Semua orang di desa sangat menyukai Mangita karena kebaikan hatinya. Berbeda dengan Mangita, Larina mempunyai kulit yang sangat cerah. Ia terlahir dengan rambut berwarna pirang yang sangat indah. Kini rambutnya telah tumbuh panjang dan semakin indah. Wajahnya juga sangat cantik. Akan tetapi, sifat Larina sangat berbeda dengan Mangita. Ia menjadi sombong karena kecantikannya. Ia pun sangat malas membantu ayahnya. Setiap hari ia hanya sibuk mengurus rambutnya dan pergi menangkap kupu-kupu. Tak ubahnya seperti hari-hari yang lain, pagi ini pun Larina sudah sibuk menyisir rambutnya sejak ia bangun tidur. Ia tidak bergeming sedikit pun saat Mangita dan ayahnya bersiap menangkap ikan di danau.
Setelah selesai mengurus rambutnya, Larina lari ke sebuah kebun yang penuh dengan bunga. Ia lalu sibuk menangkap kupu-kupu yang sedang mengisap madu bunga-bunga itu. Begitu berhasil menangkap seekor dari kupu-kupu itu, ia langsung menusuknya dengan jarum dan menjadikannya hiasan yang ditempelkan pada rambut indahnya. Begitulah setiap hari Larina menghabiskan waktunya dengan menyiksa kupu-kupu. Di danau, Mangita bersama ayahnya mencari ikan untuk dimakan bersama di rumah. Hari ini cuaca sangat cerah. Mereka menangkap ikan bersama dengan orang-orang yang juga tinggal di dekat danau. Setelah mendapat cukup tangkapan ikan mereka pun segera pulang. Mangita membersihkan ikan-ikan itu lalu memasaknya untuk makan siang mereka. Larina masih berada di kebun bunga mengejar kupu-kupu yang sudah tidak berdaya.
Semakin banyak kupu-kupu yang bisa ia tangkap, Larina semakin senang dan menyeringai lebar. Setiap kali Larina datang ke kebun bunga tersebut, kupu-kupu sudah terlihat sangat takut. Mereka akan terbang begitu melihat Larina datang. Namun, gerakan Larina yang begitu cepat menangkap kupu-kupu membuat mereka tidak sempat melarikan diri. Setelah berhasil menagkap kupu-kupu dan menjadikannya hiasan untuk rambutnya, Larina akan lari ke sungai dan berkaca di atas air sungai. Ia lalu tertawa terbahak-bahak melihat kupu-kupu yang kesakitan di atas rambutnya. Setelah puas menangkap kupu-kupu Larina pun pulang. Di rumah, Mangita telah menyiapkan makan siang. Dilihatnya Larina yang pulang dengan wajah menyeringai lebar.
Ia pun melihat kupu-kupu yang dijadikannya hiasan di kepalanya. Mangita sangat iba terhadap kupu-kupu yang kesakitan itu. Ia pun sebenarnya telah berkali-kali menasihati Larina agar tidak menyiksa kupu-kupu itu. Namun, Larina selalu marah apabila mendengar Mangita menasihatinya. Suatu hari, ketika ayah mereka sedang pergi mencari ikan, datanglah seorang nenek tua di rumah mereka. Mangita sedang menyiapkan makan malam. Larina sedang sibuk menyisir dan menghiasi rambutnya dengan kupu-kupu yang ia tangkap. Nenek tua itu datang dengan membawa sebuah mangkuk di tangannya. Nenek tua itu berjalan dengan badan terbungkuk. Kulitnya sudah keriput dan rambutnya sudah memutih.
“Wahai, gadis cantik, aku sangat lapar. Bisakah kamu memberiku sedikit makanan?” kata nenek tua itu memohon kepada Larina.
Larina pun mengacuhkannya. Ia kesal sekali karena merasa terganggu dengan kehadiran nenek tua itu. “Siapa kamu? Jangan menggangguku! Aku sedang sibuk,” jawab Larina dengan sangat ketus.
“Tolonglah, gadis cantik! Nenek sangat lapar sudah berhari-hari tidak makan. Tolong berikan Nenek sedikit makanan!”
Nenek tua itu masih mengiba pada Larina. Merasa sangat kesal dengan kehadiran nenek tua itu, Larina langsung mendorongnya sehingga nenek itu terjatuh. Mendengar suara berisik, Mangita pun segera menghentikan pekerjaannya. Ia datang hendak melihat apa yang terjadi. Ketika dilihatnya seorang nenek tua yang sedang mengaduh kesakitan di lantai, ia pun segera menolongnya. Setelah mendengarkan permintaan nenek tua, Mangita lalu mengambilkan makanan dari dapur dan memberikan makanan itu padanya. Nenek itu pun mengucapkan terima kasih pada Mangita.
“Larina, apa yang telah kamu lakukan? Nenek itu sudah sangat tua dan kelaparan. Kamu tidak boleh seperti itu!”
Larina tidak memedulikan kata-kata Mangita. Bahkan Larina semakin merasa benci pada saudaranya itu. Setiap hari Larina mendengar para tetangganya membicarakan tentang Mangita yang baik hati. Mereka selalu memuji gadis itu. Inilah yang membuat Larina semakin iri dan benci pada Mangita. Hari berganti dengan sangat cepat. Keduanya tumbuh menjadi gadis dewasa. Larina tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang semakin sombong karena kecantikannya. Sedangkan Mangita, ia tetaplah gadis baik hati seperti dulu. Meskipun wajahnya tidak secantik Larina, ia tidak pernah merasa iri terhadap saudaranya.
Larina pun semakin tidak suka terhadap Mangita. Beberapa tahun kemudian, ayah mereka yang sudah tua meninggal dunia. Keduanya kini harus tinggal tanpa ayah mereka. Mangita menggantikan ayahnya mencari ikan di sungai. Sedangkan Larina, ia tidak berubah sedikit pun. Ia hanya bisa bermain-main setiap hari dan sibuk dengan rambut pirangnya yang semakin panjang. Karena bekerja terlalu keras, Mangita pun jatuh sakit. Ia semakin lemah dari hari ke hari. Badannya semakin kurus dan wajahnya semakin pucat. Larina pun tidak berusaha untuk merawatnya. Ia semakin senang dan berharap Mangita akan meninggal segera.
Ketika keadaan Mangita semakin parah, datanglah seorang wanita tua ke rumah mereka. Melihat Mangita yang sedang sakit dengan wajah yang sangat pucat, perempuan itu pun lalu memberikan botol yang berisi biji-bijian yang banyak sekali pada Mangita. Setelah memakan sebuah biji, Mangita merasa menjadi lebih baik. Namun, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Wanita itu berpesan kepada Larina agar memberikan sebuah biji setiap satu jam kepada Mangita agar ia sembuh. Setelah berpesan kepada Larina, wanita itu meninggalkan Mangita dan Larina. Larina lalu mengambil botol yang berisi biji-biji obat. Ia melihat-lihat botol itu. Biji-bijian itu sangat mengkilap. Alih-alih memberikannya pada Mangita yang sedang sakit, Larina justru memakaikan biji-biji itu pada rambutnya.
Larina sangat terkejut ketika melihat rambutnya menjadi semakin indah setelah ditaburi dengan biji-bijian yang diberikan oleh wanita tua tadi. Larina pun menghabiskan sebotol penuh biji-bijian itu dan membiarkan Mangita yang semakin lemah. Keesokan harinya, wanita yang telah memberikan sebotol biji-bijian itu datang kembali ke rumah mereka. Ia melihat Mangita yang semakin lemah tidak bergerak. Ia pun bertanya apakah Larina telah memberikan biji-bijian itu pada Mangita sesuai perintahnya.
“Aku sudah memberikan semua biji itu padanya, tapi ia tidak kunjung sembuh,” jawab Larina pada perempuan itu.
Wanita itu tidak percaya begitu saja pada perkataan Larina. Ia mencari ke seluruh isi rumah namun tidak dapat menemukan biji-bijian itu. Wanita itu lalu menatap rambut Larina. Ia melihat sesuatu yang sangat mencurigakan pada rambut itu. Mangita terlihat semakin pucat. Wajahnya pucat seolah tidak ada lagi darah mengalir di tubuhnya. Beberapa saat kemudian, sebuah cahaya yang sangat menyilaukan memenuhi seisi rumah itu. Larina menutupi wajahnya karena merasa silau. Namun di tengah cahaya yang sangat berkilauan, Larina melihat wanita tua itu berubah menjadi sesosok nenek tua dengan rambut berwarna putih. Ia terlihat membawa tubuh Mangita di kedua tangannya.
“Aku adalah nenek tua yang kamu dorong jatuh ke lantai saat aku meminta makan dahulu,” kata wanita tua itu menatap tajam ke arah Larina.
“Kamu gadis cantik berhati jahat. Kamu sengaja hendak mencelakai saudaramu ini. Kamu harus menerima akibat dari perbuatanmu!”
Wanita itu kemudian membawa Mangita dengan kedua tangannya dan membawanya ke rumahnya. Rupanya wanita itu adalah jelmaan dari peri yang bertugas melindungi gadis-gadis baik seperti Mangita. Sejak saat itu Mangita pun tidak lagi menderita. Ia hidup bersama dengan peri itu di sebuah istana di atas danau. Larina pun mendapatkan buah dari perbuatan jahatnya. Ia duduk di bawah danau dan menyisir rambutnya. Setiap kali ia menyisir, sebuah biji jatuh dari rambutnya dan tumbuh ke atas danau menjadi sebuah bunga yang mekar di permukaan air danau. Biji-biji itu tidak ada habisnya jatuh dari rambut Larina. Setiap kali ia berhasil menyisir sebuah biji, tumbuh lagi biji di rambutnya. Begitulah selamanya ia dikutuk oleh peri sebagai akibat dari perbuatan jahatnya.
***
Budi cukup lama main wayangnya dan akhirnya selesai gitu. Eko memuji pertunjukkan wayang Budi lah, ya begitu juga ceritanya. Wayang di taruh di kursi kosong sama Budi. Ya keduanya memutuskan main catur lah.
No comments:
Post a Comment