"Kenapa orang menunjuk ke atas sambil menyebut Tuhan?!" kata Budi.
"Nama juga manusia, ya dapet dari belajar," kata Eko.
"Apa karena Nabi Muhammad naik ke langit dan mendapatkan perintah sholat?!" kata Budi.
"Ya bisa jadi sih," kata Eko.
"Agama lain juga memuja langit untuk menyatakan Tuhan yang di sembah," kata Budi.
"Iya juga ya agama lain," kata Eko.
"Langit seisinya ini kekuasaan Tuhan. Ya Tuhan satu," kata Budi.
"Tuhan Maha Esa. Allah SWT," kata Eko menegaskan omongan Budi.
"Ooo iya Eko. Makelar tanah itu ada yang bener ada yang tidak kan?!" kata Budi.
"Memang sih makelar tanah di kota Bandar Lampung ini, ya ada yang bener ada juga tidak," kata Eko.
"Orang nyari uang dengan jalan jadi makelar tanah," kata Budi.
"Gejala keadaan ekonomi di kota Bandar Lampung," kata Eko.
"Ada kaitan dengan orang-orang partai politik apa enggak tentang makelar tanah itu?!" kata Budi.
"Ada kaitan dengan orang partai politik ada juga tidak," kata Eko.
"Ooooo iya Eko. Aku telah baca buku. Ya aku telah tahu tentang jawaban pemuda yang bisa mendengarkan roh dan juga orang yang telah naik Haji dan juga punya gelar pendidikan agama sampai profesor, tapi tidak bisa mendengarkan roh," kata Budi.
"Terus!!!!" kata Eko.
"Pemuda yang mendengarkan roh itu, ya jalan agama jujur, ya benar agama. Sedangkan orang tidak mendengarkan roh itu, ya tidak jujur, ya tidak benar agama," Kara Budi.
"Jadi?!" kata Eko.
"Kemungkinan, ya antara iya dan tidak," kata Budi.
"Kemungkinan, ya antara iya dan tidak," kata Eko.
"Memang jawabannya lebih baik kemungkinan, ya antara iya dan tidak," kata Budi.
"Kan aku buat kemungkinan antara iya dan tidak karena aku kan lulusan SMA. Aku butuh banyak baca buku untuk dapat menjawab dengan baik. Sedangkan Budi telah baca buku dengan baik. Kok jadinya jawabannya lebih kemungkinan antara iya dan tidak?!" kata Eko.
"Aku jelaskan dengan baik Eko. Kenapa lebih baik kemungkinannya antara iya dan tidak?!" kata Budi.
"Silakan jelaskan Budi!" kata Eko.
Eko mendengarkan dengan baik penjelasan Budi, ya sampai Eko mengerti banget.
"Jadi begitu Eko," kata Budi.
"Aku mengerti Budi. Memang lebih baik kemungkinannya, ya antara iya dan tidak," kata Eko.
"Misteri banget kan," kata Budi.
"Iya misteri banget," kata Eko.
"Kalau mau tentang kebenarannya sih, ya ada dalam buku sih," kata Budi.
"Buku itu. Budi pinjem dari siapa?!" kata Eko.
"Dari temen yang telah lulus kuliah, ya sarjana sih. Kata Eko kan belajar dari pergaulan dari ilmunya setingkat kita, ya SMA, ya sampai ilmunya lebih dari kita, ya sarjana. Yang baik di ambil. Yang buruknya di buang. Kalau belajar dalam pergaulan," kata Budi.
"Oooo dari temen Budi yang pendidikannya sarjana. Budi pinter!" kata Eko.
"Terima kasih Eko di puji pinter," kata Budi.
Budi mengambil gelas berisi kopi, ya di minum dengan baik kopi lah.
"Emmmm," kata Eko.
Eko mengambil gelas berisi kopi, ya di minum dengan baik kopi lah. Budi menaruh gelas berisi kopi di meja.
"Dengan baca buku dengan baik, ya aku tahu jawaban dari pertanyaan yang aku lah," kata Budi.
Eko menaruh gelas berisi kopi di meja lah.
"Pengetahuan bertambah karena baca buku, ya beda dengan orang tidak baca buku, ya pengetahuannya sebatas gitu gitu saja," kata Eko.
"Emmmmm," kata Budi.
"Main catur saja!" kata Eko.
"Ok. Main catur!" kata Budi.
Budi mengambil papan catur di bawah meja dan di taruh papan catur di atas meja. Budi dan Eko, ya menyusun dengan baik bidak catur di atas papan catur.
"Sarjana itu pemikirannya kritis ya Eko?!" kata Budi.
"Ada kritis ada yang enggak," kata Eko.
"Jika aku menyudutkan orang pendidikan tinggi dari gelar S1 sampai S3, ya profesor dengan sebuah pertanyaan, di anggap tidak masalah dalam pendidikan, ya Eko?!" kata Budi.
"Ya tidak ada masalah sih. Nama juga pendidikan. Belajar jadi pintar. Yang salah di benarkan dan yang benar tetap benar," kata Eko.
"Oooo begitu," kata Budi.
Keduanya main catur dengan baik.
No comments:
Post a Comment