Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda bersama ibunya yang telah tua. Mereka berdua tinggal di daerah Padang Lawas Utara. keduanya bekerja sebagai buruh tani dan hidup sederhana. Namun, pemilik lahan pertanian sangat menyukai mereka berdua sebagai pekerja. Mereka memiliki sifat jujur dan rajin bekerja. Pada suatu ketika, pemilik lahan sedang berbincang dengan Sampuraga. Sang pemilik lahan berkata kepada Sampuraga “Sampuraga, kau adalah pemuda yang jujur dan rajin bekerja. Selain itu, kau juga masih muda, tenagamu masih kuat. Aku khawatir, jika pekerjaanmu yang terus menerus sebagai buruh tani akan memberikan penghidupan yang kurang layak bagimu. Di daerah Mandailing, banyak penduduknya bekerja sebagai pendulang emas. Sebaiknya engkau pergi merantau ke sana sebagai pendulang emas, agar hidupmu sukses."
Sesaat Sampuraga merenung. Ia ingin sekali mendapatkan pekerjaan yang layak agar bisa membahagiakan orang tuanya.
Ia lalu berkata “Baiklah Pak, saya akan pulang ke rumah dan membicarakanya kepada Ibu terlebih dahulu.”
Sampuraga akhirnya pulang ke rumah menemui ibunya. Dia menyampaikan berita yang telah dia peroleh dari pemilik tanah kepada ibunya.
“Anakku Sampuraga, pergilah engkau ke Mandailing untuk bekerja sebagai pendulang emas. Ibu mengizinkanmu. Ibu juga ingin melihatmu hidup sejahtera. Maafkan ibu yang tidak bisa membahagiakanmu hingga saat ini. Pergilah nak, mudah-mudahan engkau sukses di sana,” sang ibu mengizinkan dengan raut wajah yang sedih karena takut kehilangan anaknya. Dia khawatir tidak dapat bertemu lagi dengan Sampuraga.
Sampuraga akhirnya pergi ke Mandailing dan berpamitan dengan ibunya.
“Bu, aku akan kembali dan akan menjemput ibu ketika aku telah sukses nanti,” kata Sampuraga.
Dalam perjalanan ke Mandailing, Sampuraga beristirahat untuk melepas lelah di daerah yang bernama Pidoli Lombang. Lalu, dia melanjutkan perjalanan ke Desa Sirambas. Di daerah Sirambas merupakan daerah yang dipimpin oleh Raja Silanjang.
Ternyata, Sampuraga bekerja menjadi anak buah dari Raja Silanjang. Sebagai pegawai dalam menjalankan usaha dagang dari Raja Silanjang, Sampuraga bekerja dengan tekun dan penuh kejujuran, sehingga Sampuraga menjadi anak buah yang disenangi oleh Raja Silanjang. Raja Silanjang akhirnya mempercayakan usaha daganganya kepada Sampuraga. Sampuraga akhirnya menjadi seorang pemuda yang kaya raya.
Karena Raja Silanjang memiliki seorang putri yang cantik jelita dan belum menikah. Akhirnya, Sampuraga dinikahkan dengan putri dari Raja Silanjang, karena raja telah senang dengan kepribadian Sampuraga. Pesta pernikahannya dirayakan dengan begitu mewah dan megah. Hingga akhirnya, berita pernikahan Sampuraga dengan anak Raja Silanjang sampai ke kampung tempat kelahiran Sampuraga.
Mendengar kabar bahwa Sampuraga menikah, sang ibu heran mendengarnya. Jika pemuda itu adalah Sampuraga, anaknya, mengapa berita tentang pernikahannya tidak disampaikan secara langsung oleh anaknya. Sang ibu ingat dengan ucapan Sampuraga, bahwasanya apabila dia telah kaya raya, dia akan kembali mendatangi dan menjemput sang ibu. Karena kepenasaran sang ibu terhadap anaknya, berangkatlah beliau ke Desa Sirambas, untuk memastikan bahwa anaknya benar-benar telah menikah.
Sang ibu menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk sampai ke Desa Sirambas. Setelah mengetahui dimana letak pesta pernikahan itu berada, sang ibu sangat takjub dengan kemeriahan pesta yang belum pernah dia temukan seumur hidupnya. Dengan hati yang berdebar-debar, sang ibu dengan pakaian lusuh dan kumal mendekati pesta tersebut. Alangkah terkejutnya sang ibu, bahwa Sampuraga sedang bersanding dengan istrinya yang cantik jelita. Sang ibu akhirnya bahagia telah menemukan anaknya.
“Anakku Sampuraga..., ibu datang sayang,” teriak ibu tua tersebut dengan penuh kebahagiaan.
Seluruh tamu undangan tercengang atas kehadiran seorang perempuan tua yang lusuh tersebut. Mereka heran, mengapa ada tamu yang datang dengan pakaian lusuh dan mengakui bahwa Sampuraga adalah anaknya. Melihat kejadian tersebut, Sampuraga yang duduk di pelaminan bersama istrinya menjadi tercengang. Dia malu dengan kehadiran ibu kandungnya sendiri dalam keadaan pakaian yang compang-camping. Dengan nada suara yang tinggi, Sampuraga mengusir ibunya yang telah tua renta.
“Siapa kau wahai perempuan tua dan miskin ?! aku tidak mengenali kau, kau mengacaukan pestaku ini ! Ibuku sudah lama meninggal, pergi kau dari sini !” hardik Sampuraga tiada ampun.
Dengan sigap, beberapa pengawal di pesta itu menyeret ibu Sampuraga untuk keluar dari wilayah pesta pernikahan. Ibu Sampuraga menangis dengan air mata yang berlinang. Dia tidak menyangka bahwa anaknya yang telah dikandung, dilahirkan, dan dibesarkan oleh dirinya sendiri telah berbuat demikian. Begitu durhakanya Sampuraga mengusir ibunya dengan tidak sewajarnya.
Sambil menangis terisak ibu Sampuraga berkata “Ya Tuhan, jika memang itu adalah anakku, berikanlah hukuman yang setimpal.”
Tidak lama kemudian, cuaca menjadi buruk, angin bertiup kencang, lalu datanglah air panas yang meluluhlantakan tempat pesta pernikahan Sampuraga bersama istrinya. Semua orang dalam pesta tersebut saling berlari menyelamatkan diri. Sampuraga akhirnya hilang ditelan banjir air panas. Tempat pesta pernikahan Sampuraga berubah menjadi kolam air panas. Kolam air panas tersebut dinamakan dengan Kolam Sampuraga.
***
Ridho menyelesaikan baca bukunya.
"Bagus cerita asal Sumatra Utara," kata Ridho.
Ridho menutup buku dan menaruh buku di meja dengan baik.
No comments:
Post a Comment