Aulia membuka buku tersebut, ya segera di baca dengan baik banget.
Isi buku yang di baca Aulia :
Dahulu kala, di zaman Turki Kuno, ketika keajaiban bisa disaksikan oleh banyak orang dan para peri sering muncul untuk membantu kehidupan manusia, hiduplah seorang Padishah dengan tiga putrinya. Putri-putri Padishah itu telah mencapai usia yang cukup untuk menikah. Namun, Padishah tidak kunjung menikahkan mereka karena ia terlalu sibuk dengan urusan-urusannya.
“Aku telah berumur empat puluh tahun,” keluh Putri Pertama.
“Aku berumur tiga puluh tahun.” Putri Kedua menghela napas.
“Umurku dua puluh tahun. Kita harus segera menikah sebelum rambut kita memutih,” usul Putri Ketiga.
“Sampaikanlah kegelisahan hati kita kepada Ayahanda. Kau yang paling pemberani di antara kita bertiga,” kata Putri Pertama dan Putri Kedua kepada Putri Ketiga.
Putri Ketiga menyetujui pendapat kedua kakaknya. Ia pun segera menghadap ayahandanya. “Ayahanda, bukankah sudah tiba waktunya bagi kami untuk berkeluarga?”
Sang Padishah merenung sebentar, lalu berkata. “Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Ambillah busur dan memanahlah. Di mana anak panah kalian menancap, di situlah jodoh kalian.”
Menuruti nasihat sang ayah, ketiga putri itu segera merentangkan busur masing-masing. Tiga anak panah pun melesat ke arah yang berbeda. Anak panah Putri Pertama mendarat di kastil Penasihat Istana, sehingga ia menikah dengan putra Sang Penasehat Istana. Anak panah Putri Kedua mendarat di kastil seorang Guru Istana, maka ia menikah dengan putra Sang Guru Istana. Sedangkan anak panah Putri Ketiga mendarat di sebuah pondok sederhana milik seorang pemuda miskin.
“Oh, Putriku, malang sekali nasibmu. Coba, rentangkan lagi busurmu. Mungkin anak panah itu akan jatuh ke tempat yang berbeda,” kata Sang Padishah. Namun, setelah tiga kali merentangkan busur, anak panah Putri Ketiga tetap jatuh di pondok pemuda miskin tadi.
“Ayahanda, biarlah saya terima takdir ini dengan hati lapang. Barangkali ada kebaikan yang tersembunyi untuk saya di rumah itu,” kata Putri Ketiga. Akhirnya, ia pun menikah dengan pemuda miskin itu.
Selang beberapa tahun kemudian, Putri Ketiga hendak melahirkan seorang bayi di malam yang dingin. Tidak ada tempat tidur atau pun kursi panjang sebagai tempatnya berbaring. Tidak ada pula perapian untuk menghangatkan diri.
“Istriku, aku akan pergi mencari seorang tabib wanita untuk membantumu melahirkan,” kata sang suami.
Kini, tinggallah Putri Ketiga kesakitan dan kedinginan di rumah sederhana itu sendirian. “Oh, seandainya ada yang bisa menolongku sekarang juga…” rintihnya.
Kebetulan, tiga ibu peri sedang melewati rumah Putri Ketiga dan mendengar suaranya. Mereka masuk dan melihat keadaan Putri Ketiga yang menyedihkan. Tiga ibu peri itu segera menolong Putri Ketiga. Dengan kekuatan ajaib, mereka menata isi rumah supaya nyaman dan menyenangkan. Sebuah perapian muncul dan menghangatkan ruangan. Disusul sebuah tempat tidur empuk untuk tempat berbaring Putri Ketiga dan juga benda-benda lainnya. Tak lama kemudian, seorang bayi perempuan yang sangat cantik lahir.
“Anak ini bernama Mawar. Kelak, jika ia menangis, air matanya akan menjadi mutiara,” ucap Ibu Peri Pertama.
Anak ini bernama Mawar. Kelak, sekuntum bunga mawar akan merekah dari senyumannya,” kata Ibu Peri Kedua.
Ibu Peri Ketiga ikut berbicara, “Anak ini bernama Mawar. Kelak, di setiap jejak langkahnya akan tumbuh berbagai tanaman yang menghijau.” Seiring dengan ucapan Ibu Peri Ketiga, mereka menghilang secara bersamaan.
“Istriku, apa yang telah terjadi?” tanya suami Putri Ketiga ketika ia tiba di rumah. Ia benar-benar kaget melihat perubahan rumahnya, apalagi saat ia melihat istrinya berbaring di sebuah ranjang yang indah bersama seorang bayi yang cantik.
“Tiga ibu peri telah menolongku dan memberikan keajaiban di rumah kita, suamiku.” Putri Ketiga lalu menceritakan semua yang dia alami kepada suaminya.
Tahun berganti tahun, Mawar, bayi Putri Ketiga, tumbuh menjadi seorang gadis yang memikat hati siapa pun yang melihatnya. Tak hanya karena kecantikan wajahnya, namun juga karena keajaiban-keajaiban yang dibawanya. Jika Mawar menangis, dari matanya akan keluar butiran-butiran mutiara. Saat ia tersenyum, sekuntum mawar merekah mucul dari mulutnya. Dan, ketika ia berjalan, setiap jejak kakinya akan ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan hijau.
Kabar tentang Mawar dan keajaibannya tersiar hingga ke istana Sultan. Kabar itu didengar pula oleh Putra Sultan, yaitu Sang Pangeran. Rasa penasaran yang besar membuatnya bergegas pergi ke desa, tempat Mawar tinggal, dan melihat sendiri kecantikan dan keajaiban gadis itu. Segera saja, Pangeran jatuh hati dan membawanya ke istana untuk menikahinya.
“Suamiku, kita sangat beruntung. Putri kita hendak dinikahi oleh Pangeran!” seru Putri Ketiga kepada suaminya.
Semua orang bergembira karena pangeran mereka akan segera menikah. Akan tetapi, ada seorang wanita bangsawan dan putrinya yang merasa marah ketika mengetahui rencana pernikahan Pangeran. Rupanya, wanita bangsawan itu berharap jika Pangeran akan menikahi putrinya karena mereka sudah lama tinggal di istana. Apalagi putrinya juga cukup cantik untuk menjadi istri Pangeran. Namun, Pangeran ternyata lebih memilih untuk menikahi Mawar, seorang gadis miskin, dari pada putri wanita bangsawan itu.
“Tenanglah, anakku. Aku telah menyiapkan sebuah rencana untuk membuatmu menjadi istri Pangeran.” Wanita itu menghibur putrinya yang menangis tersedu-sedu di hari pernikahan Pangeran dan Mawar.
Sebelum pesta dimulai, wanita bangsawan itu menghidangkan senampan daging yang telah ditaburi banyak garam kepada Mawar. Mawar memakannya hingga ia merasa kehausan karena rasa asin yang menyengat.
“Tolong, beri saya segelas air…,” pintanya memelas.
Wanita bangsawan dan putrinya tersenyum jahat, lalu berkata. “Berikan satu bola matamu, maka kami akan memberimu segelas air.”
Mawar sungguh ketakutan mendengar permintaan itu. Tetapi, karena ia sudah sangat tersiksa dengan rasa haus, dengan sangat terpaksa ia memberikan bola mata kanannya.
“Minumlah.” Mereka memberikan segelas air kepada Mawar.
Mawar meminumnya hingga habis, tetapi, rasa haus yang menyiksa itu belum hilang juga. Maka, ia meminta satu gelas air lagi.
Wanita bangsawan dan putrinya tersenyum jahat, dan mengucapkan kata-kata yang sama. “Berikan satu bola matamu, maka kami akan memberimu segelas air.”
Mawar tak punya pilihan lain, ia pun memberikan bola mata kirinya. Kini, ia telah menjadi gadis buta. Wanita bangsawan itu sangat puas. Kemudian, ia menyuruh anak buahnya untuk memasukkan Mawar ke dalam sebuah keranjang besar dan membuangnya ke puncak bukit yang tinggi, jauh dari istana. Setelah itu, ia mendadani putrinya dengan gaun pengantin dan tudung yang semula dikenakan oleh Mawar.
“Oh, ternyata, gadis cantik dan memesona ini yang ingin kau nikahi. Ayah senang karena kau memilih seorang putri bangsawan,” komentar Sultan usai upacara pernikahan.
Pangeran sungguh terkejut ketika tahu jika gadis yang dinikahinya bukan Mawar. Ia benar-benar bingung dengan kejadian itu. Tetapi, ia tidak bisa membatalkan pernikahannya karena restu Sultan telah diberikan dan upacara pernikahan telah dilaksanakan. Lalu, bagaimanakah nasib Mawar yang terbuang di puncak bukit?
Disana, Mawar menangis sedih. Suaranya terdengar menyayat hati. Saat itulah, seorang penebang kayu tua melewati keranjang besar yang berisi Mawar. Ketika ia mendengar suara tangisan itu, ia merasa ketakutan, namun akhirnya ia bertanya, “Siapakah engkau? Apakah engkau peri atau jin?”
“Saya hanyalah manusia biasa. Tolonglah saya, Tuan,” pinta Mawar.
Penebang kayu itu segera membuka tutup keranjang dan menolong Mawar. “Kasihan sekali gadis ini. Rupanya ia buta. Aku akan menolongnya dan mengangkatnya sebagai anak,” tekad penebang kayu itu di dalam hati.
Penebang kayu tua itu pun membawa Mawar pulang ke rumahnya di pinggir hutan dan merawat Mawar seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, Mawar masih saja sedih dan terus menangis setiap hari. Butiran-butiran mutiara terus-menerus berjatuhan dari kedua matanya yang buta. Penebang kayu itu keheranan.
“Saya seperti ini sejak lahir, Tuan,” kata Mawar singkat. Ia enggan menjelaskan perihal kemalangan yang dia alami.
Hari demi hari berlalu, Mawar mulai merasa kerasan tinggal di rumah penebang kayu itu. Suatu hari, ayah angkatnya itu pulang dengan membawa buah-buahan manis dari hutan.
“Buah-buah ini sungguh manis dan menyegarkan, Ayah,” ucap Mawar sambil tersenyum. Sekuntum bunga mawar seketika merekah jatuh dari mulutnya.
Penebang kayu itu terperanjat. “Keajaiban apa lagi ini, anakku? Apa yang harus aku lakukan dengan bunga secantik ini?”
Mawar berpikir sebentar, kemudian berkata. “Ayah, tolong datanglah ke istana dan juallah bunga mawar ini di sana. Katakanlah jika bunga ini memiliki keindahan tiada duanya di dunia. Nanti jika ada seorang wanita bangsawan yang membelinya, jangan meminta uang sebagai pembayarannya. Tetapi, mintalah sebuah mata sebagai pengganti bunga mawar ini.”
Penebang Kayu Tua mengabulkan keinginan anak angkat tersayangnya. Keesokan harinya, ia pergi ke istana, tempat tinggal keluarga Sultan, untuk menjual mawar itu.
“Mawar! Mawar! Bunga Mawar! Barang siapa yang membeli bunga mawar ini akan sangat beruntung. Bunga ini memiliki keindahan tiada banding di dunia ini!” teriak Penebang Kayu Tua.
Wanita bangsawan, yang dulu membuang Mawar ke puncak bukit, membuka pintu, bermaksud membeli mawar itu.
“Saya tidak menjualnya untuk mendapatkan uang, Nyonya. Saya menjualnya untuk sebuah bola mata,” kata Penebang Kayu Tua.
Wanita bangsawan itu langsung teringat pada dua bola mata Mawar yang disimpannya. Ia pun memberikan salah satu mata itu kepada Penebang Kayu Tua.
“Oh, terima kasih, Ayah!” pekik Mawar senang, setelah menerima sebuah bola mata dari ayah angkatnya. Ia lalu memasangkan bola mata itu ke tempat yang tepat. Kini, Mawar bisa melihat dengan satu mata. Ia tersenyum senang. Bunga-bunga mawar merekah segera berjatuhan dari mulutnya.
“Ayah, tolong, juallah mawar-mawar ini ke istana supaya aku bisa mendapatkan satu mata lagi,” pintanya.
Keesokan harinya, Penebang Kayu Tua kembali menawarkan kuntum-kuntum mawar itu ke istana.
“Penjual mawar itu datang di saat yang tepat. Kemarin, Pangeran tampak sangat senang melihat mawar yang kusematkan di rambut putriku. Putriku pasti terlihat lebih cantik dengan mawar itu,” pikir Wanita Bangsawan. Ia tidak tahu bahwa Pangeran merasa senang karena melihat bunga mawar yang tersemat di rambut putrinya, bukan karena melihat kecantikan istrinya. Bunga mawar itu mengingatkan Pangeran kepada Mawar, gadis yang seharusnya ia nikahi dulu.
“Berikanlah sebuah bola mata sebagai pengganti mawar-mawar ini, Nyonya,” pinta Penebang Kayu Tua.
Akhirnya, mata kedua Mawar tiba. Ia memasangnya kembali di tempat yang tepat, sehingga penglihatannya kembali seperti sedia kala. Ia merasa sangat senang dan memutuskan untuk berjalan-jalan ke kota menikmati pemandangan. Di jalanan kota, orang-orang terpesona melihat kecantikan Mawar. Terlebih lagi saat mereka menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dibuat gadis itu. Senyumnya mengeluarkan kuntum mawar yang merekah, jejak langkahnya meninggalkan tumbuh-tumbuhan hijau, dan air matanya berupa butiran mutiara yang indah. Berita tentang keajaiban Mawar tersebar ke segala penjuru. Kabar itu pun sampai ke telinga Sang Wanita Bangsawan dan putrinya.
“Oh, Ibu, bagaimana jika ia kembali lagi ke istana ini dan menceritakan semua kejahatan kita kepada Pangeran?” tangis putrinya.
“Aku akan melakukan sesuatu sebelum Pangeran mendengar tentang gadis itu,” tekad wanita bangsawan itu.
Ia lalu menelusuri kabar tentang Mawar dan menemukan rumah Penebang Kayu Tua di pinggir hutan. Diam-diam, ia menemui lelaki tua itu.
“Pak Tua, tahukah engkau bahwa gadis yang tinggal di rumahmu itu telah dirasuki oleh roh jahat? Oleh karena itulah ia bisa melakukan berbagai macam keajaiban. Roh jahat itu menyimpan jiwa putrimu yang sebenarnya di suatu tempat,” katanya berbohong.
Penebang Kayu Tua sungguh ketakutan mendengar hal itu. “Apa yang harus saya lakukan supaya jiwa putri saya bisa kembali, Nyonya?”
“Tanyakanlah kepada roh jahat itu, di mana ia menyimpan jiwa putrimu. Jika tempat penyimpanan jiwanya musnah, maka jiwa putrimu akan bebas kembali ke tubuhnya. Roh jahat itu pun akan pergi dari tubuh putrimu. Aku akan membantumu,” janji Sang Wanita Bangsawan.
Penebang Kayu Tua segera menemui Mawar yang ia sangka kerasukan roh jahat. “Roh jahat, katakanlah, di mana kau menyimpan jiwa putriku, Mawar! Kini aku mengerti penyebab semua keajaiban yang kau lakukan selama ini!”
“Ayah, apa yang terjadi? Aku sungguh-sungguh putrimu, Mawar. Aku bukan roh jahat. Aku bisa melakukan semua keajaiban ini karena tiga peri yang memberiku azimat ketika aku lahir,” jawab Mawar mencoba menjelaskan.
“Katakan di mana kau menyimpan azimatmu, maka aku akan percaya bahwa kau bukan roh jahat!” seru Penebang Kayu Tua.
Mawar berpikir sesaat, kemudian mengungkapkan rahasianya, “Aku menyimpannya di tubuh rusa muda bermata merah di puncak bukit. Jika ia mati, maka aku juga akan mati.”
Penebang Kayu Tua segera menemui Sang Wanita Bangsawan dan mengatakan semua yang dia ketahui. Kemudian, wanita itu menyuruh anak buahnya mencari rusa muda yang dimaksud dan memerintahkannya untuk membawa hatinya sebagai bukti kematian rusa muda itu. Setelah rusa muda itu ditemukan dan mati karena diambil hatinya, Mawar tak sadarkan diri. Penebang Kayu Tua menyadari kesalahannya dan merasakan penyesalan yang dalam. Ia menganggap Mawar telah meninggal, sehingga ia memasukkannya ke dalam sebuah peti dan menguburkannya di puncak bukit.
Sementara itu, Wanita Bangsawan dan putrinya bergembira karena Mawar telah pergi untuk selamanya. Mereka berdua kemudian memasak hati rusa muda itu. Tetapi, tanpa sepengetahuan mereka, sebuah mata merah bagai batu koral di lautan, menggelinding jatuh dari hati rusa dan bersembunyi di bawah tempat tidur Pangeran.
Malam harinya, Pangeran bermimpi aneh. Ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang sedang menangis di puncak bukit. Air mata gadis itu mengeluarkan butiran mutiara. Kemudian, saat gadis itu tersenyum kepada Pangeran, sekuntum mawar merekah jatuh dari mulutnya. Dan, ketika gadis itu berjalan beberapa langkah, jejak kakinya ditumbuhi oleh tanaman yang menghijau.
“Temukan aku, Pangeran. Aku terkubur di bukit ini. Bawalah mata koral di bawah tempat tidurmu dan letakkan di mulutku,” kata gadis itu.
Pangeran terbangun dengan tubuh penuh keringat. Ia buru-buru melongok ke bawah tempat tidurnya. Dan, benar saja, sebuah mata merah bagai batuan koral tergeletak di bawah tempat tidurnya. Tanpa membuang-buang waktu, Pangeran memacu kudanya menuju puncak bukit yang ada di dalam mimpinya. Ia yakin, kali ini, ia akan menemukan Mawar, calon istrinya yang dulu menghilang. Setelah sampai di puncak bukit, Pangeran segera menggali tempat yang ditunjuk oleh gadis dalam mimpinya. Ia menggali dan terus menggali, hingga sekopnya membentur sesuatu yang keras. Sebuah peti. Pangeran semakin bersemangat menggali, hingga peti itu tergali seluruhnya. Pangeran segera membuka tutupnya dan melihat sesosok gadis berbaring di dalamnya.
“Benar, mimpiku semalam ternyata benar. Ini adalah Mawar, gadis yang aku cari-cari selama ini!” pekik Pangeran senang.
Pangeran lalu mengambil sebuah kantung yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah mata merah bagai koral. Perlahan-lahan, Pangeran meletakkan mata itu di mulut Mawar. Tiba-tiba, mata itu menghilang dan Mawar membuka matanya.
“Terima kasih telah menyelamatkan saya, Pangeran.” Mawar tersenyum sambil menangis penuh haru. Mulutnya mengeluarkan bunga mawar yang merekah dan kedua matanya menjantuhkan butiran mutiara. Saat Pangeran menuntunnya melangkah keluar dari peti, jejak kaki Mawar ditumbuhi tanaman yang menghijau. Semua hal itu semakin meyakinkan Pangeran bahwa gadis itu benar-benar Mawar yang dicarinya.
“Apa yang terjadi di hari pernikahan kita? Mengapa engkau menghilang begitu saja?” tanya Pangeran.
Mawar menceritakan semua yang telah dialaminya kepada Pangeran, termasuk perlakuan Sang Wanita Bangsawan dan putrinya kepada dirinya.
“Mereka berdua akan mendapatkan hukuman yang sepadan dengan kejahatan yang telah mereka lakukan,” kata Pangeran dalam perjalanan menuju istana.
Dengan kembalinya Mawar, istana kembali mengadakan pesta pernikahan Pangeran. Mawar sangat bahagia karena bisa menikah dengan Pangeran dan berkumpul kembali dengan ayah dan ibunya. Ia pun tak lupa mengundang ayah angkatnya, yang telah menyelamatkan dan merawat dirinya, untuk hadir di pesta itu. Sementara itu, Wanita Bangsawan dan putrinya harus menjalani masa hukuman atas kejahatan mereka di dalam penjara istana.
***
Aulia berhenti membaca bukunya.
"Cerita yang bagus. Pinter yang membuat ceritanya," pujian Aulia.
Aulia menutup buku dan buku di taruh di meja. Rara pulang ke rumahnya dengan bawa sayur dan tempe yang ia beli di warung ibu Mila.
"Aulia telah lama nunggu?!" kata Rara.
"Lumayan. Selesai baca buku. Kisah Si Cantik Mawar. Asal cerita dari Turki," kata Aulia.
"Tunggu sebentar ya. Aku mau ngasih ini belanjaan ku pada ibu!" kata Rara.
"Iya," kata Aulia.
Aulia menunggu dengan baik. Rara memberikan belanjaanya ke ibunya. Ya ibu segera memasak tuh sayur dan tempe di dapur. Rara ke ruang tamu.
"Aulia main yuk. Main boneka!" kata Rara.
"Ayuk!!!" kata Aulia.
Aulia dan Rara main boneka dengan penuh kegembiraan, ya kebiasaan ceweklah main boneka.
No comments:
Post a Comment