menjaga hutan, dan mengapa kesadaran rakyat masih sangat rendah untuk ikut memelihara dan melestarikan hutan? Kamu calon pemimpin di negeri ini, tolong lestarikan hutan sehingga akan terpelihara lingkungan hidup yang aman, jauh dari pencemaran dan perusakan," ungkap Pakdhe Mangun.
"Betul sekali Pakdhe, karena kata pak guru yang mengajar pendidikan agama di kelas kami, dia bilang bahwa kerusakan daratan dan lautan itu tidak lain adalah ulah dari tangan-tangan manusia yang sok usil itu," Kliwon mengutip kata-kata dari gurunya.
"Nah, kamu ingat itu. Makanya jangan berbuat kerusakan di atas bumi. Karena hadits Nabi juga mengatakan, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman. Kita harus mencintai tanah air Indonesia, bersifat nasionalisme, patriotisme, selalu menjaga keseimbangan," begitu Pakdhe Mangun.
"Ah, Pakdhe pintar juga khotbah," sahut Kliwon.
"Ini bukan khotbah, Pakdhe sekedar memberi tahu," begitu Pakdhe Mangun.
"Dengan nasihat Pakdhe ini, saya bertambah pengalaman. Siapa tahu besok aku bisa jadi insinyur bangunan, atau saya bisa jadi tukang kayu yang tangguh," Kliwon mempunyai optimisme yang tinggi.
"Semoga nak, semua orang boleh berbuat apa saja, termasuk bebas mengemukakan pendapatnya. Bagus, Nak!" kata Pakdhe Mangun sambil tersenyum.
"Lalu di hutan mana kita bisa mendapatkan kayu yang usianya bisa dua keturunan atau mungkin mencapai 200 tahun itu?" tanya Kliwon.
Untuk mencari kayu jati yang betul-betul bagus dan tua terdapat di hutan desa Tamajang, Randublatung yaitu daerah hutan Blora, Jawa Tengah. Maka proyek-proyek pemerintah dalam hal ini dalam membangun gedung-gedung penting misalnya gedung wanita Mandhala Bakti Wanita Tama, di Yogyakarta juga menggunakan kayu jati dari Blora. Dahulu, masjid Demak itu bahan bangunannya kayu jati juga diambilkan dari hutan Blora. Itu mengenai kayu jati yang diandalkan sebagai bahan bangunan rumah-rumah Jawa terutama rumah Jawa tradisional yang berupa rumah joglo," jelas Pakdhe Mangun.
"Tapi, kita lihat bangunan-bangunan rumah atau gedung-gedung penting jaman sekarang saka guru maupun blandar dan lain-lainnya itu bukan terbuat dari kayu jati, Pakdhe. Malah hanya dibuat dengan bahan semen sistem cor, apa itu tidak menyalahi aturan?" Kliwon tiba-tiba menanyakan yang sebetulnya Pakdhe Mangun tidak ingat hal itu.
"Wah, wah, wah....memang kamu anak yang selalu memperhatikan hal-hal yang sepele, dan Pakdhe juga terlupakan. Memang, banyak sekali bangunan joglo dibuat dengan bahan semen dan cor, itu menandakan orang jaman sekarang senang yang praktis-praktis, kau tahu jaman semakin maju, inginnya sih manusia itu serba ngirit, hemat dan seba cepat. Kalau sekarang membangun rumah pakai kayu jati, tentu harganya lipat. Mencari kayu hati yang bermutu tinggi lagi usianya sangat tua, juga sulit. Ha, ini namanya joglo tiruan, jadi tidak menyalahi aturan, sama saja. Yang membedakan adalah nilai-nilai budaya dan kualitas saja, bagaimana pun harga jual, rumah joglo yang memakai bahan kayu jati sungguhan dengan joglo yang menggunakan semen dan besi dicor, akan lebih mahal yang pakai kayu jati sungguhan. Dari segi kualitas juga akan berbeda. Joglo yang pakai kayu jati akan lebih berwibawa, lebih dihormati, dan orang yang melihat bisa geleng kepala," Pakdhe Mangun memuji Kliwon.
"Wah kalau begitu, saya akan pergi saja keluar Jawa menanam pohon jati, siapa tahu saya bisa membangun joglo yang besar semua perangkat bangunan bisa saya gunakan memakai bahan kayu jati, disana saya akan membuat istana yang megah, Pakdhe!" unkap Kliwon.
"Idemu super bagus, buktikan angan-anganmu itu. Tetapi ingat, bahwa kalau kamu yang menanam pohon jati, berarti yang harus memanfaatkan kayunya anak cucumu, bukan kamu," nasihat Pakdhe Mangun.
"Lho kok bisa Pakdhe," sahut Kliwon.
"Dua ratus tahun lagi kayu jati baru berumur sangat tua, dan umur sekian itu kayu jati malahan bertambah bagus, pada hal usiamu paling-paling hanya sampai 70 tahun," kata Pakdhe Mangun memberi gambaran kepada Kliwon.
"Betul juga kata Pakdhe," sahut Kliwon.
"Nah itu tadi nak tentang kayu jati yang digunakan bahan bangunan rumah. Khususnya bangunan rumah bentuk joglo," ungkap Pakdhe Mangun.
Begitu Pakdhe Mangun yang telah panjang lebar menjelaskan kepada Kliwon tentang kayu jati yang sering digunakan bahan apabila orang Jawa mendirikan bangunan tempat tinggal. Disamping nama dan jenis-jenis kayu jati yang telah disebutkan tadi, dalam kesempatan ini Pakdhe Mangun juga memberitahukan kepada Kliwon tentang kayu jati yang tidak baik apabila digunakan bahan membuat rumah. Nama-nama kayu jati yang tidak baik itu antara lain:
1. Klabang Pipitan, kayu ini di dalamnya terdapat kulit. Menurut anggapan orang Jawa kayu ini mempunyai sifat akan watak panas. Karena itu penghuninya akan selalu sakit.
2. Tundhung, kayu jati ini pada waktu robohnya menumpang pohon kayu jati yang lain. Kepada penghuninya kayu jati ini berpengaruh kepada sikapnya yang suka menjelekkan orang lain.
3. Sadhong, kayu ini pada waktu roboh melintang sungai atau jalan. Watak kayu jati ini akan memberikan hidup sengsara atau serba susah kepada penghuninya.
4. Sundhong, kayu jati yang pada waktu roboh menjatuhi punggurnya (tunggak) sendiri. Wataknya akan selalu menimbulkan bencana penghuninya.
5. Sondho, kayu jati yang pada waktu roboh bersandar pada pohon yang lain. Watak kayu ini berpengaruh kepada turunnya martabat dan kedudukan penghuninya.
6. Sujen terus, kayu jati yang pohonnya berlubang tembus. Sifatnya mencelakakan penghuninya.
7. Watak ati, kayu jati yang bagian dalamnya keluar. Sifatnya selalu membuka rahasia penghuninya.
8. Saroh, kayu jati yang hanyut di sungai. Sifatnya selalu memberikan kekecewaan kepada penghuninya.
9. Gombong, kayu jati yang terpendam batu atau terendam air. Kayu jati ini sifatnya berpengaruh pada hidup penghuninya yang tidak selalu baik.
10. Gondhowangan, kayu jati yang menempel pada salah satu cabang. Sifatnya membuat penghuninya cenderung berbuat jelek.
11. Buntel mayit, kayu jati yang lapuk di dalam. Bila digunakan bahan bangunan rumah memberikan sifat pelupa atau mengidap penyakit kepada penghuninya.
12. Gronong, kayu jati yang pada waktu roboh membuat terkejut binatang liar sehingga mengeluarkan suara keras. Bila digunakan bahan bangunan, penghuninya akan selalu mendapat celaan orang lain.
Itulah sejumlah kayu jati yang tidak baik apabila orang Jawa menggunakannya untuk bahan membuat bangunan rumah.
"Itulah nak Kliwon, kayu jati yang dianggap tidak baik oleh orang Jawa bila digunakan bahan bangunan rumah," ungkap Pakdhe Mangun.
"Bagaimana Pakdhe tentang saat yang digunakan orang Jawa mendirikan bangunan rumah?" tanya Kliwon yang sekalian ingin tahu.
"Oh itu nak, ya coba mari kita perhatikan," sahut Pakdhe Mangun. Selanjutnya Pakdhe Mangun mengungkapkan, "Memang nak untuk memilih saat yang baik mendirikan bangunan rumah ini, bagi orang Jawa perlu hati-hati dan dengan perhitungan yang cermat. Bila tidak akan berpengaruh kepada kehidupan penghuninya," begitu Pakdhe Mangun.
"Terus apa yang dilakukan orang Jawa Pakdhe?" tanya Kliwon.
"Rumah orang Jawa itu kan mempunyai bagian. Nah masing-masing bagian ini mempunyai ukuran yang tidak sama. Khususnya ukuran blandar dan pengeret ini berbeda. Perbedaan ukuran inilah digunakan sebagai dasar untuk menghitung saat baik mendirikan bangunan rumah. Perhitungan yang pas, cocok ini dapat diharapkan memberi kehidupan baik bagi penghuninya seperti murah rejeki, ketenteraman, keselamatan, kebahagiaan.
"Bagaimana cara menghitungnya Pakdhe?" tanya Kliwon yang segera ingin tahu.
Kemudian Pakdhe Mangun menjelaskan, "Perhitungan itu diambil dari panjang blandar dikurangi panjang pengeret dibagi lima masih ada sisa. Sisa ini disebut: (1) Sri, (2) Kitri, (3) Gana, (4) Liyu dan (5) Pokok. Bilangan Sri, Kitri, Gana, Liyu, dan Pokok ini tidak asal digunakan, tetapi hanya untuk bagian-bagian rumah tertentu. Misalnya begini nak. Bilangan Sri hanya digunakan bila orang membuat rumah bagian dalam, yang disebut dalem atau omah jero dan bagian rumah belakang, itu lho nak yang kita sebut omah mburi. Mengapa mengambil bilangan Sri, sebab orang Jawa beranggapan kalau bilangan Sri itu:
1. Mengandung arti pangan atau raja brana, Sri ini digunakan untuk mendirikan dalem, dengan harapan supaya pemiliknya mendapat banyak rejeki, kebahagiaan.
2. Mengandung pengertian yang berkait dengan kata asri, pantas, bagus. Karena itu supaya rumah itu pantas, asri bagus, yang membuat penghuninya krasan.
3. Bilangan ini dihubungkan dengan sifat Dewi Sri, sebagai dewi padi, kebahagiaan, kesuburan, rumah tangga. Karena itu pada bagian omah jero ini terdapat senthong tengah yang disediakan untuk istirahat Dewi Sri. Harapannya supaya keluarga yang menghuni rumah itu selalu diberi murah rejeki, kebahagiaan, ketenteraman.
Terus bilangan Kitri untuk mendirikan bangunan pendhapa. Orang Jawa mengartikan Kitri adalah ayoming kekitren, maksudnya selalu tenteram, tidak tegang dalam menghadapi masalah. Kalau tenteram, ayom, itu terwujud maka keluarga penghuni rumah itu akan mendapat murah rejeki. Begitu nak, dengan bilangan yang lain. Gana untuk membuat pawon, kandhang, gandhok. Liyu bilangan yang digunakan membuat bangunan regol, bangsal tempat orang menunggu, dan Pokok bilangan membuat lumbung padi.
Begitu Pakdhe Mangun telah tuntas memberi penjelasan bangunan rumah Jawa tradisional kepada Kliwon. Selanjutnya, "Tetapi maaf ya nak Kliwon, apakah perbincangan kita dapat kita akhiri sampai disini. Lagipula Pakdhe mau istirahat. Dan sekali lagi Pakdhe minta maaf apabila semua penjelasan Pakdhe banyak kekurangannya untuk nak Kliwon."
"Oh tidak Pakdhe, malahan Kliwon yang minta maaf sebab mengganggu dan merepotkan Pakdhe dan Budhe Mangun. Lagipula saya haturkan saya sungguh berterima kasih kepada Pakdhe, karena Pakdhe telah membantu memberikan penjelasan tentang bangunan rumah Jawa tradisional. Sehingga menambah pengetahuan yang sangat berharga. Dan Pakdhe, saya mohon pamit, sampaikan juga pamit saya kepada Budhe Mangun. Terima kasih Pakdhe," Kliwon berpamitan kepada Pakdhe Mangun.
"Ya nak sama-sama, hati-hati di jalan. Salam untuk Bapak dan ibumu," sahut Pakdhe Mangun.
Kliwon meninggalkan rumah Pakdhe Mangun yang bentuk joglo, yang anggun dan berwibawa. Kliwon pulang dengan hati puas. Karena selama ini dari awal sampai akhir perbincangannya dengan Pakdhe Mangun telah mendapatkan apa yang dicari yakni keinginannya untuk "Mengenal Rumah Jawa Tradisional." Kini lengkap sudah segala hal tentang rumah Jawa tradisional, dan Kliwonpun siap apabila nanti Pak Guru Dipo menanyakan laporan kegiatannya selama liburan panjang. Dalam hal ini Kliwon perlu mengucapkan terima kasih kepada Pak Sardal, guru perpustakaan, Pak Guru Dipo, Rama Empu dan Pakdhe Mangun. Karena beliau-beliau itulah yang menuntun Kliwon sehingga "Mengenal Rumah Jawa Tradisional."
Di sini Kliwon berpesan kepada teman-teman seumurnya:
"Apabila kamu mempunyai keinginan, kehendak, cita-cita, berusahalah dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan. Niscaya apa yang kamu cita-citakan akan tercapai."
SEKIAN.
Daftar Pustaka
Hamzuri, Rumah Tradisional Jawa, Proyek Pengembangan Permuseuman DKI, Dept. P dan K, Jakarta.
Ismunandar, K.R., Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, (1977), Dahara Prize, Semarang.
Murniatmo, Gatut, "Rumah Adat Jawa," Research Sejarah dan Budaya, Dept. P dan K, Balai Penelitian Sejarah dan Budaya, Yogyakarta.
Sunaryo, Sudomo, Drs., Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Hubungan Masyarakat.
________, Kabupaten Kulonprogo, Hubungan Masyarakat.
Sutomo, R.M., "Bab Pandamelipun Griyo Jawi," Jayabaya, 10 Februari 1977, No. 24 Th. XI.
Sugiyarto Datung (Penyunting), Artitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta 1981/ 1982, Proyek IDKD, Dept. P dan K.
Karya: Muhammad Yamin
No comments:
Post a Comment