CAMPUR ADUK

Tuesday, July 27, 2021

ANAK TELEDU YANG MALANG

Ridwan selesai main dengan teman-teman di lapangan, ya main sepak bola. Ridwan duduk di ruang tamu dengan santai. Ada buku di meja, ya Ridwan mengambil buku tersebut dan di baca dengan baik deh.

Isi cerita yang di baca Ridwan :

Di sebuah hutan, ada seekor jaguar bernama Chakmool, yang hidup bertetangga dengan keluarga teledu. Keluarga teledu hanya beranggotakan ibu teledu dan anaknya, Payooch, karena ayah teledu telah meninggal dunia. Sejak ayah teledu meninggal, Chakmool menjadi ayah angkat bagi Payooch. Chakmool sering mengajak Payooch bermain bersama. Mereka suka berkejaran di batang-batang pohon karena mereka berdua mahir memanjat.

Kedekatan Payooch dan Chakmool membuat Payooch menyukai warna bulu Chakmool yang coklat keemasan, serta motif di tubuh Chakmool yang indah. Payooch sering iri melihatnya.

“Mungkinkah kita bertukar bulu, Chakmool?” tanya Payooch suatu hari. Chakmool tertawa mendengarnya.

“Mana bisa?” raungnya, sambil terkekeh.

“Aku bosan dengan warna buluku ini,” keluh Payooch.

“Warna bulumu bagus. Hitam dan putih. Manis sekali,” hibur Chakmool.

“Tapi, bulumu lebih indah. Suaramu juga.” Chakmool tertawa lagi.

“Ada apa lagi dengan suaraku?” tanya Chakmool geli.

“Suaramu besar. Raunganmu menggelegar. Tidak seperti suaraku yang cempreng ini,” keluh Payooch, sambil cemberut.

“Kau harus belajar bersyukur, Payooch. Tuhan sudah berbaik hati memberikan bulu dan suara padamu. Lihat ikan, badannya licin tak berbulu. Ia juga tak pernah bersuara. Mulutnya hanya komat-kamit saja,” Chakmool menasihati dengan bijak.

Teledu kecil itu tertawa. “Hahaha … benar. Kau benar, Chakmool. Aku lebih beruntung daripada ikan.” Teledu kemudian terdiam, “Tapi, ikan bisa berenang,” Payooch mulai membanding-bandingkan lagi.

“Kau bisa berenang kalau mau belajar. Aku juga tak punya sirip seperti ikan, tetapi aku bisa berenang,” ujar Chakmool.

“Sungguh, kau bisa berenang?” Payooch bertanya dengan antusias. Chakmool mengangguk.

“Kau harus mengajariku berenang!” pinta Payooch.

“Ya, apapun yang kau mau.”

“Horeeee!” Payooch bersorak dan menari-nari kegirangan.

Jaguar memang masih bersaudara dengan harimau. Penampilannya hampir sama, hanya motif bulu di badannya yang berbeda. Badan jaguar lebih ramping. Ia pandai memanjat pohon dan bisa berenang. Jaguar memiliki cakar yang tajam dan gigi yang kuat karena dia pemakan daging. Bahkan, cangkang kura-kura yang keras pun bisa pecah oleh gigitannya. Biasanya, Jaguar berburu di malam hari.       

Teledu dikenal dengan sebutan sigung. Ia mempunyai rupa mirip rubah, tetapi ukurannya lebih kecil. Bulu teledu sangat khas. Warnanya hitam dengan garis bulu putih di kepala, punggung, dan ekor. Teledu memakan daging dan tumbuh-tumbuhan. Meskipun teledu tampak kecil dan lemah, dia mempunyai senjata rahasia. Teledu akan menyemprotkan bau busuk yang menyengat ketika merasa terancam. Bau itu digunakan untuk mengusir lawannya.

Suatu siang, Chakmool berniat mencari makan. Biasanya ia berburu sendiri di malam hari. Tapi hari itu sedang cerah, ia ingin mengajak Payooch pergi berburu bersamanya. Ia pun mendatangi tempat tinggal keluarga teledu.

“Apa yang kau cari, Chakmool?” tanya Ibu teledu saat melihat Chakmool celingukan di depan rumahnya.

“Aku hendak mencari makan, Nyonya,” jawab Chakmool.

“Bukankah kau biasa berburu di malam hari?”

“Ya. Kali ini aku ingin mengajak Payooch pergi bersamaku. Aku ingin mengajarinya berburu.” Ibu teledu tampak keberatan mendengarnya.

“Aku rasa jangan, Chakmool. Payooch masih terlalu kecil. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Lebih baik dia tetap di rumah,” ujar Ibu teledu.

Teledu kecil mendengar percakapan Chakmool dan ibunya. Ia lalu berlari keluar rumah. Rupanya ia berbeda pendapat dengan sang Ibu.

“Tidak, Ibu. Aku ingin pergi dengan Chakmool. Aku ingin berlajar berburu bersamanya. Boleh ya, Bu?” rajuk Payooch. Ibu teledu masih terlihat ragu.

“Tapi Payooch, kalau kau pergi berburu, kau harus berjalan jauh. Kau pasti akan capai. Di rumah saja, ya?” bujuk Ibu teledu.

“Tidak! Aku mau pergi! Aku mau berburu!” teriak Payooch. Ibu teledu menyerah.

“Baiklah, ibu izinkan. Tapi kau harus berhati-hati, ya. Chakmool, kau harus melindungi Payooch dengan baik. Aku ingin kalian pulang dengan selamat.”

“Ya, Ibu,” Payooch berseru senang.

“Aku akan menjaga Payooch dengan baik, Nyonya,” janji Chakmool, berusaha meyakinkan ibu teledu.

Akhirnya ibu teledu melepas anaknya pergi bersama Chakmool. Meski ia masih merasa khawatir, ia tak ingin menghalangi Payooch belajar hal-hal baru. Ia percaya Payooch anak yang pintar dan pemberani. Lagipula, ada Chakmool yang menjaganya. Ibu teledu bisa bernapas lega.

Chakmool dan Payooch berjalan beriringan. Sesekali saat Payooch merasa lelah, ia naik ke punggung Chakmool. Chakmool dengan senang hati menggendong Payooch, yang belum pernah pergi berburu.

“Kita akan ke mana, Chakmool?”

“Kita akan pergi ke dekat sungai. Kita akan menunggu buruan kita di sana.”

“Apakah masih jauh?” tanya Payooch.

“Tidak, sebentar lagi kita sampai. Ayo, cepat, ikuti aku. Aku tak mau kau tersesat.”

“Baik, Chakmool.” Payooch mempercepat langkahnya, mengikuti Chakmool yang sudah berada di depan.

Tak lama kemudian mereka sampai di sungai. Chakmool naik ke sebuah batu besar di tepi sungai. Batu itu agak tersembunyi, tertutup oleh tanaman-tanaman hutan yang merambat.

“Kita akan berburu di sini,” ujar Chakmool. “Kemarilah Payooch, aku hendak mengasah pisauku dulu,” lanjutnya.

Payooch ikut naik ke atas batu. Ia mengamati Chakmool mengasah pisaunya di batu. Pisau yang dimaksud adalah cakar Chakmool yang panjang dan runcing. Payooch mengeluarkan cakarnya yang mungil. Ia membandingkannya dengan cakar Chakmool.

“Suatu hari, cakarmu akan sebesar ini,” ucap Chakmool, seolah tahu pikiran anak angkatnya itu. Payooch tersenyum lebar.

Payooch memerhatikan semua hal yang dilakukan Chakmool dengan baik. Suatu hari setelah besar nanti, ia akan pergi berburu sendiri seperti Chakmool. Payooch melihat Chakmool menggeliatkan tubuhnya. Payooch ikut-ikutan menggeliat.

“Nah, Payooch, aku sudah selesai mengasah pisauku. Sekarang, aku akan memberimu tugas,” perintah Chakmool. Payooch tampak senang. Ia merasa benar-benar terlibat dalam perburuan ini.

“Apa tugasku, Chakmool?” tanya Payooch, tak sabar.

“Kau kuberi tugas berjaga-jaga. Aku akan tidur sebentar. Kalau kau lihat buruan kita datang, segera bangunkan aku.”

“Siapa saja buruan kita?”

“Hmm … Kau tahu antelop? Mereka biasanya berhenti minum di sungai. Saat mereka minum, kita akan menyergap mereka.”

“Ya, aku tahu. Yang mirip dengan rusa, kan?”

“Betul, anak pintar. Berjagalah dengan sungguh-sungguh. Tugasmu ini amat penting.”

Payooch mengangguk, bersemangat. Ia kemudian duduk dengan gelisah di sebelah Chakmool yang tertidur pulas. Ia terus mengamati sekitar sungai. Bersiap-siap membangunkan Chakmool bila buruan mereka tiba.

Payooch membangunkan Chakmool ketika ia melihat seekor antelop kecil melintas di sungai. “Bangun, Chakmool! Bangun! Mereka datang,” teriak Payooch, sambil mengguncang-guncang tubuh Chakmool.

Chakmool terkejut. Ia langsung berdiri, siaga. Antelop kecil juga terkejut. Ia langsung berlari menjauh.

“Buruan kita kabur, Chakmool. Ayo kita kejar.” Payooch menarik-narik Chakmool.

“Hei … hei … hentikan!” ujar Chakmool.

“Kenapa, Chakmool?”

“Jangan berteriak. Kau membuat buruan kita kabur. Teriakanmu mengejutkan mereka. Mereka jadi tahu jika kita sedang mengintainya.”

“Lalu bagaimana?” Payooch bertanya, lugu.

“Gores saja perutku dengan cakarmu. Aku akan bangun.”

“Apa itu tak menyakitimu?” Payooch mengernyit. Chakmool menggeleng.

“Satu lagi, kau tak perlu membangunkanku kalau yang datang hanya antelop kecil seperti tadi. Kalau antelop besar datang, kau baru bangunkan aku. Paham?”

“Ya, aku paham.” Payooch mulai berjaga-jaga lagi sedangkan Chakmool kembali tidur. Payooch tidak mau gagal kali ini. Ia harus bersiaga dan hati-hati.

Setelah menunggu beberapa saat, antelope besar yang ditunggu-tunggu Payooch datang. Antelop besar itu sedang minum di tepi sungai. Payooch segera membangunkan Chakmool dengan menggores perut Chakmool menggunakan cakar kecilnya. Chakmool terbangun. Ia langsung siaga. Chakmool meloncat dan menyerang antelop besar itu. Payooch hanya bisa menatapnya dari pinggir sungai. Sebenarnya dia ingin ikut meloncat, menyerang antelop besar itu, tapi kakinya malah tersangkut ranting perdu.

Setelah berjuang keras, Chakmool berhasil melumpuhkan antelop besar itu. Dia kemudian menghampiri Payooch dengan terengah-engah. “Kau baik-baik saja? Kita berhasil, Payooch. Kau telah menjalankan tugas dariku dengan baik. Sekarang, waktunya kita makan,” puji Chakmool. Payooch terlihat senang. Ia merasa lebih hebat sekarang. Ia pasti akan membuat ibunya bangga.

Payooch dan Chakmool menikmati hasil buruan mereka sampai kenyang. Baru kali ini Payooch merasakan makanan dari hasil buruannya sendiri.

“Kau sudah kenyang?” tanya Chakmool. Payooch mengangguk.

“Sebaiknya kau ambil sisa buruan kita. Bawa pulang dan berikan pada ibumu. Dia pasti lapar,” usul Chakmool. Payooch segera memunguti hasil buruan yang tersisa.

Mereka lalu berjalan pulang dengan perasaan puas. Chakmool senang telah mengajak Payooch berburu bersamanya.

“Bagaimana perasaanmu, Payooch? Apa kau senang ikut berburu bersamaku?”

“Ya, aku senang sekali, Chakmool. Apalagi aku bisa membawakan ibuku makanan. Biasanya, ia yang mencari makanan untukku. Kapan-kapan ajak aku lagi, ya.”

“Baiklah, asal ibumu mengizinkan.”

“Sekarang, aku sudah tahu caranya berburu. Suatu hari aku akan pergi berburu sendiri, Chakmool.”

“Kau memang anak yang pemberani, Payooch,” Chakmool berkata, tulus. Payooch senang mendengar pujian Chakmool.

Mereka segera bergegas pulang. Hari sudah hampir petang. Ibu teledu pasti cemas menanti kedatangan mereka.

“Ibu, aku pulang,” teriak Payooch dari kejauhan. Ia melihat ibunya mondar-mandir di depan rumah.

Ibu teledu segera berlari menyambut anaknya. “Oh, syukurlah kau baik-baik saja,” Ibu teledu berkata, lega. Ia langsung menyambut dan memeluk Payooch.

“Ibu, aku membawa hasil buruanku untuk Ibu.” Payooch mengulurkan hasil buruannya pada sang Ibu. Ibu teledu tampak bangga dan terharu.

“Terima kasih, Sayang. Terima kasih juga, Chakmool. Kau sudah menjaga Payooch dengan baik,” kata Ibu teledu, sambil tersenyum.

“Sama-sama, Nyonya Teledu. Anakmu sungguh membanggakan. Dia sangat pemberani,” ujar Chakmool.

Setelah berbincang sejenak, Chakmool pamit pulang. Ibu teledu menyantap hasil buruan anaknya sampai kenyang. Ia juga menyimpan sebagian sebagai persediaan. Selagi ibunya makan, Payooch menceritakan pengalaman berburunya dengan semangat.

Hari-hari berikutnya, mereka lalui seperti biasa. Ibu teledu kembali mencari makan untuk keluarga teledu, dan Chakmool mengajak Payooch bermain seperti biasanya. Chakmool belum mengajak Payooch berburu bersama lagi. Suatu hari, ibu teledu terbaring sakit. Ia tak bisa pergi mencari makan. Persediaan makanan yang mereka simpan, sudah habis tak bersisa.

“Anakku, persediaan makanan kita sudah habis, tapi ibu belum bisa pergi mencari makanan untukmu,” Ibu teledu berkata, lemah. Payooch menghampirinya dan duduk di sampingnya.

“Ya, Ibu. Ibu tak perlu khawatir. Aku akan pergi berburu dan membawakan makanan untukmu,” ujar Payooch, mantap.

“Oh, mana mungkin kau berburu, Nak. Kau masih sangat kecil. Ibu khawatir kau tak selamat. Kau tetap tinggal di rumah saja, biar ibu yang pergi mencari makanan untuk kita.” Ibu teledu memaksakan diri untuk berdiri, tetapi ia malah sempoyongan.

“Sudahlah, Ibu istirahat saja. Ibu harus percaya padaku. Aku sudah tahu cara berburu. Chakmool sudah pernah mengajarkannya padaku,” Payooch bersikeras.

“Tidak, Payooch. Kau harus menurut pada ibu,” Ibu teledu tetap berusaha menghalangi Payooch.

“Aku pergi sekarang.” Payooch berlari keluar rumah, memutuskan pergi berburu sendiri. Ia tak mendengarkan perkataan ibunya.

Ibu teledu merasa sangat khawatir. Tapi, ia terlalu kepayahan kalau harus mengejar Payooch, tubuhnya sudah sangat lemah. Akhirnya ia berdiam di rumah, lalu memutuskan untuk terus berdoa bagi anaknya. Sementara itu, Payooch pergi menuju sungai. Ia akan berburu antelop, seperti yang pernah diajarkan oleh Chakmool kepadanya.

“Chakmool bisa melakukan perburuan ini. Lalu, kenapa aku tak bisa? Aku pasti akan berhasil,” gumam Payooch,berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

“Nah, aku akan mengasah pisauku terlebih dahulu.” Payooch mengasah kukunya di batu, persis seperti apa yang dilakukan Chakmool dulu.

“Aku akan mengintai di sini. Aku akan memburu antelop yang paling besar. Oh ya, aku juga akan tidur dulu sebentar.”

Payooch meniru mentah-mentah cara Chakmool berburu. Payooch tak sadar kalau mereka berbeda. Payooch baru memejamkan mata sebentar, ketika ia tersadar akan sesuatu yang membuatnya terbangun tiba-tiba.

“Kalau aku tidur, siapa yang mengintai?” pikirnya.

Akhirnya Payooch berjaga. Ia mengamati keadaan di sekitar sungai dengan sungguh-sungguh. Ia menunggu seekor antelop besar datang, sambil memainkan cakarnya. Tak lama kemudian, seekor antelop besar melintas di sungai. Saat antelop itu sedang asyik minum air sungai, Payooch segera melompat, menerkam antelop itu. Dia berpikir kalau dirinya sekuat Chakmool. Akan tetapi, perkiraannya salah. Cakarnya tak mampu menembus kulit antelop dalam-dalam. Tubuhnya juga tak cukup besar untuk mengalahkan gerakan antelop itu. Payooch bergantung di leher antelop karena cakarnya masih tertancap di sana. Antelop yang kesakitan berlari kencang sambil mengibas-ngibaskan kepalanya. Payooch terpelanting ke kanan dan ke kiri. Antelop itu berlari hingga ke padang rumput, lalu melemparkan tubuh Payooch kuat-kuat. Cakar Payooch yang menancap pun terlepas. Payooch terlempar jauh. Antelop itu lalu pergi meninggalkannya.

Ibu teledu benar-benar merasa cemas karena Payooch tak kunjung pulang. Ia kemudian memutuskan mencari Payooch sendirian. Ibu teledu mencari hingga ke tepi sungai, namun ia belum menemukan Payooch. Ia berusaha memanggil-manggil anaknya, tapi tak ada balasan dari Payooch. Ibu teledu lalu melihat jejak kaki dan tanduk antelop.

“Payooch pasti datang kemari. Antelop itu pasti tahu apa yang terjadi pada Payooch,” ujar Ibu teledu. Ia memutuskan mengikuti jejak tersebut.

Ibu teledu terus mengikuti jejak itu hingga sampai di padang rumput. Ia memanggil-manggil Payooch lagi dan melihat Payooch di kejauhan. Ibu teledu merasa lega. Ia berlari menghampiri anaknya. Payooch berbaring telentang. Mulutnya terbuka, tampak gigi-giginya.

“Payooch, apa yang kau tertawakan? Kau tertawa sampai menampakkan seluruh gigimu. Kau menertawakan ibu yang kebingungan mencarimu?” seru Ibu teledu dari kejauhan.

“Hei, Payooch! Ayo, bangunlah. Sini, ulurkan tanganmu. Ibu akan membantumu bangun. Kenapa kau hanya tertawa melihat ibu?” Ibu teledu mulai merunduk, meraih tangan anaknya.

Ibu teledu terkejut begitu meraih tangan Payooch. Tadinya ia mengira anaknya itu masih hidup dan berpura-pura tergeletak. Namun kini ia tahu, Payooch telah meninggal. Ibu teledu sangat sedih. Ia mulai menangis dan meraung. Ia telah kehilangan anaknya. Ibu teledu sangat menyesal karena membiarkan Payooch pergi berburu sendirian. Ia terus menangis dan menyalahkan dirinya.

Chakmool yang mendengar kabar kematian Payooch, datang melayat. Raut wajahnya terlihat sedih. Ia menyesal telah mengajari Payooch berburu dan lupa mengingatkan bahwa Payooch bukanlah seekor jaguar. Mereka memiliki cara yang berbeda untuk mendapatkan makanan.

Ibu teledu dan Chakmool sangat kehilangan Payooch, tetapi mereka berusaha mengikhlaskan kepergiannya. Meski masih kecil dan belum mengerti bagaimana menempatkan keberaniannya, Payooch adalah anak yang pemberani dan berbakti kepada orangtua.

***

Ridwan selesai membaca bukunya.

"Bagus ceritanya asal dari asalnya Mesiko, ya di tulis di buku sih," kata Ridwan.

Ridwan menutup bukunya dan buku di taruh di meja dengan baik.

"Main game apa......belajar ya?" kata Ridwan berpikir dengan baik.

Ridwan cukup lama berpikir dengan baik. Sampai teringat dengan cewek yang ia sukai Nabila. 

"Kalau aku tidak pintar. Maka Nabila tidak akan suka pada ku," kata Ridwan.

Ridwan pun masuk ke kamarnya dan segera belajar mengulang pelajaran yang di berikan guru dan juga menggunakan aplikasi yang membantu dalam belajar, ya seperti guru privart di rumah sendiri sih. Ridwan belajar dengan baik dengan tujuan jadi pintar sih. Ridwan pintar di sukai Nabila.

PRIA MUDA YANG MENUNJUKKAN CINTA SEJATI

Luna selesai urusan kerjaanya di ruang kerja, ya keluar dari ruang kerja ke ruang tengah. Duduk dengan santai Luna di ruang tengah.

"Hari yang melelahkan," kata Luna.

Luna mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Luna :

Ini adalah kisah cinta sejati seorang pria muda untuk kekasihnya, yang sangat dia cintai sehingga dia cukup berani untuk mempertaruhkan nyawanya, melawan seekor naga. Dua ratus tahun yang lalu, ada seorang putri bernama May Yee. Dia lahir di Malaysia. Dia ingin menikah dengan seorang pria muda, tetapi pria itu sangat miskin. Sang Ratu, ibu dari Putri May Yee sangat marah mengetahui anaknya ingin menikah dengan pemuda itu.

Ibunya berkata, “Apakah kamu yakin ingin menikah dengannya? Kamu tahu, kamu adalah gadis tercantik di dunia. ”

Untuk itu sang putri berkata, “Aku kenal dia. Dia adalah orang yang baik. Dia sangat mencintaiku, dan aku juga mencintainya. “

Suatu hari, seekor naga ganas muncul di kota mereka. Naga itu membunuh banyak penduduk desa. Kemudian Ratu berkata siapapun yang membunuh naga itu akan mendapatkan keinginannya dikabulkan olehnya. Pemuda itu berkata kepada Ratu bahwa dia akan pergi untuk membunuh naga yang telah mengganggu Desa. Setelah itu, dia mengambil pedang dan pergi untuk membunuh naga itu. Sebenarnya si Pemuda memiliki rasa takut, tapi dia ingin menikahi sang putri. 

Si Pemuda berkata kepada Putri May Yee, “Jangan khawatirkan aku. Aku berencana untuk membunuh naga. Setelah itu kita bisa menikah. ” Lalu dia pergi untuk membunuh naga itu.

Naga itu sangat kuat, dan mereka bertempur hebat. Namun karena semangat dan ke gigihan pemuda itu, akhirnya dia berhasil membunuh si naga. Sang putri sangat senang sampai dia menangis bahagia. Setelah itu ratu setuju mereka bisa menikah, dan mereka menjadi pasangan.

Cerita rakyat ini bercerita tentang seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya sehingga dia akan melakukan apa saja untuknya. Dia bahkan tidak peduli jika dia akan mati.

***

Luna selesai membaca bukunya.

"Bagus sih cerita yang baru aku baca asalnya cerita dari Malaysia," kata Luna.

Luna menutup bukunya dan buku di taruh di meja.

"Aku ingin menikah sih. Tapi masalahnya. Cowok tidak ada yang melamar aku. Mantan pacar......balikan apa enggak ya?" kata Luna.

Luna terus berpikir dengan baik.

"Andai saja ada cowok yang berani melamar aku ke Ibu ku. Pasti di terima ibu dan aku. Kenyataannya.....tetap jomlo. Nasif....dengan keadaan ku," kata Luna.

Luna mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Luna memilih chenel acara Tv yang bagus untuk di tonton. Terpilihlah acara Tv... Model. Luna menaruh remot di meja, ya asik nonton Tv acara Tv yang bagus gitu.

Monday, July 26, 2021

MATAHARI KEMBAR

Tissa selesai mengerjakan PR-nya, ya keluar dari kamarnya dengan membawa buku cerita. Tissa duduk santai di ruang tamu dan segera membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Tissa :

Suku Aztec memercayai cerita kuno bahwa dahulu matahari sudah mengalami pergantian selama lima kali. Matahari pertama adalah persembahan dari pemimpin para dewa, yaitu Tezcatlipoca. Matahari pertama hancur karena Dewa Tezcatlipoca berselisih dengan Dewa Quetzalcoatl. Mereka kemudian bertarung sampai menghancurkan matahari. Matahari kedua merupakan persembahan Dewa angin timur Quetzalcoatl. Ia mengambil alih pengaturan matahari setelah mengalahkan Dewa Tezcatlipoca saat mereka berselisih. Dewa hujan Tlaloc kemudian mempersembahkan diri menjadi matahari ketiga. Lalu, matahari keempat dipersembahkan oleh Dewi air, Chalchiuhtlicue. Matahari ketiga dan keempat itu telah hancur karena bencana besar.

Kini, saatnya menentukan siapa yang akan menjadi persembahan untuk matahari kelima. Para dewa sedang berkumpul di Teotihuacan. Sayangnya, belum ada Dewa yang bersedia menerima tugas tersebut. Mereka merasa belum siap mengorbankan diri dalam api dan malah saling tunjuk. Dewa Tezcatlipoca dan Dewa Quetzalcoatl sebenarnya bersedia menjadi matahari yang kelima. Akan tetapi, mereka sudah pernah mempersembahkan diri untuk menjadi matahari dan tidak bisa melakukannya untuk kedua kali.

“Saya yang akan menjadi matahari berikutnya,” seru seorang Dewa yang baru saja hadir. Dewa itu adalah Tecciztecatl, putra dari Dewa Tlaloc dan Dewi Chalchiuhtlicue. Tecciztecatl adalah dewa yang gagah dan kaya raya. Dia mengajukan diri dengan penuh kesombongan.

Semua mata menatap ke arah Dewa Tecciztecatl. Mereka mengagumi keberanian dewa muda itu. Dewa muda biasanya jarang mengajukan diri, jadi Dewa Tecciztecatl pasti memiliki keberanian yang besar.

“Lalu, siapa berikutnya?” tanya Dewa Tezcatlipoca. Para dewa terdiam, tak ada yang menjawab. Dalam upacara pergantian matahari, biasanya ada dua dewa yang bertanding. Dewa yang berhak menjadi matahari berikutnya hanyalah dewa yang bisa memberikan persembahan terbaik.

Di tengah kasak-kusuk para dewa, ada seorang dewa yang sedari tadi diam. Ia adalah dewa yang rendah hati dan berpenampilan sederhana. Sedari tadi, dia hanya mendengarkan dewa-dewa lain beradu mulut. Dia adalah Dewa Nanahuatzin, dewa yang bersahaja. Dewa Quetzalcoatl yang menyadari kehadirannya, segera mengusulkan Dewa Nanahuatzin menjadi calon berikutnya.

“Dewa yang satu lagi, Nanahuatzin saja,” usul Dewa Quetzalcoatl.

Dewa-dewa yang lain tampak menyetujui usul Dewa Quetzalcoatl. Banyak dari mereka yang menyukai sifat Dewa Nanahuatzin. Namun, ada juga beberapa dewa yang meragukan kemampuan Dewa Nanahuatzin. Tubuhnya yang kecil tampak lemah. Pakaiannya juga sedikit lusuh. Sangat jauh berbeda dengan Dewa Tecciztecatl. Hal tersebut membuat para dewa yakin jika Dewa Tecciztecatl yang akan menang menjadi matahari kelima.

“Bagaimana Dewa Nanahuatzin? Apakah kau bersedia?” tanya Dewa Tezcatlipoca.

“Jika para dewa memberi kepercayaan ini pada hamba, hamba akan melaksanakannya,” jawab Dewa Nanahuatzin.

Dukungan beberapa dewa membuat Dewa Nanahuatzin mau memenuhi permintaan itu. Dewa Nanahuatzin memang tidak segagah dan sekaya Dewa Tecciztecatl. Tapi, ia memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh Dewa Tecciztecatl. Setelah keduanya terpilih menjadi calon matahari kelima, mereka harus menjalani pertapaan. Para dewa lalu membuatkan piramida untuk Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin. Piramida itu dibangun di Teotihuacan dan akan mereka pergunakan untuk bertapa. Sebelum bertapa, kedua dewa tersebut harus menyiapkan persembahan mereka. Dewa Tecciztecatl telah membawa banyak hadiah mahal dan indah. Sementara Dewa Nanahuatzin masuk ke dalam piramida tanpa membawa apa-apa.

“Kenapa kau tidak membawa sesuatu pun sebagai persembahan? Apa yang akan kau berikan saat kau bertapa nanti?” tanya seorang dewa pada Dewa Nanahuatzin.

“Aku memang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya membawa darah dan jiwaku sebagai persembahan,” jawab Dewa Nanahuatzin. Dewa yang bertanya itu memandangnya rendah, tapi Dewa Nanahuatzin tak memedulikannya.

Bertapa di piramida itu bertujuan untuk menyucikan Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin. Selama bertapa, mereka harus tinggal di piramida seorang diri selama empat hari empat malam. Sementara mereka bertapa, dewa-dewa lain telah menyiapkan perapian besar di Teotexcalli, di mana Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin akan memberikan persembahan mereka.

Pada saat mereka mulai bertapa di dalam piramida, godaan mulai datang. Dewa Tecciztecatl melihat bayangan dirinya berada di dalam rumah yang besar dan megah. Di dalam rumah itu telah terhampar permadani dari bulu jaguar, dan perabotan rumah yang berkilau-kilau karena berlapis emas. Saat melihat semua itu, Dewa Tecciztecatl merasa ragu akan langkahnya. Menjadi matahari tentu harus meninggalkan semua hartanya. Ia harus terus memberi dan melayani. Sesaat, Dewa Tecciztecatl menghentikan pertapaannya. Ia mulai berpikir ulang.

“Apa kata dewa lain kalau aku mundur. Mereka pasti akan mengejekku. Aku tak akan membiarkan semua itu, akan kutunjukkan pada mereka kemampuanku,” gumam Dewa Tecciztecatl. Ia lupa makna sesungguhnya dari persembahan ini. Makna persembahan itu adalah penyerahan diri. Tapi, ia justru melakukannya demi mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari dewa lain.

Dewa Nanahuatzin juga mendapat godaan. Ia melihat dirinya merasakan sakit yang teramat sangat ketika memasuki api. Kulitnya terbakar. Panas menusuk sampai ke dalam sumsum tulang. Gambaran itu meniupkan rasa takut dalam diri Dewa Nanahuatzin, tapi dia tidak goyah. Dia terus bertapa untuk mendapatkan ketenangan diri. Dia tak ingin terpengaruh oleh godaan yang mendatanginya.

“Rasa sakit itu hanya sementara. Aku pasti bisa melaluinya. Aku akan menjadi bagian dari api suci dan memberikan manfaat untuk jagat raya,” bisiknya meyakinkan diri.

Setelah menyelesaikan pertapaannya, dewa memberi mereka hadiah. Dewa Tecciztecatl mendapat hadiah rompi dan hiasan kepala dari bulu indah yang disebut aztacomitl. Dia menerimanya dengan bangga. Sedangkan Dewa Nanahuatzin diberi pakaian dan mahkota dari kertas yang disebut amatzontli. Meski mendapat hadiah yang berbeda, Dewa Nanahuatzin tak keberatan dan menerimanya tanpa rasa iri. Saat tengah malam, para dewa berkumpul di Teotexcalli. Mereka berdiri membentuk barisan mengelilingi perapian yang telah dibuat. Dewa Tezcatlipoca yang akan memimpin upacara sudah siap di tempatnya.

“Kita akan mulai upacara ini. Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin bersiaplah di tempat kalian,” seru Dewa Tezcatlipoca.

Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin maju, mendekati lingkaran api. Perapian yang besar itu sesekali memercikkan bunga api. Panasnya sudah terasa sampai ke kulit walau berdiri dalam jarak yang cukup jauh dari perapian. Kini, keduanya berdiri berseberangan.

“Giliran yang pertama. Dewa Tecciztecatl, tunjukkanlah persembahanmu.”

Dewa Tecciztecatl maju, mendekat ke perapian. Dia menjatuhkan barang-barang yang ia jadikan persembahan seperti bulu burung Quetzal yang indah, bola emas, karang merah yang langka, dan batu-batu permata yang mahal. Semua benda itu adalah benda berharga di kalangan para dewa. Dewa Tecciztecatl melemparkan persembahannya dengan bangga.

“Sekarang, giliranmu, Dewa Nanahuatzin. Tunjukkanlah persembahanmu.”

Dewa Nanahuatzin melangkah tenang. Satu per satu ia menjatuhkan persembahannya ke dalam api. Ada sembilan batang tebu yang diikat tiga-tiga, bola jerami, duri tanaman kaktus yang dilumuri darahnya sendiri, dan beberapa potong jamur hitam. Semua benda itu memiliki peran penting dalam upacara-upacara para dewa.

“Kini, saatnya memberikan persembahan diri. Dewa Tecciztecatl, melompatlah ke dalam api.”

Dewa Tecciztecatl maju, semakin dekat dengan api. Panas api terasa semakin membakar kulitnya. Dewa Tecciztecatl belum meloncat. Para dewa yang mengikuti upacara menunggu dengan napas tertahan.

“Dewa Tecciztecatl, ini adalah kesempatan keduamu. Cepatlah melompat ke dalam api suci!” Suara Dewa Tezcatlipoca sedikit meninggi. Ia tak mengira jika Dewa Tecciztecatl ragu untuk mempersembahkan dirinya.

Dewa Tecciztecatl mulai gemetar. Keberanian yang ia sesumbarkan mulai hangus dilalap panasnya api suci. Ia menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan matanya. Namun, kakinya terasa berat untuk diangkat. Dewa Tecciztecatl mematung di tempatnya berdiri.

“Sekali lagi kuminta, Dewa Tecciztecatl. Segeralah melompat ke dalam api!” bentak Dewa Tezcatlipoca mulai tak sabar.

Sayangnya, Dewa Tecciztecatl justru semakin ketakutan. Ia benar-benar kehilangan nyali. Ia tidak sanggup menjatuhkan diri ke dalam api.

“Dewa Tecciztecatl! Ini kesempatan terakhirmu!” teriak Dewa Tezcatlipoca. Suasana menjadi gaduh. Para dewa yang tadinya menjagokan Dewa Tecciztecatl ikut kecewa.

“Diaaaaaam!” teriak Dewa Tezcatlipoca lagi. Suasana langsung hening.

“Kau telah melewatkan kesempatanmu, Dewa Tecciztecatl. Persembahanmu sia-sia. Sekarang mundurlah ke belakang,” pinta Dewa Tezcatlipoca.

Dewa Tecciztecatl mundur ke belakang dengan rasa malu. Meski demikian, hatinya masih diliputi kesombongan. Ia sangat yakin jika Dewa Nanahuatzin tak akan sanggup melangkah ke perapian yang membara itu. Sesaat setelah Dewa Tecciztecatl gagal melakukan persembahan diri, Dewa Tezcatlipoca segera memanggil Dewa Nanahuatzin. Dewa Nanahuatzin maju dengan sikap tenang, seperti biasa.

“Masuklah ke dalam api, Dewa Nanahuatzin. Persembahkanlah dirimu,” perintah Dewa Tezcatlipoca.

Dewa Nanahuatzin menutup matanya. Ia melangkah ke arah perapian tanpa ragu. Ia memasuki api dengan perlahan. Dewa Nanahuatzin berhasil. Namun, tanpa disangka-sangka, Dewa Tecciztecatl ikut melompat ke dalam api. Perasaan malu mendorongnya untuk menyusul Dewa Nanahuatzin. Ia tidak menyangka jika dewa yang ia remehkan justru mempunyai keberanian yang besar. Dewa Tecciztecatl tak mau dikalahkan oleh Dewa Nanahuatzin.

Para dewa terperanjat mengetahui tindakan itu. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi bila dua orang dewa masuk ke api suci bersamaan. Biasanya dewa pertama yang berani masuk ke api akan menjadi matahari. Setelah matahari muncul, dewa kedua yang dilemparkan ke api akan menjadi bulan. Kini, para dewa menanti dengan cemas. Tak lama kemudian, para dewa melihat kemunculan cahaya yang sangat terang. Sebuah cahaya fajar kemerahan menerangi Teotexcalli. Para dewa segera menebak dari mana arah matahari dewa Nanahuatzin muncul.

“Pasti dari utara,” seru seorang dewa.

“Aku rasa ia bisa terbit dari mana pun. Lihatlah cahaya yang menyebar di mana-mana ini,” seru yang lain.

“Tidak. Ia akan muncul dari sana,” pekik Dewa Quetzalcoatl lantang. Tangannya menunjuk ke arah timur. Dan, benarlah tak lama kemudian sang matahari tampak di langit. Akan tetapi, sesaat kemudian para dewa dikejutkan oleh matahari berikutnya. Matahari kedua itu juga terbit dari timur, dan sangat berdekatan dengan matahari pertama. Keduanya juga mempunyai sinar yang sama-sama benderang.

Kini, para dewa mengetahui akibat dari perbuatan Dewa Tecciztecatl. Dua matahari kembar menyinari jagat raya. Matahari pertama adalah dari Dewa Nanahuatzin sedangkan matahari kedua dari Dewa Tecciztecatl. Padahal, seharusnya satu dewa menjadi matahari dan satu lagi menjadi bulan.

Para dewa beranggapan jika kehadiran matahari kembar bisa menandakan terjadinya bencana. Mereka khawatir apabila hal itu benar-benar menjadi kenyataan. Jika bencana besar terjadi dan menyebabkan kedua matahari hancur, jagat raya akan lumpuh dan kehidupan akan berakhir. 

Dewa Tezcatlipoca marah besar karena Dewa Tecciztecatl telah mengacaukan upacara pergantian matahari. “Pengecut itu harus diberi pelajaran,” katanya.

Dalam kemarahannya, Dewa Tezcatlipoca menyambar seekor kelinci yang melintas di dekatnya dan melemparkan kelinci itu ke arah matahari kedua. Kelinci itu tepat mengenai wajah Dewa Tecciztecatl.

“Awww!” jerit Dewa Tecciztecatl kesakitan.

Peristiwa itu membuat Dewa Tecciztecatl kehilangan sebagian kekuatannya. Sinar matahari kedua pun meredup dan ia berubah menjadi bulan. Bekas tamparan Dewa Tezcatlipoca masih terlihat di wajah bulan hingga sekarang. Saat bulan purnama, bayangan berbentuk kelinci selalu tampak di wajah bulan. Ketika permasalahan Dewa Tecciztecatl sudah selesai, para dewa mendapat satu masalah lagi. Matahari dari Dewa Nanahuatzin tak mau bergerak, hanya diam di tempat yang sama. Hal tersebut terjadi karena fisik Dewa Nanahuatzin yang lemah. Seluruh energinya telah diubah menjadi sinar yang terang, sehingga ia tak sanggup menggerakkan matahari. Akibatnya, ada tempat-tempat yang mengalami kekeringan dan ada yang membeku karena tak kebagian sinar matahari. Dewa-dewa mulai kebingungan.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewa Tlaloc.

“Ya, kita tak bisa membiarkan keadaan ini berlangsung terus-menerus. Hal ini bisa membuat jagat raya mengalami kerusakan dan sirna,” ujar yang lain, khawatir.

“Kita harus meniupnya dengan angin yang kencang agar mau bergerak,” usul seorang dewa.

“Aku akan mencobanya,” Dewa angin Quetzalcoatl menawarkan diri. Dia berusaha meniup matahari itu sekuat tenaga. Namun, matahari tak juga bergerak dari tempatnya.

“Aku tak sanggup. Kita harus meminta bantuan Dewa angin barat Ehecatl,” usul Dewa Quetzalcoatl.

Dewa Tezcatlipoca lalu memanggil dan menyuruh Dewa Ehecatl membantu Dewa Quetzalcoatl. Kedua dewa itu bekerja sama untuk meniup matahari.

“Ayo, tiup lebih kuat lagi!” seru para dewa menyemangati.

Dewa Ehecatl dan Dewa Quetzalcoatl mengerahkan seluruh kemampuannya, tetapi hasilnya nihil. Mereka pun menyerah.

“Bagaimana ini? Apakah ada cara lain, Dewa Tezcatlipoca?”

Dewa Tezcatlipoca menghela napas, “Satu-satunya cara adalah kita ikut mempersembahkan diri untuk menggerakkan matahari.”

Para dewa terkejut mendengar ucapan Dewa Tezcatlipoca. Ada beberapa dari mereka yang tidak siap, namun banyak juga yang mengangguk setuju. Mereka menyadari jika mereka bertugas untuk menjaga jagat raya ini. Para dewa pun bersiap-siap. Satu per satu mereka masuk ke dalam api dengan sukarela. Tak lama kemudian angin kencang bertiup dan mulai menggerakkan matahari Dewa Nanahuatzin.

Matahari itu bergerak perlahan dari timur ke barat. Semua tempat mendapatkan sinar dan panas matahari secara merata. Kehidupan di jagat raya kembali berjalan normal. Saat matahari mulai bergerak menjauh, bulan dari Dewa Tecciztecatl bergerak mengikuti. Letaknya mulai menjauh dari matahari. Ia memberikan penerangan saat matahari berada di belahan lain jagat raya.

Para dewa merasa lega. Kehidupan di jagat raya sudah berjalan dengan baik. Sejak saat itu Dewa Nanahuatzin dan Dewa Tecciztecatl bekerja sama dan bersinar untuk menerangi jagat raya. Matahari menerangi di kala siang datang, dan bulan menerangi di kala malam menjelang. 

***

Tissa selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asal cerita Mesiko di tulis di buku," kata Tissa.

Tissa menutup bukunya dan buku di taruh di bawah meja bersama buku majalah yang memang di taruh di bawah meja. Tissa beranjak dari duduknya ke dapur, ya membantu ibu memasak di dapur.

MALAIKAT MAUT

Kasino dan Indro masuk ruangan mayat. Memang keadaan ruangan gelap sih. Indro dan Kasino lagi mencari sakelar menghidupkan lampu gitu.

"Kasino kenapa ke ruangan mayat sih?" tanya Indro.

"Memeriksa sesuatu," kata Kasino.

"Apa yang harus di periksa?" kata Indro.

"Orang meninggal karena penyebabnya terkena penyakit covi-19....katanya," kata Kasino.

"Oooo begitu," kata Indro.

Kasino menemukan sakelar untuk menghidupkan lampu. Ya lampu ruangan hidup sih. Muncul sosok yang diam di depan pintu. Kasino dan Indro kaget dengan sosok tersebut dan berkata dengan lantang "Setan".

Dono mendengar omongan Kasino dan Indro jadi bingung.

"Kasino dan Indro kenapa aku di panggil Setan?" kata Dono.

Kasino dan Indro melihat dengan baik orang yang bicara pada mereka, ya ternyata Dono.

"Dono bikin takut aja," kata Kasino.

"Bikin takut tahu. Masker kamu itu bergambar gigi yang bertaring," kata Indro.

"Oooooo masker yang aku pake toh. Keren kan. Gigi bertaring kaya taringnya Drakula gitu," kata Dono.

"Lepas Dono tuh Masker!" kata Kasino.

"Kalau di lepas ini masker. Nanti kena marah sama petugas yang menangani covid-19. Tujuannya memakai masker, ya mencegah agar tidak terkena penyakit covid-19 lewat aliran udara gitu," kata Dono.

"Repot juga dengan peraturan ya. Dononya lagi iseng lagi," kata Kasino.

"Mau gimana lagi. Pake aja tuh masker Don!" kata Indro.

"Emmm," kata Dono.

Dono, Indro dan Kasino mulai memeriksa mayat yang katanya terkena covid-19. Ketiganya memeriksa dengan baik.

"Ini orang matinya karena sakit," kata Kasino.

"Setelah di periksa dengan baik. Ada sih penyakit covid-19," kata Indro.

"Berarti benar ini orang matinya karena covid-19," kata Dono.

"Ternyata covid-19 yang menyebabkan orang ini mati, bisa di bilang juga malaikat maut sih tuh covid-19," kata Kasino.

"Emmmm," kata Dono dan Indro.

Dono mulai menggunakan kemampuannya yang mampu melihat hal gaib jadi periksa dengan baik mayat tersebut, ya melihat roh lah di dalam tubuh mayat.

"Ternyata begitu," kata Dono.

"Apanya yang begitu Don?" tanya Kasino.

"Omongan Dono ganjil. Jangan-jangan Dono melihat mayat ini dengan menggunakan ilmu Dono yang dapat melihat hal yang gaib gitu," kata Indro.

"Iya bener omongan Indro. Aku melihat ini mayat dengan menggunakan ilmu ku yang dapat melihat hal yang gaib," kata Dono.

"Jadi Dono. Ada apa di dalam tubuh ini mayat?" tanya Kasino.

"Iya...Dono. Ada apa di dalam tubuh ini mayat?" kata Indro yang antusias ingin tahu.

"Orang ini yang telah menjadi mayat, ya memang terkena penyakit covid-19, ya ada juga penyakit yang di deritanya.....bawaan gitu di turunkan tuh penyakit. Yang menggerakkan penyakit di dalam tubuhnya ini orang yang menjadi mayat ternyata malaikat maut bisa di bilang roh lah. Berarti orang yang jadi mayat ini.....memang harus mati karena sudah waktunya di matikan," kata Dono menjelaskan.

"Malaikat maut. Yang menggerakkan penyakit di dalam tubuh orang ini yang menjadi mayat. Iiiiii serem juga ya di kendalikan malaikat maut sampai mati," kata Indro.

"Malaikat maut....memang kejem jika sudah bangun dari tidurnya, ya di putuskan mati ya harus mati," kata Kasino.

"Rajin ibadahlah dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar di beri umur panjang," kata Indro.

"Idem," kata Dono.

"Ya aku idem saja," kata Kasino.

"Dono, Kasino....keluar dari sini. Kita telah berhasil membuktikan bahwa orang ini terkena penyakit covid-19 dan juga malaikat maut lah!" kata Indro.

"Iya," kata Dono dan Kasino bersamaan.

"Aku matiin lampu dulu!" kata Indro mematikan lampu dari sakelarnya.

Ruangan mayat menjadi gelap. Dono, Kasino dan Indro keluar dari ruangan mayat. Ketiganya pulang ke rumah. Sekitar satu jam. Petugas yang menanggulangi masalah covid-19, ya membawa mayat untuk di kuburkan dengan cara protokol kesehatan....agar aman gitu.

UANG PERAK DI DALAM PERAPIAN

Surya selesai mengerjakan PR-nya. Surya keluar dari kamarnya sambil membawa buku ceritanya. Sampai di ruang tengah, ya Surya membuka bukunya dengan baik dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Surya :

Di sebuah desa di Afghanistan, ada seorang petani miskin. Setiap malam dia berdoa agar Tuhan memberinya uang perak lewat perapian. Suatu hari, celana petani itu robek terkena tanaman berduri. Petani akhirnya mencabut tanaman berduri itu. Dia takut tanaman itu akan melukai anaknya atau orang lain. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang berkilau. Kilauan itu berasal dari tanah tempat dia mencabut tanaman itu. Petani pun menggali lebih dalam dan menemukan sebuah kendi.

Kendi itu berisi uang perak. Awalnya petani itu sangat senang. Namun, dia pun berpikir, “Aku berdoa agar diberi uang perak lewat perapianku. Tapi, aku menemukan uang perak ini di ladang. Jadi, ini tentu bukan uang perakku.”

Petani itu mengembalikan kendi ke dalam tanah yang dia gali. Ketika sampai di rumah, dia menceritakan apa yang terjadi pada istrinya. Istrinya sangat marah mendengar cerita si suami.

“Kenapa kau tidak mengambil kendi itu? Dengan uang perak itu kita bisa membeli semua yang kita inginkan,” kata istrinya kesal.

Istrinya kemudian pergi ke rumah tetangga. Dia menyuruh tetangganya untuk mengambil kendi itu. Hasilnya nanti akan mereka bagi dua. Maka, pergilah si tetangga ke tempat kendi itu dikubur. Kendi itu memang masih ada di sana. Tapi, isinya bukan uang perak melainkan ular berbisa.

“Istri petani telah menipuku. Dia berusaha mencelakaiku dengan ular ini,” pikir si tetangga marah.

Si tetangga kemudian membawa kendi itu pulang ke rumah. Ketika malam tiba, dia membuang kendi berisi ular berbisa ke cerobong perapian petani. Pagi harinya, petani menemukan sebuah kendi di perapian. Ketika dilihat, ternyata kendi itu berisi uang perak yang banyak. Petani itu sangat senang.

“Jika memang ini rezekiku, maka aku akan mendapatkannya bagaimana pun caranya,” katanya senang.

***

Surya terus melanjutkan baca bukunya, ya sampai pesan moralnya sih "Jujur. Tuhan sudah mengatur untuk kita. Carilah rezekimu dengan cara yang baik dan jujur."

Surya memahami apa yang ia baca.

"Cerita yang bagus dari asalnya Afganistan, ya tertulis di buku. Memang hidup harus di jalanin dengan penuh kejujuran. Jalan yang baiklah," kata Surya.

Surya menutup bukunya dengan baik dan di taruh di meja tuh buku. Surya menghidupkan Tv dengan remot dan di pilih acara lawaklah. Surya seneng banget dengan acara lawak, ya menghibur gitu.

1001 MALAM

Denny duduk di ruang tamu.

"Hari minggu gini ngapain ya?!" kata Denny masih berpikir panjang.

Denny mengambil buku di bawa meja dan berkata "Baca buku ah!"

Denny membuka buku dengan baik dan membaca buku dengan baik.

Isi buku yang di baca Denny :

Dahulu kala, ada seorang raja bernama Shahriah. la adalah raja yang baik, sampai suatu hari ia mengetahui istrinya berselingkuh. Raja Shahriah murka dan menghukum mati istrinya. Sejak saat itu, Raja Shahriah mempunyai kebiasaan buruk. Setiap malam ia menikahi seorang perempuan dan esoknya perempuan itu di hukum mati. Tiga tahun berlalu dan sudah seribu perempuan mati di hukum sang raja. Patih kerajaan sangat sedih oleh kebiasaan buruk rajanya. la sering menangis di dalam kamarnya. Putri sang patih yang bernama Sheherezade mendengar ayahnya menangis.

“Mengapa engkau menangis, Ayah?” tanya Sheherezade.

Sang patih menceritakan bahwa ia sedih karena kebiasaan buruk sang raja. Sheherezade pun menjadi sedih mendengar seribu gadis telah dihukum mati oleh raja. “Ayah, biarkan aku menikahinya,” katanya.

“Jangan putriku, nanti kau mati juga,” kata sang patih.

“Percayalah, aku punya akal,” kata Sheherezade.

Akhirnya, Sheherezade dinikahkan dengan Raja Shahriah. Saat tiba malam pertama, Sheherezade menceritakan sebuah dongeng yang memukau raja. Sebelum pagi, Sheherezade menghentikan ceritanya di tengah-tengah.

“Hari sudah pagi, aku lanjutkan ceritanya besok malam,” kata Sheherezade.

“Baiklah,” kata raja yang penasaran ingin mengetahui kelanjutan cerita Sheherezade. Raja tidak menghukum mati Sheherezade hari itu.

Malamnya, Sheherezade menyelesaikan dongeng malam sebelumnya dan memulai dongeng baru. Sebelum pagi, Sheherezade lagi-lagi berhenti menceritakan dongeng itu di tengah-tengah.

“Hari sudah pagi, aku lanjutkan ceritanya besok malam,” kata Sheherezade.

“Baiklah,” kata raja. 

Hari itu raja juga tidak menghukum mati Sheherezade. Selama 1001 malam, ya Sheherezade menceritkan dongeng agar terhindar dari hukuman mati dari raja dan menyelamatkan nyawa perempuan-perempuan di negerinya. Akhirnya, raja lupa pada kebiasaan buruknya itu. Rajapun hidup bahagia dengan Sheherezade. Mereka memerintah dengan adil dan bijaksana.

***

Denny terus membaca pesan moral yang di tulis di buku dengan baik "Jadilah anak yang cerdik dan banyak akal. Jangan hadapi kemarahan dengan kemarahan. Tapi, hadapilah dengan akal sehat dan pikiran yang tenang. Banyaklah belajar dan jadikan membaca menjadi hobimu, karena semakin banyak membaca maka pengetahuanmu akan semakin bertambah."

Denny memahami dengan pesan moral yang di tulis di buku.

"Cerita yang bagus asalnya dari Irak, ya di tulis di buku sih. Benar atau tidaknya asal dari Irak, ya aku hanya pembaca yang baik saja. Dengan membaca buku. Aku memahami ilmu ini dan itu, ya aku jadi pintarlah," kata Denny.

Denny menutup bukunya dan di taruh di meja.

"Main apa belajar ya?!" kata Denny berpikir panjang.

Denny akhirnya memutuskan untuk belajar, ya masuk ke kamarnya dan belajar mengulas pelajaran yang di berikan sama guru di bangku sekolah. 

Sunday, July 25, 2021

SADAR DAN TIDAK SADAR

Dono, Kasino dan Indro duduk di bawah pohon di atas sebuah bukit. Ketiganya melihat keadaan lingkungan dengan baik banget.

"Kasino dan Dono bagaimana dengan berita tentang PPKM di perpanjang ?" tanya Indro.

"Gimana ya?" kata Dono berpikir dengan baik.

"Ya mengikuti alur permainan saja," kata Kasino.

"Gimana Don sudah dapet yang baik untuk di omongin. Kasino sudah dapet tuh, ya cuma ikut permainan saja," kata Indro.

"1 menjadi 2. 2 menjadi 1. Ok. Sama dengan Kasino. Ikut permainan saja," kata Dono.

"Jadi Dono ikut permainan saja toh. Ya aku sih. Sebagai masyarakat kecil, ya beradaptasi dengan lingkungan dengan baik saja. Nyari aman gitu. Ikut permainan saja!" kata Indro.

"Hidup ini berusaha umur panjang tetap umur pendek. Ya berusaha sebaik mungkin menikmati dunia ini," kata Dono.

"Aku paham omongan mu Dono," kata Kasino menegaskan omongan Dono.

"Aku juga paham omongan mu Dono," kata Indro menegaskan omongan Dono.

"Karena dunia ini di bangun dengan baik. Semua manusia jatuh pada penyakit hati," kata Dono.

"Masa Don?!" kata Kasino berpikir.

"Masa..iya. Karena dunia ini di bangun jatuh pada penyakit hati," kata Indro berpikir dengan baik.

"Lihat dengan baik. Lingkungan yang kita lihat dari atas bukit. Sisi sana ada yang membangun. Sisi sana ada yang tetap tidak ada perubahan bangunan," kata Dono sambil menunjukkan tempat-tempat yang berubah dan tidak berubah.

Kasino dan Indro melihat dengan baik apa yang di tunjukkan sama Dono.

"Iya juga ya. Dunia ini di bangun. Jatuh pada penyakit hati," kata Kasino.

"Idem saja ah!" kata Indro.

"Manusia terus berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara tradisional maupun moderen. Mengikuti alurnya kehidupan. Sadar dan tidak sadar....dari kompetisi untuk menjadi kaya jauh dari kemiskinan. Jatuh pada penyakit hati," kata Dono.

Kasino dan Indro, ya berkata "Emmmm".

"Ujian manusia hidup di muka bumi ini, ya penyakit hati kan," kata Dono.

"Kalau ujian. Ya kenyataannya benar sih," kata Kasino.

"Ujiannya manusia hidup, ya jatuh pada penyakit hati. Contohnya : agama menunjukkan kebenaran dari agama lainnya, ya berarti jatuh pada penyakit hati. Kesombongan pada kebenaran itu sendiri," kata Indro.

"Perpecahan terjadi karena. Penyakit hati," kata Dono.

"Yang sadar. Lebih baik. Diam saja!" kata Kasino.

"Oooo diam. Berarti pilihan yang tepat," kata Indro.

Indro, Kasino dan Dono terus melihat lingkungan dengan baik, ya menikmati keadaan.

"Oooo iya. Dono, Kasino....di sini ada hantu nggak?!" tanya Indro.

"Kok..omongannya Indro. Di sini ada hantu apa enggak?!" tanya Kasino.

"Emmmm," kata Dono.

"Ya. Di Tv kan. Ada acara Tv yang menceritakan keadaan ini dan itu....ada hantunya. Apalagi kita duduk di bawah pohon rindang di atas bukit lagi. Mungkin di atas pohon ada hantunya," kata Indro.

"Pagi begini mana ada hantu. Kalau malam mungkin deh!" kata Kasino.

"Gimana ya?" kata Dono berpikir panjang.

"Cuma sekedar obrolan saja!" kata Indro.

"Aku paham...Indro," kata Kasino.

"Aku paham...Indro," kata Dono.

"Ya sudah yuk. Duduk di sini. Melihat keadaan lingkungan di sini. Pulang saja!" kata Indro.

"Ya," kata Dono dan Kasino.

Dono, Kasino dan Indro meninggalkan tempat tersebut, ya pulang ke rumahlah. Ketiganya berjalan dengan baik menuju rumah. Selang beberapa saat, ya sampai di rumah. Dono duduk di ruang tamu, ya baca bukulah. Kasino dan Indro di ruang tengah, ya asik nonton Tv dengan acara di Tv beritalah.

"Beritanya tetap sama ya. Tentang covid-19," kata Indro.

"Kenyataanya. Masih menanggulangi covid-19. Mau di kata apa?!" kata Kasino.

Kasino dan Indro terus nonton Tv dengan baik.

"Rezeki manusia tergantung dari usaha dan doa manusia itu sendiri," kata Kasino.

"Kenyataanya begitu sih. Contohnya : orang-orang yang kerja di Tv, ya memberitakan ini dan itu. Rezekinya berdasarkan usaha yang di jalankan dan juga doa untuk melancarkan semuanya dengan baik agar tujuan yang di capai tercapai dengan baik," kata Indro.

"Benar omongan Dono. Ujiannya manusia hidup di muka bumi ini karena peradaban di bangun dengan baik, ya jatuh pada penyakit hati. Sadar dan tidak sadar," kata Kasino.

"Yang sadar. Lebih baik mawas diri dan diam saja!" kata Indro.

"Ya sudahlah tidak perlu di bahas lebih jauh lagi!" kata Kasino.

"Emmmm," kata Indro.

Indro dan Kasino, ya fokus nonton Tv dengan baik. Dono tetap asik baca buku.

SISI BAIK

Hari minggu....Dono di halaman belakang sedang baca buku, ya sambil minum teh dan juga makan keripik pisang. Kasino dan Indro duduk di ruang tengah sedang asik nonton acara Tv sambil minum kopi dan makan keripik pisang. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, ya nonton beritalah dengan baik. Seperti biasa acara berita memberitakan seputar ini dan itu dengan baik.....pokoknya tetap menarik untuk di tonton.

"Kasino," kata Indro.

"Apa?" kata Kasino.

"Hari ini....acara Olimpiade Tokyo 2020 tetap bagus ya kan Kasino ?!" kata Indro.

"Olimpiade Tokyo 2020 tetap bagus karena menayangkan orang-orang yang berkualitas di bidang olahraga. Bintangnya olahraga," kata Kasino.

"Kita ini masyarakat kecil. Sekedar menilai dari sisi yang baik saja menonton sesuatu kan?!" kata Indro.

"Memang menilai sesuatu dengan baik pada akhirnya jadi baik," kata Kasino.

"Ada kata orang tua. Jika kita menghargai usaha orang demi mengharumkan nama negeri ini, maka kita pun akan di hargai dengan baik," kata Indro.

"Orang tua itu banyak benernya kalau memberikan kebijaksanaan pada anaknya untuk menjalankan kehidupan ini dengan baik," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus menonton Tv dengan baik.

"Oooo iya....Indro. Hari ini beli Madu?!" tanya Kasino.

"Ada teman dateng ke rumah. Ya kerjaannya seles gitu. Aku sebenarnya tidak ingin membeli Madu yang di jajakin teman ku itu. Karena aku inget dengan keadaan sekarang....masih menangani covid-19. Madu baik untuk kesehatan jadi aku beli, ya niat juga nolong sih," kata Indro.

"Indro baik sama teman. Jadi Indro membeli Madu itu," kata Kasino.

"Kan lubang rezeki ada tiga. Jadi masalah ekonomi di rumah ini kan bisa di tanggulangi dengan baik," kata Indro.

"Memang sih rezeki di rumah ini ada tiga lubang karena di usahakan dengan baik. Ekonomi di rumah ini masih baiklah. Beda dengan orang-orang yang terkena imbas dari program pemerintah yang di jalankan dengan tujuan menanggulangi covid-19. Kaya di berita di Tv!" kata Kasino.

Kasino dan Indro terus menonton Tv dengan baik.

"Obat tradisional itu mujarab dalam hal menyembuhkan orang yang sakit kan?!" kata Indro.

"Obat tradisional itu mujarab menyembuhkan orang sakit. Contoh seperti ini : ada orang yang sakit, ya dianosa sama Dokter, ya di rawat di rumah sakit. Orang itu tidak ada hasil perubahan dari kesehatannya. Tahu-tahu orang itu dapet informasi tentang obat tradisional yang mujarab. Di konsumsilah dengan baik, ya obat tradisional tersebut. Pada akhirnya usahanya berhasil, ya sembuh deh dari penyakitnya," kata Kasino.

"Aku membeli Madu untuk kesehatan baik dong ya Kasino?!" kata Indro.

"Iya baik," kata Kasino.

"Semoga orang-orang yang jadi seles itu....jualan laris manis. Ya tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Apalagi dengan keadaan sekarang ini," kata Indro.

"Amin. Semoga orang jadi seles ini dan itu....laris manis jualannya demi memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik," kata Kasino.

"Ya sudahlah Kasino. Tidak perlu di bahas lagi lebih jauh. Sekedar obrolan saja. Fokus nonton Tv!" kata Indro.

"Iya," kata Kasino.

Kasino dan Indro, ya fokus nonton Tv dengan baik. Dono tetap asik baca bukunya di halaman belakang.

SETAN DAN PETANI

Yoga setelah pulang dari kerjaanya jadi seles jualan madu gitu. Yoga duduk di ruang tamu.

"Hari melelahkan. Usahaku hari ini menjual madu, ya ada hasilnya. Ada yang membeli madu, ya untuk kesehatan," kata Yoga.

Yoga melihat buku di meja dan mengambilnya.

"Buku siapa ya?" kata Yoga berpikir dengan baik.

Yoga membuka buku tersebut dengan baik.

"Jangan-jangan buku teman baik ku Eko yang ketinggalan," kata Yoga.

Yoga memutuskan membaca buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Yoga :

Petani sangat geram. Ladang miliknya lagi-lagi rusak. Itu akibat ulah binatang yang ada di hutan. Setiap malam, binatang-binatang itu bisa dengan leluasa mengambil buah yang di tanam petani.

"Aku harus membuat jebakan untuk menangkap binatang-binatang itu,” ucap Petani.

Petani lalu menggali sebuah lubang yang dalam. Saat sedang bekerja, ada setan yang mendatanginya. Setan lalu menawarkan diri untuk membantu Petani, tetapi dengan sebuah syarat.

“Aku akan membantumu, tetapi kita bagi dua binatang yang masuk ke dalam perangkapmu.” ujar Setan.

“Baiklah, aku akan membagi dua denganmu,” jawab Petani. 

Ia menyetujui usul Setan. Ia takut dengan Setan.

“Tidak, akulah yang akan membuat peraturan. Binatang betina yang masuk perangkap ini akan menjadi milikku, sedangkan binatang jantan yang masuk ke dalam perangkap ini akan menjadi milikmu,” ucap Setan.

Petani tak bisa menolak permintaan Setan. Setan akan sangat marah jika keinginannya tak di penuhi. Akhirnya mereka pun sepakat dengan syarat tersebut. Keesokan harinya, sudah ada beberapa binatang yang masuk perangkap. Binatang yang masuk perangkap rupanya binatang jantan semua. Hal itu membuat petani senang. Itu artinya akan ada banyak persediaan daging di rumahnya. Sementara Setan tak mendapatkan apa-apa hari itu. Hari berikutnya pun sama. Lagi-lagi hanya binatang jantan yang masuk perangkap. Hal itu membuat Petani senang.

“Tentu raja hanya binatang jantan yang masuk perangkap. Binatang jantanlah yang mencari makan, sementara binatang betina menunggunya di sarang mereka,” gumam Petani.

Petani sangat senang dengan apa yang ia dapatkan. Tanaman miliknya kini tak ada yang rusak lagi. Selain itu, ia mendapatkan persediaan makanan yang cukup banyak. Hingga suatu hari, musim panen tiba. Petani mengajak istrinya pergi ke ladang. Istrinya tak tahu bahwa di ladang terdapat lubang jebakan untuk binatang. Istri petani itu terperosok masuk ke dalam jebakan. Setan sangat girang.

“Akhirnya aku mendapatkan hewan betina,” ujar Setan.

“Itu bukan hewan, itu adalah manusia! Dia adalah istriku.” seru Petani.

“Aku tak peduli! Dia adalah hewan betina,” balas Setan.

Sungguh sedih hati Petani. Ia bingung bagaimana cara menyelamatkan istrinya dari Setan. 

Dari dalam lubang, sang istri berseru, “Bapak, biarkan Setan mendapatkan haknya.”

“Kau dengar apa yang dia katakan?” ujar Setan.

Setan sangat senang. Ia langsung masuk ke dalam lubang itu untuk mengambil istri Petani. Tetapi, tiba-tiba istri Petani berseru,

“Bapak, ada binatang jantan yang masuk ke dalam perangkap! Jadi dia adalah milikmu!”

Setan tak mau menjadi budak Petani. Akhirnya ia pun melepaskan istri petani itu. Kecerdikan istri petani membuatnya selamat dari Setan.

***

Yoga terus membaca buku dengan baik sampai pesan moral yang di tulis di buku "Jangan pernah takut dengan masalah yang kamu hadapi. Hadapilah dengan tenang agar mendapatkan solusi yang baik."

Yoga memahami dengan baik apa yang telah ia baca dan buku di tutup, ya di taruh di meja.

"Cerita yang bagus, ya asalnya dari Kongo tertulis di buku sih," kata Yoga.

Yoga berpikir dengan kerjaanya menjadi seles jualan madu dan berkata "Semoga usahaku jualan madu besok, ya berhasil lagi menjual madu," kata Yoga.

Yoga pun beranjak dari duduknya dan ke kamarnya untuk menjalankan ibadah karena memang sudah waktunya sholat. Di luar rumah terdengar suara adzan.

ANAK YANG BANDEL

Anjas duduk di teras depan rumahnya. Ada buku di meja.

"Buku siapa ya?" kata Anjas.

Anjas mengambil buku tersebut.

"Jangan-jangan buku milik adik Lia," kata Anjas.

Anjas membuka buku tersebut dan membacanya buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Anjas :

Pada suatu ketika, adalah seorang anak laki-laki yang kasar dan tidak mau taat kepada ibunya. Dia akan pergi jalan-jalan, tanpa makan dulu di rumah. Dia tidak akan kembali sampai larut malam, sekitar pukul sepuluh atau sebelas malam. Ibunya selama itu terus menunggu dan mengkhawatirkannya.

"Apa yang telah kamu lakukan, Nak?" tanya ibunya. "Ibu menahan tidur menunggumu, kamu tidak memperhatikan apapun yang ibu katakan, ibu akan mengirimmu ke ayah angkatmu. Kamu sama sekali tidak memperhatikan yang ibu katakan." Sang ibu akhirnya menemui pemuka agama di tempatnya yang merupakan ayah angkat si anak.

"Bapak, apa yang bisa dilakukan kepada anak ini? Dia adalah seorang bajingan dan tidak mematuhi saya. Anda adalah seorang imam, dan anda dapat menasihati dan mendisiplinkan anak ini, saya tidak dapat melakukan apapun terhadap dia. Bujuklah dia pak. Biarkan dia datang ke sini bersamamu untuk melihat apakah dia akan belajar untuk bersikap baik."

"Baiklah, mintalah dia kemari, kita lihat apakah dia mau melakukan apa yang saya katakan padanya? Saya akan mengajari anak ini untuk bekerja. Jangan khawatir bu, anak ini akan mematuhi saya." Demikian kata sang ayah.

Sang Ibu akhirnya mengatakan pada sang anak, "Pergilah dengan ayah angkatmu anakku, dia akan mengajarimu, karena kamu tidak mau mematuhi saya, pergi dan bekerjalah di sana."

"Baiklah, ibu, saya akan pergi ke rumah ayah angkat saya. Karena saya tidak berguna bagi ibu, saya akan pergi dan bekerja dengan ayah angkat saya."

Kemudian tibalah anak itu di tempat ayah angkatnya. "Saya datang, ayah, apa yang bisa saya lakukan untuk anda? Tinggal bersama ayah angkatmu, begitu ibu saya berkata, karena itulah saya datang ke sini untuk ayah."

"Baiklah, anakku," kata ayah angkat itu kepadanya, "Kamu akan bekerja untuk saya."

"Baiklah ayah, saya akan bekerja, saya akan melakukan apapun yang ayah katakan kepada saya; semua yang ayah katakan kepada saya, akan saya lakukan."

"Baiklah, sekarang aku akan memberitahumu sesuatu," kata ayah angkat. "Kamu besok pagi sekali menyapu, jam tiga pagi aku tidak akan membangunkanmu, aku hanya akan memberitahumu sekarang."

"Baiklah," kata anak laki-laki itu. Saat fajar dia pergi dan menyapu. Setelah selesai menyapu, dia pergi menemui ayah angkatnya.

"Ayah, aku sudah selesai menyapu semua tempat, jadi aku datang untuk memberitahumu."

"Baiklah, saya senang kamu sudah menyelesaikannya. Sekarang istirahatlah." Hari lain berlalu dan ayah angkat memberinya tugas berikutnya "Sekarang, saya akan memberi tahu kamu apa yang harus kamu lakukan besok pagi, kamu akan membunyikan bel pada pukul enam sebanyak tiga kali dan saat kamu selesai, datang dan beritahu aku."

"Baiklah," kata anak laki-laki itu. Keesokan harinya di pagi hari anak laki-laki itu membunyikan bel. Kemudian dia mendatangi ayahnya.

"Ayah, saya telah membunyikan bel tiga kali," katanya pada sang ayah.

"Baiklah," kata sang ayah. Hari yang lain sudah berakhir dan sang ayah sekali lagi berbicara kepada anaknya "Sekarang aku akan memberitahumu sekali lagi apa yang harus kaulakukan besok."

"Baiklah," kata anak laki-laki itu.

"Bunyikan bel lagi pada pukul tiga pagi."

"Baiklah," kata anak laki-laki itu. 

Anak laki-laki itu bangkit dan teringat akan membunyikan bel. Dia pergi untuk membunyikan bel, tapi ayah angkatnya akan memberikan ujian kepada anak itu. Dia meninggalkan jerangkong tengkorak di tempat bel berada. Kita anak ini sampai di sana pada pukul tiga pagi, dia menemukan jerangkong kerangka manusia yang menyeramkan berdiri menghalangi jalannya. 

Dia berkata kepada kerangka itu "Pergilah, aku datang untuk membunyikan bel, jangan menghalangiku, jauhi jalanku karena ayahkumenyuruhku membunyikan bel. Pergilah dari jalanku atau aku akan membunuh kamu!"

Kerangka itu tidak menyingkir, dia tidak bergerak dan dia tidak menjawab. "Jawab, atau kau ingin aku membunuhmu?" Anak laki-laki itu berteriak keras pada kerangka itu.

"Jika untuk ketiga kalinya kamu tidak menjawab saya, saya akan menghancurkan kamu hingga berkeping-keping. Itulah yang kamu inginkan, itulah akibat kamu menghalangi saya, jadi sekarang kamu akan mati, saya akan buang kamu jauh-jauh dari sini." Dan dia mendorong kerangka itu. Ketika dia berhasil memecahkan kerangka itu, dia kemudian membunyikan bel. Dia pergi ke kamar ayah angkatnya dan mengetuk pintu untuk membangunkannya. 

Sang ayah terbangun dan berkata "Apa itu?" tanya sang ayah kepada anak laki-laki itu.

"Bangun yah, saya sudah membunyikan bel," kata anak laki-laki itu kepada ayahnya tersebut. Sang ayah mendengar ini dan terkejut.

"Oh, apakah kamu yang membunyikan bel?" tanya sang ayah.

"Ya, saya membunyikan bel ayah," kata anak laki-laki itu.

"Apa kau tidak melihat sesuatu di jalan?" tanya ayah.

"Ya, ayah," jawab anak itu, "saya melihat sesuatu."

"Apa yang kamu lihat?" tanya pendeta ayah kepada anak laki-laki itu.

"Saya melihat seseorang yang menghalangi saya dan mencegah saya untuk membunyikan bel," jawab anak itu.

"Oh, jadi apa yang kamu lakukan?" tanya ayah. "Apa kau tidak takut padanya?

"Tidak ayah."

"Jadi apa yang kamu lakukan?"

"Saya mendorongnya dan dia terjatuh dan pecah di lantai."

Kemudian sang ayah berkata, "Demikianlah nak, itu yang akan terjadi bila kita menjadi anak yang tidak menurut, tidak mau mendengar dan tidak mematuhi perintah orang tua. Itu selayaknya seperti tulang kerangka yang dengan mudah akan hancur sia-sia."

***

Anjas selesai membaca bukunya.

"Cerita bagus berasal dari Brazil di tulis di buku. Apa benar apa tidak berasal dari Brazil, ya aku cuma pembaca saja!" kata Anjas.

Anjas menutup buku dan di buku di taruh di meja. Handoko dateng ke rumah Anjas, ya membawa motor sih. Handoko mengajak Anjas main ke rumah Heru. Anjas mau main ke rumah Heru, ya jadi Anjas naik motornya Handoko. Ya Handoko membawa motornya dengan baik menuju arah rumah Heru dan Anjas duduk dengan santai di belakang motorlah.

AYAM YANG BERMIMPI HARI KIAMAT

Beni duduk di ruang tamu dan mengambil buku di mejanya. Beni membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Beni :

Heny adalah seekor ayam yang tinggal di hutan. Ia suka bertengger di dahan pohon oak pada malam hari. Suatu hari Heny bermimpi tentang kiamat yang telah dekat. Heny sangat takut sekali, terlebih saat sebuah suara berkata, "Selamatkan dunia. Pergilah ke Gunung Drove dan berdoalah di sana! Kiamat tidak akan terjadi."

Mimpi yang sangat menyeramkan. Aku harus pergi ke Gunung Dovre dan berdoa di sana agar kiamat tidak terjadi, kata Heny dalam hati. Ia kemudian mempersiapkan bekal dan mulai berjalan ke Gunung Dovre. Perjalanan ke Gunung Dovre sangat jauh. Heny menempuhnya sendirian. Ketika ia baru saja menempuh seperempat perjalanan, Heny bertemu dengan Keny, seekor ayam jago.

"Selamat pagi, Heny! Kau mau pergi ke mana pagi-pagi sekali," tanya Keny.

"Aku akan pergi ke Gunung Dovre, Keny," jawab Heny.

"Tempat itu sangat jauh. Apa yang akan kau lakukan di sana?" Keny bertanya sambil mengernyitkan alisnya.

"Aku akan berdoa."

"Berdoa untuk apa?"

"Aku akan kepada berdoa kepada Tuhan untuk menunda terjadinya kiamat,"  Heny menjelaskan.

"Hah, kiamat akan datang? Cepat sekali. Siapa yang memberi tahumu, Heny?" tanya Keny lagi.

"Mimpiku! Aku bermimpi kiamat akan dekat dan sebuah suara mengatakan kepadaku untuk pergi ke Gunung Dovre dan berdoa bagi keselamatan dunia," cerita Heny.

"Kau baik sekali, Heny. Perjalanan ke Gunung Dovre sangat jauh. Banyak sekali bahaya yang menghadang. Aku akan menemanimu pergi ke sana," ujar Keny. 

Heny tersenyum dan mengangguk, mengizinkan Keny ikut dengannya. Heny dan Keny melanjutkan perjalanan ke Gunung Dovre. Sesaat kemudian mereka bertemu dengan Ducky, seekor bebek.

"Selamat pagi, Ducky? Bagaimana kabarmu?" tanya Keny.

"Aku baik-baik saja, Keny. Kalian hendak pergi ke mana?" tanya Ducky.

"Aku dan Heny akan pergi ke Gunung Dovre," kata Keny.

"Apa yang akan kalian lakukan di sana? Bertemu dengan saudara atau kenalan?" Ducky bertanya lagi.

"Bukan, Ducky. Kami akan berdoa untuk mencegah datangnya kiamat," jawab Keny.

"Kiamat akan datang? Siapa yang mengatakan hal itu, Keny?" Ducky bertanya, tidak percaya.

"Heny yang menceritakan hal itu," jawab Keny sambil menunjuk Heny.

Ducky kemudian bertanya kepada Heny, "Siapa yang telah menceritakannya kepadamu, Heny?"

Heny terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Suara dalam mimpiku semalam, Ducky." Heny lalu menceritakan mimpi dan suara yang dia dengar kepada Ducky.

"Gunung Dovre adalah tempat paling tinggi yang aku tahu. Seorang bijak pernah berkata, kalau kita memanjatkan doa di tempat yang tinggi, besar kemungkinan doa kita akan dikabulkan. Gunung Dovre memang tempat yang paling tepat untuk berdoa. Aku akan ikut kalian untuk berdoa di Gunung Dovre," kata Ducky menawarkan diri.

Heny, Keny, dan Ducky segera meneruskan perjalanan ke Gunung Dovre. Mereka tidak ingin menunda perjalanan karena ingin segera sampai di Gunung Dovre. Baru saja mereka berjalan, tiba-tiba seekor angsa bernama Sweety memanggil Ducky.

"Ducky, kau akan pergi ke mana?" tanya Sweety, sambil menghampiri Ducky.

"Aku dan teman-temanku akan pergi ke Gunung Dovre," jawab Ducky.

"Apa yang akan kalian lakukan di sana?" Sweety tampak ingin tahu.

"Kami akan berdoa, memohon agar kiamat bisa ditunda," kata Ducky.

Sweety kaget mendengar penuturan Ducky. "Benarkah kiamat akan segera datang, Ducky? Siapa yang memberitahumu?"

"Keny yang memberitahuku." Ducky menunjuk Keny.

Pandangan Sweety beralih pada Keny, lalu dia bertanya, "Kau tahu dari siapa, Keny?"

"Heny," jawab Keny, lalu mengalihkan pandangan kepada Heny.

Sweety semakin penasaran. Dia pun bertanya lagi, "Heny, siapa yang memberitahumu?"

"Aku mengetahuinya dari suara dalam mimpiku semalam, Sweety" jawab Heny.

"Ouuhhh... Aku belum mau mati sekarang," Sweety berkata, panik, "aku, aku, ikut berdoa bersama kalian, ya." Heny, Keny, dan Ducky mengangguk bersamaan, mengizinkan Ducky untuk ikut bersama mereka. Mereka pun kembali meneruskan perjalanan.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka berpapasan dengan Foxy, seekor serigala. Foxy pun menyapa salah satu dari mereka, "Ducky, kau dan teman-temanmu mau pergi ke mana?"

"Foxy, kami mau pergi ke Gunung Dovre untuk berdoa," jawab Ducky.

Dahi Foxy berkerut, merasa aneh. "Kenapa kalian harus jauh-jauh pergi ke Gunung Dovre untuk berdoa?"

"Karena doa kita akan cepat diterima di tempat paling tinggi, dan tempat tertinggi itu adalah Gunung Dovre. Kami ingin doa kami segera diterima agar kiamat tidak terjadi," Ducky menjelaskan.

Foxy semakin mengerutkan dahinya. "Ducky, memangnya kiamat akan datang? Siapa yang bercerita kepadamu?"

Ducky mengangguk lalu menjawab, "Sweety."

"Sweety, dari mana kau mendapat cerita ini?" tanya Foxy semakin penasaran.

"Keny yang menceritakannya kepadaku."

Foxy mulai bingung, "Lalu siapa yang memberitahumu, Keny?"

"Heny."

Foxy mulai lelah bertanya. "Heny, apakah kau sumber cerita kiamat dunia ini?" tanya Foxy, gemas.

Heny mengangguk, lalu menjelaskan, "Iya, Foxy. Aku bermimpi kiamat akan datang. Dalam mimpiku aku mendengar suara yang menyuruhku pergi ke Gunung Dovre dan berdoa di sana untuk mencegah kiamat terjadi."

"Omong kosong! Kiamat mungkin sudah dekat, tetapi tidak akan terjadi sekarang. Kalian tidak perlu ke Gunung Dovre hanya untuk berdoa. Tuhan akan mendengar doa kalian di mana pun kalian berada," kata Foxy bijak. 

Heny, Keny, Sweety, dan Ducky terdiam dan saling berpandangan mendengar perkataan Foxy. Foxy memandang Ducky dan teman-temannya dengan iba. 

"Hari sudah mulai gelap, bagaimana kalau kalian menginap di rumahku? Letaknya tidak jauh dari sini," tawar Foxy, "rumahku cukup hangat dan lebih baik dari pada kalian kedinginan di sini."

Heny dan kawan-kawannya setuju untuk menginap di rumah Foxy. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Foxy yang tidak begitu jauh. Rumah Foxy tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman untuk ditinggali. Heny, Keny, Sweety, dan Ducky merasa senang menginap di sana. Mereka juga dijamu dengan baik oleh Foxy. Banyak makanan lezat yang dihidangkan Foxy. Heny, Keny, Sweety, dan Ducky makan sampai kenyang. Tidak lama kemudian mereka mulai mengantuk karena kekenyangan dan kecapaian.

Ducky dan Sweety memilih tidur di dekat perapian, sedangkan Keny dan Heny tidur di atas plafon. Ketika mereka semua telah lelap tertidur, Foxy berjalan mengendap-endap ke arah Ducky dan Sweety. Ia kemudian membekap Sweety dan membunuhnya tanpa bersuara. Ia memanggang Sweety yang malang itu dan memakannya. 

Bau yang sangat menyengat membuat Heny terbangun. Ia melihat asap tipis memenuhi ruangan. Dengan terheran-heran ia bertanya, "Huek, asap apa ini? Bikin sesak napas! Baunya benar-benar menjijikkan."

Foxy sedikit terkejut melihat Heny bangun, namun dia segera berbohong, "Heny, aku sedang membersihkan perapian. Sepertinya ada yang menyumbat cerobong asap. Sekarang kembalilah tidur. Ini masih tengah malam."

Heny sudah kembali tertidur namun Foxy masih terjaga. Perutnya masih lapar. "Daging angsa itu cukup lezat tetapi belum cukup untuk mengisi perutku," gumam Foxy, "ehmmm, bebek itu mungkin bisa mengenyangkan perutku." Foxy kemudian berjalan mengendap-endap, menangkap Ducky dan memanggangnya.

Heny kembali terbangun karena mencium bau yang sangat menyengat. Ia melihat asap tipis memenuhi ruangan lagi. Ia menggerutu sendirian, "Huek, kotoran apa yang menyumbat cerobong asap Foxy ini? Asap dan baunya benar-benar mengganggu! Aku tidak bisa tidur kalau begini terus-menerus. Aku akan turun ke bawah dan membantunya saja."

Heny melompat turun dari plafon dan terkejut ketika mendapati Foxy sedang memakan daging panggang. Dia juga melihat bulu-bulu Sweety dan Ducky bertebaran di lantai. Heny berpikir cepat sebelum Foxy menyadari kehadirannya. Ia menyusun rencana untuk melarikan diri sebelum menjadi santapan Foxy. 

Ketika Foxy hampir menyelesaikan makannya, Heny berjalan ke arah jendela dan berkata tiba-tiba, "Foxy, kenapa banyak sekali angsa di bukit itu? Apa yang sedang mereka lakukan di sana."

Tanpa berpikir panjang, Foxy yang masih memikirkan makanan langsung berlari keluar. Ia ingin menangkap dan memangsa angsa-angsa itu. Heny yang melihat Foxy pergi segera membangunkan Keny dan menceritakan semuanya.

"Rubah itu benar-benar licik," kata Keny, kesal, setelah mendengar cerita Heny.

"Iya, dia memang licik sekali. Tapi, Keny, sekarang kita harus pergi dari rumah ini, sebelum Foxy kembali. Dia pasti akan segera kembali ketika tahu jika tak ada angsa di bukit," ujar Heny. Keny mengangguk, setuju.

Heny dan Keny berjalan mengendap-endap keluar rumah Foxy. Mereka tetap bersiaga dan berjaga-jaga, seumpama Foxy muncul di hadapan mereka dengan tiba-tiba. Namun, itu tak terjadi. Heny dan Keny bisa keluar dengan selamat dari rumah Foxy. Mereka pun bergegas kembali ke hutan, tempat mereka tinggal. 

***

Beni selesai membaca bukunya.

"Ceritanya bagus dari asal Norwegia di tulis di buku," kata Beni.

Beni menutup bukunya dengan baik dan buku di taruh di meja dengan baik pula. Toto selesai dengan kerjaannya dan duduk di ruang tamu. 

"Main catur!" kata Toto.

"Ayo!" kata Beni.

Beni dan Toto sepakat main catur. Toto mengambil papan catur di bawah meja dengan baik. Keduanya mulai menyusun pion dengan baik di papan catur dan mainlah catur dengan baik keduanya.

Saturday, July 24, 2021

DUA PEMBURU YANG BERUNTUNG

Nobita pulang ke rumah dalam keadaan murung karena di kerjain sama Gaint dan Soneo. Nobita tiduran di kamarnya di lantai dua.

"Doraemon," kata Nobita.

"Kenapa lagi kamu Nobita?" tanya Doraemon.

"Kenapa nasif ku sial...di kerjain sama Gaint dan Soneo?" kata Nobita.

"Nobita belajar sih. Kalau Nobita rajin belajar, ya pasti pintar. Nobita jadi pintar dan bisa menghadapi Gaint dan Soneo dengan akal yang pinter dan pada akhirnya tidak di kerjain sama Gaint dan Soneo," saran Doraemon.

"Omongan Doraemon ada benar sih. Aku ingin jadi anak pinter. Jadi aku mulai dari hoby membaca buku dulu ah!" kata Nobita.

"Saran ku di terima dengan baik sama Nobita. Berarti Nobita telah sadar," kata Doraemon.

"Emmmm," kata Nobita.

Nobita bangun dari keadaan dan mengambil buku di rak buku. Nobita duduk dan membuka bukunya dengan baik dan segera membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Nobita :

Di sebuah desa, hidup dua kakak beradik. Mereka adalah pemburu yang sering mendapat keberuntungan. Suatu hari mereka pergi ke hutan untuk berburu rusa. Di sebuah padang rumput mereka melihat beberapa ekor rusa sedang makan. Seharian mereka berusaha menangkap rusa-rusa itu, tapi tidak satu rusa pun tertangkap.

Saat malam telah tiba, mereka membuat ranjang bambu yang panjang. Mereka tidur dengan saling menempelkan kaki. Tujuannya, agar mereka bisa saling mengawasi bagian belakang mereka. Malam itu, seekor gajah mendekati dua pemburu yang sedang tidur. Gajah mengira dua pemburu itu adalah makhluk berkepala dua. Gajah terkagum-kagum dan memanggil binatang lainnya untuk melihat makhluk berkepala dua.

Berkumpullah para binatang mengelilingi dua pemburu. Seekor kura-kura tidak bisa melihat karena terhalang. la menaiki gajah agar bisa melihat. Tapi, ia terjatuh dan menimpa kaki dua pemburu. Dua pemburu kaget dan bangun dari tidurnya. Para binatang juga kaget dan mulai lari berhamburan. Saat itu, seekor rusa mati terinjak dan seekor lagi terjebak dalam semak belukar tapi masih hidup. Dua pemburu segera menangkap rusa yang masih hidup dan memasak rusa yang sudah mati. Beruntung sekali mereka.

Esoknya, dua pemburu pulang dengan membawa rusa yang masih hidup. Kepada penduduk desa mereka membagi-bagikan daging rusa dan menceritakan tentang keberuntungan mereka. Semua orang ikut senang dengan keberuntungan mereka. Begitulah, dua pemburu itu selamanya mendapatkan keberuntungan. Mereka pun selalu membagi-bagi hasil buruannya.

***

Nobita terus membaca pesan moral yang di tulis di buku "Orang yang baik dan sering berbagi akan banyak mendapatkan keberuntungan dalam hidupnya. Dalam hidup kita harus ringan tangan dalam membantu orang lain, Sebab, setiap orang membutuhkan satu dengan yang lainnya."

Nobita memahami pesan moral yang di tulis di buku.

"Cerita yang bagus asal dari Laos, ya di tulis di buku sih. Aku memang di ajarkan orang tua dengan baik untuk berbuat kebaikan dengan sesama," kata Nobita.

Nobita menutup bukunya dengan baik dan di taruh di rak buku dengan baik.

"Ulangan ku selalu mendapatkan nilai yang buruk. Aku selalu saja di marahin ibu dengan nilai ku yang buruk. Aku ingin jadi anak yang pintar. Di puji sama orang tua dan terutama di puji sama Shizuka karena aku pintar," kata Nobita.

Nobita mengambil bukunya di tasnya dan segera belajar mengulas pelajaran sekolah yang telah di berikan guru dengan baik. Nobita belajar dengan serius banget. Doraemon, ya mengawasi Nobita belajarlah dengan baik.

RAJA YANG BAIK, RATU YANG PELIT, DAN SEORANG NELAYAN

Boboho selesai berlatih bela diri kungfu sholin gitu. Karena Boboho memang murid dari perguruan sholin, ya bisa di bilang umat Budha sih karena menjalankan semua aturan dengan baik selayaknya umat Budha yang baik. Boboho masuk rumah dan duduk di ruang tamu dengan santai. Ada buku di meja, ya Boboho ambil dan segera di baca buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Boboho :

Dahulu kala, ada sebuah kerajaan dekat aliran Sungai Tigris di Irak. Sang raja kerajaan itu gemar sekali memakan ikan. Suatu hari, raja duduk bersama ratu di taman istana yang berhadapan langsung dengan Sungai Tigris. Setiap nelayan yang lewat di sungai, memberi hormat pada sang raja. Seorang nelayan menepikan perahunya dan memohon agar sang raja mau menerima seekor ikan besar sebagai hadiah.

Raja senang sekali. la memerintahkan pelayan memberikan uang yang banyak kepada si nelayan. Ratu tidak suka dengan hal itu. “Kau telah melakukan sesuatu yang bodoh. Tidak seharusnya kamu memberikan uang sebanyak itu,” kata ratu sambil cemberut.

“Mengapa demikian, ratuku,” tanya raja terkejut.

“Berita bahwa kamu memberikan uang yang banyak akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan. Nelayan yang lain akan datang kepadamu. Apabila mereka tidak di bayar sebesar nelayan tadi, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas. Lalu, mereka akan berbicara jelek tentang kamu,” kata ratu.

Raja diam sejenak, lalu berkata, “Kamu benar. Tetapi, aku tidak mungkin menarik kembali uang kembali. Sudahlah, lupakan saja!”

“Biar aku yang melakukannya. Kamu panggil saja nelayan itu kembali,” kata ratu.

Sebenarnya, raja tidak suka ratu terlalu mempermasalahkan uang yang ia berikan kepada nelayan. Tapi, ia membiarkan ratu memanggil nelayan yang tadi. Sementara itu, ratu sudah menyiapkan sebuah rencana. la akan bertanya kepada nelayan apa jenis kelamin ikan yang ia berikan. Jika si nelayan menjawab jantan, ratu akan mengatakan bahwa raja hanya ingin ikan betina. Sebaliknya, jika nelayan menjawab ikan itu betina, ratu akan mengatakan raja hanya ingin ikan jantan. Dengan begitu, ia akan mendapatkan kembali uang yang telah diberikan oleh raja.

Tidak lama, nelayan datang. Ratu bertanya, “Hei, Nelayan, apakah ikan ini jantan atau betina?”

Nelayan tahu bahwa ratu sedang bersiasat. la lalu menjawab, “Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina.”

Raja tersenyum mendengar jawaban nelayan yang sangat cerdik. Lalu, ia memerintahkan bendahara istana untuk menambah uang yang lebih banyak kepada si nelayan. Ratu tambah cemberut melihat raja memberikan tambahan uang kepada nelayan. Tapi, sang raja menghiburnya, “Sudahlah, Ratuku. Uang itu sudah menjadi rezekinya. Kita tidak boleh terlalu kikir pada rakyat sendiri.”

***

Boboho terus membaca pesan moral yang di tulis dengan baik "Jangan pernah memiliki sifat kikir. Apa yang kamu miliki walaupun itu sedikit, berikanlah kepada yang butuhkan. Sebab, hal itu lebih baik daripada apa yang kita miliki mubajir karena tidak digunakan. Tuhan membenci orang yang kikir."

Boboho memahami pesan moral yang di tulis di buku dengan baik.

"Cerita yang bagus, ya asalnya dari Irak. Aku yang belajar menjadi umat Budha, ya memahami benar tentang sifat kikir itu tidak baik," kata Boboho.

Boboho menutup bukunya dan buku di taruh di meja. Boboho beranjak dari duduknya, ya keluar dari rumahnya dan main dengan teman-temannya.

PANGERAN YANG BUTA

Kiko duduk ruang tengah. Kiko mengambil buku di meja.

"Buku yang aku pinjem dari Angga," kata Kiko.

Kiko membuka bukunya dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Kiko :

Di sebuah istana, seorang Pangeran hidup dengan bergelimang harta. Pakaiannya pun diuntai dengan emas dan mutiara. Dia adalah anak seorang raja yang kaya raya. Kekayaan sang Raja semakin berlipat, ketika dia membuat peraturan baru untuk menaikkan pajak dan upeti yang harus diserahkan kepada kerajaan. 

“Kami tidak punya apa-apa lagi, Tuan,” kata salah seorang petani miskin yang tingal di desa. 

Pagi itu, sekelompok pasukan berkuda datang ke gubuknya untuk menagih pajak yang sudah beberapa bulan belum dia bayar. 

“Kami tidak peduli. Kami hanya menjalankan perintah dari Raja,” bentak prajurit itu dengan wajah memerah dan mata melotot. 

Tanpa memedulikan petani miskin itu, dia masuk ke dalam rumah. Dia mencari barang-barang yang masih bisa digunakan untuk membayar pajak. Namun, dia tidak menemukan apapun di dalam rumah itu. Dia tidak menemukan perabotan, atau persediaan makanan yang tersimpan di dalam rumah. Dia hanya menemukan tiga orang anak kecil yang sedang menangis dalam pelukan ibu mereka. Dia lantas memorak-porandakan rumah itu dengan marah. Anak-anak kecil itu menangis semakin kencang. Setelah puas mengacak-acak seisi rumah, prajurit-prajurit itu meninggalkan si petani miskin yang menangis mendekap istri dan anak-anaknya. 

Seekor burung terbang rendah di dekat rumah petani miskin. Dia bertengger di sebuah pohon dan sesaat kemudian kembali mengepakkan sayapnya menuju istana. Sesampai di istana, burung itu hinggap di sebuah jendela. Sang Pangeran yang sedang berdiri di sana, mengulurkan sebelah tangannya. Burung itu segera berpindah ke lengan sang Pangeran. 

“Bagaimana keadaan di luar sana, Murai?” tanya sang Pangeran kepada burung Murai, sahabatnya.

“Keadaan semakin buruk, Pangeran,” Murai menjawab dengan cericitnya. 

Sang Pangeran menundukkan kepala. Dia merasa sedih. Peraturan yang dibuat oleh Ayahandanya sudah sangat memberatkan rakyat. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah peraturan itu. Dia dianggap tidak mampu untuk ikut mengatur pemerintahan karena matanya tidak dapat melihat. Sang Pangeran yang kehilangan penglihatannya sejak lahir itu menitikkan air mata.

“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu rakyat, Murai? Katakanlah apa yang bisa aku lakukan,” sang Pangeran meminta nasihat dari si burung Murai. 

“Pangeran bisa memberikan sebutir berlian untuk mereka,” saran burung Murai kepada sang Pangeran.

“Aku tidak tahu di mana sang Raja menyimpan berlian-berlian itu, Murai.”

“Pangeran juga memilikinya,” cericit Murai. 

“Oh, ya,” sang Pangeran terlihat senang karena bisa membantu rakyat tanpa sepengetahuan sang Raja.

“Ya, berlian itu ada di mahkota Pangeran, di tongkat yang Pangeran gunakan untuk berjalan, dan di pakaian kebesaran Pangeran,” si burung Murai menjelaskan. 

Wajah sang Pangeran kian berseri-seri. Ia sangat senang jika bisa membantu meringankan penderitaan rakyatnya. 

“Mulai sekarang kau boleh membawa satu per satu berlian ini untuk membantu mereka. Apakah ada orang di luar sana yang sangat membutuhkan bantuan kita Murai?” sang Pangeran berkata, mulai membuat rencana.

“Ada seorang petani miskin yang tidak punya apa-apa, Pangeran. Bahkan mereka tidak mempunyai makanan sedikit pun hari ini. Prajurit Raja datang dan menagih upeti kepada mereka. Mereka tidak mempunyai apa-apa sehingga prajurit memorak-porandakan rumah mereka. Mereka hanya bisa menangis melihat semuanya karena tidak bisa melakukan apa-apa.” 

Pangeran sangat sedih mendengar semuanya. Para prajurit itu sudah bertindak semena-mena pada rakyat. Pangeran mengambil sebutir berlian dari pakaiannya dan menyerahkannya kepada Murai.

“Berikanlah ini kepada petani itu agar mereka menukarnya dengan makanan untuk menyambung hidup,” kata sang Pangeran, sambil menyerahkan sebutir mutiara kepada burung Murai. 

Tanpa banyak bertanya, burung Murai mencengkeram mutiara itu dengan erat. Dia mulai terbang kembali ke rumah petani miskin tadi. Setelah sampai di sana, keluarga petani itu sedang membereskan rumah. Murai menjatuhkan mutiara yang dibawanya tepat di kaki sang Petani. Petani itu terkejut saat melihat benda berkilap di dekat kakinya. Dia mendongak ke atas. Sepintas, dia melihat seekor burung kecil yang terbang rendah. Dia kemudian berjongkok, memungut benda yang tadi dijatuhkan burung itu. Dia mengamati benda itu dengan kagum. Bentuknya sangat indah. Dia lantas berteriak, memanggil istrinya. 

“Bu, Bu ... Kemarilah. Lihat apa yang kudapatkan ini.” 

Petani itu masih mengamati benda di tangannya dengan takjub. Istri dan ketiga anaknya mendekat dan ikut mengamati benda itu. 

“Seperti sebuah mutiara, Pak,” sang istri berseru senang, “dari mana benda itu, Pak?” tanyanya lagi.

“Seekor burung menjatuhkannya, Bu,” kata petani itu girang. 

Senyumnya lebar mengembang. Kini, mereka punya sesuatu untuk dijual dan bisa membeli makanan serta kebutuhan-kebutuhan hidup mereka selama beberapa hari ke depan. 

“Terima kasih, Tuhan. Kau telah memberikan rejeki ini kepada kami,” sang istri mengucap syukur, sambil memeluk anak-anaknya. 

Mereka semua menangis bahagia. Sementara itu, Murai kembali terbang ke istana dan menemui sang Pangeran untuk melaporkan kejadian yang baru saja dilihatnya. Pangeran merasa senang ketika mendengar kebahagiaan petani dan keluarganya. 

“Aku akan mencoba berbicara dengan Ayahanda, agar beliau tidak memungut pajak dan upeti kepada rakyat miskin,” kata sang Pangeran kepada Murai. 

Dia mulai berjalan menuju ruang utama menggunakan tongkatnya. Sesampai di sana, sang Raja sedang berbincang-bincang dengan penasihat kerajaan. 

“Mohon maaf, Ayahanda. Hamba ingin membicarakan sesuatu dengan Ayahanda,” kata sang Pangeran.

“Ada apa gerangan, Anakku?” tanya sang Raja, sambil mempersilakan sang Penasihat untuk pergi dari tempat itu. 

“Ananda mendengar kabar bahwa kehidupan rakyat miskin semakin menderita. Apalagi ditambah dengan pajak dan upeti yang harus mereka bayar kepada kerajaan. Itu sangat memberatkan mereka, Ayahanda.”

“Kamu tidak perlu memikirkan urusan Negara, Nak. Ayahanda masih sanggup mengurus semuanya,” sang Raja mulai mengalihkan pembicaraan. 

“Ananda tidak bermaksud meragukan keahlian Ayahanda dalam memimpin kerajaan. Ananda hanya meminta Ayahanda lebih bijaksana dan memerhatikan rakyat kecil. Musim kering akan segera datang. Para petani pasti tidak bisa menggarap sawah dan ladang mereka. Dari mana mereka bisa membayar pajak yang Ayahanda tetapkan pada mereka?” sang Pangeran berkata panjang lebar. 

Ia berharap Ayahandanya mau mendengar masukannya kali ini. 

“Mereka pasti punya banyak simpanan untuk membayar pajak dan upeti itu, Nak. Buktinya mereka masih bisa membayar pajak dan upeti, yang ayah tetapkan pada mereka. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya.”

“Sekali-kali, Ayahanda dapat turun ke desa-desa untuk melihat keadaan mereka. Bawahan Ayahanda sering kali membuat berita yang bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya terjadi.”

“Mereka tidak mungkin berbohong padaku, Nak,” kata sang Raja mantap, “dari mana kamu mendapatkan berita kalau rakyatku hidup miskin dan kekurangan? Itu hanya kabar burung yang tidak benar,” kata sang Raja lagi.

“Murai tidak mungkin berbohong padaku, Ayahanda.” 

“Oh, jadi benar. Burung itu yang memberimu kabar yang belum tentu kebenarannya itu.” 

“Benar, Ayahanda, dan ananda lebih percaya pada Murai daripada pengawal-pengawal Ayahanda yang hanya mencari muka,” kata sang Pangeran, kecewa. 

Sang Raja tidak mau mendengar perkataan Pangeran karena menganggapnya tidak mengetahui apa-apa, apalagi dengan penglihatannya yang tidak berfungsi normal. 

“Ayahanda, mata ananda memang buta. Tetapi, hati ananda tidak. Justru mata hati Ayahanda yang sudah dibutakan pujian dan sanjungan dari anak buah Ayahanda,” pungkas sang Pangeran. 

Sang Pangeran beranjak, meninggalkan ayahandanya seorang diri. Sang Raja tidak mau memikirkan perkataan Pangeran. Dia tetap bersikeras untuk melanjutkan pelaksanaan pemungutan pajak dan upeti. Murai masih menjalankan tugas yang diberikan sang Pangeran kepadanya. Dia terbang dari satu kampung ke kampung yang lain untuk melihat keadaan rakyat di kerajaan itu, dan melaporkannya kepada sang Pangeran. Suatu siang, Murai melihat seorang nenek yang sedang sakit. Keadaannya sangat memprihatinkan. 

Tubuhnya kurus, kering karena tidak makan selama beberapa hari. Dia sudah tidak punya apa-apa untuk dimakan. Dia juga tidak sanggup bekerja karena sakit-sakitan dan tubuhnya semakin renta. Murai melaporkan keadaan itu kepada sang Pangeran. Hati sang Pangeran trenyuh mendengarnya. Dia kemudian mengambil sebuah mutiara di mahkotanya dan menyerahkannya kepada Murai. 

“Berikanlah mutiara ini pada Nenek itu. Semoga penyakitnya bisa segera diobati dan dia bisa sehat kembali.” 

Murai menerima mutiara itu dengan dua kakinya. Dia melesat menuju rumah sang Nenek dengan kepakan sayap mungilnya. Dia tidak ingin terlambat sampai di sana. Setiba di rumah sang Nenek, Murai melihat orang-orang berdatangan. Mereka berkumpul dan beberapa dari mereka menitikkan air mata. Murai mulai khawatir. Dia mengamati dari kejauhan, dan apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan. Murai terbang mendekat hingga dia dapat melihat dengan jelas kalau sang Nenek sudah meninggal dunia. Murai sangat sedih. Selama beberapa saat, dia hanya bertengger di jendela kamar sang Nenek.

Dia melihat orang-orang yang datang silih berganti menghaturkan bela sungkawa. Mereka juga berencana memakamkan sang Nenek sesegera mungkin. Hati Murai semakin trenyuh, dia tidak sanggup terus berada di tempat itu. Dia memutuskan kembali terbang menuju istana. Murai langsung menceritakan apa yang terjadi kepada sang Pangeran. Wajah sang Pangeran menjadi muram. Perasaan bersalah menghinggapi hatinya. Seandainya aku tidak buta, mungkin aku bisa berbuat banyak untuk menolong rakyat di kerajaan ini, pikir sang Pangeran. Namun, dia bertekad untuk  tetap membantu rakyatnya dengan segala kemampuan yang dia miliki. 

“Mungkin itu sudah menjadi takdir sang Nenek, Murai. Mari, kita bantu orang-orang lain agar tidak seperti nenek itu.”

“Saya bersedia berkeliling negeri untuk membantumu, Pangeran. Semoga hal ini bisa membantu meringankan rasa bersalahku karena tidak bisa menolong sang Nenek lebih cepat.” 

“Kita tidak boleh terus-menerus bersedih, Murai. Sekarang, bawalah mutiara-mutiara ini untuk kau berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.” 

Murai kembali bersemangat. Ia ingin berbuat lebih baik lagi untuk menolong sang Pangeran dan rakyatnya. Dia terbang mencari orang-orang miskin yang kekurangan, dan memberikan mutiara dari sang Pangeran kepada mereka. Hatinya turut senang melihat senyum dan kebahagiaan mereka. Musim paceklik tiba. Hasil bumi semakin sulit diperoleh karena sawah dan ladang mengering. Para petani tidak bisa menghasilkan bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kelaparan semakin merajalela. Sementara sang Raja belum membuka mata untuk melihat keadaan rakyatnya. Suatu hari sang Pangeran mengajak Raja berjalan-jalan. 

Sang Pangeran bertujuan untuk mengantar ayahnya melihat keadaan rakyatnya yang hidup menderita. Sang Pangeran sudah tidak tahan mendengar kabar memprihatinkan yang dibawa Murai setiap hari. Mutiara yang Pangeran miliki juga sudah habis dibagikan. Hal ini membuat Pangeran harus mencari cara lain untuk tetap bisa membantu rakyatnya. Kali ini, dia berdoa agar cara yang dia pergunakan dapat melunakkan hati sang Raja. Sang Raja sudah bersedia untuk menemui rakyatnya. Dia melakukan hal itu karena mendengar berita-berita tidak baik dari orang kepercayaannya. Bahwasanya perkataan sang Pangeran tentang keadaan rakyat yang semakin memprihatinkan memang benar adanya. 

“Apa yang sedang dilakukan oleh prajuritku di sana?” tanya sang Raja, melihat kegaduhan yang ditimbulkan oleh para prajuritnya. 

“Menurut Murai, mereka sering berlaku kasar terhadap rakyat yang tidak sanggup membayar pajak.”

“Semua ini harus segera dihentikan.” 

Sang Raja mulai gusar. Sebenarnya dia tidak menyukai kekerasan, kecuali dalam situasi terancam atau keadaan perang. Sang Raja dan Pangeran mendekati kerumunan. Prajurit-prajurit itu tidak tahu kalau Raja mereka ada di sana. Sang Raja dan Pangeran sengaja melakukan penyamaran agar lebih leluasa bergerak dan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Pakaian yang mereka kenakan sudah kumal dan berlubang. Selain itu, mereka mengenakan sebuah topi lebar yang bertengger di kepala, sehingga mereka semakin sulit dikenali. Kondisi sang Pangeran yang tidak dapat melihat juga membuat mereka terlihat seperti seorang gembel dan peminta-minta. Setelah mendekati kerumunan itu, sang Raja berteriak, “Hentikan!”

Seorang prajurit yang mendengar teriakan itu berjalan mendekat. Dia menghardik sang Raja dengan congkak. 

“Heh, gembel jelek. Berani-beraninya kau memberi perintah kepada anak buahku.”

“Tidak sepantasnya kalian berbuat seperti itu,” sang Pangeran menimpali.

“Oh, ternyata kau buta, ya. Untuk berjalan saja kau butuh orang lain untuk menuntunmu. Lalu, kau mau melawan kami, hah!” gertak prajurit itu saat melihat Pangeran menggerak-gerakkan tongkatnya untuk mencari jalan. 

Orang-orang mulai berkerumun. Mereka yang awalnya takut melawan pasukan kerajaan yang semena-mena, tergerak hatinya untuk membela si gembel dan si buta. 

“Oh, jadi begini cara kalian menjalankan tugas kerajaan,” kata sang Raja, sambil mendongakkan kepalanya. 

“Turun dari kuda-kuda kalian semua. Siapa yang melawan, silakan berhadapan denganku,” lanjut sang Raja, sambil membuka topi lebarnya, “ketahuilah wahai rakyatku, aku adalah Raja kalian.” 

Para prajurit sontak bersimpuh dengan tubuh gemetar, sadar telah melakukan kesalahan besar. Mereka tidak menduga kalau lelaki yang mereka bentak adalah sang Raja. 

“Wahai rakyatku, kejadian ini telah membuka mataku lebar-lebar. Perjalananku dengan Pangeran telah menemukan banyak kerusakan dan kekurangan pangan yang kalian rasakan. Musim paceklik yang panjang ternyata membuat hidup kalian menderita. Aku meminta maaf karena telah lalai mengurus rakyat. Oleh karena itu mulai saat ini, aku akan membuat kebijakan baru untuk menghapuskan pajak dan upeti sementara waktu. Kalian bisa datang ke istana jika kekurangan makanan. Kerajaan akan menyediakan makanan untuk semua rakyat yang membutuhkan,” sang Raja berkata lantang. 

Pangeran tersenyum senang mendengar pidato singkat dari Ayahandanya. Dia bahagia karena usaha yang telah dia lakukan, untuk membuka mata sang Raja terhadap kondisi rakyat, berbuah manis. Orang-orang yang berkumpul di tempat itu menyambut keputusan sang Raja dengan gembira. Mereka senang, ternyata sang Raja masih memerhatikan nasib mereka. Mereka pun mengelu-elukan sang Raja yang baik hati. Sang Raja menatap rakyatnya dengan binar bahagia, sesaat kemudian pandangannya beralih pada para prajurit, “Dan kalian para prajurit, kalian telah melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan perintah negara. Maka, saya akan memberi hukuman kepada kalian. Kalian harus melayani rakyat, membantu menyediakan makanan untuk mereka di istana, dan memperbaiki rumah-rumah mereka yang telah kalian rusak.” 

Setelah lelah berkeliling, sang Raja pulang ke istana bersama Pangeran. Sang Raja merasa bangga pada Pangeran. Dia sadar jika kekhawatirannya selama ini tidak beralasan. Kebutaan Pangeran ternyata tidak bisa membutakan mata hatinya. Semua itu Pangeran buktikan dengan perhatian yang dia berikan kepada rakyatnya. Dalam hati, sang Raja percaya jika Pangeran akan mampu untuk memimpin kerajaan, kelak. 

***

Kiko menyelesaikan baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asalnya Irlandia, ya di tulis di buku sih," kata Kiko.

Kiko menutup bukunya dengan baik dan di taruh di meja. Kiko segera main game PlayStasion dengan baik lah.

PENONTON YANG BAIK

Dono di ruang tamu, ya sedang membaca bukunya dengan baik. Kasino dan Indro di ruang tengah sedang nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, yang beritalah.

"Kasino aku ingin pendapatmu tentang Olimpiade Tokyo 2020?!" kata Indro.

"Pendapatku tentang Olimpiade Tokyo 2020. Acaranya kan tentang olahraga, ya bisa di bilang panggungnya bintang olahraga. Sebagai penonton yang baik. Aku menilai dengan baik. Acara Olimpiade Tokyo 2020.....bagus," kata Kasino.

"Bagus toh. Aku sebagai penonton yang baik. Ya sama aja dengan pendapat Kasino. Bagus sih...Olimpiade Tokyo 2020," kata Indro.

Berita yang di tonton Kasino dan Indro, ya berlangsung dengan baik.

"Ooooo iya Kasino. Apa yang di bicarakan kita dan di tulis di Blog Dono.....bisa mengubah keadaan gitu?" tanya Indro.

"Mengubah keadaan. Mana mungkin sih. Blog Dono itu sekedar cerita saja. Beda dengan berita di Tv yang berkualitas luar biasa," kata Kasino.

"Mana mungkin ya. Perbandingannya terlalu besar. Contohnya seperti ini saja : Seperti orang miskin, ya orang kecil yang ingin mengubah dunia. Di usahakan dengan baik. Ternyata tetap tidak bisa mengubah. Sia-sia usaha orang miskin, ya orang kecil," kata Indro.

"Kenyataannya seperti itu. Contohnya di buat seperti ini : Orang kaya, pinter, sukses dalam karirnya. Ingin mengubah keadaan dan juga dunia dengan pemahamannya. Presiden gitu. Pasti bisa mengubah keadaan dan juga dunia dengan pemahamannya," kata Kasino.

"Presiden ternyata lebih sanggup mengubah keadaan dengan baik," kata Indro menegaskan omongan Kasino.

Berita yang di tonton Kasino dan Indro, ya tetap berlangsung dengan baik.

"Kasino. Jika keajaiban itu ada. Berarti.....hal sekecil apapun bisa mengubah segalanya," kata Indro.

"Keajaiban. Tergantung keberuntungan saja berpihak pada keadaan atau tidak. Kalau berpihak, ya berarti keajaiban itu ada," kata Kasino.

"Kemungkinan masih ada toh," kata Indro.

"Kata orang tua. Roda berputar pada porosnya. Kemungkinan pasti ada. Jadi deh keajaiban," kata Kasino menegaskan omongan Indro.

"Pada akhirnya tetap sekedar cerita saja. Apa yang kita tonton Tv, ya di tulis di Blog Dono. Beda dengan berita-berita di Tv yang luar biasa kualitasnya," kata Indro.

"Emmm," kata Kasino.

"Ya sudahlah tidak perlu di bahas lebih jauh. Fokus nonton Tv!" kata Indro.

"Emmmm," kata Kasino.

Kasino dan Indro, ya fokus nonton Tv dengan baik karena acara Tv bagus gitu. Dono masih asik baca bukunya.

GEMBALA SANG RAJA

Angga duduk di ruang tengah sedang membaca buku yang ia pinjam dari Aryo. Angga membaca buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Angga :

Dahulu kala, ada seorang raja di Timur Tengah bernama Yosia. Raja Yosia memiliki seratus ekor domba pilihan. Bulunya putih bagaikan salju. Domba-domba Raja Yosia itu digembalakan dengan sangat baik oleh seorang gembala tua bernama Kaleb. Namun, sekarang Kaleb sudah tua. la harus diganti dengan gembala muda yang tangkas dan kuat.

“Pak Kaleb, kau pilihlah tiga gembala muda calon penggantimu. Aku yang akan menguji siapa yang pantas menggantikanmu,” titah raja.

Kaleb mengeluarkan pengumuman di alun-alun kota. Ternyata, cukup banyak peminatnya. Setelah Kaleb menguji banyak calon, akhirnya didapat tiga calon, yaitu Yunus, Obasa, dan Daud. Ketiganya masih muda, kuat, dan gagah. Kaleb melapor kepada raja.

“Bagus, Kaleb. Sekarang kau sembunyikan seekor domba putihku dan tukar dengan kambing hitam! Aku akan menguji ketiga calon itu,” titah raja.

“Baik, Baginda. Segera hamba Iaksanakan,” kata Kaleb. Namun, dalam hatinya ia heran. Mengapa seekor domba harus ditukar dengan kambing hitam?

Esok harinya, Raja Yosia menemui tiga gembala muda yang sudah menunggu dengan tongkat masing-masing. Domba-domba berkeliaran di rumput, ada yang duduk tenang, ada yang berjalan-jalan dan ada pula yang berlaga dengan kawannya.

“Anak-anak muda, itulah seratus ekor domba pilihan yang akan kupercayakan pada salah seorang diantara kalian. Coba perhatikan dan beri komentar kalian.” Kata Raja.

Ketiga calon gembala istana itu segera mendekati domba-domba itu. Setengah jam kemudian mereka kembali menghadap sang Raja.

“Bagaimana komentar kalian?” tanya sang Raja.

“Domba-domba itu memang domba pilihan. Tidak ada cacat. Sungguh suatu kehormatan bila hamba dipercaya mengembalakan mereka.” Kata Yunus.

“Hamba pun berpendapat demikian. Merawat domba-domba tuan Raja merupakan anugerah.” Kata Obasa.

“Dan apa komentarmu?” tanya Raja kepada Daud.

“Jumlah domba Baginda hanya sembilan puluh sembilan ekor. Yang seekor itu kambing hitam bukan domba.” Jawab Daud.

Raja mengangguk-angguk dan berkata ”Ya, ya. Besok kalian datanglah lagi untuk diuji.”

Sesudah tiga calon gembala pergi, raja berkata pada Kaleb ” tukarlah kambing hutan itu dengan domba yang luka.”

Keesokan harinya, ketiga gembala muda itu datang lagi. Raja meminta mereka memeriksa seratus domba-domba itu dan memberikan komentarnya.

“Bagaimana sekarang? Jumlahnya seratus ekor?” tanya Raja.

“Ya tuanku. Jumlahnya seratus ekor domba pilihan.” Kata Yunus.

“Benar baginda. Hari ini, dombanya lengkap seratus ekor.” jawab Obasa.

“Maaf, Baginda. Tadi, hamba sisir bulu domba-domba itu, ternyata ada seekor yang terluka. Ini perlu diobati.” Ujar Daud sambil membawa seekor domba dan menunjukan seekor domba dan menunjukan bagian yang terluka.

Raja tersenyum senang dan mengangguk-angguk.

“Kalian bertiga gembala-gembala muda yang tangkas. Namun, aku harus memilih satu. Dan pilihanku jatuh pada Daud. Ia pantas menjadi gembala istana. Ia teliti menghitung domba-domba yang akan dipercayakan padanya. Ia memeriksa kesehatan domba dengan teliti dan mengenal domba-domba itu dengan baik.” kata Raja. Maka, Daud pun diangkat menjadi Gembala sang Raja.

***

Angga terus membaca bukunya, ya pesan moral yang di tulis di buku "Jadilah anak yang teliti dan cermat. Sebab, ketika kamu mengerjakan suatu pekerjaan, ketelitiaan dan kecermatan sangat dibutuhkan."

Angga memahami buku yang ia baca beserta pesan moralnya.

"Bagus juga ceritanya. Ceritanya asalnya dari Yerusalem di tulis di buku sih. Benar apa tidak asalnya cerita dari Yerusalem, ya aku tidak tahulah. Aku hanya anak yang suka membaca saja!" kata Angga.

Angga teringat dengan berita di Tv.

"Berita tentang Yerusalem, ya urusan orang tualah. Aku masih anak-anak mana mengerti permasalahan yang di beritakan di Tv. Yang aku tahu, ya belajar dan bermain lah," kata Angga.

Angga menutup bukunya.

"Belajar ah!" kata Angga.

Angga beranjak dari duduknya dan membawa bukunya, ya ke kamarnya. Di kamar, ya Angga belajarlah mengerjakan PRnya dengan baik, ya Fisika.

CAMPUR ADUK

POOR THINGS

Malam hari, ya bulan bersinar dengan baik. Setelah nonton Tv yang acara menarik dan bagus...FTV di chenel AllPlay Ent, ya seperti biasa sih ...

CAMPUR ADUK