Di sebuah rumah bambu yang terlihat aneh, hiduplah seorang lelaki yang sudah tua bersama istrinya. Rumah itu berada di dekat sebuah kebun yang sangat luas. Di kebun itu tumbuh berbagai macam bunga yang berwarna-warni. Di belakang rumah mereka terdapat sebuah ladang yang cukup luas. Mereka telah bertahun-tahun menanaminya dengan labu putih. Setiap hari ada saja labu putih yang matang dan siap untuk dimasak. Dari ladang inilah mereka mendapatkan makanan. Lelaki tua dan istrinya ini telah lama menikah. Namun, hingga kini keduanya belum mendapatkan anak. Mereka sangat merindukan suara anak-anak seperti halnya tetangga mereka yang memiliki dua atau tiga bahkan lebih anak yang sangat lucu. Mereka telah berdoa setiap hari agar dikaruniai anak. Akan tetapi, doa itu belum terkabul hingga saat ini.
Usia mereka telah tua sehingga mereka semakin sadar bahwa mungkin mereka akan selamanya hidup berdua tanpa kehadiran anak dalam hidup mereka. Karena hal inilah, mereka selalu merasa kurang bahagia. Setiap kali melihat kebun bunga di dekat rumah mereka, pasangan suami istri itu selalu membayangkan jika mereka mempunyai seorang anak perempuan. Mereka akan memetik bunga-bunga itu lalu menghiaskannya di kepala anak perempuan mereka. Anak perempuan itu pastilah terlihat cantik. Selain itu, anak perempuan mereka pastilah akan merasa sangat bahagia bermain dan berlari-lari di kebun yang terlihat berwarna-warni dari kejauhan. Tetapi, begitu teringat akan usia mereka yang sudah tua, mereka akan melupakan keinginan tersebut.
Suatu pagi, mereka pergi ke ladang di belakang rumah mereka. Mereka hendak melihat apabila ada labu putih yang bisa dipetik. Lelaki tua membawa sebuah pisau dan istrinya membawa keranjang. Sesampainya di ladang, mereka sangat gembira melihat beberapa labu sudah bisa dipetik. Mereka pun memetiknya satu per satu dan memasukkannya ke dalam keranjang. Labu-labu itu akan mereka bawa pulang untuk dimasak dan sebagian lagi akan dibagikan kepada tetangga di dekat rumah. Selama hidup mereka, ladang ini selalu memberikan hasil panen berupa labu-labu terbaik yang pernah ada. Mereka tidak pernah kekurangan makanan. Ladang ini adalah yang terbaik yang ada di desa mereka. Akan tetapi mereka tetap merasa hidup mereka tidaklah lengkap karena ketidakhadiran seorang anak perempuan dalam hidup mereka.
“Andaikan Tuhan mengirimkan seorang anak perempuan untuk kita, aku akan lebih bersyukur lagi,” demikian ucap istri lelaki tua itu setiap hari.
Malam telah tiba. Keduanya telah bersiap untuk beristirahat setelah seharian lelah memetik labu dan membagikannya kepada para tetangga. Namun, ketika keduanya hampir memejamkan mata, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Rupanya angin topan telah datang. Angin itu hampir saja merobohkan rumah mereka. Untung saja rumah mereka sangat kuat sehingga hanya sedikit saja bagian rumah yang rusak akibat angin topan. Ketika pagi telah tiba mereka mengkhawatirkan ladang di belakang rumah. Semalam angin topan itu sangat kuat dan membuat rumah mereka rusak. Mereka memutuskan untuk melihat labu di ladang.
Ketika sampai di ladang, mereka melihat tanaman labu yang sudah porak-poranda diterjang angin topan. Mereka hanya bisa menatap ladang dan tanaman labu yang sudah hancur tidak tersisa. Satu hari setelah kejadian itu sang istri mencoba kembali ke ladang mereka. Ia berharap masih ada labu yang bisa ia temukan. Setidaknya jika masih ada labu yang tersisa ia bisa mengambil biji-bijinya untuk ditanam kembali di ladang. Ia pun mengelilingi ladang dan melihat sisa-sisa tanaman labu. Tampaknya angin topan itu sangat kencang sehingga tidak tersisa satu pun labu yang bisa ia petik. Daun-daunnya pun telah hancur berserakan.
Akan tetapi, ketika ia hampir putus asa, dilihatnya sesuatu di balik tumpukan daun labu yang telah layu. Ia membuka tumpukan daun itu dan dilihatnya sebuah labu kecil yang masih segar. Labu itu berwarna hijau. Meskipun merasa agak aneh karena labu yang mereka tanam sebelumnya berwarna putih, ia pun membiarkan labu itu tumbuh. Ia membersihkan daun-daun yang telah layu di sekitarnya. Labu inilah harapan terakhir untuk ia dan suaminya. Ia pun segera pulang dan memberi tahu suaminya tentang labu kecil itu. Mereka berdua pun merawat labu itu baik-baik agar bisa mengambil biji-bijinya dan menanam di ladang mereka kembali.
Setiap hari mereka pergi ke ladang untuk melihat perkembangan labu mereka. Selama menunggu labunya menjadi besar, sang suami mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Ia teringat akan bunga-bunga berwarna-warni di kebun dekat rumah mereka. Ia pun mengambil bunga-bunga tersebut dan istrinya merangkainya menjadi rangkaian bunga yang sangat indah. Bunga-bunga itu pun mereka jual di pasar. Mereka bisa menghasilkan sedikit uang untuk dibelikan makanan. Setelah berminggu-minggu tidak sempat melihat labu karena sibuk merangkai bunga, sang istri mencoba untuk pergi ke ladang. Ia berharap labu itu telah siap untuk dipetik.
Dengan membawa sebuah pisau dan keranjang ia pergi ke ladang. Dan betapa terkejutnya ia melihat labu itu. Kini labu yang semula ia temukan berwarna hijau berubah menjadi labu putih yang sangat besar. Ini adalah labu terbesar yang pernah ia lihat. Dengan sangat hati-hati ia mulai menggunakan pisaunya untuk memotong tangkai labu. Ia sudah tidak sabar untuk segera memetik dan membawanya pulang. Ketika labu itu telah terlepas dari tangkainya, tiba-tiba labu itu bergerak-gerak. Sebuah suara ketukan terdengar dari dalam labu. Wanita itu pun sangat ketakutan. Dengan jantung yang berdegup ia lari meninggalkan ladang dan menemui suaminya di rumah. Ia meninggalkan labu besar itu di ladang. Tidak lama kemudian ia pun sampai ke rumahnya.
“Suamiku! Labu itu sangat aneh. Kamu harus ke ladang!”
Ia menarik tangan suaminya yang juga sangat terkejut melihat istrinya yang datang dengan napas terengah-engah. Tanpa banyak bertanya, suaminya hanya mengikuti istrinya yang berlari kembali ke ladang. Mereka berdua berlari dan mendapatkan labu yang terus bergerak-gerak. Dari dalam labu itu terdengar suara seperti suara tangisan seorang anak. Karena merasa penasaran, sang suami lalu membelah labu itu dengan pisau. Setelah labu terbelah, keduanya membelalakkan mata. Mereka hampir tidak percaya pada apa yang mereka lihat. Seorang bayi laki-laki berada di dalam labu. Ia sedang menangis seperti bayi yang baru dilahirkan. Untuk beberapa detik keduanya hanya diam. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat.
“Mungkin ini jawaban dari Tuhan atas doa kita,” kata sang istri memecah keheningan.
“Tapi andaikan ini anak perempuan, aku pasti lebih bersyukur,” lanjutnya dengan nada agak kecewa.
Bagaimanapun juga akhirnya keduanya memutuskan untuk membawa pulang bayi laki-laki yang baru saja mereka temukan itu. Sang istri mengambil ember untuk mandi dan menyiapkan air hangat. Ia hendak memandikan bayi itu. Bayi itu menangis dengan sangat kencang sejak di ladang sampai di rumah. Namun, begitu dimasukkan ke dalam bak mandi bayi itu terdiam. Ketika sang istri menggosok punggung bayi laki-laki tersebut, emas yang sangat berkilau keluar dari dalam kulit punggungnya. Ia pun segera mengambil emas-emas itu. Dengan senyum yang sangat lebar ia memberitahukan hal ini pada suaminya.
“Mungkin kita bisa menemukan bayi di dalam labu lagi,” kata sang istri kepada suaminya.
Sejak saat itu keduanya rajin menanam labu dan berharap kejadian yang sama akan terjadi pada mereka. Meskipun sejak mendapatkan emas itu hidup mereka tidak kekurangan, keduanya menginginkan emas yang lebih banyak. Akan tetapi, tidak satu pun labu yang mereka petik memberikan keajaiban yang sama. Mereka pun mengeluh kepada Tuhan dan berdoa agar mereka diberi labu-labu ajaib yang lain. Beberapa hari kemudian sang istri bersiap memandikan bayinya dengan air hangat. Dalam hati ia berharap akan mendapatkan emas dari punggung bayinya sama seperti saat pertama ia memandikannya. Ia meletakkan bayinya di bak yang berisi air hangat. Perlahan-lahan ia menggosok punggungnya.
Sekejap saja dari punggung bayinya keluar emas seperti yang ia harapkan. Ia pun kembali tersenyum lebar dan menyimpan emasnya. Suaminya pun merasa sangat senang. Semakin lama keduanya selalu merasa semakin kekurangan dan ingin mendapatkan lebih banyak emas dari bayi itu. Mereka juga tidak segan-segan mencari labu yang mungkin saja berisi bayi yang mungkin saja bisa memberikan mereka lebih banyak emas. Setiap hari keduanya pergi ke ladang untuk mencarinya. Setelah memperoleh emas dari bayi yang mereka temukan di ladang, keduanya kini berubah menjadi orang yang tamak. Mereka menginginkan emas lebih banyak lagi. Suatu sore, keduanya hendak memandikan bayi mereka.
Seperti biasa, sang istrilah yang bertugas menyiapkan air hangat dan memandikan bayi mereka. Mereka memang telah berniat untuk kembali mendapatkan emas dari bayi itu. Dan benar saja, ketika sang istri menggosok punggung bayinya, keluar emas seperti biasa. Mereka pun bersorak gembira. Pagi harinya, sebelum matahari terbit keduanya telah terbangun dan bersiap memandikan bayi mereka. Keduanya telah sepakat untuk mengambil emas dari bayinya setiap hari. Dengan begitu mereka bisa membangun rumah mereka menjadi rumah yang megah. Seperti biasa, sang istri telah menyiapkan air panas. Bayi itu terlihat masih tertidur. Tetapi karena sudah tak sabar, mereka berdua pun berusaha membangunkannya.
Bayi itu tetap tidak bergeming dan masih tertidur. Mereka pun terpaksa memandikannya dalam keadaan tertidur. Sang istri memasukkan bayi itu ke dalam bak. Dibaliknya tubuh bayi itu dan digosok-gosoklah punggungnya. Ia menggosokkan tangannya berkali-kali di atas punggung bayi itu, tapi tidak ada emas yang keluar dari dalamnya. Ia pun semakin keras mengguncang-guncang tubuh bayi tersebut. Namun hasilnya nihil. Bayi itu bahkan tetap tidak terbangun dari tidurnya. Merasa sangat kesal, keduanya hampir saja membuat tubuh bayi itu tenggelam dalam bak mandi. Tiba-tiba bayi itu menghilang dari pandangan keduanya. Mereka merasa sangat marah. Sang istri pun segera memeriksa emas-emas yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Ia menyimpannya di lemari. Akan tetapi, ketika memeriksa lemarinya tidak satu pun emas ada di dalamnya. Emas-emas itu telah hilang bersama bayi mereka. Keduanya hanya bisa terduduk lemas. Kini mereka kembali ke kehidupan mereka semula, kembali miskin dan tidak mempunyai anak. Inilah pelajaran untuk orang-orang yang tidak pernah merasa bersyukur dan tidak pernah merasa puas.
***
Budi cukup lama bercerita pake wayang dan akhirnya selesai juga gitu. Eko memuji pertunjukkan wayang Budi, ya begitu juga ceritanya gitu. Budi menaruh wayang di kursi kosong.
"Imam Mahdi itu. Apa mungkin muncul dari antara umat Islam untuk membenarkan ajaran agama Islam?" kata Budi.
"Mungkin saja. Ya seperti pemuda yang dapat mendengarkan Roh," kata Eko.
"Iya juga ya," kata Budi.
"Emmmm," kata Eko.
Eko dan Budi, ya melanjutkan acara dengan main catur lah.
No comments:
Post a Comment