Di suatu negeri di tanah Arab, hidup seorang pria kaya yang dermawan. Orang-orang memanggilnya Abu Tamam. Sejak raja negeri itu mangkat dan digantikan oleh anak sulungnya, Abu Tamam menjadi tidak betah tinggal di negeri itu. Raja baru itu memiliki sifat yang kurang baik. Raja suka berpesta pora. Ia juga dikenal sebagai raja yang suka menindas dan tidak adil. Rakyat menjadi menderita. Abu Tamam tak tahan melihat perangai rajanya. Ia lantas menjual semua harta bendanya dan meninggalkan negerinya itu. Abu Tamam hanya ditemani oleh Darda, pelayan setianya. Ia mendengar tentang kerajaan lain yang dipimpin oleh Raja Harun. Orang-orang mengatakan ia raja yang berbudi luhur. Raja Harun juga ramah dan baik pada orang asing yang datang ke negerinya. Abu Tamam berniat pergi ke kerajaan itu. Ternyata apa yang dikatakan orang-orang benar adanya.
Rakyat di negeri Raja Harun hidup rukun dan sejahtera. Mereka ramah kepada orang asing yang datang. Abu Tamam merasa nyaman tinggal di sana. Dengan harta yang dimilikinya, Abu Tamam memulai kembali usahanya. Abu Tamam memang pandai dalam jual beli. Dalam waktu singkat, usahanya berkembang. Ia bahkan sanggup membeli rumah megah. Namun semua itu tak sedikit pun mengubah watak Abu Tamam yang dermawan dan rendah hati. Seperti kebiasaannya dulu, Abu Tamam tak segan mengulurkan bantuan pada sesama yang membutuhkan. Abu Tamam bahkan membuka rumahnya bagi orang asing yang baru tiba di kerajaan itu. Ia menampung dan memperlakukan mereka dengan baik. Abu Tamam menyediakan tempat tinggal dan makanan yang layak bagi para pendatang itu.
Abu Tamam pun membantu membangun jalan, jembatan, dan tempat ibadah. Semua orang mengenal Abu Tamam. Mereka mencintai Abu Tamam seperti mencintai raja mereka. Pada akhirnya, kisah Abu Tamam sampai ke telinga Raja Harun. Raja senang melihat kebaikan yang dilakukan Abu Tamam. Raja pun ingin bertemu dengannya. Ia menyuruh perdana menteri memanggil Abu Tamam ke istana. Abu Tamam tak menyangka akan diundang Raja Harun ke istana. Baginya itu adalah sebuah kehormatan. Abu Tamam menyiapkan hadiah untuk sang raja bila bertemu nanti. Abu Tamam memenuhi undangan Raja Harun. Mereka makan malam bersama beberapa pejabat kerajaan. Raja Harun cepat sekali akrab dengan Abu Tamam.
Keduanya sering kali memiliki kesamaan tujuan dan jalan berpikir. Sejak saat itu, Abu Tamam sering datang ke istana atas undangan Raja Harun. Mereka bertukar pikiran. Sesekali Raja Harun meminta pendapat Abu Tamam saat sedang menghadapi masalah pelik di kerajaan. Abu Tamam yang cerdas dengan senang hati membantu Raja Harun. Melihat kedekatan Raja Harun dan Abu Tamam, rupanya ada yang kebakaran jenggot. Dialah sang perdana menteri.
“Hal ini tak bisa terus dibiarkan. Bisa-bisa Abu Tamam merebut posisi ini dariku. Abu Tamam merusak kedamaian hidupku. Aku harus melakukan sesuatu!” gumam perdana menteri.
Perdana menteri iri dan merasa terancam kedudukannya. Padahal Abu Tamam sama sekali tak punya niat seperti itu. Selama ini, ia tulus membantu Raja Harun. Perdana menteri pun mengumpulkan pejabat istana. Ia memanas-manasi mereka agar ikut membenci Abu Tamam. Sebagian dari mereka tak percaya, sebagian lagi memihak perdana menteri.
“Lebih baik kita keluarkan dia dari kerajaan ini. Lagi pula dia hanya pendatang, bukan rakyat asli negeri ini,” usul seorang pejabat.
“Bagaimana caranya mengeluarkan dia dari sini? Apa ada yang punya ide?” tanya perdana menteri.
Semua terdiam. Tanda tak satu pun punya jawaban.
“Baiklah, kalau begitu pikirkan masing-masing. Besok kita akan bertemu lagi untuk menemukan caranya,” lanjut sang perdana menteri.
Akhirnya perdana menteri mendapatkan cara untuk mengusir Abu Tamam dari negerinya secara halus. Raja kerajaan Turkistan mempunyai putri yang cantik bernama Zahara. Namun belum satu orang pun yang berhasil meminangnya. Raja Turkistan sangat pemilih. Ia ingin mendapatkan menantu terbaik. Bahkan sebagian pelamar sang putri tak mampu menyelamatkan nyawanya saat harus memenuhi persyaratan sang raja. Perdana menteri berniat mengusulkan pada Raja Harun agar meminang Putri Zahara. Raja Harun memang belum menikah. Agar Raja Harun selamat dari ancaman penolakan Raja Turkistan, sebaiknya bukan raja sendiri yang datang meminang. Raja bisa menugaskan pada orang kepercayaannya.
“Ya, Perdana Menteri. Aku memang pernah mendengar tentang putri Zahara. Banyak yang bilang ia putri yang paling cantik yang pernah ada di bumi. Namun ketika ditanya apakah mereka pernah melihatnya secara langsung, tak satu pun yang mengiyakan. Mereka pun hanya mendengar kabar saja. Jadi, mana bisa kecantikan diketahui dengan mendengar kabar saja?” ujar Raja Harun tak yakin.
“Baginda benar. Namun saya memiliki kawan dari kerajaan lain yang pernah melihatnya. Ia mengantarkan rajanya meminang sang putri. Rajanya gagal memenuhi persyaratan Raja Turkistan. Raja itu malah dikirim ke tiang gantungan,” ucap perdana menteri berbohong.
Ia sama sekali tak punya kawan yang pernah melihat langsung kecantikan sang putri Turkistan.
“Jadi, apa kau ingin aku bernasib sama seperti raja kawanmu itu?” tanya Raja Harun.
“Tidak. Bukan begitu maksud saya, Baginda. Kalau Baginda berhasil meminang Putri Zahara, tentu akan menguntungkan Baginda sendiri dan juga kerajaan kita,” kilah perdana menteri.
“Maksudmu?”
“Jika Baginda bisa bersatu dengan putri Turkistan, tentu akan menjadi kebahagian Baginda. Juga menjadi kebahagiaan rakyat yang mencintai Baginda. Selain itu, kerja sama dagang dengan kerajaan Turkistan akan meningkat dan sangat menguntungkan. Kita memiliki barang-barang perdagangan yang tidak mereka miliki. Jadi pasar kita terbuka luas di sana. Rakyat kita akan semakin makmur dan sejahtera,” bujuk perdana menteri.
“Namun, Baginda, saya mengusulkan cara agar Baginda aman dari risiko penolakan dan syarat berat dari Raja Turkiskan,” lanjut perdana menteri.
“Bagaimana caranya?”
“Kirim utusan yang paling Baginda percaya untuk meminta sang putri dari ayahnya.”
Raja terdiam dan berpikir-pikir. Sebenarnya usulan perdana menteri tak ada buruknya. Siapa tahu Putri Zahara memang jodohnya.
“Baiklah kalau begitu, aku akan memikirkannya masak-masak dulu,” jawab Raja Harun.
“Tentu, Baginda.”
Perdana menteri senang. Ia berhasil memengaruhi Raja Harun. Ia yakin sang raja pasti termakan kata-katanya. Saat ini, tak ada orang yang lebih dipercaya Raja Harun selain Abu Tamam. Bila bukan Abu Tamam yang diminta pergi oleh Raja Harun, perdana menteri bisa mengusulkannya lagi. Perdana menteri mengira Abu Tamam pasti juga tak akan bisa meminta Putri Zahara dari Raja Turkistan itu. Setelah seminggu berlalu, Raja Harun meminta perdana menteri menemuinya. Raja telah membuat keputusan tentang usulan melamar Putri Zahara. Perdana menteri tak sabar mendengar keputusan Raja Harun.
“Perdana menteri, kurasa aku setuju dengan usulanmu. Aku akan mengirim utusan untuk meminang Putri Zahara,” ujar Raja Harun.
Perdana menteri tersenyum menang.
“Ya, Baginda. Berikutnya, saya dengarkan titah Baginda.”
“Untuk utusan yang akan kukirim, aku akan meminta tolong pada sahabatku Abu Tamam. Kurasa ia cukup bisa dipercaya dan akan mampu memenuhi persyaratan Raja Turkistan,” lanjut Raja Harun.
Perdana menteri lagi-lagi tersenyum senang. Ia tidak perlu bersusah payah lagi mengusulkan pada Raja Harun agar mengutus Abu Tamam.
“Baik, Baginda. Apakah saya perlu memanggil Abu Tamam sekarang?”
“Ya, undanglah dia kemari. Aku akan membicarakan rencana ini dengannya.”
Perdana menteri yakin rencananya tinggal selangkah lagi. Begitu Abu Tamam pergi ke Turkistan, maka selamanya ia tak akan pernah kembali ke negeri ini. Apalagi Turkistan cukup jauh. Terlalu sulit ditempuh lewat jalur darat. Satu-satunya pilihan hanya melewati jalur laut yang juga tak sedikit risikonya. Abu Tamam pun datang ke istana memenuhi undangan Raja Harun. Mereka lalu menyusun rencana dengan matang agar rombongan yang nantinya dibawa ke Turkistan bisa kembali dengan selamat. Mereka harus menyiapkan perbekalan yang cukup banyak. Yang tak kalah penting, mereka juga harus menyiapkan kapal beserta awaknya yang tangguh.
“Tenang, Baginda. Saya memiliki kenalan nahkoda dan mualim yang berpengalaman. Saya bisa meminta bantuan mereka. Urusan kapal, biar mereka yang bertanggung jawab. Kita serahkan urusan itu pada ahlinya.”
“Ya. Lantas apa lagi yang perlu dipersiapkan?” tanya Raja Harun.
“Untuk rombongan, biarlah saya bawa pelayan-pelayan saya. Tak perlu mengikutkan prajurit. Saya khawatir Raja Turkistan sudah menaruh curiga bila saya membawa serta prajurit istana. Biar kami datang sebagai orang biasa. Dengan begitu, kami bisa lebih bebas keluar masuk sebagai pedagang biasa.”
“Kau yakin tak perlu pengamanan?” Abu Tamam tersenyum.
“Saya rasa ini sudah cukup, Baginda.”
Raja Harun pun menyerahkan semuanya pada Abu Tamam. Abu Tamam akan menyelidiki secara langsung keadaan istana dan Raja Turkistan sebelum mengutarakan maksudnya. Dengan begitu, ia bisa menyusun strategi agar bisa menaklukkan hati Sang Raja Turkistan.
“Hanya saja, saya mohon Baginda bersabar. Mungkin kami membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikan tugas ini,” ujar Abu Tamam.
Raja mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Abu Tamam.”
Abu Tamam pun pergi dan menjalankan tugasnya. Ia berlayar berhari-hari untuk bisa sampai ke Turkistan. Sesampainya di sana, Abu Tamam mencari tahu tentang Raja Turkistan dan putrinya Zahara. Informasi dari rakyat asli Turkistan sangat membantunya. Akhirnya Abu Tamam memberanikan diri menghadap Raja Turkistan. Ia pun mengutarakan maksud kedatangannya. Raja Turkistan menerima kedatangannya dengan baik dan ramah.
“Yang Mulia Raja Turkistan, saya Abu Tamam bermaksud meminang Putri Zahara untuk sahabat saya, Raja Harun yang tinggal di negeri yang jauh.”
“Begini, Abu Tamam, sudah banyak yang datang melamar putriku. Namun aku tak ingin mereka menyesal dengan apa yang dimintanya. Maka kupersilakan mereka datang sendiri menemui putriku dan menanyakan kesediaannya. Sebagai ayah, aku hanya mengharapkan putriku bahagia,” jawab Raja Turkistan.
“Saya khawatir putriku tidak memenuhi syarat untuk dipersunting oleh raja Anda. Karena itu, lebih baik Anda menemuinya sendiri di kastilnya. Silakan bercakap-cakap dengannya. Dengan begitu, Anda bisa memberikan penilaian atas kecantikan dan kecerdasannya. Kalau Anda rasa putriku memang pantas, kami hanya meminta persiapan pernikahan harus dilakukan sesegera mungkin tanpa penundaan,” lanjut Raja Turkistan.
“Terima kasih, Yang Mulia,” balas Abu Tamam, “akan tetapi kami datang ke sini hanya untuk meminta kesediaan putri Anda menikah dengan raja kami. Kami tidak dikirim untuk membuat pertanyaan apa pun padanya. Apalagi untuk menatap wajahnya ataupun mendengar suaranya. Raja kami yakin dan tak sedikit pun ragu akan kebaikan yang Anda turunkan pada putri Anda.”
Raja terdiam mendengar jawaban Abu Tamam. Ia pun berdiri dari duduknya dan memeluk Abu Tamam.
“Kau sungguh utusan yang bijaksana, Abu Tamam,” ucap Raja Turkistan ketika melepas pelukannya.
“Kau tahu, sekian banyak pria yang datang melamar putriku, semua menyanggupi untuk menemui putriku sendiri demi membuktikan kecantikan dan kecerdasannya. Hal itu sungguh membuatku marah. Putri kesayangan yang bagaikan permata bagiku dianggap seperti barang yang harus dipamerkan sebelum dibeli. Karena itu aku selalu mengajukan syarat yang berat. Bahkan menghukum mereka yang tak bisa menjaga sopan santunnya. Kau sangat berbeda. Seorang utusan yang bijaksana, pastilah memiliki raja yang bijaksana pula.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Raja menanyakan kesediaan putrinya menikah dengan Raja Harun. Putri Zahara pun setuju. Abu Tamam segera mengirim utusan untuk memberi kabar bahagia ini pada Raja Harun. Ia lantas mengawal sang putri yang diantar dengan kapal Kerajaan Turkistan ke negerinya. Raja Harun sangat bahagia mendengar keberhasilan Abu Tamam. Ia mempersiapkan pesta penyambutan yang meriah. Sementara itu, perdana menteri dan pendukungnya diliputi kemarahan karena ternyata usaha mereka menyingkirkan Abu Tamam gagal. Pernikahan Raja Harun dan Putri Zahara berjalan dengan lancar dan megah. Seluruh rakyat ikut berpesta. Abu Tamam semakin dipercaya oleh Raja Harun. Kehidupan Raja Harun semakin berwarna. Kebahagiaan meliputinya setiap hari. Ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai dan dicintainya.
Hal itu justru semakin membuat gerah perdana menteri. Ia menyusun rencana lagi untuk mengadu domba Raja Harun dan Abu Tamam. Ia masih ingin menyingkirkan Abu Tamam dari sisi Raja Harun. Perdana menteri tahu Raja Harun sangat mencintai istrinya. Perdana menteri akan memanfaatkan situasi ini. Ia membayar orang yang biasa memijat kaki raja untuk memfitnah Abu Tamam. Orang itu diminta mengembuskan berita bohong pada Raja Harun kalau Abu Tamam berniat menusuknya dari belakang. Abu Tamam ingin merebut Ratu Zahara dari sisi raja dan menggantikan posisi Raja Harun memerintah kerajaan. Si pemijat kaki raja itu memang pandai bersilat lidah. Ucapannya seakan-akan benar dan sudah terbukti. Telinga Raja Harun menjadi panas mendengarnya. Raja tersulut emosi.
“Cepat panggil Abu Tamam dan bawa ke pengadilan!” perintah Raja Harun pada perdana menteri.
Perdana menteri senang. Rencananya kali ini pasti berhasil. Abu Tamam pun datang memenuhi permintaan Raja Harun. Ia kebingungan karena tiba-tiba dihadapkan dalam persidangan. Ia pun dituntut melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan. Namun perdana menteri dan pendukungnya terus memojokkan Abu Tamam. Abu Tamam bahkan tak mendapat kesempatan membela diri.
“Kirim Abu Tamam ke tiang gantungan!” perintah Raja Harun yang masih terbakar emosi.
Rakyat yang mengetahui hal itu memohon ampunan bagi Abu Tamam. Namun, perdana menteri terus berada di sisi raja dan memanas-manasi Raja Harun agar tidak mengurungkan niatnya. Hidup Abu Tamam berakhir di tiang gantungan. Perdana menteri senang karena tak ada lagi yang mengancam posisinya. Namun berbeda dengan Raja Harun. Entah mengapa setiap hari ia terus memikirkan sahabatnya itu. Ia marah tetapi merasa kehilangan. Raja Harun larut dalam kesedihan dan kebingungan. Suatu hari tanpa sengaja ia mendengar si pemijat kakinya berbincang-bincang dengan juru masak istana. Mereka menyebut-nyebut nama Abu Tamam. Raja menjadi penasaran dan mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Abu Tamam memang malang. Ia baik. Sayangnya terlalu polos. Rupanya ia tak tahu perdana menteri memasang jebakan untuknya. Kasihan sekali dia,” ujar si pemijat kaki raja.
“Apa maksudmu?”
“Memangnya kau tidak tahu kasak kusuk di istana ini? Abu Tamam itu tidak pernah melakukan tuduhan dari Raja. Namun ia malah dihukum.”
“Maksudmu yang menyebabkan semua itu perdana menteri?” tanya juru masak.
“Siapa lagi? Perdana menteri, kan, memang dari dulu tak menyukai Abu Tamam.”
Raja terkejut mendengarnya. Ia semakin murung. Rasa bersalah menyelimutinya. Bagaimana bisa ia dulu begitu emosi dan langsung menghukum Abu Tamam. Padahal, Abu Tamam sudah banyak berjasa baginya. Raja sangat menyesal. Namun ia tak dapat membuat Abu Tamam sahabatnya hidup lagi. Raja pun berusaha menegakkan keadilan. Ia menyidangkan perdana menteri dan pendukungnya. Raja pun menjatuhkan hukuman pada mereka. Raja selalu menyesal bila teringat akan perbuatannya. Karena itulah, sekarang ia selalu berhati-hati setiap menerima berita apa pun. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dan merasakan penyesalan sepanjang hidupnya.
***
Budi cukup lama main boneka, ya akhirnya selesai juga. Eko dan Abdul, ya memuji pertunjukan boneka yang di mainkan Budi, ya beserta ceritanya juga. Budi menaruh boneka di kotak kardus lah. Ketiganya melanjutkan dengan acara main kartu remi lah.
No comments:
Post a Comment