CAMPUR ADUK

Friday, December 21, 2018

ANTARA BARA DAN YANG MENYALA

I. FITNAH

Yogyakarta akhir abad sembilan belas.

Baru saja hujan usai menyiram bumi. Udara kota menjelang senja terasa hangat dan nyaman tertimpa sinar temaram matahari tua. Paling lama setengah jam lagi matahari akan terbenam. Akan tetapi tampaknya ia masih enggan meninggalkan alam. Seberkas sinarnya yang mampu menembus sela-sela mega putih seolah-olah tengah meneropong pikiran dan perbuatan manusia yang berahasia. Ia bersaksi pada puncak Gunung Merapi, dan ia bertanya, "Hai, siapakah mereka? Hendak ke mana, dan apa tujuannya?" Kemudian ajaknya penuh semangat, "Mari, kita ikuti mereka!"

Sebuah kereta kuda melaju tenang di jalan besar menuju rumah kediaman residen. Dilihat dari kudanya yang berwarna putih bersih dan gagah, dari ukirannya yang cukup indah, jelaslah kereta itu bukan kereta sewaan. Kereta itu memang milik pribadi. Di jok belakang duduk berhadapan dua orang Belanda berpakaian putih-putih. Sepatu mereka pun putih.

"Tuan Borne, bagaimana kira-kira pendapat Tuan akan sikap serta pendapat tuan residen nanti?" tanya salah seorang di antaranya.

"Entahlah, Tuan Cedee. Bagaimana nanti saja. Tetapi pendapat Tuan sendiri bagaimana?" yang ditanya balik bertanya.

"Saya pun belum bisa menduga. Yang penting, kita telah mendapat kesempatan diterima residen. Dan kita harus menmanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya."

"Kita harus dapat meyakinkan residen," sela Borne, lalu sambungnya, "Asal residen dapat diyakinkan, semua akan beres. Sebab di situlah kuncinya!"

"Benar!" sambut Cedee.

Dua-duanya lalu diam menekur, sementara roda kereta berputar terus melecahi pasir dan kerikil. Sais kereta yang mendengar percakapan tersebut sama sekali tidak mengerti maksud pembicaraan dua orang Belanda yang dibawanya. Seandainya ia tahu, mungkin kelak akan dapat menjadi saksi pada perkara fitnah terhadap seseorang, yang kebajikannya dikenal oleh hampir seluruh penduduk kota Yogyakarta dan sekitarnya.

Kereta berhenti beberapa meter sebelum pintu gerbang gedung kediaman residen. Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee turun lalu berjalan memasuki pelataran. Seorang pelayan menyongsong, dan kemudian mempersilahkan mereka  duduk di kursi tamu. Tidak lama antaranya residen keluar. Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee lalu bangkit dari tempat duduknya seraya membungkuk hormat.

"Selamat sore, Tuan Residen," ujar Von de Borne dan Cedee bergantian, kemudian mereka bersalam-salaman.

"Selamat sore," jawab residen, lalu mempersilakan tamunya duduk kembali.

"Terima kasih. Maaf, kami telah mengganggu Tuan," ujar Dokter Borne membuka percakapan.

"Apa sebenarnya keperluan Tuan-tuan?" tanya residen tanpa memanggapi basa-basi Dokter Borne.

Von de Borne maupun Cedee tidak segera menjawab. Sejenak keduanya berpandang-pandangan. Dokter Cedee batuk-batuk kecil mengendorkan ketegangan perasaannya. Dengan hati-hati ia mulai mengemukakan maksudnya.

"Tuan Residen, ada sesuatu hal yang Tuan barangkali belum mengetahuinya. Padahal masalahnya menurut pendapat kami sangat penting."

"Apa?" residen setengah terkejut setengah tersinggung.

"Tentang Dokter Wahidin Sudirohusodo," jawab Dokter Von de Borne menyambung, langsung memasuki persoalan yang mereka bawa.

"Mengapa dengan Dokter Wahidin?" kali ini residen benar-benar terkejut. Ia mengenal baik Dokter Wahidin Sudirohusodo. Ia tahu bahwa dokter Wahidin pernah di angkat menjadi asisten pengajar pada Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Suatu bukti bahwa dokter kelahiran desa Mlati itu cakap, Terampil, dan cerdas.

Ketika Dokter Wahidin kembali ke Yogyakarta, residen semakin mengenalnya. Dokter Wahidin diangkat menjadi dokter Paku Alam sambil membuka praktek umum d rumahnya. Dalam waktu singkat namanya menanjak harum di kalangan masyarakat. Ia terkenal sebagai dokter bertangan dingin, dan berhati pemurah kepada para pasiennya yang tergolong tidak mampu. Masyarakat kalangan atas, baik Jawa, Cina, Arab, bahkan Belanda, pejabat pemerintah maupun orang-orang partikulir di Yogyakarta sebagian terbesar menjadi langganannya.

"Mengapa dengan Dokter Wahidin?" sekali lagi residen bertanya dengan suara yang dalam.

"Tuan Residen tentu mengetahui bagaimana ia telah menyerap demikian banyak langganan," ujar Dokter Cedee.

"Ya, saya tahu. Tetapi mengapa?"

"Tuan Residen pasti belum mengetahui apa rahasianya," sambung Dokter de Borne.

Tanpa menunggu tanggapan residen atas kata-kata Dokter de Borne, Dokter Cedee menjelaskan lebih jauh demikian," Ia telah menggunakan cara-cara yang tidak wajar. Tidak ilmiah, sehingga sangat berbahaya bagi keselamatan umum. Oleh karena itu, Tuan seyogyanya cepat mengambil tindakan."

Residen merenung sejenak mencoba mencernakan kata-kata Dokter Cedee. Ia telah dapat menduga-duga latar belakang sebenarnya yang mendorong dua orang dokter Belanda itu mengajukan persoalan Dokter Wahidin Sudirohusodo. Pasti karena perasaan iri serta dengki melihat langganan Dokter Wahidin yang semakin hari semakin sepi. Meskipun demikian residen masih ingin mengorek keterangan yang lebih meyakinkan.

"Cara-cara yang tidak wajar. Tidak ilmiah, dan berbahaya bagi keselamatan umum?" residen bergumam, lalu tanyanya, "Yang bagaimana misalnya?"

"Ada sebuah contoh yang sangat menarik. Ceritanya agak panjang. Saya kuatir, Tuan akan bosan mendengarnya," ujar Dokter Borne.

"Ceritakanlah!" ujar residen dengan nada agak kesal.

"Cerita itu telah tersebar luas di kalangan masyarakat," sela dokter Cedee.

"Ceritakan!" tukas residen semakin kesal.

Kemudian Dokter Von de Borne menceritakan sebuah cerita lucu mengenai seorang desa pasien Dokter Wahidin Sudirohusodo. Cerita itu benar-benar lucu. Akan tetapi oleh  Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee ditafsirkan dan dibumbui sedemikian rupa sehingga hilang kelucuannya, dan berubah menjadi alat untuk menghasut residen, dan memfitnah Dokter Wahidin.

Memang benar, pada suatu hari datang seorang pasien dari desa ke tempat praktek Dokter Wahidin. Menerima pasien-pasien dari desa bukan hal baru bagi Dokter Wahidin. Banyak penduduk desa yang miskin telah ia tolong. Mereka diperiksa, disuntik, diberi resep tanpa dipungut bayaran. Dimikian pula terhadap pasien yang sedang diceritakan oleh Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee.

"Selesai. Nah, ini resepnya. Tidak usah bayar. Uangnya untuk beli obat saja," demikian ujar Dokter Wahidin dengan ramah kepada pasien itu.

"Terima kasih, Dokter," ujar petani itu seraya merangkapkan kedua telapak tangannya di muka hidungnya dalam sikap menyembah. Di sela-sela telapak tangannya terselip resep. Ia melangkah mundur dengan mulut berkemak-kemik. Tidak jelas apa yang ia ucapkan.

"Masih banyak bangsaku yang menderita. Sakitnya agak parah. Akan tetapi mudah-mudahan ia segera sembuh," demikian kata hati Dokter Wahidin sambil memandangi kepergian pasiennya.

"Sudah, Pak?" tanya istri si petani yang menunggu di luar.

"Sudah! Mari kita segera pulang, ajak suaminya. Resep di tangannya ia masukkan ke dalam saku ikat pinggangnya yang lebar. Ikat pinggang yang terbuat dari kulit lembu.

"Ambilkan secangkir air putih!" perintah petani itu kepada istrinya setelah mereka tiba di rumah.

Dengan patuh istrinya mereka mengambil sebuah cangkir di paga-paga. Dari sebuah cerek tembaga yang sudah berubah menjadi hitam legam karena tidak pernah dicuci, ia menuangkan air ke dalam cangkir, lalu diserahkannya kepada suaminya.

"Aku pasti segera sembuh," ujar petani itu seraya mengambil resep dari saku ikat pinggangnya. Kebodohannya telah menuntun dia ke perbuatan yang keliru, akan tetapi lucu. Resep yang ia terima dari Dokter Wahidin tadi tidak dibawanya ke apotik, melainkan ia bakar. Dan abunya ia masukkan ke dalam cangkir tadi. Ia berdiam diri sejenak. Mungkin memohon kepada Tuhan agar penyakitnya benar-benar segera sembuh. Kemudian diminumnya air putih berisi abu kertas resep itu sampai habis.

Menurut pikiran petani itu, resep yang ia terima adalah sebuah rajah, yakni secakir kertas dengan tulisan atau coretan-coretan bertuah. Keyakinannya terhadap kertas bertuah pemberian Dokter Wahidin demikian besar; kemudian ditambah dengan permohonan kepada Tuhan, dan ternyata ia benar-benar sembuh. Sepanjang hidupnya petani itu pasti tetap beranggapan bahwa resep itu adalah secarik rajah. Pengertian yang salah dari petani itu justru diputarbalikkan oleh Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee untuk menghasut residen.

"Tuan Residen. Kami berdua justru yakin bahwa yang di berikan oleh Dokter Wahidin itu benar-benar secarik rajah," ujar Dokter Von de Borne.

"Kenyataannya si pasien sembuh. Kau itu yang penting, bukan?" tanya residen mendesak.

"Masalahnya bukan itu, Tuan," sela Dokter Cedee.

"Lalu apa?"

"Tuan Wahidin Sudirohusodo adalah seorang dokter. Tidak semestinya ia berbuat seperti seorang dukun kampung memberi rajah kepada para pasiennya," Cedee menjelaskan.

"Yakin benarkah, Dokter, bahwa Dokter Wahidin membuat rajah untuk pasien-pasiennya?"

"Kami benar-benar yakin, Tuan Residen," jawab Von de Borne dan Cedee serempak.

"Lalu apa keberatan Tuan-tuan jika memang benar Dokter Wahidin mengeluarkan rajah-rajah itu?" residen memancing.

"Ini masalah kehormatan, Tuan Residen," jawab Cedee tegas.

"Kehormatan?" tanya residen penuh minat.

"Benar, Tuan. Bukan sekedar kehormatan kami sebagai sesama dokter. Dan bukan pula sekedar kehormatan Tuan selaku residen. Akan tetapi yang teramat penting ialah kehormatan, dan kewibawaan Pemerintah Hindia Belanda serta Pemerintah Pusat di Nederland," ujar Dokter Cedee.

"Apa hubungannya dengan kehormatan segala?" tanya residen dengan nada meremehkan.

"Begini, Tuan Residen," ujar Dokter Von de Borne dengan suara lembut dalam usahanya meyakinkan residen, lalu sambungnya, " Pemerintah Hindia Belanda dengan restu Pemerintah Pusat di Nederland sudah bermurah hati terhadap penduduk Hindia Belanda dengan membuka Sekolah Dokter Jawa sejak tahun 1851. Berarti sekolah dokter itu sudah berlangsung selama lima puluh tahun. Dan baru-baru ini kami mendengar kabar, sekolah itu akan lebih ditingkatkan menjadi School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen, yang disingkat dengan nama Stovia. Jika praktek-praktek rajah seperti yang dilakukan oleh Dokter Wahidin itu dibiarkan berlarut-larut, dipandang dari segi kewibawaan pemerintah Sekolah Dokter itu tidak punya arti lagi di kalangan masyarakat, Seterusnya masyarakat akan menganggap remeh terhadap usaha pemerintah. Akibat selanjutnya, Tuan Residen bisa membayangkan sendiri."

Kalau begitu Dokter Wahidin akan saya panggil. Saya beri ia pengertian, dan jika perlu ancaman agar ia tidak lagi membuat rajah," demikian ujar residen, yang segera di sangkal oleh Dokter Cedee.

"Kalau begitu saja tindakan yang Tuan ambil, jelas belum menjadi jaminan pencegahan."

"Benar! Secara sembunyi-sembunyi Dokter Wahidin akan meneruskan usahanya menghancurkan martabat pemerintah lewat rajah-rajahnya," ujar Dokter Von de Borne memperkuat pendapat Dokter Cedee.

"Lalu sebaliknya bagaimana?" tanya residen yang sudah termakan hasutan kedua orang dokter Belanda itu. Ia mulai berpikir. Sebagai residen ia pun harus dan merasa wajib turut menjaga kehormatan serta martabat pemerintah. Kewibawaan Pemerintah Hindia Belanda adalah kewibawaannya sendiri pula sebagai residen. Lebih-lebih sebagai residen yang bertugas di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Dalam pada itu Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee sudah bersorak dalam hati, karena usahanya untuk menyisihkan saingannya sudah sampai ke ambang gerbang ke menangan. Tempat prakteknya yang selama ini semakin sepi akan segera menjadi ramai. Tanpa ragu-ragu lagi Dokter Cedee menjawab pertanyaan residen, ucapnya tegas, "Tindakan Tuan Residen yang paling tepat ialah mencabut izin praktek Dokter Wahidin."

"Itu bukan wewenang saya," jawab residen.

Mendengar jawaban residen seperti itu, Dokter Cedee dan Dokter Von de Borne serentak tertawa, seraya ujarnya,  "Kami tahu, pencabutan izin praktek menjadi wewenang Dinas Kesehatan."

Tanpa kata-kata tentu saja residen cukup arif mengapa kedua orang dokter itu tertawa. Dinas Kesehatan Karesidenan Yogyakarta tatanannya berada di bawah asisten residen. Apa sulitnya bagi seorang residen memberi perintah kepada wakilnya.


II. Wabah

Cuaca di kota Yogyakarta sedang resah menghadapi pergantian musim. Suhu alam dan suhu badan goncang tak menentu. Akibatnya penyakit mudah berjangkit. Kata orang, di musim demikian dokterlah yang senang. Jelas, jika banyak orang sakit, dokter panen duit.

Musim penghujan sedang bergeser ke musim kemarau. Udara kota yang selama beberapa bulan terasa dingin dan lambat-lambat menyejuk telah meluncur menjadi pengap. Uap busuk menyejuk dari sela-sela sampah yang membusuk karena sengatan matahari. Itulah sekelumit gambaran musim pancaroba, musim perubahan cuaca.

Musim pancaroba itu datangnya bertepatan dengan perubahan tak terduga yang terjadi di rumah Dokter Wahidin Sudirohusodo. Kurang lebih sepuluh hari setelah Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee mengharap Residen Yogyakarta, pada suatu siang Dokter Wahidin Sudirohusodo menerima sepucuk surat tertutup dari Dinas Kesehatan. Isinya tak lain ialah, sebuah SPIP, Surat Pencabutan Izin Praktek. Pencabutan izin praktek itu sendiri sudah mengejutkan. Akan tetapi yang lebih mengejutkan lagi ialah alasannya. Dalam surat itu antara lain disebutkan,".......praktek Tuan sangat membahayakan keselamatan masyarakat."

Dokter Wahidin tertegun. Sejenak nafasnya terasa sesak. Darahnya seolah-olah berhenti mengalir. Sulit melukiskan perasaan Dokter Wahidin kala itu. Bingung, heran, sedih, marah berbaur menjadi satu. Meskipun demikian keadaan seperti itu tidak berlangsung terlampau lama.

Sifatnya yang sangat penyabar segera dapat mengendapkan kemarahannya. Perasaannya yang halus dan tenang tidak memperturutkan kebingungannya terus berlarut. Jiwanya yang lapang telah dapat mengendalikan dirinya sehingga tidak terlontar kata-kata umpatan yang kurang senonoh dari bibirnya. Kecerdasannya yang cemerlang secara berangsur-angsur telah mulai mampu membuka tabir rahasia yang melatarbelakangi surat keputusan pencabutan izin praktek dari Dinas Kesehatan.

Setelah berpikir dan berpikir, menelaah dan menimbang, menghubung-hubungkan berbagai peristiwa di sekitar dirinya serta pekerjaannya sehari-hari sebagai dokter, Dokter Wahidin Sudirohusodo akhirnya menarik kesimpulan, bahwa latar belakang peristiwa itu adalah fitnah.

"Siapakah gerangan yang telah begitu keji memfitnah saya?" gumamnya seorang diri.

Kesimpulan tersebut dengan sendirinya menimbulkan pemikiran baru. Tindakan apa yang akan dilakukan menghadapi fitnah itu. Apakah akan tinggal diam, atau akan diusut. Dokter Wahidin kembali dan menimbang-nimbang. Kesimpulan, untuk sementara ia akan tinggal diam. Ia akan menunggu perkembangan suasana.

"Terserah pada keadaan, dan terserah atas kekuasaan Tuhan," begitulah keputusan atau ketetapan hatinya. Benarkah Dokter Wahidin Sudirohusodo, yang pada waktu itu berumur sekitar empat puluh lima tahun dapat dengan tenang menunggu perkembangan keadaan? Mungkin baginya tidak sulit untuk berserah diri sepenuhnya terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Akan tetapi tidak demikian halnya bagi para pasiennya yang pada hari itu telah berkumpul di ruang tunggu tempat prakteknya.

Mereka tidak tahu-menahu tentang pencabutan izin praktek dari Dinas Kesehatan yang diterima oleh dokter kepercayaannya. Mereka datang minta diperiksa, minta resep untuk membeli obat seperti biasanya. Dokter Wahidin mendengar suara mereka ramai mengobrol sesama pasien dan para pengatarnya.

Dokter Wahidin masih tetap duduk di ruang tengah. Tidak seperti biasanya ia segera bersiap melayani pasien-pasiennya. Ia tengah berpikir, tindakan apa yang seyogyanya ia lakukan petang itu, sampai istrinya datang menghampiri.

"Pak! Ini kan sudah waktunya praktek," ujar Anna, istrinya, sambil mengawasi jam dinding yang baru saja berdentang lima kali,  lalu sambungnya. "Dengar, sudah banyak yang menunggu."

Dokter Wahidin memandang istrinya sekilas, lalu jawabnya, "Ya, benar. Sudah banyak yang menunggu," kemudian ia bangkit perlahan-lahan tak bersemangat.

"Apakah Bapak sakit?" tanya istrinya agak cemas melihat sikap suaminya lain dari biasanya.

"Tidak. Aku tidak sakit."

"Tetapi Bapak kelihatan lesu, mengapa?" desak istrinya. Dokter Wahidin berpikir sejenak. Ia ingin menjaga perasaan istrinya, yang pasti akan sangat terkejut jika mendengar berita pahit itu. Akan tetapi bagaimanapun juga harus didengarnya juga.

Kepribadiannya yang selalu memperhatikan kepentingan orang lain menyebabkan keadaan Dokter Wahidin serba salah. Ia ingin segera keluar menemui para pasien, akan tetapi ia melihat wajah istrinya penuh tanda tanya. Sebaliknya jika ia berlama-lama menjelaskan persoalan yang sedang dihadapi kepada istrinya, para pasienlah akan terlalu lama menunggu.

"Memang ada masalah yang sedang aku pikirkan," demikian akhirnya Dokter Wahidin mulai memberi penjelasan kepada istrinya.

"Bolehkah aku turut mengetahuinya?" tanya istrinya dengan nada sabar.

"Tentu saja boleh. Bahkan harus. Akan tetapi kuharap engkau tetap sabar dan tenang. Bacalah ini!" ujar Dokter Wahidin seraya memberikan surat dari Dinas Kesehatan.

Dengan tangan agak gemetar Anna menerima surat itu. Belum sampai selesai surat itu ia baca, wajahnya telah berubah menjadi pusat. Dengan mulut ternganga ia memandang suaminya penuh tanda tanya, serta jantung berdetak keras.

"Tenangkan hatimu," ujar Dokter Wahidin dengan suara lembut, lalu sambungnya lebih lanjut, "Nanti akan kujelaskan duduk persoalannya. Engkau tidak usah cemas dan berpikir yang bukan-bukan. Aku akan menemui para pasien dulu. Sebentar."

Dokter Wahidin mengambil surat yang masih berada di tangan istrinya. Dengan tenang ia berjalan menuju ruang tunggu. Ketika ia muncul di ambang pintu, wajah-wajah para pasien membayangkan perasaan heran akan sikap dokter langganannya. Lebih-lebih ketika tiba-tiba Dokter Wahidin duduk di antara mereka.

"Dokter!?" seru salah seorang pasien, yang tidak dapat menekan perasaan herannya.

Dokter Wahidin tidak menjawab sapaan keheranan itu. Sejenak ia memandang wajah-wajah para pasiennya dengan kepala terangguk-angguk. Sekilas ia tersenyum.

"Saudara-saudara pasti heran melihat saya masuk ke ruangan ini. Pertama-tama saya mohon maaf, karena mulai hari ini saya tidak berhak membantu Saudara-saudara. Saya terpaksa harus menutup praktek saya," demikian dokter Wahidin Sudirohuodo mulai memberi penjelasan kepada para langganannya. Penjelasan awal itu di sambut dengan pertanyaan bertubi-tubi.

"Mengapa? Mengapa? Mengapa, Dokter?"

"Bukan kemauan saya sendiri," Dokter Wahidin meneruskan penjelasannya dengan tenang.

"Menurut surat yang saya terima dari Dinas Kesehatan, praktek saya dianggap membayangkan keselamatan masyarakat. Tentu saja termasuk keselamatan Saudara-saudara. Inilah buktinya."

Dokter Wahidin mengacungkan surat Dinas Kesehatan seraya menjelaskan serta sedikit tentang isinya, lalu pintanya, "Untuk sementara pergilah ke dokter lain. Bukankah masih ada Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee?"

"Tidak. Kami tidak senang ke sana. Dokter Belanda itu kasar, dan tidak becus," ujar salah seorang pasien.

"Sudah tidak becus, sombong lagi," ujar yang lain.

"Dan mahalnya tidak kira-kira," sambung seorang pasien yang kurang berada.

Mendengar ucapan pasien yang terakhir itu Dokter Wahidin merasa terharu. Ia menyadari sedalam-dalamnya akan keberatan para langganannya jika harus berobat kepada Dokter Von de Borne dan Dokter Cedee. Akan tetapi apa daya. Untuk sementara tidak ada jalan lain kecuali harus menutup prakteknya.

"Dokter, Kami menyadari, dan dapat mengerti kesulitan yang Tuan hadapi," ujar salah seorang pasien yang sudah agak lanjut umurnya dengan suara lembut-lembut, lalu sambungnya, "Akan tetapi jangan Tuan menyuruh kami pergi berobat ke Dokter Von de Borne maupun Dokter Cedee."

"Karena hanya itulah yang bisa saya sarankan," jawab Dokter Wahidin dengan suara lembut dan senyum hambar.

"Tidak! Tuan masih bisa menolong kami dengan cara lain," jawab orang itu tegas.

"Bagaimana mungkin?" tanya Dokter Wahidin heran.

"Ada pusaka dalam pustaka. Tuan bisa mengembangkan cara-cara pengobatan dengan ramuan obat-obatan peninggalan nenek moyang kita."

Mendengar ucapan orang tua itu wajah Dokter Wahidin serta merta berubah menjadi cerah berseri-seri seraya ujarnya, "Insya Allah, akan saya coba."

Sejenak suasana dalam ruang tunggu itu berubah seperti sebuah rapat. Ucapan Dokter Wahidin disambut dengan tepuk tangan bergemuruh dari para hadirin. Wajah-wajah yang semula murung berubah cerah memancarkan harapan.

Demikian, pencabutan izin praktek dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta terhadap Dokter Wahidin Sudirohusodo dalam waktu pendek telah menjadi berita hangat. Sebagian besar masyarakat menerima dan menggapinya dengan perasaan heran dan geram. Beberapa kawah dekat Dokter Wahidin menganjurkannya supaya masalah itu diusut. Akan tetapi Dokter Wahidin menerimanya dengan perasaan tabah. Fitnah Von de Borne dan Dokter Cedee telah membuka lembaran hidup baru bagi Dokter Wahidin Sudirohusodo. Tahap ini, fitnah mereka telah merubah jalan hidup seseorang yang tabah. Ketabahan yang ternyata akan menambah jalan sejarah, dan merintis perubahan kedudukan dua bangsa, penjajah dan terjajah.

Mungkin tak seorang pu pernah mengatakan bahwa Dokter Cedee dan Dokter Von de Borne adalah penggali-penggali kubur buat penjajah, bangsanya. Dalam pada itu ketabahan seseorang, tanpa disadari telah mulai mengatur jalur perjuangan merebut hak asasi setiap manusia. Itulah takdir, kemahakuasaan Tuhan Yang Mahaesa.


III. Resah

Orang sekarang menyebutnya sebagai apotik hidup. Demikianlah sebidang kebun di belakang rumah Dokter Wahidin telah ditanami berbagai jenis pohon dan tumbuh-tumbuhan bahan ramuan obat-obatan. Ada pohon jeruk nipis, mengkudu, dadap ayam, kunyit, jahe, adas, temu lawak, kecombrang, bratawali, pepaya rantai, dan masih banyak lagi yang lagi. Bahan obat-obatan yang berasal dari pohon yang tidak mungkin ditanam di kebun, atau sesuatu yang tidak mungkin dikembangbiakkan, Dokter Wahidin menyuruh beberapa orang untuk mengumpulkannya ke desa-desa. Misalnya kulit pohon pule, kayu angin, kedaung, dan lain sebagainya.

"Pak Dokter, buah jeruk nipis ini untuk obat apa?" tanya pembantu Dokter Wahidin pada suatu hari.

"Untuk obat batuk, mencarikan beras kencur, dan dapat juga untuk kompres bagi anak-anak yang sakit panas," demikian jawab Dokter Wahidin.

Pembantunya mengangguk-angguk, lalu tanyanya lagi, "Kalau menghudu untuk apa, Pak?"
"Buah, daun mengkudu muda maupun akarnya sudah terkenal sebagai bahan obat. Air rebusan akar mengkudu, jika diminum akan memperlancar air seni. Demikian pula air buahnya yang telah masak. Selain memperlancar air seni juga dapat dimanfaatkan untuk menurunkan tekanan darah tinggi."

"Selama ini, yang saya tahu daun mengkudu muda itu jika dipepas enak rasanya. Lebih-lebih jika dicampur dengan ikan teri," ujar si pembantu menyela.

"Benar, dipepes atau diurab. Selain enak, dapat juga menghilangkan rasa mulas atau kembung," jawab Dokter Wahidin seraya tertawa renyah.

"Ada satu hal yang membuat saya heran, Pak Dokter," ujar si pembantu tiba-tiba.

"Apa yang kau herankan?" tanya Dokter Wahidin dengan nada heran pula.

"Pada umumnya orang menanam cangkokan jeruk nipis dalam lubang sedalam setengah meter. Akan tetapi Pak Dokter menyuruh saya menanamnya dalam lubang yang luas sedalam satu setengah meter. Tiga kali lipat dalamnya."

"Ooo, itu," ujar Dokter Wahidin tersenyum seraya sambungnya," sebenarnya tanpa kujelaskan pun, kelak engkau akan mengerti."

"Tapi orang akan puas dan mantap jika sesuatu yang dikerjakan jelas tujuannya," desak si pembantu.

"Dengan cara menanam seperti itu, kelak jika pohonnya telah tinggi dan berbuah, kita tidak sulit memetik buahnya," jawab Dokter Wahidin.

"Tapi beberapa cabang dan rantingnya, demikian pula buahnya yang menempel di tanah menjadi kotor, Pak Dokter."

Sebelum memberi penjelasan Dokter Wahidin tertawa lirih, kemudian ujarnya," Hal itu mudah diatasi, dan sekaligus mendatangkan keuntungan lain."

"Bagaimana cara?" tanya si pembantu penuh minat.

"Di sekeliling lubang, dengan lebar kira-kira satu meter kita taburi kerikil dan batu-batu kecil sampai tanahnya tertutup sama sekali. Manfaatnya ganda. Selain bersih, buahnya akan menjadi lebih besar, dan cepat tua."

"Mengapa begitu, Pak Dokter?"

"Karena jeruk-jeruk itu mendapat panas ganda. Yang pertama dari atas. Yaitu langsung dari matahari. Yang kedua dari pantulan hawa panas yang kuat dari bawah. Cukup jelas?" tanya Dokter Wahidin mengakhiri penjelasannya. Si pembantu mengangguk-angguk puas.

Demikianlah Dokter Wahidin tetap melayani para pasiennya dengan apotik hidupnya. Yang menderita sakit panas dingin atau malaria mendapat ramuan kulit pohon pule, temu lawak, dan kayu angin. Ramuan itu direbus, dan diminum airnya. Yang sakit mata diberinya pohon kecombrang yang sudah tua. Dua atau tiga jengkal batang kecombrang tua itu dibelah. Inti batangnya dikerok dengan ujung sendok. Kerokan itu akan menghasilkan air. Dan air kecombrang itulah yang dijadikan obat tetes mata. Selain memberikan pengobatan, Dokter Wahidin juga menganjur-anjurkan semboyan," lebih murah mencegah dari pada berobat". Sehingga tidak mengherankan jika apotik hidupnya selalu ramai dikunjungi orang. Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tidak bisa berbuat apa-apa terhadap usaha Dokter Wahidin. Demikianlah pula halnya dengan Dokter de Borne dan Dokter Cedee, yang telah berusaha keras menghancurkan nama baik Dokter Wahidin dengan fitnah. Tempat prakteknya tetap saja sepi. Begitulah akibatnya jika seorang Dokter bersikap kasar dan tinggi hati.

Di waktu-waktu senggang Dokter Wahidin berkunjung ke desa-desa. Lebih-lebih ke desa tempat kelahirannya, yakni desa Mlati, yang jauhnya hanya sekitar sepuluh kilometer di sebelah barat laut Yogyakarta. Kunjungannya ke desa-desa ialah untuk menambah pengetahuannya tentang obat-obatan tradisional. Tak segan-segan ia bertanya kepada orang-orang tua atau dukun-dukun yang berpengalaman dalam bidang pengobatan. Kepribadian penduduk desa yang sederhana, lugu serta jujur sangat membantu usaha Dokter Wahidin. Sering pula ia mendapat bantuan dari pemuda-pemuda desa di waktu mengumpulkan  bahan obat-obatan.

Karena pergaulannya yang akrab dengan penduduk desa, Dokter Wahidin semakin mengenal kehidupan dan penghidupan masyarakat desa. Sebagian besar hidup miskin dan menderita, tidak mengenal kemajuan zaman, tidak mengenal pendidikan. Tabiatnya jujur, lugu dan sederhana sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya itikad buruk. Akibatnya tertipulah mereka mentah-mentah. Menurut pengamatan Dokter Wahidin, beberapa pemuda desa pun berotak cerdas. Sayannya mereka tidak mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk menuntut ilmu karena mereka miskin.

Keadaan itu sangat berkesan di hati Dokter Wahidin Sudirohusodo, sehingga selalu menjadi renungannya di kala duduk seorang diri, Ia yakin, jika pemuda-pemuda desa yang berotak cerdas itu diberi kesempatan dan bantuan, mereka pun dapat maju. Ia menjadi resah memikirkan nasib pemuda-pemuda desa. Dan keresahannya itua lama-kelamaan menjadi bahan percakapan di saat-saat ia bertemu, dan berbincang-bincang dengan teman-temannya.

Akan tetapi ternyata tidak semua orang merasa senang diajak memperbincangkan kehidupan dan penghidupan masyarakat desa serta nasib para pemudanya. Bahkan kadang-kadang ada orang yang mencemoohkannya.

"Buat apa hal-hal semacam itu dibicarakan. Biar saja mereka miskin dan menderita. Itu kan sudah takdir mereka. Mau diapakan lagi?"

Malahan sementara orang memberi tanggapan lebih kejam. Katakanlah tidak berperikemanusiaan. Kata mereka, "Bodoh? Akh, itukan sudah nasib mereka. Biarkan saja mereka bodoh dan bebal. Bukankah sifat mereka yang lugu, jujur serta dungu itu mempermudah usaha kita untuk memperalat mereka. Bagaimana kita bisa hidup senang jika semua orang menjadi pintar?"

Biasanya, orang-orang yang punya tanggapan demikian sesudah selesai mengutarakan kata-katanya lalu tertawa terbahak-bahak. Mereka merasa bangga, dan membusungkan dada serta menganggap dirinya bijaksana. Pedih dan kecewa menghantam perasaan Dokter Wahidin jika bertemu dengan orang-orang berhati batu semacam itu. Sebagai seorang yang juga berasal dari desa, dan mendapat keberuntungan manjadi orang berpelajar, Dokter Wahidin semakin yakni bahwa penduduk desa itu perlu dibantu. Alih-alih untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari pun mereka masih harus berusaha setengah mati.

"Mungkin satu dua orang dapat aku bantu. Aku sekolahkan. Akan tetapi bagaimana dengan yang lain. Misalnya dari sebuah desa terdapat dua orang pemuda yang cerdas, dari sepuluh desa sudah ada dua puluh orang pemuda. Di seluruh wilayah Kesultanan Yogyakarta saja ada berapa desa? Belum lagi menghitung seluruh Pulau Jawa dan Madura," demikian pikir Dokter Wahidin. Pikiran membuat hatinya semakin resah. Lebih-lebih mengingat adanya suara-suara sumbang di kalangan orang-orang yang diharapkan pengertiannya.

Meskipun demikian Dokter Wahidin tidak jemu-jemunya menularkan buah pikirannya kepada kenalan-kenalannya.

"Cara yang paling baik, dan paling tepat untuk menolong mereka ialah menyelenggarakan dana belajar," demikian inti buah pikiran Dokter Wahidin yang selalu ia propagandakan.

Lambat laun di kota Yohyakarta yang menjadi semakin ramai itu, Dokter Wahidin mendapat beberapa orang teman yang benar-benar sehaluan. Di antara para pendukungnya terdapat lima orang tokoh masyarakat yang kuat. Mereka itu ialah R.M. Dwijosewojo, guru Sekolah Guru di Jetisharjo, R.M. Budiharjo, seorang bangsawan, R. Sosrosugondo, seorang bupati, Mas Wignyoharjo, wartawan dan anggota staf redaksi Mingguan Retnodhumilah, dan Pangeran Notodirojo dari Paku Alaman. Ditambah dengan Dokter Wahidin, terbentuklah Enam Serangkai.

Telah beberapa kali mereka berkumpul membicarakan pembentukan dana belajar. Enam Serangkai itu telah sepakat bulat.

"Masalah dana belajar kita semua sudah setuju. Yang harus kita pikirkan sekarang, dengan cara  bagaimana atau dengan jalan apa agar cita-cita yang baik ini bisa tersebar luas, dan diterima oleh masyarakat," demikian tanggapan Pangeran Notodirojo yang diucapkan sewaktu Enam Serangkai itu berkumpul.

"Memang itulah yang harus kita pikirkan," ujar R. Sosrosugondo, lalu tanyanya, "Bagaimana pendapat Dokter?"

"Kita coba dulu di lingkungan kita masing-masing. Itu tahap pertama," jawab Dokter Wahidin.

"Benar! Saya akan mencoba di lingkungan Paku Alaman," ujar Pangeran Notodirojo.

"Saya, tentu saja di kalangan para guru," sambung Dwijosewoyo bersemangat.

"Kita sudah maju selangkah. Tetapi mungkin masih ada cara lain. Misalnya anjuran atau ajakan yang bersifat umum melalui media massa," ujar Budiharjo seraya memandang Wignyoharjo.

"Ya benar!" sambut Wignyoharjo, lalu sambungnya, "Melalui Majalah Retnodhumilah kita bisa melakukan propaganda murah, dan luas jangkauannya. Kebetulan para pelanggan Retnodhumilah kebanyakan termasuk golongan yang mampu menjadi pendukung cita-cita kita."

"O, begitu?" sela Dokter Wahidin dengan nada gembira.

"Ya. Pada umumnya pegawai, termasuk guru-guru. Akan tetapi harap diketahui, keadaan staf redaksi Retnodhumilah sekarang ini masih kekurangan tenaga," jawab Wignyoharjo.

"Kalau begitu saya bersedia menyumbang karangan bersambung tentang masalah dana belajar," ujar Dokter Wahidin, dan sambungnya lebih lanjut," Saya rasa Dwijosewoyo dengan segala senang hati juga akan membantu."

"Waaah, belum apa-apa sudah dipastikan. Tetapi baiklah, akan saya coba," jawab Dwijosewoyo sambil tertawa.

"Terima kasih, terima kasih," sambut Wignyoharjo, dan segera disambungnya lagi," tetapi harapan yang lebih dari ingin saya sampaikan, terutama kepada Tuan Dokter Wahidin."

"Harapan apa?" tanya Dokter Wahidin.

"Bukan hanya sekedar sumbangan karangan. Akan tetapi langsung tenaga dan pikiran," jawab Wignyoharjo.

"Apa maksud, Tuhan?" lagi Dokter Wahidin bertanya.

"Supaya tidak kepalang tanggung. Kami, terutama saya pribadi ingin menyerahkan jabatan pemimpin redaksi Retnodhumilah."

"Kepada siapa?" sela Dokter Wahidin.

"Tentu saja kepada Tuan," jawab Wignyoharjo seraya tertawa. Yang lain pun turut tertawa.

Hanya Dokter Wahidin yang tidak tertawa. Beberapa saat lamanya Dokter Wahidin tampak berpikir. Semua mata tertuju kepadanya. Semua berharap Dokter Wahidin akan menerima permitaan tersebut. Suasana menjadi senyap beberapa saat. Ya, hanya beberapa saat, sebab segera terdengar suara tepuk tangan mengiringi jawaban singkat Dokter Wahidin, "Insya Allah"

"Terima kasih, Dokter," sambut Wignyoharjo seraya berdiri mengangsurkan tangannya menyalami Dokter Wahidin.

Pangeran Notodirojo, R. Budiharjo, R.M. Dwijosewoyo, dan R. Sosrosugondo pun berdiri memberi ucapan selamat, baik kepada Dokter Wahidin maupun Wignyoharjo.


IV. TUGAS RANGKAP

Dokter Wahidin Sudirohusodo semakin sibuk. Usahanya mengembangkan pencegahan dan pengobatan dengan ramuan-ramuan traidisional berjalan terus. Hasil-hasil penemuannya berupa ramuan-ramuan khusus untuk menjaga kesehatan tubuh agar tidak mudah terserang penyakit mendapat sambutan baik sekali dari masyarakat. Ia tetap patuh terhadap keputusan Dinas Kesehatan, dan tak pernah berusaha membela diri.

Sesuai dengan rencana, ke dalam Mingguan Retnodhumilah di hembuskan nafas baru. Jika isinya semula hanya berkisar pada berita kota, berita singkat antar daerah, kawat sejagat, uraian peristiwa internasional, berita pengadilan,  iklan, dan cerita bersambung, sekarang bertambah dengan karangan-karangan atau ulasan tentang keadaan kehidupan dan penghidupan masyarakat pedesaan.

Kadang-kadang karangan semacam itu disajikan dalam bentuk laporan perjalanan yang sangat menarik, dan menyentuh perasaan. Jika beberapa karangan senada telah dimuat berturut-turut dalam beberapa minggu, lalu muncullah sebuah tajuk atau karangan biasa yang sifatnya menyimpulkan.

"Jelas, sebagian besar keadaan rakyat Bumiputra baik dalam bidang kejiwaan maupun dari segi kesejahteraan kebendaan masih sangat buruk dan terlantar. Martabat mereka harus diangkat ke taraf yang lebih tinggi. Caranya tak lain ialah memberikan kepada mereka bantuan biaya sekolah. Oleh karena itu perlu segera didirikan suatu badan yang menyelenggarakan studi fonds, atau dana belajar," demikian inti kesimpulan yang disajikan.
Pada suatu ketika Dokter Wahidin mengadakan rapat staf redaksi. Tuan Buning selaku pemimpin perusahaan juga diundang. Sebagai pemimpin redaksi Dokter Wahidin ingin mengajukan suatu rencana untuk meningkatkan Retnodhumilah. Peningkatan mutu maupun jumlah peredarannya.

"Tuan Buning, dan Tuan-tuan anggota staf redaksi yang saya hormati. Saya mengundang Tuan-tuan karena ingin mengutarakan beberapa gagasan dan pemikiran, yang perlu kita bicarakan bersama," demikian Dokter Wahidin mengawali pembicaraan, dan kemudian sambunnya, "Dilihat dari segi isi maupun jumlah para pelanggannya, boleh dikatakan Retnodhumilah sudah bertambah maju. Meskipun demikian akan lebih baik jika kita mampu lebih meningkatkan lagi mutu maupun peredarannya."

Dokter Wahidin berhenti lagi sejenak, lalu bertanya, "Bagaimana tanggapan Tuan-tuan terhadap kemungkinan tersebut?"

"Begini. Sekarang ini Retnodhumilah merupakan mingguan, dan hanya menggunakan bahasa serta aksara Jawa. Ada gagasan saya untuk menerbitkannya dalam dua edisi. Yaitu edisi bahas Jawa beraksara Jawa, dan edisi bahasa Melayu dengan aksara Latin."

"Pada dasarnya saya sangat setuju," ujar Wignyosastro,

"Tetapi mohon dijelaskan dulu rencana selengkapnya."

"Baiklah. Pertama, edisi Jawa disajikan untuk masyarakat pembaca Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan edisi Melayu disajikan untuk masyarakat Jawa Barat serta daerah di luar Jawa. Dan yang kedua, dari mingguan kita tingkatkan menjadi dua kali seminggu."

"Gagasan yang," sambut salah seorang anggota redaksi.

"Jika pelanggan tambah banyak, diharapkan pemasukan akan meningkat, gagasan tentang dana belajar pun turut tersebar luar, bukan?" ujar Dokter Wahidin setengah berseloroh.

"Dan mudah-mudahan hal itu mendapat sambutan yang memuaskan," sambung Wignyoharjo.

"Tapi dari tadi Tuan Buning belum mengutarakan pendapatnya. Kita bisa berencana, akan tetapi pendapat pemimpin perusahaan akan sangat menentukan. Nah, bagaimana Tuan Buning?" tanya Dokter Wahidin.

"Pikiran yang baik sudah sewajarnya mendapat sokongan," jawab Burning seraya tertawa keras.

"Terima kasih, terima kasih! Dukungan Tuan Buning membuat kita merasa lega. Sekarang tentang penerbitannya. Jika Tuan-tuan setuju, saya memilih hari Rabu dan Sabtu."

"Mengapa tidak hari Senin dan Kamis saja?" tanya salah seorang anggota redaksi.

"Saya mengerti mengapa Tuan Wahidin mengusulkan hari Rabu dan Sabtu," sela Buning, lalu sambungnya, "Tetapi biarlah pemimpin redaksi sendiri yang menjelaskan. Silakan, Tuan Wahidin."

"Terima kasih, Tuan Burning. Tuan-tuan tentu maklum, hari Minggu itu hari libur. Di hari istirahat itu kami tidak ingin mengganggu Tuan-tuan. Jadi jelasnya, untuk setiap nomor mempunyai waktu dua hari persiapan dan penggarapan. Mungkin ada pertanyaan, mengapa tidak hari Selasa dan Jumat," Dokter Wahidin sedikit berkelakar.

"Tidak!" jawab kepada bagian percetakan.

"Dari bagian distribusi bagaimana?" tanya Dokter Wahidin.

"Untuk bagian kami tidak ada persoalan. Yang ada hanya suatu harapan. Peningkatan peredaran akan mengakibatkan peningkatan kerja. Sebagai suatu perusahaan, tentu saja hal itu diharapkan bisa meningkatkan pula keuntungan. Dan selanjutnya tak usah kami jelaskan."

Kata-kata terakhir dari bagian distribusi itu mendapat sambutan tepuk tangan dari kepala-kepala bagian yang lain.

"Mudah-mudahan," ujar Dokter Wahidin dengan senyum seraya melihat tuan Buning.

"Jika keuntungan perusahaan meningkat, sudah barang tentu saya harus tahu diri. Kita tunggu saja hasilnya dua tiga bulan mendatang," lalu tawanya pun berderai-derai.

"Terima kasih atas pengertian Tuan Buning. Mudah-mudahan rencana kita mendapat rido Tuhan Yang Mahaesa," demikian Dokter Wahidin menutup rapat tersebut.

Dua kali seminggu menerbitkan dua macam edisi. Yaitu edisi bahasa Jawa, dan bahasa Melayu. Jadi setiap minggunya Retnodhumilah terbit empat nomor. Dokter Wahidin, terdorong oleh kerinduannya untuk segera dapat mewujudkan dana belajar, semakin giat ia menulis. Bergantian dengan R.M. Dwijosewoyo, karangan-karangannya yang bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya dana belajar terus-menerus mengalir, terhidang dalam dua edisi.

Dengan ulasan-ulasan yang harus maupun yang tajam, hati dan perasaan kaum bangsawan dan hartawan selalu digelitik, dan diungkit-ungkit agar bangkit menolong sesama bangsanya yang miskin dan menderita. Lima tahun Dokter Wahidin mencurahkan tenaga dan pikirannya di Retnodhumilah, sampil ia jatuh sakit.

Benar, hingga tahun 1906 jumlah pelanggaran terus-menerus meningkat. Retnodhumilah sudah tersebar hampir di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Bahkan berhasil menyeberang ke Sumatra. Dari segi perusahaan memang berhasil. Kesejahteraan karyawan Retnodhumilah meningkat. Akan tetapi dari segi penyebaran cita-cita, Dokter Wahidin menilai usahanya telah gagal.

Tidak ada seorang pun pelanggan Retnodhumilah yang memberi tanggapan berupa dukungan terhadap gagasan penyelenggaraan dana belajar. Padahal sudah lima tahun cita-cita itu dipropagandakan. Semisal cinta, hanya bertepuk sebelah tangan. Kenyataan yang pahit itu hampir-hampir meruntuhkan semangatnya. Ia kecewa. Kecewa sekali terhadap bangsanya yang telah menjadi hartawan-hartawan besar. Tetapi sedikit pun tak ada ingatannya untuk membantu pemuda-pemuda berbakat berotak cerdas, yang dapat dibina menjadi tulang punggung kemajuan dan kesejahteraan masyarakat luas.

Kekecewaannya yang sangat mendalam itu seolah-olah telah melolosi tulang sungsumnya. Tubuhnya terasa lemah dan lemas. Pikirannya seperti digayuti beban yang tak tertanggungkan. Beberapa malam Dokter Wahidin tidak dapat tidur. Itulah yang mengakibatkannya jatuh sakit.

"Pak, sudahlah. Tak ada gunanya selalu memikirkan pikiran orang lain," ujar istri Dokter Wahidin, Anna, yang bijaksana serta halus perasaannya.

"Tetapi penyelenggaraan dana belajar harus terujud," jawab Dokter Wahidin dengan suara parau.

"Saya mengerti. Dan cita-cita Bapak itu memang harus terujud. Akan tetapi menurut pendapat saya, Bapak tak usah memikirkan pikiran orang lain. Lebih baik pikirkan cara lain, yang mungkin lebih tepat, dan lebih cepat membawa hasil."

"Teman-teman, bahkan Pangeran Notodirojo juga berpendapat demikian, Anna," jawab Dokter Wahidin.

"Ya, saya kira itulah yang paling baik."

"Terima kasih atas saranmu itu, Anna."

Anna tertawa lirih, lalu ujarnya, "Terima kasih itu seharusnya sudah Bapak ucapkan kepada teman-teman Bapak, terutama kepada Pangeran Notodirojo. Bukankah saya hanya sekadar mengulang apa yang telah beliau katakan?"

"Tetapi kalimat itu menjadi lain mereka lain nada dan pengaruhnya jika engkau yang mengucapkannya, Anna."

"Akh, Bapak ini ada-ada saja. Bapak jadi emosional, seperti orang muda saja."

Mendengar ucapan istrinya yang agak salah faham itu Dokter Wahidin yang masih sakit itu jadi bisa tertawa. Tertawa cerah. Lalu ujarnya lembut, "Bukan begitu, Anna! Dengan tulus dan rela engkau telah memberi keleluasaan padaku untuk teus berusaha serta mencoba berbagai cara dan jalan dalam mewujudkan cita-cita. Bagiku, Ketulusanmu itu lebih berharga dana belajar."

"Syukurlah," jawab istrinya singkat.

"Aku sadar, jika ingin terus berusaha harus ditempuh cara lain. Tetapi cara lain itu bagaimana?"

Mendengar pertanyaan suaminya, Anna berpikir. Ia ingin menyumbangkan pendapatnya. Beberapa saat lamanya dahinya tampak berkerut-kerut. Jelas Anna sedang merenungkan sesuatu. Lalu senyumnya yang manis mengambang sesuatu. Lalu senyumnya yang manis mengambang di sudut-sudut bibirnya yang mungil, kemudian ujarnya dengan suara lembut.
"Pak, ibarat orang tua yang berpisah dengan anak cucunya, jika menerima surat berita selamat dari si anak, tentu gembira bukan?"

"Tentu!" jawab suaminya tegas, akan tetapi agak bingung mendengar pertanyaan itu.

"Hanya dengan surat saja orang tua sudah merasa gembira. Nah, jika anak cucunya itu datang dalam keadaan sehat sejahtera, Pasti orang tua akan merasa lebih berbahagia. Benarkah pendapat Anna itu, Pak?"

"Benar. Surat, setelah selesai dibaca digeletakkan saja dalam laci. Mungkin tak pernah disentuh lagi. Sedangkan anak atau cucu yang datang, pasti dipeluk dan diciumi. Terus potong ayam, masak besar, dan ramai-ramai makan bersama. Sungguh bahagia," jawab suaminya yang benar-benar memaklumi makna yang tersirat dari kata-kata istrinya.

"Ya, begitulah. Mudah-mudahan pendapat saya ada manfaatnya," ujar Anna dengan senyum bahagia.

"Sekali lagi terima kasih, Anna. Sebagai perempuan, perasaanmu telah engkau manfaatkan dengan tepat sekali."

"Perempuan memang mengutamakan perasaan, baru kemudian menggunakan pikiran untuk mengambil keputusan."

"Laki-laki mengutamakan pikiran, baru kemudian menggunakan perasaan untuk menentukan langkah," jawab Dokter Wahidin seraya tersenyum.

Bertepatan waktu dengan mekarnya senyum itu perasaan Dokter Wahidin terasa lapang. Pikirannya yang semula bergayut terasa ringan. Yang kusut telah terurai berkat bantuan perasaan, dan dorongan yang tulus dari istrinya. Kesehatannya pun cepat pulih kembali.


V. MUHIBAH

Sesudah kurang lebih sepuluh tahun berkecimpung dalam media massa, bahkan lima tahun terakhir menjabat pemimpin redaksi Retnodhumilah, pada bulan November 1906 Dokter Wahidin Sudirohusodo meletakkan jabatan itu. Keputusan itu diambilnya dengan mantap. Berpisah dengan teman sejawat yang telah bekerja bersama selama bertahun-tahun memang berat. Akan tetapi penerusan perjuangan memanggilnya dengan cara yang lain.

Ketika kesehatannya sudah hampir pulih benar, Dokter Wahidin menyampaikan surat terbuka. Isinya ditujukan kepada semua pihak yang mempunyai hubungan dengan dirinya selaku pemimpin redaksi. Dengan rendah hati ia menulis, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

"Memberi tahu,

Saya memberi tahu Tuan-tuan langganan serta sekalian pembaca bahwa mulai dari ini hari saya minta berhenti dari pekerjaan saya menjadi Redacteur surat kabar Retnodhumilah, lantaran mana waktu ini saya sedang sakit yang sementara agak keras. Dari sebab itu saya harap dengan sebesar pengharapan, apalah kiranya tuan-tuan langganan dan sekalian pembaca serta tuan-tuan Redacteur dari surat-kabar yang telah suka berkenalan dengan Retnodhumilah di dalam saya memangku redacteur apabila ada kesalahan saya, sudilah memberi maaf dan sebanyak-banyak ampun.

Kemudian dari kehendaknya N.V. Voorh. Buning, seberhenti saya yang diwajibkan menjadi Redacteur ialah Mas Wignyohardjo Mede Redacteur s.k. ini."

Sudirohusodo

Mula-mula Tuan Buning dan wakil pemimpin redaksi Wignyoharjo sangat berkeberatan melepas Dokter Wahidin. Selama dipimpin oleh Dokter Wahidin kemajuan Retnodhumilah pesat sekali. Pengelolaan perusahaan yang baik memang menentukan maju mundurnya perubahan. Akan tetapi tanpa dukungan staf redaksi yang kuat serta pemimpin redaksi yang tangguh, sulitlah perusahaan suratkabar dapat maju. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Buning berusaha membujuk Dokter Wahidin Sudirohusodo.

"Sementara Tuan masih sakit, biarlah pimpinan dipegang oleh Tuan Wignyo. Akan tetapi Tuan tidak usah meletakkan jabatan," demikian antara lain bujuk Tuan Buning.

"Maaf, Tuan Buning. Rencana saya sudah bulat. Setelah kesehatan saya benar-benar pulih, saya akan melakukan perjalanan keliling," jawab Dokter Wahidin.

"Bukankah perjalanan itu hanya untuk sementara waktu saja? Dan sebagai Hoofd Redacteur, perjalanan Tuan dapat dibiayai perusahaan," Buning masih mencoba mendesak.

"Saya ingin mencurahkan segenap perhatian saya pada pembentukan dana belajar. Memang, saya dapat memanfaatkan biaya perusahaan. Akan tetapi hal itu akan sangat tidak seimbang dengan sumbangan saya kepada perusahaan. Dan itu tidak enak buat saya."

"Tuan tidak usah berpikir seperti itu," desak Buning.

"Dengan sejujurnya saya tidak sanggup menerimanya, Tuan Buning. Sekali lagi saya mohon maaf."

Demikian sekelumit percakapan antara Tuan Bunning dengan Dokter Wahidin Sudirohusodo sebelum suratnya dimuat dalam Retnodhumilah. Tuan Buning akhirnya terpaksa mengalah. Dan ketika surat tersebut sampai ke hadapan pembaca, Dokter Wahidin sudah siap dengan rencananya.

Surat Dokter Wahidin Sudirohusodo tersebut dimuat dalam suratkabar Retnodhumilah pada tanggal 7 November 1906. Sebulan kemudian, tepatnya pada penerbitannya tanggal 8 Desember 1906, Retnodhumilah telah memuat berita perjalanan muhibah Dokter Wahidin ke beberapa kota di Jawa Tengah. Ke kota mana dan berapa hari perjalanan Dokter Wahidin itu, tidak diberitakan secara terperinci.

Kemudian pada penerbitan tanggal 9 Maret 1907 perjalanan muhibah Dokter Wahidin diberitakan lagi. Masih di Jawa Tengah. Yang dikunjungi ialah Purwokerto, Karanganyar, Surakarta, Magelang, Temanggung, Purworejo, Semarang, dan kota-kota kecil di sekitarnya.

Mungkin timbul suatu pertanyaan, dari mana Dokter Wahidin mendapatkan biaya untuk perjalanan muhibahnya itu. Untuk masa sekarang barangkali pertanyaannya akan lain. Mungkin akan terucap, "Siapa sponsornya?" Atau, "Siapa cukongnya?" Inilah yang hebat. Dokter Wahidin membiayai perjalanan muhibahnya dengan uangnya sendiri. Padahal cita-cita yang ia propagandakan itu bukan untuk kepentingan pribadi. Cita-citanya ialah untuk mengangkat martabat masyarakat. Tegasnya, untuk pemuda-pemuda melarat yang cerdas dan berbakat. Pemuda-pemuda yang tidak ia kenal, dan tidak mengenalnya.

Oleh karena itu Dokter Wahidin harus berhemat. Kalau naik kereta api ia memilih keras ekonomi. Yang murah. Padahal mengingat kedudukannya sebagai dokter, serta usianya yang sudah agak lanjut, sepantasnya ia naik kelas utama. Namun nyatanya ia tidak segan-segan untuk duduk di kursi yang keras dalam hiruk pikuknya penumpang, berbaur dengan para penjaja makanan yang hilir mudik tiada henti-hentinya. Dengan demikian Dokter Wahidin telah mengorbankan kewibawaan, kehormatan, harta serta tenaganya. Juga waktu.
Setelah selesai mengunjungi beberapa kota di Jawa Tengah, beberapa kota di Jawa Barat mendapat giliran kedua. Di Jawa Barat kota-kota yang dikunjungi ialah Rangkasbitung, Pandeglang, Serang, Bogor, Bandung, dan kemudian Jakarta, yang pada waktu itu bernama Batavia atau Betawi. Jika ia tiba di suatu kota, mula-mula ditemuinya penguasa setempat. Yaitu gubernur, residen, bupati atau wedana. Pertama-tama ia memperkenalkan diri, dan kemudian menjelaskan maksud kedatangannya.

Dalam menemui para penguasa setempat, ia mendapatkan berbagai pengalaman. Berbagai perangai pembesar ia temukan. Baik pembesar Belanda dari gubernur sampai residen, maupun pembesar sesama bangsa dari bupati sampai wedana. Ada juga di antara mereka yang ramah. Tanpa terlalu banyak ini itu, si penguasa setempat memberikan bantuannya. Akan tetapi tidak sedikit yang bersikap acuh tak acuh, meremehkan, ada pula yang sombong, dan tidak jarang sikap serta ucapan-ucapan pembesar yang menyakitkan hati.

Pengalaman pahit getir diterimanya dengan sabar dan lapang dada.

"Tuan Dokter, aku mau membantu, tapi dengan satu syarat," ujar salah seorang residen yang pernah ditemui Dokter Wahidin.

"Syaratnya apa, Tuan? Sekiranya dapat saya penuhi, saya akan memenuhinya dengan segala senang hati."

"Sembahlah saya tiga kali. Maka Tuan akan saya bantu," jawab residen dengan angkuhnya.
Darah Dokter Wahidin agak mendidih juga mendengar syarat itu. Ia berpikir sejenak," Saya penuhi, atau tidak?"

Sekilas ia teringat akan ungkapan yang amat terkenal di kalangan masyarakat Jawa, ialah "Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti," yang berarti: Keberanian dan kewenangan serta kejayaan dunia lebur oleh ketawakalan kepala Yang Mahaesa.


Sejalan dengan pikirannya, Dokter Wahidin lalu menekuk lututnya. Kedua telapak tangannya dirapatkan. Melihat sikap Dokter Wahidin seperti itu residen pun terkejut.

"O, jangan, jangan," ujarnya tergopoh-gopoh seraya mengangkat Dokter Wahidin, kemudian sambungnya, "Saya tidak bersungguh-sungguh. Harap Dokter suka memberi maaf."

"Jadi Tuan bersedia membantu?" tanya Dokter Wahidin lembut.

"Ya, ya. Dokter saya bantu," jawab Residen. Lalu ia segera mengundang tokoh-tokoh masyarakat para hartawan setempat, dan para pejabat sesuai dengan permintaan Dokter Wahidin.

Setelah para undangan berkumpul, Dokter Wahidin mulai mengutarakan maksudnya. Apa yang telah ditulis di Retnodhumilah ia paparkan lagi dengan lebih gamblang kepada hadirin. Kemudian diadakan tanya jawab. Dokter Wahidin berusaha keras meyakinkan akan pentingnya membantu pemuda desa yang cerdas tapi melarat. Akan tetapi terbawa oleh perasaannya yang halus, tak pernah ia secara langsung minta kepada hadirin untuk mencatatkan namanya sebagai penyokong dana belajar. Dengan sabar ia menunggu saja kesadaran dan keikhlasan para pegawai, para bangsawan, dan para hartawan yang telah ditemuinya.

Akan tetapi setelah beberapa lama menunggu, tak seorang pun mencatatkan namanya ke redaksi Retnodhumilah. Dari Jawa Tengah maupun Jawa Barat sepi-sepi saja. Sekali lagi Dokter Wahidin kecewa terhadap sesama bangsanya. Apakah dengan demikian ia lalu putus asa? Tidak. Ia masih tetap akan melaksanakan kunjungan muhibahnya ke Jakarta. Di Jakarta ia tidak akan menemui gubernur jenderal, gubernur, residen, bupati maupun wedana, untuk minta bantuan seperti biasanya.

Kini, yang akan diminta bantuannya ialah seorang direktur sebuah sekolah. Sekolah yang mendidik pemuda-pemuda Indonesia untuk dijadikan dokter. Sekolah itu didirikan pada tahun 1851 dengan nama Sekolah Dokter Jawa. Lama pendidikan di Sekolah Dokter Jawa itu mula-mula hanya dua tahun. Kemudian meningkat menjadi tiga tahun, lalu tujuh tahun. Pada tahun 1900 nama Sekolah Dokter Jawa atau Dokter Jawa School dirubah menjadi STOVIA, singkatan dari School of Opleiding van Inlandsch Arts. Lama pendidikan menjadi sembilan tahun.

Dokter Wahidin pun dulu belajar di STOVIA. Yaitu dari tahun 1870 sampai 1873. Kemudian ia menjadi pembantu guru sampai tahun 1890, sebelum kembali ke Yogyakarta. Akan tetapi pada waktu Dokter Wahidin tinggal selama dua puluh tahun di situ, keadaan sekolah itu sangat berbeda. Keadaannya tidak lebih dari beberapa buah barak Rumah Sakit Militer yang disulap menjadi ruang belajar dan asrama.

Tujuh belas tahun lamanya Dokter Wahidin tidak melihat bekas sekolahnya. Ia tinggalkan pada tahun 1890. Kemudian kembali pada tahun 1907.Tampak telah banyak kemajuan yang dicapai. Kini yang tampak adalah sebuah gedung yang kokoh berbentuk huruf O, dibangun di atas tanah seluas satu setengah hektar lebih. Di tengah terdapat sebuah aula yang dapat menampung tiga sampai empat ratus orang dengan sebuah panggung permanen. Dilenkapi dengan gudang, dapur, tempat berhias, dan beberapa kamar mandi. Di belakang aula terdapat sebuah ruang senam dan olah raga. Bagian depan berderet dari selatan ke utara ialah, empat ruang kelas, terbuka, sebuah ruangan untuk menyimpan peralatan praktikum, ruang tata usaha, lorong gerbang depan, ruang para guru, ruang direktur, ruang sekretariat direktur, empat ruang kelas terbuka, dan di sudut utara menganatomi.

Ruang yang berhimpit dengan ruang anatomi membujur ke barat, ialah ruang tidur untuk para pelajar yang masih duduk di tingkat persiapan. Sedangkan ruang yang berada di sebelah selatan diperuntukkan bagi para pelajar tingkat kedokteran. Ruang belakang yang juga membujur arah utara selatan, sebagian dipergunakan untuk kelas, sebagian untuk perpustakaan sekolah. Di antara ruang kelas dan perpustakaan terdapat beberapa kamar mandi dan kamar kecil.

Demikianlah gambaran sepintas kilas tentang Gedung Stovia, yang pembangunannya selesai pada akhir tahun 1901. Pembangunannya tidak sepenuhnya dibiayai Pemerintah Hindia Belanda. Gedung itu baru selesai dibangun setelah terkumpul sumbangan dari masyarakat sebesar 178.000 gulden. Dan sumbangan itu terkumpul berkat usaha keras Dokter H.F. Roll. Dia pulalah yang dengan gigih memperjuangkan peningkatan Sekolah Dokter Jawa menjadi Stovia.

Dengan pakaian yang khas, belangkon, baju surjan gaya Yogyakarta, berkain panjang dan berselop, Dokter Wahidin menyusuri Hospitalweg, yang sekarang bernama Jalan Dr. Abdulrahman Saleh. Dengan perasaan kagum ia memasuki gerbang Gedung Stovia. Setelah melewati lorong gerbang, secara kebetulan ia menoleh ke kanan. Di papan penunjuk yang terpampang di atas pintu kedua tertulis: Direktur. Ia segera menuju ke sana.
Dokter H.F. Roll, Direktur Stovia pada waktu itu menerima Dokter Wahidin dengan ramah di ruang kerjanya.

"Ooo! Tuan pernah belajar dan mengajar di sini selama dua puluh tahun?" ujar Dokter Roll menanggapi cerita Dokter Wahidin dengan nada gembira.

"Benar. Oleh karena itu saya merasa rindu akan tempat ini, meskipun suasananya telah berubah. Saya pun mendengar bahwa gedung yang megah ini dibangun atas jasa Tuan. Sungguh mengagumkan?" jawab Dokter Wahidin memuji.

"Akh, Tuan Wahidin terlalu memuji. Saya hanya sekedar mengumpulkan sumbangan dari para dermawan."

"Tetapi tan Tuan, usaha itu tidak akan terujud. Buktinya, saya sendiri. Beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat telah saya kunjungi. Ratusan orang telah saya ajak bicara. Bahkan bertahun-tahun saya propagandakan lewat suratkabar. Sampai sekarang hasilnya nihil."

"Usaha apa yang Tuhan Wahidin jalankan?" tanya Dokter Roll penuh minat.

"Saya ingin membentuk dana belajar, Tuan Roll."

"Dana belajar?" ulang Dokter Roll, lalu sambungnya, "Untuk siapa?"

Secara ringkas namun jelas Dokter Wahidin memaparkan gagasan yang kemudian berkembang menjadi idam-idamannya untuk membentuk dana belajar. Dipaparkan juga apa yang telah ia lakukan untuk mencapai idam-idamnya. Namun ternyata hasilnya nihil.

"Tuan Wahidin. Menurut pendapat saya, Tuan bukannya gagal. Hanya belum berhasil. Itulah pendapatku," ujar Dokter Roll seperti menghibur. Nadanya melegakan hati Dokter Wahidin. Dan seolah-olah sengaja memberi jalan untuk mengutarakan maksud kedatangannya.

"Terima kasih, Tuan Roll. Tuan telah memberi semangat kepada saya."

"Saya sangat menghargai usaha dan cita-cita Tuan. Dan apa yang bisa saya lakukan, akan saya lakukan untuk membantu Tuan."

Mendengar kata-kata Dokter Roll, perasaan Dokter Wahidin seperti menggelegak karena haru. Air matanya mengambang hampir-hampir titik karena gembiranya. Sungguh tak terbayangkan sama sekali bahwa Direktur Stovia akan begitu ramah, dan penuh pengertian.

"Tuan Roll, saya benar-benar seperti mendapat durian runtuh," ujar Dokter Wahidin membuka kembali percakapan setelah beberapa saat lamanya terdiam karena haru.

"Utarakanlah apa yang Tuan Wahidin kehendaki. Tak usah ragu-ragu," Dokter Roll memberi kesempatan.

"Saya ingin memaparkan gagasan dan cita-cita saya kepada para belajar Stovia," jawab Dokter Wahidin.

"Kapan?" tanya Dokter Roll singkat dan mantap.

"Waktunya saya serahkan kepada kebijaksaan Tuan. Kapan saya saya bersedia."

"Berapa hari rencana Tuan tinggal di sini?"

"Rencana kami lima hari."

"Kalau begitu, Tuan tidak datang seorang diri?"

"Benar, saya datang bersama istri, yang sekaligus menjenguk orang tua," jawab Dokter Wahidin.

"Ooo, kalau begitu Tuan Wahidin mempersunting gadis Batavia," ujar Dokter Roll seraya tertawa.

"Ya, benar. Gadis Kwitang."

"Begini. Saya pernah membaca sebuah peribahasa yang berbunyi, niat baik cepat-cepatkan, niat buruk tangguh-tangguhkan. Bagaimana kalau secepatnya saja kita adakan?"

"Seperti saya katakan tadi, kapan saja saya bersedia," jawab Dokter Wahidin.

"Petang nanti pukul lima. Saya pun ingin hadir. Bagaimana?"

"Baik. Kalau begitu saya mohon diri dulu," jawab Dokter Wahidin seraya berdiri dari tempat duduknya. Keduanya lalu bersalaman.

Ketika Dokter Wahidin hendak meninggalkan Gedung Stovia, ia berhenti sejenak di pintu gerbang. Dadanya terasa lapang, mengembang penuh harapan. Benih cita-citanya akan disemaikan di dada generasi muda. Generasi muda harapan bangsa. Oleh karena itu ia tidak mau kehilangan kesempatan. Terbawa oleh hatinya yang ria, terik matahari yang menyengat kulit seolah-olah tak terasa oleh Dokter Wahidin.


VI. MEREKAH

Tak seorang pun berjalan begitu tegap, jika bukan tujuannya yang tegas. Demikianlah gambaran Dokter Wahidin Sudirohusodo ketika lima jam kemudian telah kembali melangkahi pintu gerbang Gedung Stovia. Saat itu pukul setengah lima sore. Dua orang pemuda berpakaian Jawa datang menyongsong. Yang seorang berumur sembilan belas tahun. Yang seorang lagi dua puluh satu tahun. Mereka adalah pelajar Stovia tingkat tiga, Sotomo dan Suraji.

"Selamat sore, dan selamat datang, Pak," sambut keduanya hampir bersamaan, lalu berganti-ganti bersalaman.

"Selamat sore, Nak," jawab Dokter Wahidin sambil berjabat tangan dengan senyum merekah.

"Silakan langsung ke aula. Sebentar lagi Dokter Roll pasti datang," ujar Sutomo menjelaskan.

"Ooo, baiklah? Marilah kita tunggu," ujar Dokter Wahidin. Lalu ketiganya berjalan menuju ke aula.

"Selamat sore, Anak-anakku sekalian," sapa Dokter Wahidin ketika memasuki aula.

"Selamat sore," sambut para belajar yang berjumlah sekitar empat puluh orang.

Sudah sepantasnya Dokter Wahidin menyapa mereka dengan penggilan anak-anakku, karena mereka rata-rata berumur sekitar dua puluh tahun. Dokter Wahidin sendiri pada waktu itu sudah berumur lima puluh satu tahun. Jadi perbandingannya memang seperti anak dengan ayah.

Sementara menunggu Dokter Roll, Dokter Wahidin bercakap-cakap dengan beberapa orang pelajar. Khususnya dengan Sutomo dan Suraji.

Tak lama kemudian Dokter Roll pun datang. Dokter Wahidin menyongsong ke luar aula.

"Selamat sore," sambut Dokter Wahidin.

"Selamat sore. Maaf, saya agak terlambat. Sudah lama tuan menunggu?"

"Akh, belum begitu lama," jawab Dokter Wahidin hormat.

"Baiklah. Mari kita mulai saja. Pertama-tama saya ingin memperkenalkan Tuan kepada para pelajar."

"Baiklah, silakan!" jawab Dokter Wahidin singkat.

"Anak-anak sekalian. Sore ini kita mendapat kehormatan menerima seorang tamu jauh, yaitu dari Yogyakarta. Tamu kita adalah Tuan Dokter Wahidin," demikian kata-kata pembukaan Dokter Roll. Kemudian dijelaskan pula bahwa Dokter Wahidin adalah lulusan Sekolah Dokter Jawa, dan pernah menjadi pengajar pembantu selama tujuh belas tahun.

Kepada tamunya Dokter Roll memberi penjelasan demikian," Tuan Wahidin, yang berkumpul di ruang ini adalah anak-anak dari tingkat dua dan tiga. Anak tingkat satu tidak saya ikut sertakan karena kemungkinan besar mereka belum dapat menangkap apa yang akan Tuan kemukakan. Anak-anak tingkat empat, lima, dan enam pun tidak saya ikut sertakan. Mereka sedang menghadapi pelajaran-pelajaran yang semakin berat. Itulah sebabnya."

Dokter Wahidin mengangguk-angguk tanda mengerti. Dalam hati ia memuji kebijaksanaan Dokter Roll.

"Nah, sekarang, sebelum kita mempersilakan tamu kita memaparkan segala sesuatu kepada kalian, terlebih dulu kalian memperkenalkan diri." Dokter Roll berhenti sejenak, lalu sambungnya, "Satu persatu berdiri, mulai dari belakang. Sebutkan nama, dan tempat kelahiran."

"Sukarjo dari Purworejo, Suroyo dari Madiun, Gumbrek dari Kedu. Agusjam dari Madiun, Mohajir dari Tuban, Ramlan dari Semarang, Mohammad Saleh dari Salatiga, P.L. Augustin dari Ambon, A.B. Andu dari Manado, J.A. Latumeten dari Ambon, Sumantri dari Purworejo, Budiarjo dari Jepara, Suleiman dari Purworejo, Slamet dari Purworejo. Chaidlir Anwar dari Kotagadang, Angka dari Banjarnegara, Ismangil dari Kediri, Hamimzar dari Garut, Mohammad Stambul dari Kudus, J.B. Sitanala dari Ambon, Abdul Rasyid dari Padang, D.M Pesik dari Amurang, Dayat dari Sumedang, Budoyo dari Wonosobo, Sumitro dari Purwokerto, Mohammad Yusuf dari Batavia, Purwo Suwarjo dari Semarang, Mohammad Syaaf dari Bukittinggi, Wiknyo Sudomo dari Kediri, Susilo dari Bojenegoro, Suwardi dari Purwodadi, Jenal Asikin dari Manonjaya, Gondosumeno dari Yogyakarta, Aziel Hazman dari Bukit tinggi, Ahmad Saleh dari Padang, Diran dari Solo, Sumitro Hadibroto dari Semarang, Yoso Sutomo dari Solo, A. Lumanow dari Tondano, Rutap dari Kotagadang, Suleiman dari Banyumas, Kodiyat dari Muntilan, Ramelan Tirtohusodo dari Madiun, Arifin dari Kota Sungai, Gunawan Mangunkusumo dari Jepara, Sutomo dari Bangil, Suraji dan Madiun," demikian mereka telah menyebutkan namanya masing-masing serta tempat kelahirannya.

"Bagus!" seru Dokter Roll setelah para pelajar selesai menyebutkan nama dan tempat kelahirannya. Lalu sambungnya, "Sekarang marilah kita dengarkan baik-baik, apa yang diutarakan oleh Tuan Wahidin. Menurut pendapat saya sangat penting untuk kalian ketahui. Tuan Wahidin, silakan!"

Mula-mula Dokter Wahidin menyatakan rasa terima kasihnya kepada Dokter Roll atas kesempatan yang diberikan kepadanya. Kemudian mulailah ia bercerita. Ceritanya dimulai ketika ia terpaksa menghentikan prakteknya karena pencabutan Izin Praktek dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Lalu mengenai usahanya mengembangkan pengobatan tradisional. Bagaimana ia pergi ke desa-desa, melihat, dan merenungkan kehidupan dan penghidupan masyarakat desa. Bagaimana ia bergaul dengan pemuda-pemuda desa, yang ia paparkan dalam surat-kabar Retnodhumilah. Bagaimana ia memanfaatkan Retnodhumilah sebagai sarana propaganda. Bagaimana pengalamannya selama melakukan perjalanan muhibah ke Jawa Tengah dan Jawa Barat, semua dituturkan secara singkat namun jelas.

Gaya tuturnya yang sabar tenang, dan berirama membuat Dokter Roll dan para belajar terpukau kagum. Tumbuh perasaan hormat sertu haru. Namun tersentuhnya perasaan para pelajar tentu saja bertingkat-tingkat. Ada yang merasa tersentuh keras, dan ada yang hanya sekilas. Ada yang terkesan mendalam, tetapi ada yang cuma temaram. Ada yang hatinya berdesir, tetapi tak sedikit yang menerimanya bagai angin semiliar.

"Anak-anakku yang berbahagia," demikian ucapan Dokter Wahidin ketika hampir sampati pada akhir paparannya, lalu dokter itu bertanya, "Mengapa saya katakan, Anak-anakku yang berbahagia?"

Sejenak senyap, tiada jawaban. Kemudian Dokter Wahidin menyambung, ujarnya, "Berbahagia karena kalian merupakan sebagian kecil dari pemuda-pemuda yang sempat mengenyam pendidikan tinggi di Sekolah Dokter ini."

Beberapa pelajar mengangguk-angguk, dan Dokter Wahidin berkata lebih lanjut, "Masih ribuan pemuda, di desa-desa maupun di kota tak mempunyai kesempatan seperti kalian. Sebabnya ialah karena mereka miskin. Sangat miskin. Tidakkah kalian iba kepada mereka?"

Dokter Wahidin berhenti lagi beberapa saat. Pandangan matanya menyapu wajah-wajah di hadapannya.

"Saya yakin, kalian merasa iba. Akan tetapi iba saja tidaklah cukup. Kita, harus mengangkat mereka dari jurang penderitaan dan lembah kebodohan. Di awal uraian saya, sudah saya kemukakan bahwa saya sangat mengidam-idamkan terbentuknya dana belajar buat mereka. Meskipun demikian apa yang saya idam-idamkan tadi tidak menutup kemungkinan lain. Maksud saya, cara lain yang mungkin lebih baik. Dan saya yakin bahwa Anak-anakku yang berbahagia ini akan memikirkannya. Sekian, dan terima kasih." Dokter Wahidin lalu duduk kembali diiringi tepuk tangan para pelajar serta Dokter Roll.

"Barangkali ada pertanyaan?" tanya Dokter Roll seraya berdiri.

Para pelajar semua diam. Hanya Sutomo tampak berbisik-bisik kepada Suraji. Suraji mengangguk. Rupanya menyetujuinya usul Sutomo. Lalu Sutomo mengangkat tangan kanannya.

"Kamu ada pertanyaan? Bertanyalah!" ujar Dokter Roll tersenyum sambil memandang Sutomo.

"Bukan pertanyaan, melainkan sebuah permohonan," jawab Sutomo.

"Ajukanlah! Jangan ragu-ragu," ujar Dokter Roll.

"Bolehkah kami berdua mengantar Pak Wahidin pulang?"

"Mengapa tidak!?" jawab Dokter Roll setengah bertanya setengah mendorong. Kemudian ujarnya kepada Dokter Wahidin," Kedua anak itu rupanya ingin benar mengantar Tuan pulang. Bolehkah?"

Senyum arif mengembang di bibir Dokter Wahidin, lalu ujarnya, "Terima kasih banyak. Terima kasih banyak. Mengapa tidak?"

Melihat sorot mata Sutomo dan Suraji, Dokter Wahidin maklum bahwa kedua pemuda itu ingin mengajukan beberapa pertanyaan. Akan terapi tampaknya mereka merasa segan terhadap Dokter Roll.

"Tuan Roll, sekali lagi saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan Tuan. Mungkin lain waktu saya masih akan mengganggu lagi," ujar Dokter Wahidin ketika minta diri.

"Kalau begitu, selamat jalan, sampai berjumpa lagi," jawab Dokter Roll, lalu keduanya bersalaman.

Para pelajar yang lain juga sudah keluar dari aula. Mereka masih berdiri berkelompok di depan aula memandangi kepergian Dokter Wahidin.

"Aku pun sebenarnya ingin turut," ujar Gunawan kepada salah seorang temannya yang berdiri di sampingnya.

"Mengapa tadi diam saja?" temannya bertanya.

"Malu kepada direktur. Jangan-jangan tidak diijinkan,'kan malu," jawab Gunawan berterus terang.

Dalam pada itu Dokter Wahidin beserta kedua pengiringnya sudah sampai ke rumahnya di Kwitang. Antara yang tua dan yang muda cepat menjadi akrab. Lebih-lebih Sutomo. Dokter Wahidin terasa seperti mengisi sesuatu yang kosong dalam jiwa Sutomo. Ada suatu harapan bersemi di hatinya. Harapan terhadap apa? Belum jelas. Akan tetapi Sutomo memang ingin sekali memperoleh sesuatu dari Dokter Wahidin. Ia pun berharap dapat mencurahkan segenap perasaannya kepada Dokter Wahidin.

"Jangan menggunakan panggilan Pak Dokter kepadaku. Sebut saja Pak Wahidin, supaya lebih akrab," tukar Dokter Wahidin ketika Sutomo berusaha membuka percakapan.

"Terima kasih, Pak," jawab Sutomo dan Suraji serempak.

"Dengan sejujur-jujurnya saya ingin menceritakan perikehidupan saya selama belajar di Stovia, dan kemudian ingin mendapat nasihat Pak Wahidin," ujar Sutomo.

"Ceritakanlah!" jawab Dokter Wahidin singkat.

"Dulu, barangkali saya ini merupakan contoh yang paling tepat dari pelajar yang sangat tidak terpuji."

"Mengapa begitu?"

Sutomo lalu berkisah, bagaimana ia sebagai pelajar yang serampangan, pemalas, suka nyontek, sombong, nakal, suka berkelahi, hingga pelajarannya sangat mundur. Bahkan setelah merasa bahwa dirinya tidak akan naik klas, belum juga mau berubah kelakuannya yang buruk. Lebih buruk lagi, ia sama sekali tidak mengindahkan nasihat guru maupun orang tua.

"Tapi sekarang tidak lagi, bukan?" sela Dokter Wahidin.

"Benar. Saya berubah sejak dua tahun sebelum ayah meninggal," jawab Sutomo dengan suara sedih.

"Okh, jadi Nak Tom sudah tidak mempunyai ayah lagi ?" tanya Dokter Wahidin dengan nada terkejut.

Sutomo lalu berkisah lagi. Semula ia terlampau dekat dengan kakeknya, dan renggang dengan ayahnya. Akan tetapi kemudian hubungan dengan ayahnya membaik. Bahkan bersemi rasa saling hormat menghormati. Dalam beberapa hal ayahnya merasa memperoleh teman. Misalnya dalam hal-hal yang belum dimengerti oleh orang kebanyakan akan maksud dan tujuan beberapa tindakan ayahnya. Di lain pihak Sutomo pun sadar bahwa ayahnya menaruh harapan besar kepadanya.

Keadaan tersebut sangat menggembirakan hatinya, menimbulkan harapan yang cerah bagi perkembangan keluarganya. Dan sejak itu berubahlah sikap hidupnya. Jika semula ia merasa sebagai murid yang tidak mempunyai kemampuan belajar, akhirnya ia lalu sabar. Sabar bahwa ia sebenarnya mampu dan tidak perlu kalah dengan murid-murid lain yang naik klas dengan pujian. Hal itu disebabkan karena timbulnya kepercayaan pada diri sendiri.
Bersamaan dengan timbulnya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri, ia pun mulai berusaha menolong teman-temannya yang lemah. Ia berusaha membangkitkan semangat belajar dan percaya kepada diri sendiri kepada teman-teman sekelasnya. Bila ada ulangan, Sutomo tidak cepat-cepat keluar klas meskipun pekerjaannya telah selesai. Ia tetap duduk dengan tenang di dalam klas menunggu teman-temannya yang belum selesai. Maksudnya agar teman-temannya merasa tidak berkecil hati. Sikap tersebut membuat teman-temannya menaruh hormat. Perkataan dan pertimbangan-pertimbangannya diturut dan dihargai. Seolah-olah Sutomo telah menjadi pemimpin di antara mereka.

"Dalam keadaan yang penuh dengan cita-cita yang tinggi itulah secara tiba-tiba dan tidak dan tidak disangka-sangka saya menerima telegram. Ayah meninggal dunia pada tanggal 28 Juli 1907," demikian ujar Sutomo dengan suara sendu.

"Nak Tom putra yang keberapa?" tanya Dokter Wahidin.

"Saya anak sulung, Pak."

"Sebagai putra sulung, Nak Tom harus sadar akan kedudukannya. Nak Tom harus mampu menempati dan menetapi kewajiban, memberi tuntunan dan teladan bagi adik-adik Nak Tom," demikian nasehat Dokter Wahidin yang diucapkan dengan suara lemah lembut.

Nasihat tersebut benar-benar meresap ke dalam sanubari Sutomo. Cara hidupnya semakin teratur dan cermat. Sedikit demi sedikit ia menyisihkan uang tunjangan yang diterima dari pemerintah. Setiap pengeluaran selalu disesuaikan dengan kemampuan yang ada padanya. Dengan demikian untuk membeli berbagai keperluan ia tidak perlu lagi mengharap bantuan uang dari rumah. Sutomo hemat dan cermat dalam pengeluaran uangnya, akan tetapi sama sekali tidak pelit. Hal tersebut diutarakannya kepada Dokter Wahidin dalam percakapan malam itu.

"Saya hemat, akan tetapi saya tidak pelit, Pak Wahidin," ujar Sutomo.

"Syukur, itu sangat baik," kemudian sambungnya,

"Khususnya dalam hubungannya dengan pembentukan dana belajar," ujar Dokter Wahidin seraya tertawa renyah.

"Bapak tak usah khawatir. Saya akan bekerja keras membantu cita-cita Bapak," jawab Sutomo.

"Saya pun akan turut membantu," ujar Suraji yang sejak tadi diam saja.

Suraji memang pendiam. Akan tetapi justru karena pendiamnya itu ia menjadi kawan baik Sutomo. Mengapa bisa begitu? Sejak ayahnya meninggal dunia, hubungan antara Sutomo dengan teman-temannya menjadi renggang. Bukan teman-temannya yang menjauhinya, akan tetapi Sutomo sendiri yang secara  sadar menjauh dari teman-temannya. Ia khawatir akan mengganggu teman-temannya yang sedang bergembira, sedang wajahnya sendiri sedih dan selalu murung. Dengan wajah sedih dan selalu murung ia merasa, bahwa bukan tempatnyalah ia berada di tengah-tengah teman-temannya. Lebih baik ia berkawan dengan sepi. Begitulah pikirnya. Teman-temannya juga tidak pernah mengganggunya. Dibiarkannya Sutomo berkawan dengan sepi, berakrab dengan bulan dan bintang-gemintang. Hanya Surajilah yang tekun dan sabar yang berhasil menemaninya.


VII. BERDIRINYA BUDI UTOMO

Pukul sembilan malam Sutomo dan Suraji baru pulang ke asrama. Beberapa orang anak, teman-teman sekelasnya, masih menunggu kedatangannya. Mereka duduk-duduk di serambi depan kamar tidur mereka.

"Lama benar kalian pergi. Apa yang kalian bicarakan?" tanya salah seorang di antara mereka.

"Waaah, asyik sekali bercakap-cakap dengan Dokter Wahidin. Besar sekali manfaatnya bagi kita," jawab Sutomo tenang.

"Misalnya?" tanya Gunawan.

"Dokter Wahidin Sudirohusodo berharap agar kita menjadi tunas-tunas muda yang bersemangat menyala, yang dapat menghilangkan perasaan dan tujuan yang terbatas."

"Terbatas bagaimana?" Gunawan mendesak.

"Terbatas artinya, sempit. Hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, dan tidak pernah mau memikirkan kepentingan orang lain," jawab Sutomo.

"Menjadi tunas-tunas muda yang bersemangat menyala, yang dapat menghilangkan perasaan dan tujuan yang terbatas," dengan kepala mengangguk-angguk dan suara perlahan Gunawan mengulang ucapan Dokter Wahidin, lalu ujarnya dengan suara agak keras, "Sebuah pesan yang bagus dan menggairahkan. Nah, cukup sekian dulu. Aku sudah mengantuk. Pesan itu akan kubawa dalam tidurku agar meresap ke dalam tulang sungsumku."

Demikianlah hari demi hari Sutomo berusaha menjadi penyambung lidah Dokter Wahidin. Untuk tahap pertama, di akhir tahun 1907 ia sudah mempunyai dua orang teman yang sepaham, Suraji dan Gunawan. Trio Sutomo - Suraji - Gunawan sering berbincang-bincang mencari cara yang paling tepat untuk meninjau Dokter Wahidin Sudirohusodo.

"Gun! Kita sudah lama berpikir-pikir. Akan tetapi nyatanya tunas muda belum juga menyala. Bagaimana pendapatmu?" tanya Sutomo kepada Gunawan pada suatu hari.

"Ya, tahun 1907 sudah lewat. Akan tetapi kelompok kita belum juga tambah anggota yang benar-benar seia-sekata."

"Itu pun masih terbatas di kelas kita saja," sambung Suraji.

"Ruang gerak kita memang terbatas. Tingkat empat ke atas tidak mungkin kita ganggu. Saya khawatir akan menggangu pelajaran mereka," Sutomo mengemukakan pendapatnya.

"Benar. Mereka harus menghadapi ujian-ujian yang berat," sela Gunawan.

"Oleh karena itu yang bisa kita ajak hanya tingkat tiga ke bawah," sambung Suraji.

"Ketika Dokter Wahidin hendak memberi ceramah dulu itu, yang dipanggil oleh direktur hanya tingkat dua dan tiga, Hal itu dapat kita jadikan pedoman," demikian ujar Sutomo.

"Pedoman apa?" tanya Gunawan.

"Menurut pendapat saya, di antara tingkat-tingkat itulah kita mencari pendukung. Meskipun demikian seandainya ada sepuluh orang saja dari kelas kita yang mau bergabung, saya sudah merasa gembira," jawab Sutomo.

"Kalau sembilan saja bagaimana? Biar menjadi Wali Sanga!" tukas Gunawan berkelakar, dan tawanya berderai-derai.

"Sembilan pun cukup!" jawab Sutomo mantap.

"Nah, kalau memang dianggap cukup, mari kita adakan semacam perlombaan," ujar Gunawan.

"Bagaimana jalannya perlombaan?" tanya Suraji.

"Di antara kita bertiga, masing-masing harus berusaha menarik kawan dua orang. Sedangkan medan perlombaannya ialah kelas kita sendiri," jawab Gunawan.

"Bagus! Akan tetapi sebaiknya sasarannya kita tentukan lebih dahulu. Aku siapa, Tom siapa, dan Gun siapa. Bagaimana?"

"Akur" jawab Sutomo dan Gunawan serempak.

Ketiganya diam. Masing-masing berpikir memilih sasaran. Dalam memilih sasaran tampaknya mereka bertiga mengikuti peribahasa, warna memilih warna, jenis memilih jenis. Sutomo, Suraji, dan Gunawan memilih sasaran di antara kawan sekelasnya yang sesuai dengan watak dan kepribadian mereka masing-masing. Seperti telah dipaparkan di muka, Sutomo punya kebiasaan cermat, teliti, dan rapi dalam segala hal. Gunawan punya watak keras, tegas, dan terbuka. Sedangkan Suraji berkepribadian tenang, berhati-hati dalam segala tindakannya serta pendiam.

"Saya memilih Gondo Suwarno dan Angka," Gunawan paling dulu mengemukakan pilihannya. Mereka bertiga lalu bertepuk tangan.

"Ji, siapa pilihanmu?" desak Sutomo tak sabar.

"Sasaran saya yang pertama Mohammad Saleh. Yang kedua bukan Gondo Suwarno, melainkan Suwarno," jawab Suraji tenang seperti biasanya. Ketiganya bertepuk tangan lagi.

"Sekarang engkau, Tom. Siapa pilihanmu?" lagi Gunawanlah yang bertanya mendesak.

Sebenarnya sudah sejak tadi Sutomo menentukan pilihannya. Akan tetapi sengaja ia bersikap seolah-olah masih berpikir-pikir untuk memberi kesempatan kepada kedua temannya. Sikap demikian sudah biasa ia lakukan dalam kelas untuk memberi semangat kepada teman-temannya. Sebelum menjawab pertanyaan Gunawan sekilas Sutomo tersenyum, lalu ujarnya, "Tentu saja saya tidak akan memilih yang sudah kalian pilih. Bidikan saya, saya arahkan kepada Gumbrek, dan Suleiman." Pilihan Sutomo juga di sambut dengan tepuk tangan.

Dengan demikian trio Sutomo - Suraji - Gunawan akan membentuk trio - trio baru, Sutomo - Gumbrek - Sulei - man, Suraji - Suwarno - Mohammad Saleh, dan Gunawan - Gondo Suwarno - Angka. Langkah yang mereka ambil benar- benar seperti sebuah permainan yang mengasyikkan, dan bermutu.

"Gun! Aku ingin tahu pendapatmu. Apakah dalam pendekatan dan pembentukan trio-trio itu juga perlu diadakan semacam perlombaan pula?" tanya Sutomo seraya tertawa.

"Saya rasa tidak perlu," jawab Gunawan tegas, lalu sambungnya, "Yang penting mudah-mudahan cepat berhasil. Kemudian trio-trio itu dipecah lagi untuk membentuk trio-trio baru. Begitu seterusnya, bukan!"

"Untuk sementara saya rasa tidak perlu," jawab Sutomo.

"Mengapa tidak?" tanya Suraji yang setuju dengan gagasan Gunawan.

"Saya mempunyai rencana yang mungkin lebih baik dari cara itu," Sutomo memberi penjelasan akan tetapi tidak lengkap.

"Bagaimana rencanamu?" tanya Gunawan agak penasaran.

"Kelak saya beritahukan jika tiga trio baru sudah terbentuk. Buat sementara Wali Sanga sudah cukup tangguh," jawab Sutomo tegas.

"Baiklah, saya tunggu rencanamu," jawab Gunawan tertawa.

Perlombaan yang dimulai pada awal tahun 1908 itu tampaknya tidak berjalan lancar. Mungkin terhambat oleh ulangan-ulangan. Mungkin juga takdir Tuhan memang belum sampai. Ketiga trio itu baru terbentuk kira-kira pada akhir bulan April 1908. Pada waktu ketiga trio sudah benar-benar terwujud. Bahkan sudah ada pula beberapa orang pelajar Stovia ikut bergabung, dan mendukung gagasan Sutomo untuk menunjang cita-cita Dokter Wahidin. Semua itu berkat kemampuan Sutomo yang kepribadiannya semakin menarik.

Dengan terbentuknya trio-trio tersebut, Gunawan yang berwatak keras, tegas, dan terbuka ingin segera tahu rencana Sutomo, yang dijanjikan pada awal perlombaan.

"Tom, Perlombangan sudah selesai. Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Gunawan menagih janji pada suatu sore.

"Besok pagi hari Minggu, bukan? ujar Sutomo tenang seraya tersenyum, membuat Gunawan semakin penasaran.

"Ya, akan tetapi apa rencanamu?' tanya Gunawan lagi.

"Aku ingin mengutarakan rencanaku di hadapan teman-teman semua. Sehingga semuanya bisa turut mendengar dan mempertimbangkan rencanaku. Nah, besok pukul sembilan pagi kita berkumpul di ruang anatomi. Beri tahu Suraji dan teman-teman yang lain."

"Baik," jawab Gunawan pendek.

Pagi harinya tanggal 17 Mei 1908 puluk sembilan tepat, Sutomo dan teman-temannya telah berkumpul di ruang kuliah anatomi. Mereka adalah Gunawan, Gondo Suwarno, Angka, Suraji, Suwarno, Mohammad Saleh. Gumbrek, dan Suleiman. Terselip di antara trio-trio itu seorang lagi,  yakni Sambu. Jadi, semuanya berjumlah sepuluh orang.

Mereka berkumpul secara santai. Tidak seperti rapat resmi. Lebih-lebih karena hari itu hari Minggu, hari bebas. Mereka pun berpakaian bebas. Ada yang memakai sarung, berpiyama dan berpeci, dan ada pula yang mengenakan celana pendek dan bersandal. Santailah pokoknya, akan tetapi pikiran mereka tidak santai.

Mereka ingin segera mendengar rencana Sutomo. Sutomo menjadi pusat perhatian. Ia seolah-olah merupakan jantung dari tubuh yang terdiri dari tiga buah trio. Jantung yang selalu berdekak mengalirkan darah semangat ke segenap anggota tubuh. Jantung yang berdegup menandai sesuatu yang hidup.

Sutomo mengedarkan pandangan matanya ke arah taman-temannya. Dan ketika sejenak menatap Gunawan, ia tersenyum kecil. Kemudian barulah ia memaparkan rencananya. Rencana atau lebih tepat dikatakan sebagai hasil pemikiran yang sangat mendalam. Atau hasil renungan yang sudah ditimbang sampai matang. Pemikiran yang sama sekali baru bagi teman-temannya. Bahkan baru bagi siapa pun. Baru bagi seluruh bangsa Indonesia yang telah lama berjuang mengenyahkan kekuasaan Belanda di bumi tercinta Nusantara.

Apa dan bagaimana yang baru itu? Dengarkanlah dengan cermat apa yang dipaparkan Sutomo pada waktu itu. Antara lain ia berkata, "Saya masih ingat benar apa yang dikemukakan Dokter Wahidin Sudirohusodo beberapa bulan yang lalu. Beliau berharap, kita tunas-tunas muda hendaknya  menunjang cita-cita tersebut. Dan kita telah bertekad untuk memenuhi harapan beliau. Akan tetapi untuk menunjang cita-cita yang luhur itu, tidaklah mungkin jika kita berdiri sendiri-sendiri. Tidak mungkin jika kita terpecah-pecah. Oleh karena itu harus berdiri dalam satu barisan yang kuat. Barisan yang kuat itu ialah sebuah organisasi yang tertib dan teratur. Kesimpulannya kita harus mendirikan sebuah organisasi. Dalam organisasi itu ada ketua, ada sekretaris, ada bendahara, dan ada pengurus-pengurus yang lain. Nah, bagaimana pendapat teman-teman?"

Tidak ada yang menjawab. Mereka terpesona mendengar uraian Sutomo. Rasa hormat dan kekaguman mereka kepada Sutomo semakin besar dan mendalam. Mereka benar-benar takluk akan kecemerlangan pemikiran Sutomo. Mereka tidak akan berbuat lain kecuali mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.

"Terima kasih atas persetujuan dan dukungan teman-teman. Selanjutnya mari kita pecahkan bersama dua masalah. Yang pertama mencari nama organisasi yang akan kita bentuk. Dan yang kedua membentuk dan mengisi susunan pengurus."

"Apakah bukan susunan pengurus dulu, baru nama?" tanya Gunawan.

"Ya, saya kira susunan pengurus dulu, lebih baik," Gondo Suwarno memperkuat usul Gunawan.

"Tidak. Saya tetap mendahulukan nama, karena nama akan menjadi pedoman pada sikap serta tindakan kita selanjutnya," jawab Sutomo.

"Saya setuju nama dulu. Dan saya punya usul. Dua nama: Eko Proyo, atau Budi Utomo. Yang pertama berarti, seia sekata, Yang kedua akan mengingatkan kita pada ceramah Dokter Wahidin, yang berisi harapan agar kita menjadi orang-orang yang berbudi utama," begitulah Suraji mengeluarkan pendapatnya.

"Dua-duanya baik. Akan tetapi saya lebih condong memilih yang kedua," ujar Mohammad Saleh yang sejak tadi masih diam.

"Mengapa engkau memilih yang kedua, Leh?" sela Suwarno, yang sebenarnya juga setuju.

"Selain mengingatkan kita akan ceramah Dokter Wahidin Sudirohusodo, nama itu juga mempunyai makna yang sangat baik. Dan yang lebih penting lagi, bahkan saya rasa sangat penting, nama Budi Utomo akan selalu mengingatkan orang kepada nama Sutomo, pencetus gagasan berdirinya organisasi ini," demikian Mohammad Saleh memberi penjelasan.

"Setuju! Setuju! Setuju! Setuju! Setuju! Setuju!" semuanya berseru girang sambil bertepuk tangan. Kemudian Gunawan bangkit, terus lari ke arah Sutomo. Ia memberi salam, lalu mendekap Sutomo erat-erat, kemudian disusul oleh yang lain berganti-ganti.

Suasana santai berubah menjadi gembira bercampur perasaan haru. Menanggapi sikap teman-temannya, Sutomo tidak dapat berkata-kata. Matanya berkaca-kaca penuh air mata karena menahan rasa haru.

"Terima kasih," hanya itu yang dapat Sutomo ucapkan dengan suara sendat.

"Sekarang memilih pengurus, Tom. Dan engkaulah ketuanya!" seru Gunawan. Yang langsung disambut oleh teman-temannya dengan tepuk tangan dan seruan serempak, "Setujuu!"

"Kepercayaan teman-teman saya terima, karena saya yakin bahwa teman-teman akan senantiasa membantu saya," jawab Sutomo dengan suara parau menahan gejolak hatinya.

Sekali lagi jawaban Sutomo di sambut tepukan tangan serta ucapan-ucapan, "Jangan khawatir, jangan khawatir, Tom!"

Setelah suasana kembali terang Sutomo berkata, "Sebelum pemilihan pengurus kita selesaikan, saya mempunyai sebuah permintaan." Ia berhenti sejenak lalu sambungnya, "Meskipun segala keputusan dapat kita selesaikan hari ini, akan tetapi peresmian berdirinya Organisasi Budi Utomo baru akan kita undangkan nanti pada hari Rabu tanggal dua puluh."
"Mengapa harus menunggu sampai hari Rabu?" tanya Gondo Suwarno. "Bukankah lebih cepat akan lebih baik?" sambungnya.

"Hari Rabu Pon kebetulan merupakan hari lahir saya. Apakah ada yang berkeberatan?" tanya Sutomo seraya tersenyum.

"Saya rasa tidak ada, Tom," jawab Suraji.

"Sekali lagi terima kasih," ujar Sutomo.

Acara lalu dilanjutkan dengan pemilihan pengurus. Dan pemilihan berjalan dengan lancar. Pukul dua belas siang pertemuan di ruang anatomi itu selesai. Mereka lalu kembali ke kamar masing-masing dengan puas, bangga, dan penuh harapan, dalam penantian masa-masa mendatang. Dan penantian yang terdekat ialah hari Rabu.

Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam pertemuan hari Minggu tanggal 17 Mei 1908, pada hari Rabu pagi tanggal 20 Mei 1908 mereka telah bersiap. Kurang lebih setengah jam menjelang keberangkatan para pelajar ke kelasnya masing-masing, Sutomo berdiri di teras yang membujur di depan kamar tidurnya. Di tangannya tergenggam selembar kertas. Sementara itu teman-temannya berdiri berjajar di bawah menghadap ke arah teras.

Keadaan itu ternyata telah menarik perhatian pelajar-pelajar yang lain. Mereka lalu mendekat dan turut berdiri menunggu, seraya bertanya-tanya dalam hati, "Akan ada apa, ini?" Dan dalam waktu beberapa menit itu kerumunan pelajar di hadapan Sutomo sudah berjumlah sekitar tiga puluh orang.

"Cukup," gumam Sutomo. Ketika sekilas ia memandang Suraji dan Gunawan, tampak keduanya menganggukkan kepala. Mendapat isyarat itu Sutomo segera mulai. Tangannya yang memegang kertas terangkat ke atas, lalu ia membacanya dengan suara keras.

"Teman-teman sekalian!"

Pagi ini hari Rabu Pon tanggal 20 Mei 1908, atas nama beberapa orang teman yang sepaham, saya mengumumkan berdirinya sebuah organisasi, yang kami beri nama Budi Utomo. Tujuan utama organisasi ini ialah: Membina dan memperkokoh persahabatan dan persaudaraan di kalangan para pemuda di seluruh Jawa dan Madura. Pengurus Organisasi Budi Utomo ini telah tersusun sebagai berikut:

1. Ketua : Sutomo
2. Wakil Ketua : Suleiman
3. Sekretaris I : Gondo Suwarno
4. Sekretaris II : Gunawan
5. Bendahara : Angka
6. Para Komisaris : Suwarno dan Mohammad Saleh.

Sutomo berhenti sejenak, lalu sambungnya, "Sekali lagi kami tekankan, bahwa tujuan Organisasi Budi Utomo ialah, membina dan memperkokoh persahabatan dan persaudaraan di kalangan para pemuda di seluruh Jawa dan Madura. Saya berharap, anggota inti organisasi ini ialah pelajar Stovia. Sekian dulu pengumuman kami. Terima kasih atas perhatian teman-teman."

Seperti digerakkan oleh suatu komando, kerumunan pelajar di hadapan Sutomo menyambut pengumuman itu dengan tepuk sorak panjang. Kemudian Sutomo melompat turun. Mula-mula ia memberi salam dengan jabatan tangan yang hangat kepada teman-temannya sesama pengurus. Akan tetapi kemudian dialah yang diserbu oleh puluhan tangan yang akan memberi ucapan selamat.

Tangan-tangan yang teracu, bergerak-gerak akan memberi salam tampaknya bagaikan nyala api dalam tari Bali, Kecak. Akan tetapi hakikatnya dalam rongga dada tunas-tunas muda itu memang telah menyala api semangat. Semangat perjuangan dan pengabdian. Pengabdian kepada sesama manusia dan kemanusiaan.

Tunas-tunas muda telah menyala.

Tidak sia-sia usaha Dokter Wahidin Sudirohusodo, kayu tua yang tetap membara.


VIII. PERTEMUAN

Delapan puluh satu hari,  tidak kurang tidak lebih setelah Sutomo dan teman-temannya mengumumkan berdirinya Organisasi Bud Utomo, barulah Dokter Wahidin Sudirohusodo datang lagi ke Stovia. Pertemuan kedua antara kayu tua yang membaca dengan tunas-tunas muda yang menyala itu tepatnya terjadi pada tanggal 8 Agustus 1908. Jadi hampir satu tahun sesudah Dokter Wahidin memberi ceramah.

Dahulu ia datang untuk menggerakkan hati para pelajar Stovia. Kali ini ia datang kembali karena hatinya digerakkan oleh pelajar-pelajar Stovia. Sungguh merupakan suatu jalinan timbal balik yang sangat indah.

Mengapa para pelajar Stovia mampu menggerakkan hati dan meringankan langkah Dokter Wahidin? Keberhasilan mereka bukan tanpa perjuangan. Sukses mereka bukan tanpa tantangan. Selama delapan puluh satu hari Sutomo dan teman-temannya bergelut dalam kemelut suasana di Stovia. Dan mereka pun berlaga laksana garuda yang perkasa. Berlaga melawan arus balik surat kabar Belanda pada waktu itu. Sungguh keterlaluan  surat kabar Belanda waktu itu. Sutomo dan teman-temannya dikatakan sebagai, "Monyet-monyet Jawa yang mulai berceloteh dan berteriak-teriak!"

"Sutomo dan teman-temannya yang membuat onar itu harus dikeluarkan dari sekolah ini," demikian usul beberapa orang pengajar di Stovia kepada Dokter Roll, yang masih tetap menjabat sebagai Direktur Stovia.

Alasan para pengajar itu katanya, "Sutomo akan menjadi benih kekacauan. Jika tidak cepat-cepat dikeluarkan, pasti kitalah yang akan dipersalahkan pemerintah," demikian suara kontra dalam rapat dewan guru, yang khusus diadakan untuk menanggapi berdirinya Budi Utomo.

Meskipun demikian tidak seluruh guru di Stovia menentang berdirinya Budi Utomo, Suara mereka yang pro terdengar lunak. Tidak berlebih-lebihan, dan seolah-olah tutwuri handayani. Dokter Roll sendiri masih diam. Ia berusaha memperhatikan dengan seksama pendapat para guru. Ia bermaksud memberikan kata akhir.

"Mereka tokh, hanya sekedar membina persahabatan dan persaudaraan. Apa bahayanya?" demikian ucap seorang guru yang berhaluan lunak.

"Apa bahayanya!?" tangkis seorang guru berhaluan keras seraya bangkit dari tempat duduknya, lalu meneruskan kata-katanya dengan suara lantang," Mereka kumpulkan pemuda-pemuda, dan kelak mereka akan berontak!"

"Saya tidak yakin akan pendapat Tuan!" bantahnya.

"Tuan kurang waspada. Mereka bisa menjadi merah! Menjadi komunis! Jika sudah terlanjur, barulah Tuhan-tuan merasakan akibatnya. Tuan-tuan akan menyesal dengan perasaan getir!" demikian ucapan pengajar yang sangat menentang berdirinya Budi Utomo.

Mendengar ucapan yang terakhir itu Dokter Roll seketika bangkit berdiri. Dengan suara tandas ia bertanya kepada golongan penentang, "Apakah di antara Tuan-tuan yang hadir di sini, tidak ada yang lebih keras dari Sutomo ketika Tuan-tuan berumur sekitar delapan belas tahun?" Dan setelah berhenti sejenak ia berkata lebih lanjut, "Selaku Direktur Stovia, saya tidak melarang kegiatan mereka. Dan saya bertanggung jawab atas segala-galanya."

Mendengar ucapan Dokter Roll semuanya terhenyak. Yang mendukung merasa lega. Sedangkan yang menentang terperangah. Dengan penegasan dan ketegasan Dokter Roll itu selamatlah Sutomo dan teman-temannya. Selamatlah awal kesadaran nasional. Selamatlah awal kebangkitan nasional. Dan selamatlah awal perjuangan nasional untuk mengusir penjajah.

Setelah kelahiran Organisasi Budi Utoma tidak diganggu gugat lagi oleh para pengajar di Stovia, Sutomo segera mengadakan pembagian tugas. Bayangkan, betapa sibuknya mereka selama delapan puluh satu hari ini. Mereka menyebar ke berbagai daerah, dan mendapat hasil yang sangat memuaskan. Lima cabang Budi Utomo telah berdiri di empat buah kota besar. yaitu di Bogor, Bandung, Magelang, dan Yogyakarta. Di kota Yogyakarta terdapat dua cabang.

Beberapa orang bupati terkemuka telah menyatakan kesediaannya membantu Budi Utomo. Antara lain ialah Bupati Termanggung, Raden Mas Arya Adipati Cokro Adikusumo. Bupati Jepara, Raden Mas Arya Adipati Kusumo Utoyo. Bupati Serang, Pangeran Ahmad Jayadiningrat, dan Bupati Karanganyar, Raden Arya Adipati Tirtokusumo.

Tak mereka lupakan pula menghubungi adik-adik Raden Ajeng Kartini. Ternyata mereka masih tetap meneruskan perjuangan almarhumah kakak mereka. Mereka menyambut gembira berdirinya Organisasi Budi Utomo, dan menyatakan kesediaan mereka untuk membantu. Kesibukan itu masih ditambah lagi dengan pencarian dana. Dana yang akan dipergunakan untuk penyelenggaraan Kongres Pertama Budi Utomo, di Yogyakarta. Kedatangan Dokter Wahidin Sudirohusodo ke Stovia adalah dalam rangka persiapan kongres itu.

Pada waktu itu Dokter Wahidin adalah Ketua Cabang Budi Utomo Yogyakarta I, yang berdiri kira-kira sebulan sesudah Budi Utomo Stovia. Yang tua dan yang muda-muda sedang asyik berbincang-bincang.

"Bapak benar-benar kagum akan daya pikir Anaknda sekalian. Lebih kagum lagi melihat hasil yang telah dicapai," demikian ujar Dokter Wahidin setelah selesai membicarakan acara kongres.

"Bapak terlampau memuji," jawab Sutomo.

"Kenyataannya tak terbantah. Meskipun demikian bapak ingin mengetahui serba sedikit bagaimana cara pengumpulan dana di kalangan pelajar Stovia yang hasilnya sangat mengagumkan."

"Saudara Angka selaku bendahara, yang mengetahuinya secara terperinci," jawab Gunawan.

"Bukan perinciannya yang bapak maksud. Akan tetapi caranya. Bagaimana Nak Angka?" Dokter Wahidin menoleh ke arah Angka.

"Sebagian besar teman-teman menyumbangkan uang sakunya. Ditambah sumbangan-sumbangan lain berupa barang."

"Berupa barang? Lalu diapakan barang-barang itu?" tanya Dokter Wahidin heran.

"Barang-barang itu kami uangkan."

"Barang apa saja yang diterima?"

"Ada yang menyerahkan kain sarung yang belum pernah dipakai. Ada yang menyerahkan dasi. Ada yang arloji, bahkan ada yang menyumbangkan cincinya. Kemudian barang-barang itu kami lelang. Yang membeli teman-teman sendiri juga," demikian Angka memberi penjelasan.

"Bukan main! Puji syukur ke hadirat Tuhan Seru sekalian Alam, yang telah memberikan taufik an hidayah-Nya," ujar Dokter Wahidin dengan suara dalam.

"Dan semoga para orang tua kita dikaruniai panjang usia," demikian tanggapan Sutomo terhadap ucapan Dokter Wahidin.

"Kami orang-orang tua merasa gembira sekali atas terpilihnya kota Yogyakarta sebagai tempat atau tuan rumah Kongres Budi Utomo. Kalau bapak boleh tahu, alasan apa yang mendasari dipilihnya Yogyakarta?" tanya Dokter Wahidin.

"Dasarnya ada tiga macam. Dan lucunya datangnya juga dari tiga orang, ialah Gunawan, Suraji, dan saya sendiri," jawab Sutomo.

"Saya ingin mendengar satu persatu secara langsung," ujar Dokter Wahidin seraya tertawa.

"Yogyakarta atau Mataram mengingatkan kita pada jaman kesatuan Jawa di masa pemerintahan Wangsa Sanjaya," Gunawanlah yang pertama-tama menjawab.

Lalu Suraji, jawabnya, "Kota Yogyakarta didirikan oleh Pangeran Mangkubumi melalui suatu perjuangan yang gigih."

Dan yang terakhir Sutomo, ujarnya, "Rasa hormat dan terima kasih kami kepada para orang tua di Jawa Tengah, terutama yang berada di Yogya, yaitu Pangeran Notodirojo, dan Bapak sendiri."

"Menurut Bapak, alasan mana yang paling tepat?" tanya Suleiman.

"Semuanya tepat. Semuanya mapan," jawab Dokter Wahidin, lalu ujarnya melanjutkan, "Kami yang tua-tua sangat gembira menyambut pilihan itu. Dan kurang lebih lima puluh hari lagi kota Yogyakarta akan menjadi semarak. Semarak oleh adanya pertemuan besar. Bapak benar-benar merasa sangat bahagia." Kelopak mana Dokter Wahidin tampak berlinang-linang.

"Menurut perkiraan Bapak, kira-kira berapa orang tamu yang akan hadir dalam kongres itu," tiba-tiba Gunawan bertanya.

"Pada malam pembukaan, Bapak perkirakan tidak akan kurang dari lima ratus orang tamu. Akan tetapi yang merupakan peserta inti hanya sekitar tiga ratus orang."

"Meriah sekali," seru Suwarno.

"Sampai sebanyak itu, Pak?" tanya Suraji.

"Ya, bayangkan saja, dari residen, asisten residen, para bupati, para kepala jawatan di Yogyakarta, semua dengan istri. Kemudian para dokter, tokoh-tokoh masyarakat, para guru, kalangan persuratkabaran, para utusan Cabang Budi Utomo, murid-murid Sekolah Guru. Nah, banyak bukan?"

"Untung saja para lurah tidak diundang," kelakar Suwarno.

"Para gilirannya kelak, para lurah pun harus turut memegang peranan," ujar Sutomo.

Kata sepakat sudah didapat. Persiapan-persiapan berjalan terus. Undangan sudah mulai diedarkan. Tempat yang akan digunakan sudah mulai dibenahi. Pilar-pilar yang sudah kusam dicat. Tembok mulai dikapur. Mimbar tempat berpidato dibuat. Peralatan seperti meja, kursi dan lain-lain telah pula diperhitungkan. Gedung Sekolah Guru di Jetisharjo Yogyakarta menjadi pusat kesibukan. Karena di gedung itulah kongres Budi Utomo akan diselenggarakan.


IX. KONGRES

Di sebalah barat mimbar disediakan kursi untuk para redaktur surat kabar. Untuk para tamu kehormatan disediakan tempat di sebelah utara para redaktur. Di depan kursi untuk tamu-tamu kehormatan disediakan meja-meja kecil dengan jambangan bunga di atasnya. Selebihnya disediakan kursi untuk peserta dan undangan lainnya, yang berjumlah sekitar lima ratus buah. Pada waktu itu tidak diadakan pengelompokkan peserta. Para dokter, tokoh-tokoh masyarakat dan lain-lain dibaurkan menjadi satu.

Sesuai dengan rencana, acara dimulai tepat pada waktunya, hari Sabtu malam Minggu tanggal 3 Oktober 1908 pukul delapan malam. Tampak tamu-tamu kehormatan antara lain K.G.P.A.A. Prabu Suryodilogo, K.G.P.A. Notodirojo, Asisten Residen Mataram, Bupati Blora R.M.A. Cokronagoro, Bupati Temanggung R.M.T.Cokro Adikusumo, dan Kepala Kepolisian Yogyakarta, R.T. Purbokusumo.

Dari kalangan surat kabar hadir tujuh orang redaktur. Tamu wanita pun cukup banyak. Dan seluruh hadirin malam itu tidak kurang dari enam ratus orang. Sebagai Ketua Panitia Penyelenggara, Dokter Wahidin Sudirohusodo mengucapkan pidato pembukaan. Serba singkat ia sampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran para undangan, atas segala macam bantuan yang telah diterima panitia, dan maksud serta tujuan diadakannya kongres.
Malam itu tampil empat orang pembicara. Pembicara pertama Sutomo dari Stovia. Mula-mula ia memaparkan riwayat berdirinya Organisasi Budi Utomo. Kemudian ia ungkapkan rasa terima kasihnya yang tak terhingga kepada tokoh-tokoh yang dengan serta merta menyatakan dukungannya kepada Organisasi Budi Utomo. Sutomo juga menyatakan harapannya, "Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama di seluruh kota besar di Pulau Jawa sudah berdiri cabang-cabang Budi Utomo. Dengan demikian sasaran jangka pendek membentuk Perhimpunan Masyarakat Jawa*) akan segera terujud. Selanjutnya sebagai sasaran jangka panjang akan dibentuk Persaudaraan Nasional**) di seluruh Nusantara."

Tepuk tangan gemuruh menyambut kata-kata Sutomo. Sutomo pun berhenti sejenak, kemudian ujarnya meneruskan." Tugas mewujudkan Perhimpunan Masyarakat Jawa dan Persaudaraan Nasional, serta membawanya ke arah kehidupannya yang selaras, untuk sementara tidak akan terletak di atas pundak kami yang muda-mudi. Untuk sementara berilah kami kesempatan untuk menyelesaikan pelajaran kami. Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa kami akan membubarkan Budi Utomo yang lahir di Stovia. Akan kesediaan dan kerelaan para orang tua, kami mengucapkan terima kasih," demikian Sutomo mengakhiri pidatonya.

Susudah Sutomo, tampillah berturut-turut Saroso dari Sekolah Raja Yogyakarta, dan Kamargo dari Mosvia Magelang. Mosvia adalah singkatan dari Medelbaar Onderwijs voor Inlandsche Ambtenaaren, yaitu sebuah sekolah menengah yang mendidik para calon pegawai pemerintah. Kedua pembicara yang masih pelajar itu memaparkan alasan-alasan, mengapa mereka mendukung Organisasi Budi Utomo. Berdasarkan alasan-alasan yang mereka kemukakan, mereka menghimbau para pelajar dari sekolah-sekolah lain supaya menjadi anggota Budi Utomo.

Pembicara terakhir adalah Dokter Mangunhusoda dari Surakarta. Ia mewakili generasi tua. Pertama-tama ia menyatakan kekagumannya atas daya pikir para pelajar Stovia yang dipelopori oleh pemuda Sutomo, dalam menanggapi gagasan Dokter Wahidin Sudirohusodo. Selanjutnya ia memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahaesa dengan lahirnya Organisasi Budi Utomo. Pada akhir pidatonya dokter dari Surakarta itu mengutarakan harapannya agar pemerintah memberikan dorongan demi kemajuan Organisasi Budi Utomo.

Selesai pidato-pidato, acara dilanjutkan dengan pertunjukkan kesenian. Tari-tarian gaya Yogyakarta dan Surakarta berbagai jenis serta petilan Semar, Gareng, Petruk benar-benar menyemarakkan pembukaan kongres malam itu. Seluruh hadirin merasa puas. Dan acara berlangsung sampai pukul dua belas malam.

Sidang hari kedua dipimpin oleh Brotoatmojo, dengan acara pokok pembahasan Anggaran Dasar. Rencana Anggaran Dasar disusun oleh Cabang Yogyakarta II, dan dibacakan oleh ketuanya, Dwijosewoyo, Boleh dikatakan dari seluruh acara kongres, acara inilah yang paling menarik. Para hadirin tampak bersemangat. Tanya jawab serta tanggapan-tanggapan berlangsung dengan hangat dan bertubi-tubi. Pasal-pasal yang paling gencar dibicarakan ialah, asas organisasi, keanggotaan, dan iuran bulanan.

"Saudara Ketua! Mengapa organisasi kita hanya mau mengangkat martabat orang Jawa saja? Bukankah hal itu berarti terlampau sempit? Bukankah martabat sahabat-sahabat kita di luar Jawa juga perlu diangkat?" demikian pertanyaan yang datang bertubi-tubi, antara lain dari Bupati Temanggung Cokro Adikusumo.

"Memang benar. Semakin luas jangkauan Budi Utomo akan semakin baik. Akan tetapi untuk sementara; sekali saya katakan untuk sementara, kita batasi dulu Jawa dan Madura saja," demikian selalu jawaban Dwijosewoyo.

"Mengapa harus dicantumkan untuk sementara?" Bupati Cokro Adikusumo belum puas.

"Sebab untuk memikirkan Jawa dan Madura saja sudah terasa sangat berat," tambah Dwijosewojo.


"Jadi alasannya soal kemampuan?" desak Cokro Adikusumo.

"Ya, begitulah," jawab Dwijosewoyo.

"Saya kira, masalahnya jangan ditekankan pada kemampuan. Mampu atau tidak adalah soal nanti. Yang penting ialah, bahwa kita juga memikirkan saudara-saudara kita di luar Jawa. Tegasnya, janganlah soal kemampuan itu dicantumkan dalam Anggaran Dasar," Bupati Cokro Adikusumo mendesak terus. Akan terapi Dwijosewoyo juga belum mau menyerah begitu saja.

"Ada alasan lain," Dwijosewoyo menambah penjelasannya. "Menurut berita-berita yang kami dengar, sekarang ini di luar Jawa juga sudah berdiri perkumpulan-perkumpulan yang tujuannya hampir sama dengan Budi Utomo."

"Apakah mereka juga harus menamakan perkumpulannya dengan nama Budi Utomo?"

"Benar. Sebaiknya memang demikian." jawab Dwijosewoyo.

"Nah!" seru Bupati Cokro Adikusumo gembira karena merasa akan mendapat kemenangan. Lalu lanjutnya, "Kalau mereka harus menamakan dirinya Budi Utomo, asas yang membatasi Jawa dan Madura saja menjadi semakin lemah. Bagaimana saudara-saudara kita dari Ambon, Arafuru, Selebes, Sumatra, Borneo dan lain-lain harus menamakan perkumpulan mereka Budi Utomo, jika Budi Utomo sendiri beranggaran dasar seperti yang Saudara Ketua kehendaki? Oleh karena dengan  tegas harus dinyatakan bahwa asa Budi Utomo ditujukan pula bagi saudara-saudara kita di luar Jawa."

Pendapat Bupati Temanggung Cokro Adikusumo itu mendapat dukungan kuat dari dua orang, ialah Dokter Cipto Mangunkusumo dan C.F. Winter. Dokter Cipto Mangunkusumo adalah kakak Gunawan, Sekretaris II Budi Utomo Stovia. Sedangkan C.F. Winter adalah seorang juru bahasa dari Surakarta. Pada waktu itu Dokter Cipto Mangunkusumo menjadi dokter di kabupaten Demark, sebuah kota yang terletak di sebelah timur Semarang.

Dalam pada itu menanggapi kata-kata Bupati Temanggung Cokro Adikusumo yang terakhir itu Dwijosewoyo menjawab, "Baiklah. Saran Tuan-tuan akan kami serahkan penyelesaiannya kepada pengurus besar yang akan kita bentuk."

Mendengar jawaban  yang tidak tegas itu tampaknya Dokter Cipto Mangunkusumo tidak puas. Serta merta ia mengangkat tangannya seraya menukas, "Saya harap, apa yang tadi dikemukakan oleh Tuan Bupati Cokro Adikusumo dijadikan salah satu program kerja Pengurus Besar Budi Utomo."

Sesuah pembahasan Anggaran Dasar dianggap selesai, acara dilanjutkan dengan pemilihan Anggota Pengurus Besar Budi Utomo, yang akan berkedudukan di Yogyakarta. Jumlah Anggota Pengurus Besar ditetapkan sembilan orang. Seorang di antaranya akan dipilih menjadi Ketua Umum atau Presiden Budi Utomo. Delapan orang yang lain akan mendapat tugas sesuai dengan hasil pemungutan suara. Sembilan orang yang terpilih sebagai Anggota Pengurus Besar ialah:

1. Raden Tumenggung Arya Tirtokusumo, Bupati Karanganyar.
2. Mas Bei Dwijosewoyo, Guru Sekolah Guru Yogyakarta.
3. Raden Kuwatin Sosrosugondo, Guru Sekolah Guru Yogyakarta.
4. Mas Cipto Mangunkusumo, dokter di Demak.
5. Mas Bei Wahidin Sudirohusodo, dokter pensiun Yogyakarta.
6. Raden Mas Aryo Suryodiputro, Kepala Kejaksaan Bondowoso,
7. Raden Arya Danukusumo, Bupati Magelang.
8. Raden Mas Panji Gondoatmojo, Paku Alaman Yogyakarta, dan
9. Raden Mas Panji Gondosunaryo, dari Kejaksaan Surakarta.

Ketika pemilihan Ketua Umum sudah hampir dilaksanakan, tampaklah para hadirin khususnya para redaktur mencatat nama para calon dalam notesnya. Ada seseorang, sambil menulis bertanya kepada teman di sebelahnya.

"Tuan, setahu saya Bupati Karanganyar itu tidak hadir dalam kongres ini, bukan? Mengapa beliau turut dicalonkan?"

"Tentu ada alasan-alasannya," jawab yang ditanya.

"Tahukah Tuan, apa gerangan alasannya?"

"Menurut berita, Bupati Karanganyar itu paling tua di antara para bupati yang menyokong Budi Utomo."

"Hanya itu alasannya?"

"Tentu tidak. Beliau besar pengaruhnya di kalangan para bupati, dan disegani pula oleh pemerintah."

"Ooo, begitu," si penanya tampaknya sudah puas.

"Masih ada lagi sebab yang lain," temannya menggugah kembali gairah si penanya.

"Apa lagi?"

"Beliau juga terkenal sebagai seorang bupati yang dengan sungguh-sungguh memikirkan kesejahteraan rakyatnya."

"Ooo, pantas kalau begitu."

"Memang pantas sekali. Mungkin beliaulah satu-satunya bupati yang  mendirikan koperasi."

"Apa itu, koperasi" tanyanya heran.

"Menurut keterangan yang dimulai dalam surat kabar Retnodhumilah, koperasi itu artinya usaha bersama dari beberapa orang, untuk kepentingan bersama. Begitu kira-kira."

"Usaha bersama dari beberapa orang, untuk kepentingan bersama," si penanya itu mengulang perlahan-lahan, kemudian tanyanya," Tahukah Tuan, nama koperasi yang beliau dirikan?"

"Nama Mardi Mulyo."

"Nama yang bagus. Tentu usahanya bagus juga."

"Ya, tentunya memang demikian."

"Dapatkah Tuan menjelaskan usaha apa yang telah beliau lakukan dengan koperasinya itu?"

"Ha, rupanya Tuan tidak cermat membaca Retnodhumilah," jawab yang ditanya seraya tertawa.

"Bukan begitu. Mungkin ketika berita tentang koperasi Mardi Mulyo itu dimuat, saya belum menjadi pelanggan Retnodhumilah," orang itu memberi penjelasan tanpa tedeng aling-aling. Rupanya, ia seorang yang jujur.

"Para pegawai punya koperasi simpan pinjam. Para petani punya koperasi penjualan hasil bumi. Para pemilik dan sais andong punya koperasi penyediaan peralatan andong, dan keperluan-keperluan yang lain. Hebat bukan?"

Demikian asyiknya dua orang itu bercakap-cakap sehingga tidak melihat dan mendengar jalannya pemilihan. Mereka terkejut ketika tiba-tiba Ketua Sidang dengan suara lantang mengumumkan hasil pemilihan.

"Tuan-tuan, hadirin yang kami hormati. Suara terbanyak jatuh pada Raden Tumenggung Aryo Tirtokusumo," hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan gemuruh. Dua orang yang sejak tadi bercakap-cakap juga turut bertepuk tangan.

"Suara terbanyak kedua jatuh pada Mas Ngabei Wahidin Sudirohusodo," sekali lagi tepuk tangan membahasa di ruang olahraga Sekolah Guru Jetisharjo.

Setelah suasana tentang kembali Ketua Sidang bertanya kepada hadirin, demikian, "Tuan-tuan hadirin yang kami hormati. Raden Tumenggung Aryo Tirtokusumo tidak hadir di tengah-tengah kita. Seadainya beliau tidak bersedia menerima kedudukan sebagai Presiden Organisasi, bagaimana jika kita tetapkan saja Mas Ngabei Wahidin Sudirohusodo sebagai penggantinya?"

"Setuju!" jawab hadirin serentak.

"Terima kasih."

Pemungutan suara untuk jabatan-jabatan yang lain berjalancar lancar. Kongres dari kedua selesai lebih cepat dari pada hari pertama. Pukul sepuluh malam para hadirin sudah dapat meninggalkan ruang kongres. Mereka akan beristirahat untuk menghadapi hari terakhir yang cukup berat. Berat karena akan membicarakan program kerja Pengurus Besar Budi Utomo.

Hari Senin tanggal 5 Oktober 1908.

Pembicara utama pada hari terakhir ini hanya seorang. Masalah yang akan dibahas juga hanya satu. Pembuat dan penyaji makalahnya ialah Gunawan dari Stovia. Ia mengemban tugas berat dari Panitia Kongres untuk memaparkan Program Kerja Pengurus Besar Budi Utomo. Seorang pemuda belajar yang baru berumur dua puluh tahun mendapat kepercayaan begitu besar. Wajarlah jika di antara hadirin ada yang berbisik-bisik kepada kawannya.

"Mengapa bukan tokoh tua yang diminta, ya?" tanyanya.

"Memang benar. Banyak bupati, dokter, jaksa atau setidaknya seorang guru yang berpengalaman. Akan tetapi dokter Wahidin Sudirohusodo sebagai ketua panitia tentu mempunyai alasan yang kuat tentang pilihannya. Mari kita dengarkan saja apa yang akan ia paparkan," demikian jawab temannya.

Mula-mula Gunawan mengikatkan hadirin kepada pidato Sutomo tentang Perhimpunan Masyarakat Jawa, dan Persaudaraan Nasional.

"Di atas landasan pemikiran itulah Rencana Program Kerja ini saya susun," demikian Gunawan. Dan selanjutnya ia paparkan secara panjang lebar dan terperinci program jangka pendek dan jangka panjang. Program jangka pendek antara lain memiputi: pengumpulan dan penyelenggaraan dana belajar, penerbitan surat kabar organisasi, dan penerbitan buku-buku tuntunan pertanian dan peternakan bagi para petani serta serentak di desa-desa.

"Para petani rata-rata masih buta huruf. Bagaimana mereka dapat memanfaatkan buku tuntunan itu?" tanya salah seorang peserta kongres.

"Hal itu benar. Akan tetapi di desa ada guru. Guru-guru itulah yang menjadi juru penerang bagi masyarakat," jawab Gunawan dengan tangkas. Dan si penanya mengangguk-angguk kagum akan jalan pikiran Gunawan. Hadirin yang lain pun turut kagum.

Program jangka panjang ternyata lebih banyak daripada program jangka pendek. Berturut-turut disebut oleh Gunawan, "Program jangka panjang meliputi mendirikan sekolah-sekolah di desa-desa, memajukan pendidikan anak-anak perempuan, mendirikan rumah-rumah pemondokan  bagi anak-anak perempuan, mendirikan rumah-rumah pemondokan bagi anak-anak perempuan, mendirikan pemondokan  bagi anak-anak sekolah dan orang-orang melarat, mencari daya upaya untuk memberantas lintas darat, dan mendirikan Perpustakaan Rakyat yang menyajikan bacaan-bacaan bermanfaat."

Tentang pendidikan bagi anak-anak perempuan terdengar suara sumbang yang bertanya, "Buat apa pendidikan bagi anak-anak perempuan? Bukankah kewajiban perempuan itu hanya di rumah?"

"Perempuan itu ibarat tiang masyarakat. Jika kaum perempuan terdidik dengan baik, masyarakat pun akan baik," demikian jawab Gunawan.

Jawaban Gunawan itu mendapat sambutan tepuk tangan meriah dari sebagian besar hadirin. Andaikata pada waktu itu terdapat peserta wanita, pasti akan menitikan air mata haru mendengar jawaban Gunawan itu. Pembicaraan mengenai program kerja itu selesai sekitar pukul dua belas siang. Seluruh hadirin merasa puas.

Ketika Gunawan turun dari mimbar, Sutomo menyongsongnya. Keduanya lalu bersalaman. Tangan mereka terguncang-guncang. Tampak Dokter Wahidin berdiri dari tempat duduknya, lalu mendekati kedua pemuda itu. Wahidin pun memberi salam kepada Gunawan dengan jabatan yang hangat. Sutomo pun mendapat jabatan tangan Dokter Wahidin. Bahkan kemudian Dokter Wahidin memeluk pemuda Sutomo.

Dokter Wahidin, yang dapat diibaratkan sebagai kayu tua yang tetap membara tidak lagi dapat menahan rasa gembira dan harunya. Tampak air matanya tak terbendung lagi, meleleh membasahi pipinya. Dalam pada itu Sutomo, yang dapat diibaratkan sebagai kayu muda yang menyala, merasa dirinya berada di pelukan ayahnya. Mendadak air matanya tumpah, dan ia menangis tersedu-sedu.

Hadirin seorang-olah kena pesona. Sejenak mereka tertegun, akan tetapi kemudian serempak mereka pun bangkit dari kursi mereka. Semuanya bergerak ke satu arah. Semuanya mempunyai maksud yang sama. Semuanya ingin memberi salam kepada Dokter Wahidin, Sutomo, dan Gunawan. Tepuk tangan bertalu-talu mengiringi acara yang tidak termasuk dalam rencana itu. Dan antara hadirinpun bersalam-salaman pula penuh rasa persahabatan.


Karya: Sudibjo Z. Hadisutjipto





No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK