“Bagilah harta warisan yang aku tinggalkan kepada kalian dengan adil. Jangan sampai harta yang tidak seberapa mencerai-beraikan kalian berdua.”
Setelah mengucapkan wasiat itu, lelaki tua yang terbaring di atas lantai pun mengembuskan napasnya yang terakhir. Kedua anak mereka, Jim dan Jae Yong, menitikkan air mata duka. Mereka tidak menyangka jika ayah mereka akan pergi secepat itu. Apalagi tidak ada tanda-tanda apa pun, termasuk sakit.
“Kami akan selalu mengingat pesanmu Ayah.” Jim Yong berkata sambil terisak. Ia merasa sangat sedih. Jae Yong pun merasakan duka yang sama. Mereka merasa kehilangan orang tua yang sangat baik, jarang marah, dan selalu memberi contoh yang baik untuk anak-anaknya.
Selang beberapa waktu, upacara pemakaman pun dilakukan. Jim dan Jae Yong memakamkan ayah mereka di atas bukit dengan bantuan tetangga sekitar. Masyarakat sekitar percaya bahwa kuburan di atas bukit dapat mengantarkan roh orang yang meninggal lebih cepat untuk bertemu dengan dewa-dewa di langit. Ketika pemakaman selesai, Jim dan Je Yong kembali ke rumah masing-masing. Jim Yong tinggal di ujung desa bersama istri dan dua orang anaknya. Sementara Jae Yong, yang belum berkeluarga, menempati rumah yang ditinggalkan sang Ayah. Pembagian warisan pun akan segera mereka lakukan. Keesokan harinya Jim Yong datang ke rumah adiknya. Mereka sepakat untuk membagi harta warisan. Sesuai kesepakatan, mereka berdua mendapatkan bagian yang sama banyak.
“Baiklah adikku, Jae Yong, aku akan membawa harta warisan yang telah menjadi bagianku.” Jim Yong berdiri dari duduknya dan berpamitan kepada adiknya.
“Baiklah Kakak, aku akan membantumu menaikkannya ke dalam pedati.” Jae Yong ikut berdiri dan mengikuti kakaknya.
Mereka berdua pergi ke lumbung padi di belakang rumah, mengangkut dua per tiga isinya, dan meletakkannya di atas pedati Jim Yong. Jim Yong juga membawa beberapa barang berharga dari dalam rumah. Sementara itu, rumah, sepertiga isi lumbung, dan beberapa barang berharga yang tersisa menjadi milik Jae Yong. Jim dan Jae Yong juga membagi sawah yang ada menjadi dua sama luasnya. Mereka benar-benar ingin menunaikan amanat sang Ayah dengan seadil-adilnya. Setelah semua barang terangkut, Jae Yong ikut naik ke dalam pedati. Ia ingin membantu kakaknya membongkar isi pedati setelah tiba di rumahnya. Anak-anak Jim Yong masih kecil, sehingga tidak bisa membantu ayah mereka menurunkan barang, apalagi membongkar berkarung-karung padi.
“Wow, padi kita banyak sekali Ayah.” Hwa Je, anak perempuan Jim Yong, menyambut kedatangan mereka dengan riang.
Sang Ayah hanya tersenyum. Ia langsung mengarahkan pedatinya ke lumbung padi yang terletak di belakang rumah.
“Bagaimana kabarmu Hwa?” tanya Jae Yong kepada keponakan perempuannya itu. Ia mengangkat tubuh mungil Hwa Je dan mengayun-ayunkannya. Hwa Je menjawab pertanyaan sang Paman sambil tertawa senang.
“Di mana kakakmu?” tanya Jae Yong lagi, setelah mendudukkan Hwa Je di sebuah kursi bambu.
“Dia belum pulang sekolah,” jawab Hwa Je dengan suaranya yang lucu.
“Hwa Je, tolong bawakan minum untuk pamanmu.” Ibu Hwa Je memanggilnya dari dalam rumah.
Gadis kecil itu mendekati ibunya dengan berlari kecil dan meraih nampan berisi dua cangkir teh yang harum. Dengan hati-hati, Hwa Je berjalan membawa nampan itu. Sang Paman segera menyambutnya dan mengucapkan terima kasih. Jae Yong meminum teh itu sedikit, lalu beranjak membantu kakaknya membongkar muatan pedati. Matahari sudah berada di ubun-ubun ketika Jim dan Jae Yong menyelesaikan pekerjaan mereka. Jae Yong membasuh keringat yang mengalir di tubuhnya dan duduk di samping Hwa Je. Ia juga mengambil gelas tehnya dan menghabiskan seluruh isinya.
“Biar kuambilkan lagi, Paman.” Hwa Je mengambil gelas pamannya, bersiap untuk mengambilkan minuman lagi. Jae Yong tersenyum penuh terima kasih.
“Paman sedang apa di lumbung padi?” Seorang anak laki-laki datang menghampiri Jae Yong. Terik matahari membuat rambutnya basah oleh keringat. Pipinya yang tembem pun bersemu merah karena kepanasan.
“Sedang membantu ayahmu mengangkut padi. Kamu baru pulang Hyun?”
“Ya Paman,” jawab Hyun sambil menyeka keringatnya.
Tidak seperti hari-hari biasanya, siang ini udara terasa sangat panas. Jim Yong sudah selesai menata karung-karung beras di lumbung padinya. Dia keluar lumbung dengan bermandikan keringat. Jae Yong langsung menyodorkan minum untuk sang Kakak.
“Aku mau ganti pakaian dulu, Paman.” Hyun pamit kepada Paman dan ayahnya.
Dari dalam rumah Hwa Je datang dengan membawa satu teko air dingin. Jim Yong segera menyambutnya dan menambah isi gelasnya hingga penuh. Tidak lama kemudian, istri Jim Yong datang membawakan makan siang untuk mereka. Mereka menikmati makan siang dengan begitu nikmatnya di depan lumbung padi itu. Setelah semuanya selesai Jae Yong berpamitan. Tak lupa dia menyalami kedua keponakannya sebelum mulai berjalan pulang ke rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang Jae Yong memikirkan kakaknya yang harus menanggung kebutuhan keluarganya. Rasanya, tidak adil jika harta yang diperoleh kakaknya sama dengan yang diberikan pada dirinya yang hidup seorang diri. Kakaknya seharusnya mendapatkan bagian lebih banyak darinya. Jae Yong pun membuat sebuah rencana untuk sang Kakak.
Menjelang malam Jae Yong pergi ke belakang rumahnya. Tadi sore dia sudah menyiapkan sekarung beras untuk dibawa ke suatu tempat malam ini. Di bawah cahaya bulan Jae Yong berjalan pelan. Ia tidak bisa berjalan cepat. Beban di pundaknya cukup berat. Ia melintasi jalan yang sepi. Ia tidak ingin seorang pun mengetahui apa yang dia lakukan. Sesampai di tempat tujuan, Jae Yong segera memasukkan karung beras itu ke dalam lumbung. Kemudian dia kembali ke rumahnya dan tidur dengan nyenyak.
Keesokan harinya, seperti biasa, Jae Yong bangun pagi dan bersiap pergi ke sawah. Ia harus menggarap sawah peninggalan orang tuanya agar menghasilkan padi yang bagus dan melimpah. Ia pun mengambil cangkul dan peralatan lain yang berada di lumbung padinya. Jae Yong masuk dan memerhatikan sekeliling tempat itu sekilas. Ia tertegun. Keningnya berkerut. Ia merasa ada yang aneh dengan karung berasnya. Jae yong menghitung kembali karung beras di lumbung padinya. Dua puluh tiga karung beras. Utuh seperti kemarin! Padahal, dia telah membawa satu karung beras keluar dari lumbung padinya tadi malam. Seharusnya karung berasnya tinggal dua puluh dua karung. Jae Yong pun keluar dari lumbung padinya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia berjalan menyusuri pematang sawah. Ketika ia tiba di sawahnya sendiri, kakaknya, Jim Yong sudah berada di sana. Dia sedang membersihkan gulma di petak sawah yang menjadi bagiannya.
“Biasanya kau sudah datang pagi-pagi sekali, Jea Yong?” Jim Yong menyapa adiknya sambil terus mencabut rumput-rumput yang mengganggu tanaman padinya.
“Ya. Tadi ada sesuatu yang janggal terjadi di rumahku, Kak.” Jae Yong sudah akan becerita, namun dia segera berubah pikiran.
“Sesuatu yang janggal? Apakah itu, Dik ?” tanya Jim Yong penasaran.
“Emm… mungkin aku yang salah, Kak. Aku akan menghitungnya lagi nanti.” Jae Yong tidak jadi menceritakan kejadian di lumbungnya tadi pagi. “Aku ke sana dulu, Kak.”
Jae Yong menuju ke petak sawahnya sendiri. Dia melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan kakaknya. Rumput-rumput pengganggu tanaman padi harus dibuang agar tidak mengganggu tanaman padi yang sebentar lagi akan di panen. Jae Yong melakukan pekerjaannya dengan perasaan senang. Bulir-bulir padi yang menguning membuatnya semakin bersemangat. Matahari bersinar cerah. Udara siang terasa semakin panas. Jae dan Jim Yong beristirahat di gubuk yang terletak di tengah sawah mereka. Jim Yong membuka bekal makan siangnya. Sebungkus bibimbap yang lengkap.
Jae memerhatikan bekal kakaknya. “Emm, sepertinya lezat,” batin Jae.
Air liurnya mulai keluar ketika Jim mengeluarkan sebungkus kimchi dari dalam kotak bekalnya. Jae menelan air liurnya dalam-dalam. Ia melihat bekal yang dibawanya. Sebungkus hoddeok. Hanya makanan ini yang bisa ia buat sendiri. Hoddeok, sebenarnya, hanya cocok dimakan pada waktu musim dingin. Tapi karena Jae tidak pandai memasak makanan lain, maka ia membuat hodeeok sebagai bekalnya.
“Kamu masih saja suka makan pancake itu Jae.”
“Emm… ya, Kak,” kata Jae sambil memasukkan potongan kecil hoddeok ke dalam mulutnya.
Jim Yong membagi bekalnya menjadi dua bagian. Ia memberikan satu bagian pada adiknya dan mulai menyantap bagiannya sendiri.
“Makanlah, kakak iparmu membuat bibimbap lengkap dengan sayur, lauk telur, dan saus pedas. Ada juga kimchi, kamu pasti suka.” Jim menyodorkan sebagian bekalnya kepada Jae.
Sebenarnya Jae merasa malu. Namun perutnya yang lapar dan bau sedap bibimbap yang bercampur menjadi satu membuat Jae dengan sigap menghabiskan makanan yang disodorkan kepadanya. Jim Yong tersenyum kecil memerhatikan adiknya yang makan dengan lahap. Jim Yong, sesungguhnya, merasa iba dengan Jae Yong. Adiknya hidup seorang diri. Tidak ada yang mengurusnya. Ia harus memasak sendiri. Padahal Jae bukanlah orang yang suka, apalagi pandai memasak. Ia hanya bisa memasak hoddeok karena cara membuatnya sangat mudah dan cepat. Jim terkadang khawatir dengan adiknya. Kalau Jae sampai sakit, siapa yang akan mengurusnya? Jika terjadi sesuatu dengannya, siapa yang akan segera menolongnya? Rumah mereka memang masih satu desa, namun jaraknya cukup jauh.
“Kakak ipar memang pandai memasak.” Jae berusaha memuji kakak iparnya. Jim hanya tersenyum menanggapi perkataan adiknya.
“Habiskan saja. Aku sudah kenyang.” Jim menyuruh Jae menghabiskan bekal makan siang yang dibawanya.
Jae pun menghabiskan makanan lezat di depannya dengan senang hati. “Terima kasih, Kak. Aku kenyang sekarang,” kata Jae seraya bersandar di tiang gubuk. Semilir angin membuatnya mulai mengantuk.
“Owwhhaamm...” Jae menguap berkali-kali. “Aku akan beristirahat sebentar, Kak.” Jae meluruskan kakinya. Jae mulai tertidur diiringi oleh cericit burung dan sepoi angin di tengah sawah.
Jim pun melakukan hal yang sama. Dia membaringkan badannya dengan posisi miring dan mulai tidur. Kakak beradik itu tidur sejenak sebelum kembali bekerja hingga sore menjelang. Malam itu keluarga Jim berkumpul di ruang utama rumah mereka. Sambil menunggu ayah mereka yang sedang pergi keluar rumah, Hyun menceritakan teman sebangkunya yang membawa mainan baru ke sekolah. Mainan itu disita oleh sang Guru karena teman sebangku Hyun memainkannya saat jam pelajaran berlangsung.
“Lalu apa yang dilakukan teman sebangkumu itu?” Hwa Je yang ikut mendengarkan cerita kakaknya merasa penasaran. “Apa dia menangis?” tanyanya lagi.
“Laki-laki tidak boleh cengeng, Hwa Je. Kalian, para perempuan, yang suka menangis.” Hyun mencoba meledek adiknya.
Hwa Je melengos tidak suka. “Aku bukan gadis yang cengeng, ya!” Hwa Je berusaha membela dirinya.
“Yang terpenting, jika guru sedang menerangkan pelajaran, kalian tidak boleh main-main sendiri. Perhatikan apa yang dikatakan guru, agar kalian paham dengan pelajaran yang diberikan.” Ibu Hyun mencoba memberikan pengertian. Hwa Je berusaha memahami perkataan ibunya dengan mempermainkan rambutnya yang dikucir dua. Sementara Hyun mengangguk, tanda ia mengerti.
“Aku tidak pernah main-main saat ibu guru sedang menerangkan pelajaran di kelas,” kata Hyun.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Jim Yong masuk dengan terengah-engah, seperti baru saja melakukan perjalanan jauh atau mengangkut beban berat.
“Ayah dari mana?” Hwa Je melihat ayahnya yang seakan kehabisan napas.
Ibu segera mengambil segelas air dan memberikannya kepada Jim Yong. Jim Yong segera meminum air itu sampai habis.
“Ayah ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Kalian sedang menunggu ayah, ya?” tanya Jim menggoda kedua anaknya.
“Uuaahhmmm... aku sudah ngantuk, Yah. Lama sekali menunggu Ayah pulang.” Hyun memonyongkan bibirnya.
“Kalau begitu ayah minta maaf, ya. Ayo, sekarang, siapa yang mau ayah gendong ke kamar?” Jim berdiri sembari menawarkan punggungnya untuk dinaiki. Ia ingin menyenangkan hati kedua anaknya.
Hwa Je dan Hyun saling berebutan. Namun Hyun mengalah. Ia merasa sudah cukup besar untuk tidak digendong oleh ayahnya. Apalagi ayahnya terlihat sangat lelah malam ini. Ia pun berjalan sambil bergelayut di lengan ayahnya. Jim Yong kemudian menyelimuti anak-anaknya dengan penuh kasih. Setelah mereka tertidur Jim tenggelam dalam mimpinya sendiri. Keesokan harinya, seperti biasa, Jim Yong bangun pagi dan bersiap pergi ke sawah. Hari ini panen akan dimulai. Ia pergi ke lumbung padinya untuk mengambil peralatan. Namun Jim terenyak di depan pintu lumbung padinya. Ada yang berubah dari lumbung padinya. Seharusnya masih ada celah di lumbung itu, karena tadi malam dia sudah membawa satu karung padi keluar dari sana. Tapi, sekarang, ia melihat lumbung padinya telah penuh kembali. Karung padi itu kembali lagi ke tempat semula.
Jim kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Ia pun berangkat ke sawah dengan sejuta tanda tanya di hatinya. Sepanjang perjalanan ke sawah, Jim masih memikirkan kejadian janggal yang terjadi di lumbungnya. Namun sampai ia tiba di sawahnya, ia tidak menemukan jawabannya apa-apa. Padi di sawah Jim sudah melambai-lambai, siap dituai. Dengan cekatan, Jim mengambil satu genggam tanaman padi dan memotongnya dengan sabit. Pekerjaan itu dia lakukan hingga petak sawahnya tertuai semua. Di petak sawah yang lain, Jae melakukan hal yang sama. Panen padi ini, benar-benar, membuat mereka bersemangat untuk bekerja. Seperti tidak kenal lelah, mereka bekerja hingga matahari tergelincir ke arah barat.
Malam harinya, Jim Yong kembali mengeluarkan satu karung beras dari dalam lumbungnya. Dengan langkah perlahan, dia berjalan menyusuri jalan setapak sambil memanggul karung beras di pundaknya. Walau tenaganya telah terkuras tadi siang, dia tetap bersemangat. Nyanyian binatang malam menemani perjalanannya. Ketika Jim hendak berbelok di tikungan jalan, dia melihat bayangan seseorang nun jauh di ujung jalan. Tanpa rasa curiga, Jim terus berjalan. Sementara sosok itu juga berjalan mendekat ke arah Jim. Rupanya sosok itu juga membawa sesuatu di atas pundaknya. Langkahnya tampak terseok. Ia terlihat sudah kelelahan, namun tetap memaksa dirinya untuk berjalan. Saat mereka semakin dekat, Jim Yong dapat melihat sosok itu dengan lebih jelas. Rupanya orang itu juga membawa karung beras seperti dirinya. Namun Jim Yong terkejut.
“Jae Yong, sedang apa kamu di sini?”
“Kakak, kakak juga sedang apa di sini?”
Kedua orang itu sama-sama terkejut. Mereka menurunkan karung beras yang mereka panggul. Mereka saling bertatapan dan seperti menemukan jawaban atas pertanyaan mereka selama ini.
“Jadi selama ini kamu yang mengisi lumbung padiku?” Jim Yong bertanya, ingin memastikan apa yang berkelindan di pikirannya.
Jae Yong mengangguk pelan. “Aku takut Kakak akan kekurangan beras. Kakak punya keluarga yang harus dipenuhi semua kebutuhannya. Kalau aku, kan, hanya sendiri. Warisan Ayah akan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhanku.” Jae Yong terdiam sesaat, “Jadi, Kakak yang mengisi lumbung padiku selama ini?” Jae Yong juga ingin memastikan dugaannya.
“Iya, Dik. Aku khawatir jika sesuatu terjadi padamu. Kau tinggal seorang diri. Sedangkan aku, aku memiliki anak dan istri yang bisa mengurusku jika terjadi sesuatu padaku.”
Jim Yong meraih pundak adiknya. Mereka berpelukan. Jae Yong menitikkan air mata. Ia terharu pada perhatian dan kasih sayang kakaknya kepadanya. Jim Yong merasakan hal yang sama, ia menangis, menyadari besarnya kasih sayang adiknya pada dirinya dan keluarganya. Mereka pun semakin menjaga dan menyayangi satu sama lain.
***
Darika selesai membaca bukunya.
"Yap...cerita yang bagus Korea Selatan," kata Darika.
Darika menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik, ya rapih gitu.
"Nonton Tv saja ya," kata Darika.
Darika beranjak dari duduknya di kamarnya, ya keluar dari kamarnya menuju ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama ayah dan ibu. Acara Tv yang sedang di tonton, ya acara film keluarga bahagia sih. Darika duduk bersama ayah dan ibu, ya nonton film yang bagus itu dengan baik sih.
"Nonton film di rumah aman dari pada di luar sih. Karena aku, ayah dan ibu mengikuti aturan yang sedang di jalankan pemerintah tentang pandemi covid-19," kata hati Darika.
Darika beserta ayah dan ibu, ya fokus nonton film yang bagus itu.
No comments:
Post a Comment