Zulaikha berlarian di sekitar tenda-tenda sukunya. Matahari bersinar terik sepanjang hari. Debu pasir yang beterbangan karena angin terasa pedih di mata. Namun semua itu tak sedikit pun mengurangi keceriaannya. Ia lalu masuk ke salah satu tenda yang paling besar.
“Ayah!” serunya menghampiri seorang lelaki yang sedang duduk di atas permadani.
Zulaikha adalah putri Ali bin Ahmad. Pria itu pemimpin rombongan suku Arab Badui yang sedang menetap di dekat oase. Sudah beberapa bulan mereka bermukim di sana. Suku Arab Badui hidup berkelana di padang pasir. Mereka biasanya menggembala domba, kambing, dan unta. Domba dan kambing dipelihara untuk dijual. Sedangkan unta digunakan untuk berkendara dan mengangkut barang. Mereka tinggal di dalam tenda-tenda berwarna hitam. Tenda itu dibuat dari bulu kambing atau domba yang dipintal. Karena jarang bertemu orang di luar kelompoknya, suku Arab Badui senang bila bertemu dengan musafir. Mereka terkenal ramah kepada musafir yang melewati pemukimannya.
“Ada apa, Putriku?” tanya Ali kepada Zulaikha.
“Aku melihat seseorang akan melintas!” jawab Zulaikha antusias.
“O ya? Mari kita lihat!”
Ali berdiri dan mengenakan sorbannya. Tangan mungil Zulaikha menggandeng ayahnya keluar tenda.
“Lihat itu, Ayah!”
Ali mengamati dari kejauhan. Ia melihat awan kekuningan bergerak dari arah utara. Putrinya benar. Awan yang mereka lihat sebenarnya hanyalah kumpulan debu pasir. Debu-debu itu yang bergerak naik karena tersaruk kaki manusia atau binatang yang berjalan.
“Sepertinya tak lama lagi ia akan sampai ke sini,” ujar Ali.
“Ayo, kita tunggu di dalam tenda saja!” lanjutnya sambil menggamit lengan Zulaikha.
Putri kecilnya itu tampak girang sekali. Zulaikha memang senang bila bertemu dengan para musafir. Musafir terkadang singgah sejenak di pemukiman suku Arab Badui. Zulaikha pasti akan meminta mereka bercerita. Zulaikha paling sering bertanya tentang kota asal mereka. Juga kota-kota yang telah mereka singgahi. Bagi Zulaikha, cerita mereka ibarat dongeng yang indah. Ia belum pernah melihat kota dengan rumah-rumah besar dari batu, apalagi menemukan taman yang hijau, sungai yang berkilauan, dan laut biru yang dingin. Setiap hari, selama bertahun-tahun, yang dilihat Zulaikha hanyalah hamparan pasir dan oase kecil. Melalui mulut para musafir itulah, ia menemukan keasyikan yang baru. Ketika musafir itu semakin dekat, Ali memanggil pelayannya. Pelayan-pelayan itu datang dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Tuan?”
“Sebentar lagi ada musafir yang akan datang melewati pemukiman kita. Tolong sambut dia dan siapkan jamuan untuknya.”
“Baik, Tuan.”
Salah seorang dari pelayan itu keluar. Zulaikha diam-diam mengikutinya dari belakang. Zulaikha melihat pelayan ayahnya menundukkan kepala. Ia memberi salam kepada seorang lelaki yang memegang tali kendali kuda. Lelaki itu membalas salamnya dengan menundukkan kepala juga.
“Masuklah, Tuan! Pemimpin rombongan kami ada di dalam. Anda bisa beristirahat dan bercakap-cakap dengannya,” ujar pelayan.
Pelayan itu mengambil tali kendali kuda dan mengikatnya di dekat ternak mereka. Begitu lelaki musafir itu masuk ke dalam tenda, Ali bin Ahmad langsung menyambutnya dengan ramah. Ia mempersilakannya duduk. Zulaikha bergegas meloncat ke pangkuan ayahnya. Ia tak ingin melewatkan cerita yang dibawa oleh musafir itu. Di hadapan mereka sudah terhidang roti gandum dan susu kambing. Ada juga beberapa kerat daging manis untuk suguhan.
“Terima kasih untuk sambutan terbaik Anda, Tuan. Saya Ammar, utusan dari Syekh bin Nadi,” ucap si musafir memperkenalkan dirinya.
“Dengan senang hati, Tuan. Sungguh kehormatan bagi kami utusan dari syekh besar bersedia singgah di tempat kami,” balas Ali bin Ahmad.
Sudah lama ia mendengar nama besar Syekh bin Nadi yang terkenal akan kebaikan dan kesalehannya.
“Saya memang mendahului rombongan Syekh bin Nadi untuk menemui Anda. Syekh bin Nadi dalam perjalanan ke selatan dan bermaksud mengunjungi suku Anda.”
“O ya? Berapa lama lagi beliau sampai di sini?” tanya Ali.
Ia merasa senang memiliki kesempatan bertemu Syekh bin Nadi.
“Kira-kira dua atau tiga hari lagi.”
Zulaikha menyimak pembicaraan ayahnya dan utusan Syekh bin Nadi. Ia masih belum tahu siapa syekh yang dibicarakan ayahnya dan musafir itu.
“Kalau begitu, istirahatlah Anda di tenda kami sambil menunggu rombongan tiba.”
“Terima kasih atas kebaikan Anda, Tuan Ali.”
Utusan itu lalu diantar pelayan ke tenda lain yang biasa dipakai untuk para tamu.
“Ayah, siapa Syekh bin Nadi?” tanya Zulaikha begitu ia tinggal berdua saja dengan ayahnya.
“Dia syekh besar, Putriku. Syekh bin Nadi adalah bangsawan yang kaya raya, namun ia sangat dermawan. Ia juga seorang yang saleh. Ia sering pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk mengajak orang berbuat baik. Semasa mudanya dulu, ia pernah menolong kakekmu saat akan dirampok. Kakek pernah bercerita pada Ayah. Karena itu, Ayah selalu mengingatnya. Ayah senang bila bisa bertemu dan mengucapkan terima kasih padanya,” jelas Ali bin Ahmad panjang lebar.
Zulaikha mengangguk-angguk. Ia terkesan pada cerita ayahnya. Ia pun ingin bertemu dengan orang yang pernah menolong kakeknya dulu. Berita kedatangan Syekh bin Nadi segera menyebar. Sudah menjadi kebiasaan suku Arab Badui untuk mempersiapkan hadiah bila ada tamu penting datang berkunjung. Mereka ingin memberikan sambutan dan pelayanan terbaik. Peristiwa seperti ini sangat jarang terjadi. Semua orang sedang sibuk mempersiapkan hadiah masing-masing. Zulaikha juga sibuk. Ia sibuk memerhatikan hadiah apa yang akan diberikan orang-orang di sukunya kepada Syekh bin Nadi. Ia masuk ke setiap tenda dan menanyai setiap orang apa yang akan mereka hadiahkan.
“Keluarga kami akan menghadiahkan terompah dari kulit domba. Ibuku sendiri yang menjahitnya,” ujar Hasan.
Ia teman bermain Zulaikha.
“Kau sendiri memberi hadiah apa?” tanya Zulaikha penasaran.
“Aku? Tentu saja terompah itu. Aku ikut membantu Ibu membuatnya,” kilah Hasan.
“Berarti itu bukan pemberianmu sendiri,” balas Zulaikha.
“Aku, kan, masih kecil,” ucap Hasan membela diri.
Ia lalu berlari meninggalkan Zulaikha dan masuk ke dalam tendanya. Zulaikha risau. Semua orang sudah memiliki hadiahnya masing-masing, tapi ia tak memiliki apa pun untuk diberikan pada Syekh bin Nadi. Ia tak mungkin memberikan boneka kainnya yang sudah lusuh karena terlalu sering digunakan bermain. Zulaikha menghampiri ibunya. Wanita itu juga sedang sibuk menyiapkan hadiah di tendanya.
“Ada apa, Sayang? Biasanya kau bermain sepanjang hari? Kenapa lesu begitu?” tanya sang ibu melihat anaknya yang tampak tidak bersemangat.
Zulaikha melemparkan dirinya ke permadani. Ia duduk di antara kain-kain lembut yang bertumpuk-tumpuk.
“Aku sedang bingung, Bu.”
“Apa yang membuatmu bingung?”
“Aku ingin memberi hadiah pada Syekh bin Nadi. Tapi aku tak punya sesuatu pun yang layak untuk kuhadiahkan. Lihatlah semua orang sibuk menyiapkan hadiah. Ibu juga.”
Ibu Zulaikha tersenyum. Ia duduk mendekati putrinya. Ia tahu betul watak Zulaikha. Ia selalu ingin melibatkan diri dalam peristiwa apa pun.
“Sayang, tak perlu bersedih seperti itu. Coba angkat wajahmu,” ucap sang ibu menghibur.
Ia memegang dagu Zulaikha dan menaikkannya ke atas.
“Sekarang tersenyum. Ayo, tersenyum!” goda sang ibu.
Zulaikha bukan tersenyum malah meringis. Ibunya tertawa.
“Dengarkan Ibu. Orang dewasa memang sedang sibuk mempersiapkan hadiah. Tapi anak-anak, tak harus memberi hadiah juga. Orang-orang tua mereka sudah mewakilinya. Kau mengerti?”
“Tapi aku ingin memberi hadiah sendiri, Bu. Aku tidak ingin diwakili.”
“Kalau begitu kau harus berusaha sendiri. Temukan apa yang ingin kau hadiahkan untuk Syekh bin Nadi. Lalu segera persiapkan.”
“Nah, itu dia masalahnya. Dari tadi aku sudah berpikir dan mencari, tapi belum ketemu juga, Bu.”
“Ya sudah, tak perlu pusing. Kau bantu saja Ibu menyiapkan hadiah untuk Syekh bin Nadi. Sama saja kau ikut memberi hadiah, bukan?” ujar sang ibu berusaha menghibur.
“Ah, Ibu. Bukan begitu maksudku,” ucap Zulaikha kesal.
Ia benar-benar ingin memberi sebuah benda dari dirinya sendiri. Zulaikha berlari keluar dari tenda ibunya. Zulaikha pergi ke oase. Ada batu besar di pinggir telaga itu. Ia duduk di sana. Zulaikha menangis. Ia sangat sedih karena merasa tak memiliki sesuatu pun yang berharga untuk dihadiahkan. Tiba-tiba seseorang menepuk lembut bahu Zulaikha. Zulaikha menengok. Seorang lelaki berpakaian serba putih berdiri di hadapannya. Wajahnya bersih dan memancarkan sinar. Zulaikha menghapus air matanya. Ia tersenyum ramah pada Zulaikha.
“Tuan siapa? Saya belum pernah melihat Anda. Apakah Anda musafir?” tanya Zulaikha keheranan.
Ia tak mengenali lelaki itu.
“Aku Amin. Lalu, kau siapa, gadis kecil? Mengapa menangis?” lanjut lelaki bernama Amin itu balik menanyai Zulaikha.
“Saya Zulaikha binti Ali bin Ahmad. Anda melihat saya menangis?” ujar Zulaikha tersipu.
Zulaikha pun menceritakan sebab musabab dirinya menangis.
“Oh, begitu ceritanya. Sekarang, jangan menangis lagi, ya. Kau pasti akan mendapatkan sesuatu untuk kau hadiahkan pada Syekh bin Nadi. Esok hari, datanglah lagi ke tempat ini. Tempat di mana air matamu berjatuhan di pasir. Kau akan menemukan hadiah itu.”
“Sungguh? Apa, ya, kira-kira?” Amin hanya tersenyum.
“Apakah Anda yang menaruhnya agar saya bisa mengambilnya?” tanya Zulaikha lagi.
“Lihat saja besok. Sekarang pulanglah! Hari hampir gelap,” jawab Amin.
Zulaikha menurut. Ia berjalan pulang ke tenda sukunya. Zulaikha tak sabar menanti esok hari. Ia penasaran hadiah apa yang akan ia temukan. Zulaikha tak mau menceritakan kejadian tadi sore pada siapa pun. Ia tak ingin mendapatkan ejekan ketika ternyata besok tak ada hadiah apa pun yang ia temukan. Ia langsung masuk ke tendanya.
“Zulaikha, ke mana saja kau? Ibu khawatir sekali. Hari sudah hampir gelap,” tanya sang ibu cemas.
“Zulaikha hanya duduk-duduk di dekat oase, Bu. Maafkan Zulaikha sudah membuat Ibu khawatir.”
Ibu menarik Zulaikha dalam pelukannya.
“Apakah putri Ibu masih sedih?” Zulaikha menggeleng.
Ibunya tersenyum lega.
“Sekarang bersihkan badanmu. Sebentar lagi kita makan bersama.”
“Baik, Bu.”
Zulaikha lebih banyak diam saat makan malam bersama ayah dan ibunya. Padahal, biasanya ia banyak bicara. “Anak Ayah, kok, tak ada suaranya?” goda Ali bin Ahmad.
Malam itu mereka makan roti gandum dan daging domba yang dibakar. Zulaikha tak bersemangat mengunyah makanannya.
“Tak apa, Ayah,” jawab Zulaikha.
Gadis kecil itu terus memikirkan ucapan Tuan Amin yang tadi ia temui di oase.
“Bagaimana dengan hadiahnya?” kini Ali bertanya pada istrinya.
Zulaikha menegakkan telinganya. Ia pun ingin tahu.
“Gulungan kain sutra untuk Syekh bin Nadi sudah siap, Ayah. Sudah kupastikan tidak ada yang cacat. Tadi sudah kubuka dan kugulung kembali.”
Ali mengangguk puas.
“Tadi putri kecil Ayah juga bilang ingin memberi hadiah,” lanjut sang ibu.
“O ya? Apa yang ingin kau berikan untuk hadiah, Sayang?” tanya Ali.
“Aku belum tahu, Ayah,” jawab Zulaikha, “tapi sepanjang malam ini aku akan berdoa supaya besok aku punya hadiah untuk Syekh bin Nadi.”
Ali tertawa kecil mendengar celoteh anaknya itu.
“Ya, Sayang. Berdoalah. Ayah juga akan berdoa untukmu,” ujar Ali menyemangati Zulaikha.
Zulaikha tersenyum lalu menghambur ke pelukan ayahnya. Sang ibu senang melihat anaknya kembali seperti biasanya. Malam itu, Zulaikha berdoa sebelum berangkat tidur. Ia ingin tidur nyenyak dan segera mendapati hari sudah pagi. Tapi, tidurnya malah gelisah. Zulaikha terjaga sepanjang malam. Ia lalu berdoa lagi sampai kelelahan dan tertidur. Saat fajar menyingsing, Zulaikha terbangun. Tanpa cuci muka ia langsung berlari ke luar tenda. Suasana masih hening, tapi Zulaikha tak takut. Ia berlari menuju ke oase. Ia ingin mencari tahu hadiah yang dikatakan Tuan Amin. Zulaikha terhenti di bongkahan batu tempatnya duduk kemarin. Ia ingat betul tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh di dekat batu itu. Namun, kini di hadapannya menjulang pohon tinggi. Batangnya lurus tanpa cabang. Di bagian atas pohon tersebut barulah tampak daun-daun yang menempel pada tangkai daun. Daun pohon itu panjang menyirip dan runcing di bagian ujung. Dari tangkai-tangkai daun muncul tandan-tandan buah yang menjulur. Buah-buahnya kecil berwarna kecoklatan. Zulaikha takjub. Inikah hadiah yang dikatakan Tuan Amin kemarin? Zulaikha segera kembali ke tenda dan mencari ayahnya. Ia ceritakan kejadian yang dialaminya kemarin sore.
“Tapi di oase itu tak ada sebatang pun pohon besar, Zulaikha,” ujar Ali masih belum percaya.
“Zulaikha tak pernah berbohong. Ayah harus melihatnya sendiri biar Ayah percaya.”
“Baiklah, kita ke sana sekarang.”
Ali berjalan di sisi putrinya. Tangan Zulaikha menyeret Ali untuk bergegas. Ia tak sabar menunjukkan pohon hadiahnya kepada sang ayah. Saat melihatnya sendiri, Ali hampir tak percaya. Kemarin ia sendiri yang menggiring domba-dombanya pulang setelah meminum air di oase. Ia belum melihat pohon itu. Mana ada pohon tumbuh besar dalam satu malam. Ali memanjat pohon itu dan memotong salah satu tandan buahnya. Setelah turun, ia lalu mencicipinya bersama Zulaikha.
“Manis sekali rasanya. Semanis anak Ayah!” puji Ali. Zulaikha tersipu.
“Sekarang Ayah percaya, kan?” Ali menggangguk.
“Seharusnya kita juga menyambut dan memberi Tuan Amin hadiah seperti Syekh bin Nadi,” gumam Zulaikha.
“Tapi tak ada yang tahu ia mampir ke sini selain dirimu, Zulaikha. Ini berkah untukmu. Tuhan mengabulkan doamu. Kau mendapatkan hadiah istimewa untuk Syekh bin Nadi.”
“Iya, Yah. Aku sangat gembira! Aku ingin berterima kasih pada Tuan Amin bila bertemu lagi dengannya.”
Ali mengangguk.
“Ayo, kita bawa tandan buah ini untuk suguhan nanti!” Ali memanggul tandan buah yang ia potong kembali ke tendanya.
Sore harinya, Syekh bin Nadi tiba di pemukiman Arab Badui. Ia disambut dengan sukacita. Satu per satu anggota suku Arab Badui menemuinya untuk menyerahkan hadiah. Ada perhiasan emas, sutra, pedang baja, dan masih banyak lagi.
“Syekh, ini putri kecil saya, Zulaikha. Ia ingin memberikan hadiah untuk Anda,” ujar Ali.
“O ya? Saya senang sekali. Terima kasih, gadis kecil yang baik.”
Zulaikha tersenyum.
“Mari, saya antar ke tempat hadiah itu berada,” lanjut Ali.
Ia, Zulaikha, serta Syekh bin Nadi dan beberapa orang pengikutnya berjalan ke oase. Sambil berjalan, Ali meminta Zulaikha sendiri yang menceritakan tentang hadiahnya. Zulaikha mengisahkannya dengan antusias. Ketika sampai di oase, mereka mendekati pohon hadiah Zulaikha.
“Ini dia hadiah untuk Anda, Syekh,” ujar Zulaikha polos.
“Buah pohon ini sangat manis. Ayah telah memetiknya untuk Anda,” lanjut Zulaikha.
Syekh Bin Nadi tersenyum.
“Ya, ini adalah hadiah paling berharga dari semua hadiah yang saya terima. Hadiah istimewa ini muncul dari keinginan dan ketulusan hati yang dalam. Terima kasih, Zulaikha,” ucap Syekh bin Nadi.
“Saya akan menceritakan padamu tentang pohon ini. Kau ingin tahu?” tanya Syekh bin Nadi pada Zulaikha. Zulaikha langsung mengangguk mantap.
“Ini adalah pohon kurma. Pohon yang sanggup tumbuh di gurun yang kering. Buahnya bisa dimakan. Daunnya bisa dijadikan atap atau diambil seratnya untuk dipintal. Tangkai daunnya dipakai untuk bahan bakar memasak. Pohonnya yang rimbun memberi naungan yang teduh. Dan kayunya bisa dipakai membuat perkakas.”
Zulaikha terkesima mendengar penjelasan Syekh bin Nadi.
“Lalu?” tanyanya.
Syekh bin Nadi tertawa.
“Kau suka mendengar cerita rupanya? Kalau begitu kita lanjutkan di tenda.”
Zulaikha sangat senang. Mereka kembali ke tenda untuk makan dan beristirahat.
“Apa lagi yang Anda tahu tentang pohon kurma, Syekh?” tanya Zulaikha tanpa malu-malu.
Ia anak yang cerdas dan punya rasa ingin tahu yang besar.
“Ada lagi yang istimewa dari pohon kurma. Saat ia tumbuh dari biji, yang ia tumbuhkan pertama kali bukanlah tunas daunnya. Biji kurma akan menumbuhkan akarnya dulu. Terus tumbuh ke bawah sampai menemukan sumber air. Setelah itu, baru ia tumbuhkan tunas daunnya. Itulah mengapa pohon kurma tidak tumbang meski diterjang badai di gurun. Akarnya kuat menancap ke bumi.”
Zulaikha mengangguk-angguk. Semakin kagum dengan pohon kurma yang istimewa.
“Begitu juga hidup, Zulaikha. Ketika kebaikan berakar kuat dalam hati manusia, maka ia tak akan goyah dengan godaan apa pun. Kelak, ketika kau dewasa. Kau pasti akan semakin mengerti. Teruslah menjadi anak yang baik, ya,” nasihat Syekh bin Nadi.
Zulaikha tersenyum. Ia puas bisa memberikan hadiah untuk tamu besar ayahnya. Ia juga puas telah mendapatkan kisah pohon kurma yang istimewa.
***
Nia menghentikan baca bukunya.
"Cerita yang bagus. Pinter yang membuatnya," pujian Nia.
Nia menutup buku tersebut dan di taruh buku di meja. Nia keluar dari kamarnya dan langsung ke dapur untuk membantu ibu yang sedang memasak di dapur gitu.
No comments:
Post a Comment