Budi duduk di depan rumahnya dengan santai banget, ya sedang membaca cerpen yang ceritanya menarik banget, ya sambil menikmati minum kopi dan makan singkong rebus.
Isi cerita yang di baca Budi :
Cerita ini sebagian besar berlangsung di London setelah serangan 11 September di Amerika Serikat oleh al-Qaeda, dan juga mencerminkan periode ketegangan rasial yang meningkat di Inggris.
Ya cerita ini bercerita tentang Nazneen, yang dibesarkan di pedesaan Bangladesh, di distrik Mymensingh. Nazneen memiliki saudara perempuan, tetapi ketika dia masih muda, ibunya menenggelamkan dirinya sendiri karena dia tidak dapat mengatasi kesulitan hidup di desa. Ayah mereka menikahkan Nazneen, yang lebih tua dari kedua gadis itu, dengan pria paruh baya tapi berpendidikan, Chanu, yang tinggal di London. Nazneen meninggalkan saudara perempuannya dan rumah keluarganya di Bangladesh saat Chanu membawanya kembali ke Inggris. Mereka tinggal di sebuah flat kecil di Brick Lane, pusat komunitas British Bengali, dan Nazneen sendiri memiliki dua anak perempuan. Menikah dengan pria yang tidak dia cintai, Nazneen hidup secara perwakilan melalui surat-surat yang dia terima dari saudara perempuannya tentang kehidupan tanpa beban dan hubungan cintanya.
Cerita ini mengambil cerita setelah Nazneen dan suaminya tinggal di flat kecil selama 17 tahun, membesarkan dua anak perempuan. Itu tidak menyenangkan. Anak pertamanya, seorang putra, meninggal saat masih bayi di ranjangnya. Brick Lane dilecehkan oleh orang-orang fanatik yang membagikan selebaran yang menyebarkan ketakutan irasional terhadap ekstremis Muslim yang mengambil alih jalan-jalan di London. Flatnya kecil dan sempit. Satu-satunya sumber dayanya adalah bahan makanan untuk memberi makan putrinya yang sekarang remaja dan suaminya. Dia merindukan saudara perempuannya dan rindu untuk kembali ke rumah.
Nazneen tidak mencintai suaminya tapi tunduk padanya demi perdamaian dan kedua anaknya. Suaminya mengundurkan diri dari pekerjaannya karena dianggap tidak menghargai keterampilan dan bakatnya. Nazneen mendapatkan mesin jahit dari tetangganya untuk mendapatkan uang dengan memperbaiki jeans seharga satu pon per potong.
Dia kemudian bertemu Karim, yang mengantarkan pakaian untuk bekerja. Komunitas Muslim Bangladesh di London semakin agamis, hal ini tercermin dari karakter Karim. Nazneen dipenuhi dengan keinginan untuk Karim yang muda dan tampan yang mengunjunginya secara teratur, dan mereka berselingkuh.
Sementara itu, suaminya meminjam uang dari rentenir yang memiliki reputasi selalu kembali untuk mendapatkan lebih banyak uang. Nazneen menghadiri program "Unite" Muslim di mana mereka memutuskan untuk menyebut diri mereka Macan Bengal. Belakangan, lebih banyak percikan terbang antara dia dan Karim dan dia membawanya ke pabrik pamannya dan mereka berciuman.
Akhirnya Nazneen menghubungkan bahwa saudara perempuannya melacurkan dirinya sendiri untuk mendapatkan uang; itulah sebabnya dia menggambarkan semua urusan terlarang ini. Nazneen mengalami gangguan emosi selama ini dan dia ditidurkan. Chanu mulai berkemas saat Nazneen pulih. Dia juga mendapat tiket untuk perjalanan mereka kembali ke Bangladesh. Sementara itu Karim pergi menemui keluarganya di kota lain; dia kemudian kembali mengunjunginya, dan memberitahunya bahwa dia menolak menikah dengan gadis lain untuk Nazneen. Percakapan mereka diinterupsi oleh putri sulung Nazneen. Putrinya mempertanyakan hubungan Nazneen dengan Karim.
Seorang wanita yang mewakili rentenir melecehkan Nazneen untuk mendapatkan lebih banyak uang yang seharusnya terutang. Putrinya menyuarakan ketidaksenangan mereka tentang pergi ke Bangladesh. Dia mengonfrontasi suaminya tentang hutang yang dia miliki kepada rentenir yang dia singkirkan. Chanu dan Nazneen menghadiri rapat umum Muslim di balai kota dan Chanu mencaci penyebab pertemuan itu tetapi mereka menolak pernyataannya.
Nazneen memberi tahu Karim bahwa dia tidak ingin menikah dengannya karena dia "bukan lagi gadis desa". Karim pergi dengan patah hati dan menangis. Nazneen memberi tahu rentenir, mengatakan dia telah membayar lebih banyak hutang suaminya, dan wanita itu pergi setelah dia menolak untuk bersumpah di Quran bahwa mereka berutang lebih banyak. Putri sulung mereka mengonfrontasi Chanu dan Nazneen tentang keinginannya sendiri untuk tinggal di London. Dia kemudian lari ke jalan-jalan saat festival sedang berlangsung saat ibunya mengejarnya. Nazneen menyusulnya di stasiun kereta. Chanu dan Nazneen berbagi dari hati ke hati tentang tinggal dan pergi. Meski selalu merindukan 'rumahnya', Nazneen menyadari rumahnya adalah tempat anak-anaknya bahagia. Chanu memutuskan bahwa dia akan pergi dan mereka akan mengikutinya di kemudian hari.
***
Budi selesai baca cerpen yang cerita menarik gitu, ya buku di tutup dan buku di taruh di bawah meja gitu. Eko datang ke rumah Budi, ya motor di parkirkan dengan baik di depan rumah Budi. Eko duduk dengan baik, ya dekat Budi gitu.
"Citra," kata Budi.
"Ada apa dengan kata itu?" kata Eko.
"Ya tentang para pempin berita di Tv sampai realita kenyataan, jika pemimpin turun ke jalan gitu. Yang terlihat citra itu?" kata Budi.
"Ooooo citra dari nilai kepemimpinan toh. Penilaian manusia itu antara baik dan buruk menilainya. Yang menjalankannya, ya tetap inginnya citra baik," kata Eko.
"Ya berarti tujuannya tetap tujuan, ya citra yang baik yang menjalankannya. Bagi yang menilai pun, ya baik," kata Budi.
"Emmm," kata Eko.
"Jika rakyat miskin, ya seperti kita ini, ya dasar dari kelahiran dari keluarga miskin gitu. Obrolan kita ini. Di nilai citra baik. Karena ceritanya di tulis berdasarkan daerah kota Bandar Lampung atau daerah lainnya. Harusnya senang, ya kita. Ternyata kemungkinan itu, ya senang adalah pemimpin daerah sampai pusat, ya jika berkaitan dengan daerah asal gitu," kata Budi.
"Yang capek siapa? Yang menuai dari hasil, ya siapa? Yang menghabiskan biaya siap?. Kemungkinan ini dan itu, ya dasar data kecenderungan ini dan itu. Hal biasa urusan dari citra itu. Karena dasar daerah di tulis, ya jadi yang senang pemimpinnya," kata Eko.
"Pemimpin itu," kata Budi.
"Emmm," kata Eko.
"Jika terjadi masalah, ya urusan keadaan dari orang miskin seperti kita, ya pada masa dulu dan kemungkinan ujian sekarang juga. Ya belum tentu, ya pemimpin itu, ya menolong kita, ya kan Eko?" kata Budi.
"Tinggi dan rendahnya derajat di pengaruhi keadaan manusia. Jika kita mengalami kesulitan ini dan itu, ya memang pemimpin yang terlihat citra itu, ya belum tentu nolong kita. Contoh sederhana : tetangga orang kaya, ya belum tentu nolong tetangganya orang miskin. Jika di pengaruhi dengan suku dan juga pemahaman agama," kata Eko.
"Keadaan yang mempengaruhi ini dan itu," kata Budi.
"Baik dan buruk, ya hidup ini," kata Eko.
"Ya sekedar bahan obrolan lulusan SMA!" kata Budi.
"Aku paham omongan Budi!" kata Eko.
"Emmm," kata Budi.
"Kalau begitu. Main kartu remi!" kata Eko.
"Okey main kartu remi!" kata Budi.
Budi mengambil kartu remi di bawah meja, ya kartu remi di kocok dengan baik dan di bagikan dengan baik kartu remi gitu. Eko dan Budi main kartu remi dengan baik, ya permainan cangkulan.
"Tuhan," kata Budi.
"Tuhan Maha Tahu," kata Eko.
"Ulah manusia ini dan itu, ya Tuhan Maha Tahu," kata Budi.
"Emmm," kata Eko.
Eko dan Budi terus tetap main kartu remi dengan baik gitu.
No comments:
Post a Comment