CAMPUR ADUK

Wednesday, July 7, 2021

PILIHAN SANG PUTRI

Syifa cewek yang cantik dan juga pinter. Syifa masih berkuliah di universitas ternama di Jakarta. Selama duduk di bangku kuliah. Syifa terus di dekati sama Risky. Pada akhirnya Syifa luluh juga dan menerima cinta Risky. Syifa terkadang jenuh dengan hubungannya dengan Risky karena tahu sifatnya Risky setelah berpacaran gitu.

"Aku salah mengambil keputusan...menerima cinta Risky," kata Syifa.

Syifa terus menjalankan hubungan dengan Risky dengan baik. Doni teman baik Syifa bisa di bilang kakak tingkat di kuliah sih. Syifa merasa nyaman dengan Doni karena sifat Doni yang dewasa. Doni selalu menganggap Syifa hanya sebagai teman baik saja, tidak ada cinta gitu. Syifa hari ini males kemana-mana jadi di rumah saja. Syifa pun duduk di ruang tamu dan mengambil buku di meja, ya di baca dengan baik.

Isi buku yang Syifa baca :

Haura binti Abdul Azis adalah putri seorang saudagar kaya. Ia dan ayahnya tinggal di sebuah kota besar di semenanjung Arab. Keluarga mereka di kenal karena kedermawanannya. Selain itu, tentu juga karena kecantikan sang putri saudagar. Suatu hari, tiga orang pemuda datang menemui Tuan Abdul Aziz. Mereka adalah pangeran dari kota-kota sekitar. Mereka datang untuk melamar Haura. “Bagaimana pendapatmu, Haura? Ada tiga orang pangeran melamarmu di waktu yang bersamaan.”

Haura mengintip dari balik tirai. Sejak tadi sebenarnya ia sudah memerhatikan percakapan ayahnya dan ketiga pangeran itu. 

“Ayah, tidak ada satu orang pun dari mereka yang membuatku terkesan. Coba Ayah perhatikan mereka,” ucap Haura.

“Pangeran pertama yang bernama Hazim, sikap dan ucapannya sombong sekali,” lanjutnya.

“Bagaimana dengan yang kedua, Pangeran Zaid? Ayah rasa ia cukup gagah,” balas Tuan Abdul Aziz.

“Tidak, Ayah! Dia jorok sekali. Haura perhatikan tadi dia bersendawa keras tanpa malu-malu. Lihat itu! Ia malah membersit hidung dengan pakaiannya,” tolak Haura. 

“Kalau yang ketiga? Namanya Pangeran Rasyid,” lanjut ayahnya. 

Haura menggeleng.

“Kenapa?” tanya sang ayah.

“Pangeran itu egois dan narsis.” 

Tuan Abdul Aziz mengernyitkan dahi. 

“Kelihatan sekali dia membanggakan dirinya sendiri, Ayah,” ucap Haura memberi penjelasan.

“Tolong, Yah. Aku tak ingin menikah dengan salah satu dari mereka,” pinta Haura. 

Tuan Abdul Aziz menjadi bingung. Ia sangat mencintai putrinya. Namun ia juga tak ingin membuat para pangeran itu marah dan akhirnya memusuhi mereka. 

“Saya akan memikirkan lamaran Anda semua. Beri saya waktu. Kembalilah esok hari,” ucap Tuan Abdul Aziz. 

Ia ingin memikirkan cara terbaik untuk memenuhi permintaan putrinya. Keesokan harinya, ketiga pangeran itu datang lagi ke rumah Tuan Abdul Aziz. Mereka sudah tidak sabar mengetahui lamaran siapa yang diterima. 

“Tuan-tuan sekalian, saya merasa terhormat Anda telah datang untuk melamar putri saya. Seandainya saya memiliki tiga orang putri, akan saya terima Anda semua menjadi menantu saya. Sayangnya putri saya hanya satu. Karena itu, memilih seorang di antara Anda adalah hal yang berat bagi saya,” ujar Tuan Abdul Aziz. 

“Lalu?” tanya Pangeran Zaid. 

“Tuan-tuan masih muda. Cobalah berkelana untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih berharga. Agar lebih adil, datanglah setahun lagi. Siapa pun yang kembali dengan membawa benda yang membuat putri saya takjub, dialah yang berhak menikahi Haura.” 

Ketiga pangeran merasa itu tawaran yang masuk akal. Akhirnya mereka bersedia memenuhi permintaan Tuan Abdul Aziz. Mereka berjanji akan datang lagi setahun kemudian. Tuan Abdul Aziz lega. Haura pun lega. Paling tidak mereka punya perpanjangan waktu satu tahun untuk memikirkan langkah berikutnya. Lagi pula waktu bisa mengubah seseorang. Siapa tahu saat kembali nanti, satu di antara mereka benar-benar ada yang pantas untuk di pilih menjadi pendamping Haura.

“Hai, tunggu!” seru Pangeran Hazim memanggil kedua pangeran yang lain. 

“Ada apa?”

“Kemari dulu, teman-teman!” 

Pangeran Zaid dan Pangeran Rasyid menghampiri Pangeran Hazim yang berteduh di bawah pohon kurma. 

“Saya punya ide. Bagaimana kalau seminggu sebelum waktu yang ditentukan Tuan Abdul Aziz, kita bertemu dulu di sini?” ujar Pangeran Hazim. 

“Untuk apa?” 

“Tentu saja untuk membandingkan apa yang kita dapatkan,” lanjut Pangeran Hazim. 

Kedua pangeran yang lain berpikir-pikir. Tak ada salahnya mereka membandingkan dulu. Sekiranya milik mereka kurang menakjubkan, mereka masih punya waktu seminggu untuk mencari gantinya. Keduanya setuju. Mereka lalu melakukan perjalanan masing-masing dan berpencar arah. Tepat seminggu sebelum waktu pertemuan dengan Tuan Abdul Aziz, Pangeran Hazim memenuhi janjinya. Ia datang ke tempat yang telah mereka sepakati dulu. Sebuah kedai sepi di pinggir kota. Pangeran Zaid datang kemudian. 

“Zaid!” panggil Pangeran Hazim. 

Pangeran Zaid segera duduk bergabung dengannya. 

“Penampilanmu tampak lebih buruk dari sebelumnya. Kau baik-baik saja?” tanya Pangeran Hazim.

“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Pangeran Zaid sambil mengelap tangan di bajunya sebelum mengambil makanan di meja. Ternyata kebiasaannya belum berubah. Tak lama kemudian Pangeran Rasyid datang. Ia langsung menghampiri kedua pangeran yang lain. Wajahnya berseri penuh keyakinan bahwa apa yang dibawanya akan menjadi yang paling menakjubkan.

“Jadi apa yang kau dapatkan, Hazim?” tanya Pangeran Zaid sambil mengunyah makanannya. 

“Hanya bola kristal,” jawab Pangeran Hazim tak acuh. 

“Bola ini bisa menunjukkan apa pun yang ingin kau lihat, di mana pun tempatnya,” lanjutnya sombong.

Kedua pangeran yang lain tampak sedikit takjub. Tapi mereka menahan diri untuk memberi pujian. Mereka tak ingin Pangeran Hazim merasa menang. 

“Lalu apa yang kau temukan, Zaid?” 

Pangeran Zaid merogoh jubahnya dan mengeluarkan gulungan karpet. Ia membentangkannya di hadapan kedua pangeran yang lain. 

“Ini karpet terbang. Siapa pun yang duduk di atasnya bisa diangkut ke mana saja ia mau dalam waktu sekejap,” ujarnya bangga. 

Pangeran Hazim dan Pangeran Rasyid tampak terpesona, tetapi mereka diam saja. 

“Kalau aku, lihat ini!” sambar Pangeran Rasyid mengalihkan perhatian. 

Ia meletakkan botol kecil di atas meja. Pangeran Zaid hendak mengambilnya karena ingin tahu. 

“Ini bukan sembarang botol,” sergah Pangeran Rasyid menggenggam lagi botolnya. 

“Dalam botol ini ada ramuan ajaib. Satu tetes saja bisa menyembuhkan penyakit apa pun. Dan bila diusapkan ke kulit dengan cinta yang tulus, bisa mengembalikan seseorang menjadi muda lagi.”

Pangeran Rasyid menyimpan lagi botol itu dalam jubahnya. 

“Hmm... bagaimana kalau kita lihat dulu keadaan Haura saat ini dengan bola kristalmu. Siapa tahu Haura ternyata sudah tak secantik dulu. Sia-sia nanti kita menemuinya,” usul Pangeran Rasyid. 

Ketiga pangeran itu memang hanya terpikat pada kecantikan wajah Haura. 

“Baiklah,” jawab Pangeran Hazim.  

Ia mengayunkan tangannya ke atas bola kristal. Di dalam bola itu muncul asap dan tampak keruh. Perlahan-lahan, muncullah gambar Haura. Ia terbaring di tempat tidur. Ayahnya dan seorang pria berdiri di tepi ranjang Haura. 

“Apakah tidak ada sesuatu yang bisa Anda lakukan, Tabib?” tanya Tuan Abdul Aziz pada pria di sampingnya. 

“Maafkan saya, Tuan. Saya sudah berusaha. Tapi rasanya kita tak punya banyak waktu lagi,” jawab Tabib. 

Tuan Abdul Aziz tampak sangat bersedih.

“Aduh, kasihan sekali Haura. Ramuan ajaibku ini pasti bisa menyembuhkannya. Tapi bagaimana ini. Tabib bilang waktunya tak banyak lagi. Padahal rumah Tuan Abdul Aziz masih jauh dari sini,” keluh Pangeran Rasyid. 

“Kalau begitu, kita naik karpet terbangku saja. Kita akan sampai ke sana dalam sekejap. Ayo!” ajak Pangeran Zaid sambil menggelar karpetnya. 

Mereka segera melompat duduk di atas karpet. Karpet itu pun langsung meluncur secepat kilat. Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Tuan Abdul Aziz. Mereka meminta izin pada pelayan untuk masuk. Mereka berkata mereka bisa menyembuhkan Haura. Pelayan mengantarkan ketiga pangeran itu ke kamar Haura. Tuan Abdul Aziz terkejut melihat kedatangan ketiga pangeran, padahal waktu yang ditentukan masih satu minggu lagi. 

“Tak perlu terkejut, Tuan. Kami kemari untuk menyembuhkan Haura. Izinkan saya melakukannya,” ujar Pangeran Rasyid. 

Tuan Abdul Aziz tak bisa berkata apa-apa. Ia mempersilakan Pangeran Rasyid. Pangeran mendekati Haura. Ia lalu mengeluarkan botol ramuan ajaibnya. Ia meneteskan ramuan itu ke dahi Haura lalu mengusapnya. Pangeran Rasyid lalu mundur. Perlahan-lahan, mata Haura terbuka dan mengerjap-kerjap. Tuan Abdul Aziz takjub. Ia sangat senang melihat putrinya siuman. Ia menghampiri Haura dan membantunya duduk. 

“Ini sungguh keajaiban!” seru Tuan Abdul Aziz senang. 

“Bagaimana keadaanmu, Sayang?”

“Aku merasa lebih baik, Ayah.”

Tuan Abdul Aziz pun memeluk putri kesayangannya. 

Ketiga pangeran lalu dipersilakan beristirahat. Masing-masing mereka disediakan ruangan khusus. Para pelayan memberi mereka jamuan dan melakukan apa pun yang mereka inginkan. Ketika makan malam, Tuan Abdul Aziz meminta mereka makan bersama. Ia ingin mengucapkan terima kasih kepada para pangeran. 

“Tak apa, Tuan. Semua ini demi kebaikan Haura. Masing-masing dari kami memang telah mendapatkan benda ajaib. Tapi tak bisa disangkal, bola kristal sayalah yang paling berjasa dalam peristiwa ini. Tanpa bola kristal ini, tak satu pun dari kami tahu kalau Haura sedang sakit. Tentu bola kristal saya ini menjadi benda yang paling menakjubkan dan saya yang paling pantas meminang Haura,” ujar Pangeran Hazim.

Kedua pangeran lain mendengus mendengar kesombongan pangeran Hazim. 

“Tapi, Tuan, mengetahui saja tentu tak akan ada gunanya. Saat kami tahu Haura sakit, kami masih sangat jauh dari rumah Anda. Belum tentu satu minggu berjalan akan sampai di sini. Berkat karpet terbang sayalah kami bisa tiba tepat waktu. Tentu karpet terbang saya yang paling istimewa di antara temuan para pangeran lainnya. Sayalah yang paling berhak meminang Haura,” kata Pangeran Zaid tak mau kalah. 

“Tapi ramuan ajaib sayalah yang telah menyembuhkan Haura, Tuan. Tanpa ramuan ajaib itu, kehadiran para pangeran di sini pun tak ada artinya untuk kesembuhan Haura. Benar, kan? Jadi sayalah yang seharusnya Anda terima menjadi menantu,” ujar Pangeran Rasyid penuh keyakinan.

Tuan Abdul Aziz bingung. Setiap pangeran punya jasa terhadap kesembuhan putrinya. Bila ia memilih salah seorang sebagai menantu, tentu tidak adil bagi pangeran yang lain. Bisa-bisa mereka marah dan memusuhi keluarganya. Apalagi mereka para pangeran yang mempunyai kekuasaan dan pasukan di kerajaannya masing-masing. 

“Saya sangat menghargai usaha Anda semua. Saya tak memungkiri setiap peran Anda bagi kesembuhan putri saya. Saya tak bisa memutuskan sekarang, siapa yang saya terima menjadi suami Haura. Istirahatlah dulu di rumah kami. Esok hari, kita bicarakan lagi masalah ini,” ujar Tuan Abdul Aziz.

 Ketika membicarakan masalah itu dengan putrinya, Haura pun bingung. Tuan Abdul Aziz lalu memanggil pelayannya yang paling setia untuk meminta pertimbangan. 

“Begini, Tuan. Ada seorang pria tua yang terkenal akan kebijaksanaannya. Bagaimana kalau kita undang dia untuk memberikan keputusan. Dengan demikian, bukan Anda atau Putri Haura yang akan dipersalahkan pangeran yang tidak terpilih. Mereka tak akan marah dan memusuhi keluarga Anda. Sayangnya, pria itu tinggal di negeri yang cukup jauh.”

“Kumohon datangkan ia. Jemputlah malam ini juga. Bawa kuda terbaikku agar kau bisa cepat sampai dan membawanya kemari,” pinta Tuan Abdul Aziz.

“Akan saya usahkan, Tuan,” jawab pelayannya segera pergi.

Berita tentang pemilihan menantu saudagar Abdul Aziz, menarik perhatian masyarakat. Mereka berduyun-duyun datang ke rumah Tuan Abdul Aziz untuk mencari tahu. Ketiga pangeran juga sudah menunggu-nunggu. Namun Tuan Abdul Aziz masih menanti kedatangan pelayannya beserta pria tua bijak dari negeri yang jauh. Lewat tengah hari, pelayan dan pria tua itu baru tiba. Setelah beristirahat sejenak, ia menemui Tuan Abdul Aziz dan para pangeran. Mereka menggelar acara itu di halaman rumah sehingga masyarakat bisa melihatnya. Haura pun dihadirkan di sana. 

“Baiklah, akan kita mulai pemilihan ini. Para pangeran yang terhormat, telah kuundang Tuan Ahmad, pria bijak dari negeri seberang untuk memberikan keputusan terbaik bagi kita. Kini, sampaikanlah satu per satu apa yang kalian bawa dari perjalanan kalian.” 

Para pangeran menceritakan perjalanannya dalam mendapatkan benda ajaib masing-masing. Mereka juga menceritakan perannya dalam menyembuhkan Haura. Mereka merasa menjadi yang paling berjasa dan membawa benda yang paling ajaib. Mereka meletakkan benda-benda yang dibawanya di meja untuk dipertunjukkan. 

“Begitulah, Tuan Ahmad. Saya merasa setiap pangeran telah memberikan persembahan terbaiknya. Setiap mereka juga mempunyai jasa terhadap kesembuhan putri saya. Ketiganya pun berniat meminang putri saya. Tentu berat bagi saya memutuskan semua ini. Bagaimana pendapat anda, Tuan?” tanya Tuan Abdul Aziz. 

Pria tua itu berdiri dan berdehem. Ia diam sejenak hingga suasana benar-benar hening. Semua yang datang penasaran dengan keputusan pria tua itu.

“Tuan Abdul Aziz, pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas undangan Anda. Saya merasa sangat terhormat berada di sini.” 

Kemudian ia berkata, “Para pangeran, saya yakin dengan kisah-kisah Anda yang menakjubkan. Juga benda-benda ajaib yang Anda bawa. Serta betapa Anda telah berusaha menyembuhkan putri Tuan Abdul Aziz. Tapi di negara saya, para wanita mempunyai hak dan kebebasan memilih pasangannya sendiri. Karena dalam pernikahan itu, kebahagiaan merekalah yang dipertaruhkan.” 

Pria tua itu lalu berpaling pada Haura, “Jadi saya ingin menanyakan kepada Nona Haura, dengan siapa Anda ingin menikah?” 

Haura diam sejenak. Dia telah mengambil keputusan. Haura mengangkat kepalanya lalu bicara pada para pangeran, “Saya berterima kasih Anda semua telah menyelamatkan hidup saya. Saya sangat menghargai usaha Anda membawakan benda-benda terbaik ini. Namun pria tua ini adalah satu-satunya yang mengerti bahwa saya mempunyai hak dan kebebasan untuk memilih pasangan saya.” 

Haura lalu melanjutkan, “Jadi jika saya diperbolehkan memilih, saya akan memilih dia.” 

Putri Haura melangkah ke sisi Tuan Ahmad, pria bijak yang diundang ayahnya. Semua yang hadir, termasuk para pangeran dan Tuan Abdul Aziz sangat terkejut. 

“Tapi, bagaimana mungkin, Sayang?” tanya Tuan Abdul Aziz tak percaya. 

Ia tak bisa terima putri cantiknya memilih menikahi pria yang sudah tua. Haura lalu mengambil botol ramuan ajaib di meja. Ia meneteskan ramuan ajaib itu ke tangan Tuan Ahmad dan mengusapnya. Seketika kabut asap mengelilingi Tuan Ahmad. Perlahan-lahan kabut asap pun menghilang, yang tampak di sana bukan lagi pria tua. Dengan ramuan ajaib itu Tuan Ahmad kembali ke masa mudanya. Ia berubah menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Raut wajahnya menunjukkan kesantunan dan kebijaksanaan. Ia tersenyum hormat kepada Haura. Tuan Abdul Aziz kini mengerti akan pilihan putrinya. Haura putri yang cerdas. Ia memilih Tuan Ahmad yang bijak menjadi pendampingnya. Ia pun tahu cara agar pilihannya dapat diterima. Haura memanfaatkan ramuan ajaib untuk mengembalikan kemudaan Tuan Ahmad. 

“Para Pangeran, Yang Mulia, saya mohon Anda bersedia menerima pilihan putri saya. Anda telah berjasa besar bagi keluarga kami. Kami tidak akan pernah melupakannya. Sebagai balas budi, kami akan memberikan tanah perkebunan yang kami miliki untuk kalian,” ujar Tuan Abdul Aziz. 

Para pangeran menerima keputusan itu dengan lapang dada. Mereka pun mendapatkan benda-benda ajaib mereka kembali. Mereka berniat pulang ke kerajaannya masing-masing. Haura dan Tuan Ahmad kemudian menikah dan hidup bahagia. Para pangeran juga menghadiri pernikahan Haura sebelum mereka kembali pulang. Tak lama kemudian, datang undangan dari para pangeran. Rupanya mereka telah mendapatkan jodoh mereka di negerinya masing-masing. Tak sulit bagi para pangeran untuk mendapatkan istri yang cantik dari kalangan bangsawan. Tapi mereka belajar dari pilihan Haura. Mereka memilih wanita-wanita yang baik dan cerdas sebagai pendamping. Para pangeran itu pun hidup dengan bahagia. 

***

Syifa selesai membaca bukunya.

"Cerita asal dari arab bagus banget. Pinter yang membuat ceritanya," kata Syifa.

Syifa menutup bukunya dan di taruh di meja.

"Kalau aku ambil dari cerita yang aku baca, ya memang cewek ingin mendapatkan cowok yang pinter dan bijaksana. Tentang masalah hubungan ku dengan Risky. Aku merasa yang baik untuk pendamping hidupku adalah Doni. Sifat Doni yang dewasa membuatku merasa nyaman gitu dari pada sifatnya Risky yang kekanak-kanakan," kata Syifa.

Syifa tetap harus menjalankan hubungan dengan Risky sudah terlanjur mengambil keputusan, ya menerima cinta Risky.....pacaran gitu. Kadang ada juga pemikiran, ya putus dari Risky karena jenuhnya hubungan. Syifa pun punya harapan besar sih bersama Doni, ya mengubah hubungan pertemanan menjadi hubungan cinta. Syifa beranjak dari duduknya di ruang tamu, ya ke kamarnya untuk mengerjakan tugas kuliah.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK