Rara yang masih duduk di SMP, ya setelah pendidikan sekolah selesai sih langsung pulang ke rumah. Di rumah, ya Rara berganti baju dan makan-makanan buatan Ibu yang enak banget. Rara ingin main sih jadi Rara ke rumah Tiara seperti biasanya. Sampai di rumah Tiara, ya ternyata Tiara tidak ada di rumah. Rara kembali pulang di rumahnya. Rara di rumah sedikit bosan tidak ada teman yang di ajak bermain. Rara teringat dengan dengan buku cerita yang ia pinjam dari perpustakaan sekolahnya. Rara segera mengambil bukunya. Buku yang mau di baca berada di dalam tas, ya setelah di keluarkan dari tas.
"Buku ini yang ingin ku baca. Legenda Pulau Kemaro," kata Rara
Rara membawa bukunya ke ruang tamu. Duduk di ruang tamu dengan santai, ya mulailah Rara membuka bukunya dengan baik dan segera di baca dengan baik pula.
Isi buku cerita yang di baca Rara dengan baik :
Pulau Kemaro adalah sebuah delta kecil di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan. Ada sebuah cerita rakyat tentang Pulau Kemaro yang konon berkaitan dengan kisah cinta seorang putri raja Sriwijaya, Siti Fatimah dengan seorang saudagar asal Tiongkok, Tam Bun An. Konon pada masa pemerintahan Sriwijaya, memerintah seorang Raja yang bijaksana yang memiliki seorang putri cantik bernama Siti Fatimah.
Pada suatu ketika, sekelompok saudagar dari Tiongkok yang dipimpin oleh Tam Bun An, datang ke kerajaan Sriwijaya. Tam Bun An mendengar kabar dari masyarakat sekitar tentang kecantikan Siti Fatimah, putri Raja Sriwijaya. Atas saran nakhoda kapal, Tam Bun An kemudian pergi ke istana untuk menemui Siti Fatimah. Mereka kemudian datang ke istana dengan membawa arak-arakan alat musik mengikuti Barongsai.
Melihat keributan di depan istana, putri raja segera keluar untuk melihat. Siti Fatimah sangat terkesan dengan pertunjukan barongsai tersebut. Tam Bun An akhirnya bisa bertemu dengan Siti Fatimah. Mereka kemudian saling mengenal. Sejak saat itu keduanya sering bertemu. Akhirnya benih cinta tumbuh di antara keduanya.
Raja Sriwijaya mengetahui hubungan anaknya dengan Tam Bun An, dan memanggil Tam Bun An. Di hadapan Raja, Tam Bun An mengutarakan niatnya untuk melamar Siti Fatimah. Namun Raja keberatan karena perbedaan adat.
“Baginda Raja. Aku bermaksud melamar putrimu, Siti Fatimah, menjadi istri pelayanku. Aku sangat mencintainya,” kata Tam Bun An.
"Anak-anak muda, kita memiliki kebiasaan yang berbeda. Saya juga tidak ingin anak saya di bawa ke China,” kata Raja.
“Jika itu keinginan Raja, maka saya bersedia tinggal di tanah Sriwijaya,” kata Tam Bun An yang sudah terlanjur jatuh cinta pada Siti Fatimah.
"Baiklah kalau begitu aku setuju untuk menikahkan anakku denganmu. Tetapi untuk membuktikan keseriusan Anda, Anda harus menyerahkan sembilan toples besar emas murni,” kata Raja.
Tam Bun An senang mendengar penjelasan raja. Dia berjanji untuk menyerahkan sembilan tempayan besar berisi emas murni. Tam Bun An segera mengirimkan surat kepada orang tuanya di daratan China melalui seekor burung merpati, untuk mengirimkan sembilan guci besar berisi emas, agar ia bisa melamar gadis yang ia cintai. Tak lama kemudian, muncul surat balasan dari orang tua Tam Bun An yang menyatakan bahwa mereka akan segera mengirimkan sembilan tempayan emas permintaannya.
Orang tua Tam Bun An segera menyiapkan permintaan anaknya. Karena perjalanan yang begitu panjang, khawatir dengan tindakan para perompak di tengah laut, orang tuanya menaruh sayuran busuk di atas toples emas untuk menipu para perompak.
Beberapa bulan kemudian, sebuah kapal yang membawa sembilan guci emas dari orang tua Tam Bun An tiba di dermaga Pemerintah. Tam Bun An mengajak Raja dan Siti Fatimah naik ke kapal. Tam Bun An segera membuka toples emas itu. Betapa terkejutnya dia menemukan isinya hanyalah sayuran busuk. Ia lalu membuka toples lagi dan ternyata isinya sama, sayur busuk. Karena marah, Tam Bun An kemudian melemparkan guci-guci itu ke Sungai Musi. Satu per satu guci dia lempar ke sungai. Saat hendak melempar guci kesembilan, guci itu jatuh ke lantai dan pecah hingga mengeluarkan sebatang emas murni.
Mengetahui hal itu, Tam Bun An menyesal membuang delapan guci emas itu. Siti Fatimah berusaha menenangkan kekasihnya. Demikian pula Raja Sriwijaya berusaha menenangkan Tam Bun An. Raja berkata bahwa Tam Bun An dapat menikahi putrinya karena syarat telah dipenuhi.
"Tuan Raja. Saya sangat menyesal telah membuang toples emas. Biarkan saya menyelam ke sungai untuk mengambil emas itu kembali,” Tam Bun An langsung melompat ke sungai meski dihentikan oleh semua orang.
Orang-orang di dermaga menunggu dengan cemas, karena setelah sekian lama, Tam Bun An belum juga muncul ke permukaan. Siti Fatimah terlihat sangat panik. Dia terlihat melompat ke sungai mengikuti kekasihnya. Orang-orang mencoba menghentikan Siti Fatimah dari melompat, tetapi sudah terlambat. Siti Fatimah memberanikan diri ke sungai untuk mencari kekasihnya. Raja Sriwijaya segera berteriak menyuruh orang-orang melompat ke sungai, mencari Siti Fatimah dan Tam Bun An. Setelah berjam-jam, orang-orang bahkan tidak berhasil menemukan keduanya. Mengetahui hal ini, Raja Sriwijaya menjadi sangat sedih.
Bertahun-tahun setelah kejadian, tempat Tam Bun An dan Siti Fatimah berkelana, muncul endapan atau delta yang terus meluas hingga menjadi sebuah pulau. Orang menamakannya Pulau Kemaro . Kemudian warga membangun masjid dan pura untuk menghormati sepasang Putri Fatimah & Tam Bun An.
***
Rara menghentikan baca bukunya.
"Cerita yang bagus. Pintar yang membuat ceritanya. Aku terkesan dengan cerita kisah cintanya," kata Rara.
Rara menutup bukunya dengan baik dan buku di taruh di meja. Tiara dateng ke rumahnya Rara, ya mau mengajak main gitu. Rara dan Tiara main bersama di rumah dengan penuh kegembiraan.
No comments:
Post a Comment