Qarin adalah nelayan miskin yang tinggal tak jauh dari pantai. Setiap hari ia menjala ikan di laut untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. Qarin memang tak memiliki perahu untuk mencari ikan ke tengah laut. Karenanya, ia hanya menjaring ikan di tepi laut saat masih pasang. Meski demikian, Qarin tak pernah mengeluh. Ia selalu bersyukur dengan apa pun yang ia dapatkan. Hari masih gelap. Fajar baru saja beranjak turun. Rembulan pun masih bersinar di langit. Sebagian orang masih terlelap di tempat tidur. Namun Qarin sudah pergi ke pantai untuk menebar jala. Jika ia terlambat, air laut segera surut dan ia tak bisa mendapatkan apa-apa.
Setiap mencari ikan, Qarin hanya empat kali menebar jala. Qarin melakukannya agar tidak mengambil terlalu banyak ikan. Qarin pun biasa melepaskan ikan-ikan yang masih kecil agar dapat tumbuh besar dan berkembang. Selain itu, biasanya ketika cahaya matahari mulai tampak dari celah-celah awan, ikan-ikan mulai meninggalkan tepi pantai. Hari itu, Qarin pergi mencari ikan seperti hari-hari sebelumnya. Ia memanggul jalanya menuju ke pantai yang masih sepi. Sesampainya di pantai, Qarin pun menebar jalanya. Setelah menunggu beberapa saat, Qarin mulai menarik jalanya. Jala itu terasa berat saat ditarik.
“Wah, berat sekali. Pasti aku menangkap ikan yang besar!” gumam Qarin senang.
Sudah beberapa hari ini ia tak mendapatkan banyak ikan. Ikan-ikan yang ia dapatkan hanya cukup untuk dimakan sendiri. Qarin berharap mendapatkan tangkapan lebih agar bisa dijual di pasar. Saat jala telah ditarik, Qarin kecewa. Yang ia dapatkan ternyata bukanlah ikan yang besar. Tarikannya terasa berat oleh bangkai keledai yang tersangkut di jalanya. Bangkai keledai itu juga membuat jala Qarin rusak. Qarin pun mengubur bangkai keledai itu. Qarin berhenti sejenak. Ia memperbaiki jalanya yang rusak. Qarin kehilangan waktunya. Tapi bila ia tak memperbaiki dulu jalanya, ia tak bisa menangkap ikan. Untungnya Qarin sudah terbiasa memperbaiki jalanya sendiri. Ia tak butuh waktu lama untuk melakukannya. Qarin segera kembali ke laut. Ia menebar lagi jalanya. Ia berharap kali ini benar-benar mendapatkan tangkapan yang bagus. Ikan-ikan segar yang besar dan banyak. Qarin menunggu lagi sesaat. Kemudian ia mulai menarik jalanya ke tepi pantai. Jala itu terasa berat saat ditarik.
“Berat sekali jala ini. Semoga kali ini aku benar-benar mendapatkan ikan yang besar,” ucap Qarin dalam hati.
Sayangnya kali ini Qarin pun dibuat kecewa. Jalanya justru berisi sekeranjang sampah. Sampah-sampah itu tersangkut di jala Qarin dan membuatnya menjadi sangat kotor.
“Aku benar-benar kurang beruntung hari ini. Kalau tak juga dapat ikan, bisa-bisa anak dan istriku tak makan,” ucapnya kecewa.
Qarin bergegas membersihkan sampah-sampah yang menyangkut di jalanya. Ia mencuci jala itu dengan air laut. Qarin masih punya dua kesempatan melempar jala. Ia tak mau berhenti berusaha. Ia berharap usahanya tak sia-sia. Jala yang sudah kembali bersih dilemparkan lagi ke tepi laut. Kali ini Qarin menebar jalanya agak jauh dari tempat pertama ia menebar jala. Siapa tahu kali ini ia beruntung. Saat menarik lagi jaringnya, kembali Qarin kecewa. Yang ia dapatkan hanya batu, kerang, dan lumpur. Qarin menghela napas. Ia hampir putus asa. Ini kesempatan terakhirnya melempar jala. Qarin menebar jalanya untuk keempat kalinya. Saat jala itu ditarik, tak seberat sebelumnya. Qarin berpikir ia tak mendapatkan apa-apa. Ketika jala sudah terkumpul, tampak periuk berwarna kekuningan tersangkut di jala itu. Qarin pun mengambilnya.
“Hari ini aku tak mendapatkan seekor pun ikan,” ujar Qarin sedih.
Ia melepas periuk kuningan itu dari jalanya.
“Periuk ini sepertinya masih bagus. Lebih baik kujual saja di pasar. Dengan begitu, aku bisa mendapatkan uang untuk kubelikan gandum.”
Qarin meletakkan periuk itu di pasir. Ia menggulung jalanya lalu beristirahat sebentar sebelum pergi ke pasar. Ia amati periuk yang didapatnya tadi.
“Periuk apa, ya, ini?” gumam Qarin.
Ia memeriksa semua sisi periuk kuningan itu. Qarin mengguncang-guncangkannya. Namun tak ada suara apa pun dari dalam periuk. Periuk itu tertutup rapat dan dikunci.
“Jangan-jangan ada benda berharga di dalamnya. Kalau tidak, untuk apa periuk ini dikunci?” ujar Qarin.
Qarin merasa penasaran. Ia pun mengambil pisau yang terselip di pinggangnya. Qarin berusaha mencongkel kunci periuk agar terbuka. Qarin kesulitan membukanya, tapi ia terus mencoba. Periuk itu akhirnya terbuka. Tutup periuk jatuh terlempar mengenai kakinya. Qarin mengaduh kesakitan. Periuk kuningan itu mengeluarkan asap. Awalnya sedikit. Lama-kelamaan semakin banyak. Asap itu naik ke awan dan membentang di atas pantai. Ketika semua asap sudah keluar dari periuk, gumpalan asap itu membentuk sesosok jin berukuran besar. Bahkan besarnya dua kali dari ukuran raksasa. Qarin ketakutan. Ia hendak lari tetapi kakinya gemetar dan kaku. Ia tak bisa bergerak selangkah pun.
“Raja Besar Jin, saya berjanji tak akan membangkang lagi pada Anda!” teriak jin itu.
Mendengar kata-kata jin tersebut, Qarin memberanikan diri berbicara pada jin itu. Jin itu pasti mengira telah dikeluarkan raja jin dari periuk. Padahal Qarinlah yang mengeluarkannya.
“Hai, Jin! Apa maksud perkataanmu? Ceritakan padaku bagaimana kau bisa ada dalam periuk itu!” seru Qarin.
Jin besar itu menatap Qarin. Ternyata benar. Ia salah mengira. Tadinya ia pikir Raja Jin yang mengeluarkannya dari periuk. Ternyata tak ada sosok Raja Jin di tempat itu. Yang ada hanyalah seorang nelayan kurus yang masih gemetar menahan takut.
“Jadi kau yang mengeluarkanku dari periuk?” tanya Jin.
“Ya, aku yang membuka periuk itu,” jawab Qarin.
“Kalau begitu, aku harus membunuhmu!” ucap Jin marah.
“Aduh! Apa salahku? Kenapa kau mau membunuhku? Apa kau sudah lupa? Akulah yang membebaskanmu dari periuk itu!”
Qarin semakin ketakutan.
“Aku tidak lupa!” teriak Jin.
“Justru karena itulah aku harus membunuhmu. Sekarang, pilihlah cara kematian yang paling kau suka!”
“Tapi apa yang telah kulakukan padamu? Biasanya saat seseorang membebaskan jin dari kurungan, jin itu memberikan tiga permintaan yang akan dikabulkan. Kau malah akan membunuhku. Kau juga memintaku memilih cara kematianku. Kau pasti jin jahat!” seru Qarin.
“Sayangnya aku tak punya pilihan lain untukmu.”
“Tapi sebelum aku mati, aku ingin tahu apa alasanmu membunuh orang yang telah membebaskanmu dari kurungan periuk,” elak Qarin berusaha mengulur waktu.
Qarin sengaja melakukannya. Ia berharap matahari segera muncul dan membuat jin itu pergi dari hadapannya. Sayangnya belum ada tanda-tanda fajar segera berakhir.
“Hmm... Baiklah, baiklah. Karena kau terus mendesakku, akan kuceritakan kisahku padamu,” ujar Jin.
“Aku memberontak pada Raja Jin. Ia dan pasukan jin pun menangkapku. Sebagai hukuman, ia mengurungku dalam periuk kuningan ini. Ia pun mengunci tutup periuk sehingga aku tak bisa keluar dari periuk sempit itu. Ia lalu menyuruh pasukan jin membuang periuk ini ke laut,” cerita Jin pada Qarin.
Qarin mendengarkannya dengan saksama. Siapa tahu ia mendapat cara meloloskan diri dari jin besar di hadapannya itu.
“Lalu aku menemukanmu dan membebaskanmu dari periuk itu, kan?” sambung Qarin.
“Ya, memang. Tapi aku telah mengucapkan sumpahku.”
“Apa sumpahmu?” tanya Qarin ingin tahu.
Rasa takutnya berangsur-angsur memudar.
“Selama periode awal aku dikurung dalam periuk ini aku telah bersumpah. Barang siapa yang bisa membebaskanku sebelum seratus tahun berlalu, aku akan membuatnya kaya raya. Bahkan setelah kematiannya, aku akan tetap memberikan kekayaan pada anak cucunya.”
“Jadi, kenapa kau tak membuatku kaya raya. Bukankah aku telah membebaskanmu?” sela Qarin.
Jin tampak kesal karena Qarin menyela ucapannya. “Aku belum selesai!” bentaknya.
“Sayangnya, seratus tahun pertama itu telah berlalu dan tak ada yang membebaskanku. Aku lalu bersumpah lagi. Bila ada yang membebaskanku di abad kedua aku berada dalam periuk ini, akan kuberikan padanya semua harta di dunia,” ucap Jin.
“Apakah abad itu sudah terlewat?” tanya Qarin hati-hati.
“Ya, sayangnya demikian.”
“Lalu kau bersumpah lagi? Apa sumpahmu kali ini?”
Qarin terus bertanya karena ingin tahu.
“Ya. Di abad ketiga aku dalam periuk, aku bersumpah lagi. Kali ini jika ada yang membebaskanku dari dalam periuk, aku akan menjadikannya raja. Aku akan selalu berada di dekatnya dan mengabulkan tiga keinginannya setiap hari,” jawab Jin.
“Oh, aku mohon saat ini masih di abad ketiga kau dalam periuk. Akulah yang membebaskanmu. Sudah selayaknya kau berlaku baik padaku,” mohon Qarin.
Sumpah-sumpah Jin yang selalu memberikan keuntungan bagi yang membebaskannya membuat Qarin menginginkannya.
“Lalu, kenapa sekarang kau malah mau membunuhku?” tanya Qarin lagi.
Ia tak habis pikir dengan ancaman jin itu yang akan membunuhnya.
“Karena abad ketiga pun sudah lewat. Aku terkurung sangat lama dalam periuk kuningan. Dan itu membuatku sangat marah. Aku pun bersumpah barang siapa yang membebaskanku kemudian, aku akan membunuhnya. Aku hanya memberinya pilihan cara kematian yang dia inginkan. Kaulah yang kini membebaskanku dari periuk. Jadi aku harus membunuhmu. Sekarang cepat katakan dengan cara apa kau ingin mati!”
Qarin sangat sedih dengan nasib buruk yang menimpanya.
“Betapa malangnya aku ini. Aku telah mengeluarkanmu dari kurungan. Kumohon selamatkanlah hidupku. Biarkan aku pergi!”
“Sudah kubilang tak bisa!” bentak Jin.
“Cepat katakan, cara kematian apa yang kau pilih. Jangan buang-buang waktu!”
Qarin mencari cara agar tidak mati sia-sia di tangan jin raksasa itu. Dia pun menyusun rencana agar bisa meloloskan diri.
“Baiklah. Karena aku akan mati, sebelum aku memilih cara kematianku, aku ingin kau meyakinkanku bahwa kau memang berasal dari dalam periuk kuningan ini,” ucap Qarin.
“Aku memang tadinya ada dalam periuk itu,” jawab Jin.
“Aku tak percaya. Periuk ini begitu kecil. Sedangkan kau begitu besar. Mana mungkin cukup menampungmu di dalamnya. Satu kaki pun tak akan cukup dimasukkan dalam periuk ini, apalagi seluruh tubuhmu. Aku baru akan percaya jika kau menunjukkan caranya padaku,” kata Qarin bersiasat.
“Untuk apa aku lakukan itu?”
“Tentu saja aku ingin memastikan kau benar-benar jin yang kubebaskan. Kalau ternyata kau bukan dari dalam periuk ini, untuk apa aku menyerahkan nyawaku padamu?”
“Hah! Baiklah. Perhatikan baik-baik!”
Kemudian jin raksasa itu mulai berubah menjadi asap. Sama seperti sebelumnya, asap itu sangat banyak. Membentang di atas pantai dan laut. Asap itu sedikit demi sedikit masuk ke dalam periuk hingga tak ada lagi yang tersisa di luar. Jin yang sudah berada dalam periuk berteriak, “Apa sekarang kau sudah percaya? Aku sudah berada dalam periuk lagi seperti sebelumnya.”
Qarin tidak menjawab. Ia segera mengambil tutup periuk. Ia menutup periuk itu dan menguncinya seperti semula. Qarin senang bisa terbebas dari jin yang akan membunuhnya.
“Jin, maafkan aku. Aku harus membiarkanmu tetap berada di sana. Aku tak bisa memilih cara kematianku sekarang. Anak dan istriku menungguku pulang hidup-hidup!” teriak Qarin pada jin dalam periuk.
“Hai, Nelayan, cepat buka lagi periuk ini!” ucap Jin marah.
Jin itu terkurung lagi dalam periuk dan tak dapat membebaskan dirinya sendiri.
“Tidak, Jin! Lebih baik kulemparkan lagi periuk ini ke dasar laut yang dalam. Aku akan membangun rumah di pantai ini untuk memperingatkan siapa pun tentang periuk kuningan berisi jin jahat. Jin yang justru akan membunuh orang yang membebaskannya,” jawab Qarin.
Jin berusaha membujuk Qarin agar mau mengeluarkannya lagi. Tapi Qarin tetap tak mau membuka tutup dan kunci periuk.
“Dengar, Nelayan! Jika kau mau membuka lagi periuk ini. Aku akan membalas perbuatanmu,” bujuk Jin.
“Membalas membunuhku maksudmu?”
“Tidak! Kali ini aku akan memberikan apa pun permintaanmu,” jawab jin.
Qarin tergoda untuk membuka periuk itu lagi. Jika jin sungguh akan memberikan apa pun permintaannya, maka ia bisa meminta kehidupan yang lebih layak. Anak dan istrinya bisa hidup enak. Mereka akan merasa senang. Namun Qarin berpikir-pikir lagi. Bagaimana bila ternyata jin dalam periuk itu tak menepati janjinya. Bagaimana bila jin itu tetap membunuhnya. Qarin pasti tak bisa menghindar darinya. Ukurannya saja sangat besar. Sekali injak, Qarin pasti akan kehilangan nyawanya. Qarin bingung. Ia menimbang-nimbang dua kemungkinan yang bisa terjadi bila periuk kembali dibuka. Ia menimang periuk itu.
“Maafkan aku, Jin. Aku sulit memercayaimu. Aku takut kau memperlakukanku seperti perlakuan Raja Yunani pada tabibnya,” ucap Qarin.
“Memangnya apa yang dilakukan oleh Raja Yunani pada tabibnya?” tanya Jin ingin tahu.
“Benar kau ingin tahu?”
“Ya, katakan padaku agar aku tak melakukan hal itu padamu.”
“Raja Yunani terkena sakit lepra. Sudah puluhan tabib ia datangkan untuk menyembuhkannya, namun tak ada yang berhasil membuatnya kembali sehat. Ada seorang tabib terkenal dari negeri seberang, tabib itu bernama Douban. Raja pun memanggilnya ke istana. Tabib itu sangat pandai dan ahli dalam pengobatan. Ia merawat raja dan bisa membuatnya sembuh.”
“Raja pasti memberinya hadiah, kan? Tentu, Nelayan. Kali ini aku pun akan memberikanmu hadiah. Cepatlah buka kembali periuk ini,” pinta Jin.
“Ya, raja memang sebelumnya telah menjanjikan kekayaan yang besar pada tabib tersebut. Tabib itu juga diangkat menjadi tabib istana dan menjadi orang kepercayaan raja. Sayangnya Raja memilik perdana menteri yang tamak dan iri hati. Ia tidak senang melihat kedekatan Tabib Douban dan Raja.” Qarin berhenti sejenak.
“Perdana menteri pun memfitnah Tabib Douban. Ia mengatakan bahwa sebenarnya Tabib Douban ingin membunuh raja secara perlahan-lahan dengan obat-obatnya lalu mengambil alih kerajaan. Entah mengapa raja percaya begitu saja dan menghukum Tabib Douban. Ia mengirim Tabib Douban ke tiang gantungan. Padahal tak sekali pun sang tabib punya niat buruk pada raja. Bahkan ia telah berjasa menyembuhkan Raja Yunani.”
Qarin mengakhiri ceritanya.
“Nah, Jin, aku tak mau bernasib sama seperti Tabib Douban. Memang kau telah berjanji akan memenuhi apa pun permintaanku. Tapi aku tak bisa percaya begitu saja. Tak ada yang menjamin kau tak akan melukai atau bahkan membunuhku,” ujar Qarin lagi.
“Jadi sekarang aku akan mengembalikanmu ke tempat asalmu.”
Qarin melempar periuk itu jauh-jauh. Periuk pun jatuh ke laut dan tenggelam ke dasarnya. Qarin tak menyesal. Ia pulang ke rumah meski dengan tangan hampa. Tak ada ikan yang ia bawa untuk dimakan ataupun dijual. Tetapi ia bersyukur masih tetap hidup dan bisa menemui keluarganya. Ia percaya akan ada rezeki di lain hari. Esok hari, ia akan kembali ke laut dan menjala ikan lagi.
***
Budi cukup lama main wayangnya, ya akhirnya selesai juga gitu. Eko memuji dengan baik pertunjukkan wayang Budi, ya begitu juga dengan ceritanya. Budi menaruh wayang di kursi kosong. Ya acara selanjutnya Budi dan Eko, ya main catur lah.
No comments:
Post a Comment