CAMPUR ADUK

Saturday, July 24, 2021

CAWAN EMAS

Vania duduk di ruang tengah setelah membantu ibu masak di dapur. Vania mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Vania :

Maria adalah seorang anak tunggal. Ia lahir di Spanyol tetapi besar di Argentina. Ayahnya seorang pedagang dan ibunya telah lama meninggal. Maria memiliki binatang peliharaan, seekor domba pemberian almarhum ibunya. Ia sering mengajak dombanya berjalan-jalan, bermain-main, bahkan mengobrol. Baginya, domba itu adalah sahabat terbaiknya, selalu ada menemaninya karena ayahnya jarang berada di rumah. Suatu hari, Maria dipanggil oleh ayahnya. 

“Ada apa, Ayah?” tanya Maria. 

“Maria, Ayah merasa bersalah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk menemanimu. Kamu pasti sering merasa kesepian,” kata ayah Maria. 

“Tidak apa-apa, Ayah! Maria bisa mengerti pekerjaan Ayah. Lagi pula, ada Juan yang menemaniku,” balas Maria. 

“Siapa Juan itu? Temanmu sekolah?” tanya ayah Maria sambil mengernyitkan alisnya. 

“Bukan, Ayah! Juan itu nama domba hadiah dari almarhum Ibu,” jawab Maria sambil tersenyum.

Ayah Maria ikut tersenyum dan berkata, “Ya, Ayah ingat dengan domba itu tetapi tidak ingat kalau ia bernama Juan. Ayah kira ia bernama Pedro.”

“Pedro de Urdemalas?" 

Mereka berdua kemudian tertawa bersama. 

“Maria, bagaimana jika Ayah hendak menikah lagi?” tanya ayah Maria setelah mereka berhenti tertawa.

“Oh, tidak apa-apa, Ayah! Aku tidak keberatan,” jawab Maria dengan wajah berbinar. 

“Ayah berniat untuk menikah dengan seorang janda yang memiliki dua orang anak perempuan. Umur mereka tidak beda jauh denganmu, Maria. Jadi engkau bisa mempunyai teman bermain.”

“Jadi aku bakal mempunyai dua orang saudara? Asyik! Aku punya teman bermain baru!” kata Maria setengah berteriak sambil memeluk ayahnya. 

Singkat cerita, ayah Maria melangsungkan pernikahan dengan Anna, janda dengan dua orang anak, Marry dan Martha. Awalnya semua berjalan menyenangkan bagi Maria. Ibu dan saudara-saudara tirinya memperlakukan Maria sangat baik. Semua berubah ketika ayah Maria harus meninggalkan Maria selama berbulan-bulan untuk berdagang. Perlakuan ibu dan saudara-saudara tiri Maria berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka membenci dan mempelakukan Maria layaknya budak mereka. Anna mengharuskan Maria membersihkan rumah, memasak, mencuci, menyetrika baju, serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia bahkan tidak segan-segan memarahi dan membentak Maria jika pekerjaannya tidak memuaskan. Anna bahkan tega mengurung Maria di lumbung dan tidak memberinya makan berhari-hari hingga rasa kesalnya hilang. Maria sempat terguncang hatinya saat menerima perlakuan seperti itu, tetapi ia berusaha untuk bertahan. Ia curahkan semua perasaannya kepada Juan, domba kecil hadiah dari ibunya. 

“Juan, kenapa Ibu Anna membenciku? Apa salahku kepadanya?” kata Maria sambil terisak.

“Embeeek....,” jawab Juan. 

“Aku sudah berusaha mengerjakan semua yang diperintahkan Ibu Anna tetapi tetap saja ia membenciku.”

“Embeeek....”

“Minggat? Pergi dari rumah? Tidak, Juan, tidak! Aku tidak ingin membuat khawatir ayahku dan banyak orang karena kepergianku dari rumah.” 

“Embeeek....” 

“Iya, aku coba untuk menerima keadaan ini, Juan. Mungkin Ibu Anna tidak terbiasa ditinggal Ayah berbulan-bulan sehingga sikapnya berubah kepadaku.” 

“Embeeek....”

“Main petak umpet? Ini sudah malam, Juan! Ayo pergi tidur!”

Suatu hari Ibu Anna mendatangi Maria yang sedang berada di dapur. 

“Maria, aku bosan dengan makanan yang itu-itu saja! Aku ingin makan daging!” kata Ibu Anna dengan ketus. 

“Maaf, Bu! Persediaan daging di lumbung sudah habis. Apakah saya harus membelinya di pasar?” jawab Maria dengan sopan. 

“Tidak perlu, buang-buang uang saja! Lebih baik kamu sembelih domba peliharaanmu itu dan kita makan dagingnya,” jawab Ibu Anna.

“Apa? Tidak, Bu! Jangan Juan, Bu! Jangan Juan!” kata Maria sambil menangis. 

Ibu Anna kemudian mengambil sepiring beras yang terletak di meja dapur. Ia kemudian berjalan ke perapian dan menaburkan beras itu di sana. 

“Maria, jika kau tidak ingin menyembelih dombamu maka kau harus memisahkan beras-beras itu dari abu perapian. Waktumu tidak banyak! Jika kau belum selesai ketika aku bangun tidur siang maka dombamu harus kau sembelih,” ancam Ibu Anna. 

Maria menangis sekeras-kerasnya. 

“Bagaimana ini? Tidak mungkin memisahkan beras-beras itu dari abu perapian! Apalagi dalam waktu yang singkat,” kata Maria sambil sesenggukan. 

Tiba-tiba saja terdengar ketukan halus di jendela dapur. Maria membuka jendela dan ditemuinya seekor burung merpati. 

“Gadis kecil, apa yang membuatmu menangis begitu keras?” tanya burung merpati itu. 

Maria kemudian menceritakan permasalahannya. 

“Gadis Kecil, serahkan permasalahan ini kepada kami, bangsa burung! Kau bisa beristirahat dan biarkan kami yang bekerja,” kata burung merpati itu. 

Tampak keraguan di wajah Maria. 

“Percayalah kepada kami, gadis kecil! Ini pekerjaan yang mudah bagi bangsa burung.” 

Maria menuruti perkataan burung merpati itu. Ia pergi ke kamarnya dan beristirahat. Sementara itu, burung merpati memanggil teman-temannya sesama burung. Mereka kemudian mematuki beras-beras yang ada dalam abu perapian dan meletakkannya ke dalam piring. Ibu Anna bergegas ke dapur setelah bangun dari tidur siangnya. Ia membayangkan mendapati Maria masih memilah beras-beras itu sambil menangis. 

“Tidak lama lagi aku akan makan sup daging domba, tapi domba panggang nampaknya lezat juga. Atau dua-duanya?” katanya dalam hati dengan girang. 

Lamunann Ibu Anna buyar ketika mendapati beras-beras itu telah berada di piring dan dapurnya tetap bersih. Maria telah melakukan tugasnya dengan baik dan Juan tidak jadi disembelih. Keesokan harinya, Ibu Anna kembali lagi ke dapur. Ia masih menginginkan daging Juan. 

“Maria!” bentak Ibu Anna.

“Ada apa, Bu?” jawab Maria dengan sopan. 

“Aku masih penasaran dengan rasa daging domba kecilmu itu.” 

“Maaf, Bu! Bukankah saya telah mengerjakan apa yang Ibu perintahkan kemarin? Itu berarti Juan tidak harus...”

“Domba kecilmu itu tetap harus disembelih, Maria!” kata Ibu Anna sambil menggebrak meja denga keras. 

Ia kemudian berjalan ke arah lemari dapur dan mengambil toples gula. Ibu Anna lalu menumpahkan semua isi toples itu ke tumpukan sekam yang berada di pojok dapur. 

“Maria, kamu bisa memilih memasukkan semua gula ini kembali ke dalam toples atau menyembelih domba kecilmu itu!” kata Ibu Anna sambil tertawa licik.

“Jika kamu memilih memasukkan semua gula ini kembali ke dalam toples, maka waktu yang kamu punya untuk menyelesaikannya hanya sampai aku bangun dari tidur siangku! Ingat Maria, waktumu hanya sampai aku bangun dari tidur siangku,” lanjut Ibu Anna sambil berjalan keluar. 

“Semua terserah padamu, Maria! Ha... ha... ha...,” teriak Ibu Anna dari balik dapur.

Tangis Maria mulai pecah. Ia merasa tidak mampu melakukan tugas Ibu Anna tersebut. 

“Kenapa Ibu Anna ingin sekali memakan Juan? Kenapa Ibu Anna menyiksaku dengan memberikan pilihan seperti ini? Apa Ibu Anna tidak cukup menyiksaku dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga? Kenapa? Kenapa? Kenapa?” keluh Maria sambil menangis. 

Tangisannya makin lama semakin keras. Tiba-tiba Maria merasa sesuatu sedang menggelitik pundaknya. Ia menoleh dan melihat seekor semut besar. 

“Gadis kecil, apa yang membuat menangis tersedu-sedu seperti itu?” tanya semut besar itu. 

“Maaf, siapakah kamu?” tanya Maria keheranan.

“Aku ratu semut.” 

Maria kemudian menceritakan tentang keinginan Ibu Anna dan pilihan-pilihannya. Ratu semut itu menghela napas panjang dan berkata, “Gadis kecil, hapuslah air matamu, pergilah ke kamarmu, dan beristirahat! Serahkan masalah ini kepada bangsa semut.” 

“Tapi, Ratu...”

“Beristirahatlah atau jika kau mau, kau bisa duduk di sini dan memerhatikan bagaimana kami bekerja.”

Ratu semut kemudian memanggil rakyatnya. Semut-semut mulai berdatangan dalam barisan-barisan. Ratu semut memerintahkan semut-semut itu untuk membuang sekam dan membawa butiran gula ke dalam toples. Semut-semut itu mulai berbaris dan berjalan dengan rapi ke arah tumpukan sekam. Sebagian dari mereka mengambil dan membawa sekam-sekam itu keluar dari dapur dan sebagian lagi membawa butiran gula ke dalam toples. Maria memandang kejadian itu dengan takjub. Hanya dalam hitungan menit, tumpukan sekam tidak tampak lagi dan toples telah penuh berisi gula. Maria merasa senang sekali. 

Berulang kali ia mengucapkan terima kasih kepada ratu semut dan rakyatnya. Ibu Anna terkejut saat mendapati toplesnya telah penuh kembali dengan gula. Ia berulang kali memerhatikan toples gula miliknya dan pojokan dapur, mencari-cari apakah ada butiran gula yang tercecer. Tetapi ia tidak menemukan sebutir gula pun. Ibu Anna menjadi geram. Maria berhasil menyelamatkan hidup Juan sekali lagi. Keesokan harinya, Ibu Anna menemui Maria di dapur dengan membawa dua karung wol.

“Maria, aku masih menginginkan daging domba muda itu!” kata Ibu Anna. 

“Maaf, Bu! Saya tidak akan membunuh Juan!” jawab Maria.

“Cepat atau lambat, domba itu akan menjadi santapanku, Maria!” kata Ibu Anna dengan ketus. 

Ia kemudian menyodorkan dua karung bulu wol di hadapan Maria. 

“Kau bisa memilih, menyembelih dombamu untuk makan malam kami atau pintal dan rajut bulu-bulu wol ini menjadi sebuah kain,” lanjutnya. 

“Jika kau memilih pilihan yang terakhir, waktumu hanya hingga aku bangun tidur siang! Jika kamu belum selesai saat itu atau ada sisa dari bulu-bulu wol ini, kau harus menyembelih dombamu itu!” tambah Ibu Anna. 

Maria terkejut dan mulai menangis. Ia merasa tidak mungkin memintal dan merajut wol-wol itu menjadi sebuah kain dalam waktu yang singkat. Juan tidak mungkin berumur panjang. 

“Maria, Maria, berhentilah menangis, sahabatku!” terdengar suara lembut menenangkan. 

Maria menoleh tetapi ia tidak melihat seorang pun di dapur. Maria hanya melihat Juan yang sudah berdiri di atas meja. 

“Iya, ini aku yang bicara, Juan, sahabatmu,” kata Juan sambil tersenyum lebar. 

“Janganlah bersedih, sahabatku! Aku akan memintal wol-wol ini menjadi benang dan memintalnya menjadi kain,” lanjut Juan. 

Maria terdiam dan mulai merasa takjub saat Juan memakan semua wol-wol itu dalam sekejap. Tidak lama kemudian dari pantat Juan keluarlah benang. Juan memintal benang-benang itu menjadi sebuah kain yang sangat indah. Ibu Anna terkejut saat mendapati selembar kain yang bagus terhampar di meja dapurnya. Ia mengalihkan pandangannya kepada Maria dan Juan. 

“Tidak mungkin! Tidak mungkin Maria bisa melakukan ini semua dalam sekejap,” kata Ibu Anna dalam hati. 

Ia lalu memeriksa karung-karung yang tadinya berisi bulu-bulu wol. Semua bersih tanpa sisa! Ibu Anna berjalan ke arah Maria dan menyambar Juan. Maria yang berusaha menghalangi ditepisnya. Ibu Anna memeriksa Juan dengan teliti sampai ia menemukan sisa-sisa bulu wol di pantat Juan. 

“Aha, apa ini Maria? Apa ini? Ha... ha... ha...,” kata Ibu Anna sambil mengangkat telunjuknya, memamerkan sisa-sisa wol yang belum diolah. Maria terkejut melihatnya.

“Kau harus menyembelih dombamu sekarang! Sekarang, Maria!” bentak Ibu Anna. 

Maria menangis sekeras-kerasnya. Tiba-tiba ia mendengar Juan berbisik, “Janganlah bersedih, Maria! Berhentilah menangis! Bawalah aku ke sungai dan potonglah aku di sana.” 

Maria pelan-pelan berhenti menangis, hanya sesekali ia terisak. Maria menuruti perkataan Juan. Ia menuntun Juan ke arah sungai. Namun, keraguan masih menyelimuti dirinya. Perlukah ia memotong Juan atau membiarkannya pergi dan membeli daging domba di pasar sebagai gantinya? “Maria, waktu kita bersama-sama di dunia ini memang harus berakhir. Meski aku telah tiada, kau bisa selalu mengenangku dari cawan emas yang akan kau temukan di dalam perutku. Jadilah anak yang baik, Maria,” kata Juan. 

“Sekarang, jangan ada lagi keraguan untuk memotongku,” lanjut Juan. 

Maria dengan berat hati memotong Juan. Ia memotong daging Juan menjadi bagian-bagian kecil sambil terisak. Maria juga menemukan cawan logam di bagian perut persis cerita Juan. Ketika Maria hendak pulang, seorang kakek muncul di hadapannya. 

“Bisakah kau memberiku minum? Aku sangat haus sekali,” pinta kakek itu. 

Maria mengeluarkan cawannya, mengambil air dari sungai dan memberikannya kepada kakek itu.

“Terima kasih, anakku,” kata kakek itu setelah minum air pemberian Maria. 

Kehilangan Juan membuat Maria semakin rajin mengunjungi makam ibunya. Ia sering menangis dan menceritakan penderitaan-penderitaan yang dialaminya selama ini. Maria tahu bahwa berbicara dengan orang mati adalah pekerjaan yang sia-sia, tetapi hal itu membuat dirinya merasa lega. Ia juga merasa tenang saat mendengar nyanyian burung-burung yang hinggap di pohon dekat makam ibunya. Ibu Anna nampaknya belum puas menyiksa Maria. Ia tidak hanya menyiksa Maria secara fisik tetapi juga secara mental. Ibu Anna membelikan kedua anaknya, Marry dan Martha masing-masing seekor anak domba. Maria pedih melihatnya. Hanya saja ia berusaha untuk tegar. Anak-anak domba milik saudara tiri Maria makan dengan lahap. 

Mereka memakan rumput dan berbagai tumbuh-tumbuhan. Dalam hitungan bulan, semua tumbuhan yang berada di sekitar rumah Maria tidak ada yang tersisa. Hal ini membuat Ibu Anna merasa jengkel. Ia kemudian menyuruh anak-anaknya untuk menyembelih domba-domba mereka. Merry mendapat giliran pertama. Ia menangis tersedu-sedu saat membawa dombanya ke sungai untuk disembelih. Tiba-tiba anak domba itu berkata, “Jangan bersedih, Merry. Meski aku telah tiada, kau bisa selalu mengenangku dari cawan emas yang akan kau temukan di dalam perutku. Jadilah anak yang baik, Merry.” 

Merry menyembelih anak dombanya. Ia memotongnya kecil-kecil dan menemukan cawan logam di dalam perut dombanya, sesuai yang didengarnya. Tiba-tiba muncul seorang kakek hadapan Merry.

 “Bisakah kau memberiku minum? Aku sangat haus sekali,” pinta kakek itu. 

“Apa? Aku tidak akan memberi minum kepada orang tua yang jelek dan kotor sepertimu,” jawab Merry dengan ketus. 

Merry meninggalkan kakek itu dan berjalan pulang sambil membawa daging dombanya. Hari berikutnya adalah giliran Martha untuk memotong anak dombanya. Ia juga merasa sangat sedih ketika harus melakukannya. Martha membawa dombanya ke sungai dan mengalami kejadian yang sama seperti yang dialami oleh Maria dan Merry. Anak domba Martha mendadak bisa berbicara dan menyakinkan Martha untuk segera menyembelihnya. Ia juga bercerita tentang cawan emas yang akan Martha temukan di dalam perutnya dan meminta Martha agar menjadi anak yang baik. Martha hendak beranjak pulang ketika seorang kakek tiba-tiba muncul di hadapannya. 

“Bisakah kau memberiku minum? Aku haus sekali,” pinta kakek itu. 

“Dasar pemalas! Ada sungai di depanmu. Kau bisa minum sepuasmu di situ! Pakailah kedua tanganmu untuk mengambil air!” jawab Martha dengan sinis. 

Martha berlalu meninggalkan kakek itu di tepi sungai. Ia berjalan tanpa menoleh ke belakang sehingga tidak mengetahui bahwa kakek itu berubah menjadi seorang peri yang rupawan. 

“Cawan emas itu akan memilih sendiri penjaganya, orang yang berhati baik,” kata peri tersebut.

Ia kemudian menghilang seiring dengan datangnya malam. Beberapa waktu berselang, raja Spanyol meninggal dunia. Pewaris tahtanya adalah Pangeran Carlos. Hanya saja keluarga kerajaan menunda pengangkatan Pangeran Carlos sebagai raja karena ia belum mempunyai istri. Akhirnya Pangeran Carlos berkelana mencari calon istri ke seluruh wilayah kerajaan Spanyol. Pangeran Carlos adalah orang yang sederhana. 

Ia tidak memiliki persyaratan khusus tentang calon istrinya. Seperti pemuda lain pada umumnya, Pangeran Carlos hanya menginginkan perempuan cantik, cerdas, dan baik budinya sebagai istrinya. Hanya saja, syarat dari almarhum ibunya yang membuat dirinya susah menemukan perempuan yang tepat. Saat Pangeran Carlos masih di dalam kandungan, ibundanya menerima ramalan dari beberapa orang suci. Ramalan tersebut mengatakan bahwa kerajaan Spanyol akan selalu damai dan sejahtera jika Pangeran Carlos menikah dengan gadis yang memiliki cawan emas. Akhirnya Pangeran Carlos sampai di kota tempat Maria tinggal. Berita ini terdengar oleh Ibu Anna. Ia bergegas pergi ke benteng, tempat Pangeran Carlos menginap. Ibu Anna ingin bertemu Pangeran Carlos dan menceritakan tentang kedua putrinya. 

“Pangeran Carlos, sudikah Pangeran berkunjung ke rumah saya? Saya akan mengenalkan Pangeran dengan kedua orang putri yang cantik-cantik dan baik hatinya. Siapa tahu pangeran berkenan memperistri salah seorang dari mereka,” pinta Ibu Anna. 

“Maafkan saya, Bu! Saya tidak bisa berkunjung ke rumah Ibu karena kapal saya akan berangkat nanti malam. Ada banyak hal yang mesti saya selesaikan,” tolak Pangeran Carlos secara sopan. 

“Pangeran, selain kelebihan-kelebihan yang saya sebutkan tadi, salah satu putri saya memiliki sebuah cawan emas. Ia memang tidak menceritakan kepada saya, tetapi saya ibunya dan tahu semua tentang anak saya,” balas Ibu Anna. 

Pangeran Carlos tertarik mendengar cerita Ibu Anna. 

“Baiklah, Bu! Pertemukan saya dengan anak gadismu untuk membuktikan ceritamu,” perintah Pangeran Carlos. 

Ibu Anna lalu mengantar pangeran Carlos ke rumahnya. Ia mempertemukan Pangeran Carlos dengan putri pertamanya, Martha. 

“Aku dengar kau memiliki sebuah cawan emas? Benarkah?” tanya Pangeran Carlos.

“Benar, Pangeran!” jawab Martha sambil menunjukkan cawan emas miliknya. 

Pangeran Carlos terkejut melihatnya. 

“Jadi, kau benar-benar memilikinya! Kau mungkin adalah jodohku!” jawab Pangeran Carlos. 

Ia kemudian meminta izin kepada Ibu Anna untuk membawa Martha ke benteng untuk diperkenalkan kepada keluarga kerajaan yang lain. Ibu Anna dengan suka hati mengizinkan. Pangeran Carlos, dengan Martha duduk di belakangnya, memacu kudanya menuju benteng. Tetapi ketika melewati sebuah pohon di dekat pemakaman, Pangeran Carlos mendengar sebuah nyanyian burung.

"Kembalilah Tuan Muda, kembalilah ke tempatmu bermula" "Pasangan hidupmu masih menunggumu di sana" Pangeran Carlos terkejut. 

Ia meminta Martha untuk menunjukkan kembali cawan miliknya. Rupanya cawan itu telah berubah menjadi cawan besi. Pangeran Carlos kemudian mengantarkan Martha kembali pulang. 

“Maaf, Ibu Anna! Martha ternyata bukan jodoh saya. Ia hanya mempunyai cawan besi, bukan cawan emas,” kata pangeran Carlos sesampainya di rumah Maria. 

“Benarkah? Anak kurang ajar!” gerutu Ibu Anna. 

“Tapi saya masih memiliki seorang puteri lagi, Pangeran! Ia juga memiliki cawan emas! Cawan emas yang asli” lanjut Ibu Anna sambil menyeret tangan Merry. 

Merry menunjukkan cawan miliknya. Pangeran Carlos memerhatikan dengan seksama. 

“Ini benar-benar cawan emas! Mungkin Merry ini adalah jodohku,” kata Pangeran Carlos dengan gembira. 

“Lalu apa yang engkau tunggu, Pangeran? Saya mengizinkanmu membawanya ke benteng!” kata Ibu Anna dengan senang.  

Pangeran Carlos menaikkan Merry ke atas kudanya dan bergegas menuju benteng. Tetapi kejadian yang sama terulang kembali. Burung-burung yang bertengger di sebuah pohon dekat pemakaman menyanyikan sebuah lagu. 

"Kembalilah Tuan Muda, kembalilah ke tempatmu bermula" "Pasangan hidupmu masih menunggumu di sana" Pangeran Carlos terkejut. 

Ia memandang burung-burung itu lalu menoleh kepada Merry. 

“Merry, bolehkah aku melihat cawanmu sekali lagi?” pinta pangeran Carlos. 

Merry kemudian memperlihatkan cawan miliknya. Ia dan Pangeran Carlos terkejut saat melihatnya. Cawan itu telah berubah menjadi besi. Pangeran Carlos memutar kembali kudanya ke arah rumah Maria. Setelah menurunkan Merry, Pangeran Carlos bertanya kepada Ibu Anna, “Merry ternyata bukan jodohku! Apakah kau masih punya anak gadis yang lain?”

“Maaf, Pangeran! Saya hanya memiliki dua orang puteri,” jawab Ibu Anna sambil bersungut-sungut.

“Jodohku sudah dekat! Aku bisa merasakannya! Ia pasti berada di sekitar sini,” kata Pangeran Carlos.

Ia kemudian memeriksa ruangan di rumah Maria satu demi satu. Maria terkejut ketika seorang pemuda tampan masuk ke dapurnya. 

“Si-siapa kamu? Apa maumu?” tanya Maria. 

“Aku Pangeran Carlos. Kau siapa?” tanya balik Pangeran Carlos. 

“Aku Maria. Aku...” “Pembantu di rumah ini!” potong Ibu Anna dengan ketus. 

Pangeran Carlos menatap tajam ke arah Ibu Anna seakan memintanya agar jangan menyela pembicaraan. 

“Maria, apakah engkau juga memiliki cawan emas?” tanya Pangeran Carlos dengan sopan. 

“Iya, saya punya cawan emas, Pangeran,” kata Maria sambil menunjukkan cawan emas miliknya.

 “Maukah kau ikut denganku ke benteng? Aku ingin memastikan apakah cawan emas milikmu sesuai dengan permintaan almarhum ibuku. Aku janji akan mengantarmu pulang jika hal itu telah selesai.”

 “Saya mengikuti perintah Pangeran. Tapi, apakah Ibu Anna mengizinkan?” 

“Jangan khawatir tentang itu. Ibu Anna pasti mengizinkan karena jika tidak...,” jawab pangeran Carlos sambil menatap tajam ke arah Ibu Anna. 

Ibu Anna mengangguk dengan lesu. Pangeran Carlos membawa Maria dengan kudanya ke benteng. Saat melewati pohon di dekat pemakaman, burung-burung bernyanyi. 

“Tuan Muda telah bertemu pasangannya” 

“Mereka akan bahagia selamanya” 

“Bahagia selama-lamanya” 

Pangeran Carlos menoleh ke belakang. Ia melihat Maria masih mendekap erat cawan emasnya.

“Akhirnya, aku tidak salah pilih lagi,” kata Pangeran Carlos dalam hati. 

Ia memacu kudanya lebih cepat untuk sampai ke benteng. Keluarga kerajaan terkejut saat Pangeran Carlos datang dengan seorang gadis dengan pakaian yang kumal dan penuh debu serta bertelanjang kaki. Mereka kemudian mafhum saat melihat Maria memeluk erat cawan emasnya. Inilah gadis yang akan mendampingi Pangeran Carlos. Ialah gadis yang akan menjadi ratu Spanyol. Tidak lama kemudian, kerajaan Spanyol mengadakan pesta pernikahan bagi Pangeran Carlos dan Maria. Pasangan ini dengan cepat mengambil hati rakyat Spanyol. Meskipun hidup dalam lingkungan penuh kekuasaan dan kekayaan, Maria tetap menjadi perempuan yang baik hatinya. Ia terkenal sering membantu orang-orang miskin, terutama para janda dan anak-anak yatim piatu. 

***

Vania selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal Argentina," kata Vania.

Vania menutup bukunya dan di taruh di meja. 

"Nonton Tv!" kata Vania.

Vania mengambil remot di meja dan segera di hidupkan Tv dengan baik. Vania memilih chenel Tv yang menarik dan di pilih tentang masakan gitu. Vania menaruh remot di meja dan menonton Tv dengan asik banget karena acara Tv memang bagus gitu.

KACANG CHANGELINGS

Teguh mengambil buku di rak buku dan segera duduk dengan baik. Teguh membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Teguh :

“Tolong, tolooong!” Sebuah teriakan terdengar tidak jauh dari tempat Chalmer mencari kayu bakar. Chalmer mengedarkan pandangannya di sekitar hutan. Namun, dia tidak melihat seorang pun di sana.

“Tolong…!” Teriakan itu terdengar lagi. Chalmer pun segera bergerak mencari sumber suara. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Chalmer melihat seorang perempuan setengah baya sedang berpegang erat pada akar pohon. Separuh tubuhnya menggelantung di pinggir jurang. Chalmer segera berlari dan menarik tubuh perempuan itu ke atas. Perempuan itu terengah. Wajahnya pucat. Keringat mengucur di dahinya.

“Terima kasih, Tuan. Anda sudah menolong saya,” ucap perempuan itu, setelah mengatur napasnya.

“Sama-sama, Bibi. Saya Chalmers. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong,” kata Chalmer, sambil tersenyum.

Wanita itu tersenyum, lalu menyebutkan namanya. “Namaku Rona.”

“Bibi Rona sedang apa di hutan ini?” tanya Chalmer, ingin tahu. Dia sudah sering pergi ke hutan ini untuk mencari kayu bakar. Bahkan, sekali waktu dia bisa berada di hutan seharian, untuk membelah kayu-kayu besar. Tapi, dia tidak pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya.

“Saya sedang mencari daun-daunan untuk obat. Biasanya saya tidak sampai sejauh ini. Tapi, saya keasyikan sehingga sampai di tempat ini. Saya tidak tahu kalau tanah di sini licin, jadi tadi terpeleset,” wanita itu menjelaskan, sambil menunjukkan lembaran daun yang dipetiknya.

“Obat untuk apa, Bibi?” Chalmer penasaran. Barangkali, wanita ini bisa memberikan ramuan agar dia dan Apirka, istrinya, bisa mempunyai anak.

“Obat untuk menyembuhkan luka, mengurangi rasa sakit, menyembuhkan penyakit kulit, dan lain-lain. Apakah kau membutuhkan obat untuk mengobati penyakitmu?” tanya wanita setengah baya itu.

“Ya, sebenarnya saya butuh obat. Tapi, bukan obat yang Bibi sebutkan tadi.”

“Oh, obat apakah itu?”

“Saya dan istriku sudah menikah cukup lama. Namun, kami belum diberi keturunan,” kata Chalmer dengan nada sedih.

Bibi Rona merasa iba. Chalmer sudah menyelamatkan nyawanya. Dia ingin membalas jasa Chalmer, tapi dia ragu-ragu.

“Nak, saya hanya bisa membuat ramuan untuk mengobati orang sakit, kalau untuk punya anak, saya tidak tahu ramuan obatnya. Tapi, saya punya sesuatu.” Bibi Rona mengeluarkan kantong kecil dari balik bajunya. Perlahan, dia melonggarkan serut di kantong itu. Lalu, dia mengambil sebuah benda berwarna hijau dan meletakannya di telapak tangan.

“Saya ingin sekali menolongmu, agar kalian mempunyai anak. Benda ini bisa saja membantumu mempunyai anak. Tetapi saya takut, jika anak yang kamu lahirkan bukanlah anak yang baik.” Bibi Rona menatap Chalmer lekat. Dia tampak ragu untuk memberikan benda hijau itu kepada Chalmer.

“Tidak apa-apa, Bibi, yang terpenting saya bisa punya anak.”

“Nanti kau akan menyesal, Nak.”

“Kalau benar benda itu bisa membuatku memiliki keturunan, berikanlah padaku, Bibi.” Chalmer memohon agar Bibi Rona mau memberikan benda itu padanya.

“Baiklah. Ini, terimalah!” Bibi Rona menyerahkan benda di tangannya kepada Chalmer. Chalmer menerimanya dengan hati-hati.

“Benda apakah ini, Bibi?” tanya Chalmer sambil memerhatikan benda yang berada di tangannya dengan teliti. Bentuknya bulat, sedikit lonjong, warnanya hijau, seperti kacang hijau, hanya saja lebih besar. Benda itu seperti mengeluarkan sinar kehijauan.

“Itu adalah pónairí glasa. Saya mendapatkannya dari salah satu Peri Changelings. Mintalah istrimu memakannya. Satu pesanku, berdoalah selalu agar anak yang lahir, kelak tidak memiliki sifat-sifat jahat.”

“Baiklah, terima kasih banyak, Bibi.” Chalmer tersenyum senang. Dia langsung pulang, menemui istrinya, Apirka, dengan hati berbunga-bunga.

“Apirka, lihatlah apa yang kubawa,” teriak Chalmer pada istrinya yang sedang duduk, menyulam.

Aprika terkejut melihat Chalmer menerjang pintu. “Ada apa, Chalmer? Kau membuatku terkejut.”

“Aku membawa ini untukmu.” Chalmer menunjukkan benda yang dibawanya dengan hati-hati.

“Makanlah!” perintah Chalmer pada Apirka. Dia berdiri di depan Apirka, menyerahkan pónairí glasa yang diberikan oleh Bibi Rona.

“Apa ini? Seperti kacang hijau?” tanya Apirka, sembari mengamati benda yang diberikan Chalmer.

“Itu pónairí glasa. Aku mendapatkannya dari seorang wanita yang kuselamatkan karena hampir jatuh ke jurang.”

Apirka masih mengamati benda hijau itu. Dia merasa kagum dengan warnanya yang bercahaya. “Kenapa aku yang harus memakannya? Kenapa bukan kau?” Apirka menyodorkan benda itu kembali kepada Chalmer.

“Ini semacam obat agar kita bisa punya anak, Apirka,” kata Chalmer penuh semangat. Matanya bersinar penuh harap.

“Benarkah?” Apirka terlihat senang. Dia sudah banyak minum obat maupun ramuan dari para tabib. Mereka juga sudah berdoa siang dan malam agar diberi keturunan, sebagai pelengkap hidup mereka. Namun, sampai hari ini, keinginan itu belum juga terkabul. Mereka belum menyerah sampai saat ini, terlebih ketika tahu jika benda di hadapan mereka bisa membuat mereka memiliki keturunan, Apirka benar-benar tak sabar untuk memakannya.

 “Jangan lupa berdoa dulu, Apirka, agar anak yang lahir nantinya menjadi anak yang baik, sehat, cantik dan gagah seperti kita,” kata Chalmer, sambil tersenyum. Apirka tersenyum, lalu mulai berdoa dalam hati. Perlahan, Apirka memakan kacang itu sedikit demi sedikit.

“Bagaimana rasanya?” Chalmer bertanya, penasaran.

“Kau mau mencobanya?”  Apirka menyodorkan sisa kacang itu kepada Chalmer.

Chalmer mengeleng, “Tidak, kamu harus menghabiskannya.”

“Emmm … Rasanya segar seperti buah anggur masak yang baru dipetik,” kata Apirka, setelah menghabiskan seluruh pónairí glasanya.

“Semoga apa yang kita inginkan akan terkabul, kali ini,” Chalmer terus berdoa. Apirka turut mengaminkan.

Keesokan harinya, Apirka terbangun dalam keadaan deman. Badannya panas dan kepalanya terasa sangat berat. Chalmer yang sedang bersiap pergi ke hutan untuk membelah kayu, mengurungkan niatnya. Dia memutuskan untuk menemani Apirka di rumah. Dia juga memasak makanan untuk sarapan pagi mereka. Apirka hanya bisa berbaring di tempat tidur karena kepalanya terus berputar dan perutnya selalu mual dan ingin muntah.

Selama beberapa hari, Apirka belum juga sembuh. Chalmer mulai bingung. Dia segera mendatangi seorang tabib, perempuan tua bernama Vanora, yang tinggal di desa sebelah. Vanora, perempuan berwajah lancip itu menyambut dan mempersilakan mereka masuk. Dia segera memeriksa keadaan Apirka.

“Oh, rupanya kau sedang hamil, Anakku,” kata Vanora dengan wajah cerah. Chalmer terlihat senang bukan kepalang. Dia langsung berdoa agar anaknya lahir selamat dan menjadi anak yang baik.

“Tapi, aku melihat ada sesuatu yang tidak biasa dalam kehamilanmu, Nak,” kata Vanora, gelisah.

“Apakah itu, Nek?” Apirka bertanya, ingin tahu.

“Apakah sebelum ini kau makan sesuatu?” Nenek Vanora balik bertanya.

“Ya, Chalmer memberiku pónairí glasa untuk kumakan.”

“Pónairí glasa? Bukankah itu buah milik Peri Changeling?” tanya Nenek Vanora kepada Chalmer.

“Benar, Nek. Seseorang memberikan buah itu kepadaku karena aku telah menyelamatkan nyawanya.”

Nenek Vanora tampak kebingungan. Dia ingin menjelaskan sesuatu, tapi dia tidak ingin melihat kedua orang di hadapannya kecewa. Dia tahu jika Apirka dan Chalmer ingin mempunyai anak sejak lama.

“Apakah Changeling itu peri yang baik hati, sehingga dia mau memberikan buah itu kepada Bibi Rona, Nek?” tanya Chalmer,hati-hati.

“Justru sebaliknya, Anakku. Setau nenek, Changeling adalah peri yang jahat. Anak-anak yang dilahirkannya banyak yang cacat,” Nenek Vanora menjelaskan, pelan.

Chalmer terenyak. Chalmer merasa sedih jika sifat anaknya akan menjadi jahat karena makan buah milik Peri Changeling.

“Apa yang harus kami lakukan, Nek?”

“Teruslah berdoa agar anak itu menjadi anak yang baik. Selain itu, carilah kacang putih untuk dimakan oleh anakmu, kelak. Hanya itu yang bisa mematahkan takdir changeling pada anak manusia.”

Chalmer dan Apirka pun menuruti perkataan Nenek Vanora. Chalmer dan Apirka semakin rajin berdoa. Sembilan bulan kemudian, Apirka melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Wajahnya merah merona dan dia sangat lucu. Bayi itu bernama Roarke. Chalmer dan Apirka merawat bayi mungil itu dengan penuh cinta. Mereka juga tidak pernah lupa berdoa kepada Tuhan, agar bayi mereka tumbuh menjadi anak yang baik. Akan tetapi, sampai saat ini, Chalmer belum menemukan kacang putih yang dimaksud oleh Nenek Vanora.

Hari demi hari berganti, Roarke tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan gesit. Suatu siang, Roarke melihat sekumpulan anak perempuan yang sedang bermain bersama. Mereka tertawa riang, sambil membuat mainan dari ranting kayu yang dibentuk rumah-rumahan. Roarke datang mendekat dan menghancurkan mainan tersebut satu per satu. Anak-anak perempuan itu menjerit dan menangis kesal karena mainan yang mereka buat dengan susah payah, hancur oleh ulah Roarke. Setelah merusak mainan mereka, Roarke berlari pulang sambil tertawa senang.

Malam harinya, seorang ibu datang ke rumah Chalmer. Ibu itu memberitahukan tindakan Roarke yang tidak terpuji kepada kedua orang tuanya.

“Maafkan anak kami, Bu. Kami sudah berusaha menasihati Roarke untuk tidak mengganggu teman-temannya.” Apirka, ibu Roarke merasa sedih mendengar kelakuan anaknya.

“Maaf, Bu Apirka, tapi ini sudah berkali-kali terjadi. Roarke sudah sering sekali menggangu anak-anak kami,” lanjut ibu itu lagi.

“Ya, baiklah Bu. Saya akan menjaganya baik-baik. Kami mohon maaf, Bu,” Apirka memohon maaf untuk kesekian kalinya, atas kelakukan anaknya yang tidak terpuji.

Apirka duduk termangu, setelah ibu itu pergi. Chalmer kemudian datang menghampirinya. “Siapa yang datang, Bu?”

“Ibu Tristan. Dia baru saja memberitahu kalau Roarke mengganggu anak-anak perempuan yang sedang bermain rumah-rumahan,” Apirka menarik napas dalam, “setiap hari, selalu ada orang tua yang datang ke rumah kita, memberitahukan kenakalan anak kita, Pak?”

Chalmer termenung, dia teringat perkataan Bibi Rona. Chalmer nyaris putus asa. Dia sudah berusaha mendidik Roarke dengan baik, tapi itu belum cukup. Apa karena kacang putih itu belum bisa kudapatkan? pikir Chalmer, sedih.

“Tolong panggil Roarke kemari, Bu.” Chalmer meminta Apirka memanggil Roarke. Apirka segera pergi ke kamar Roarke, namun dia tidak menemukan Roarke di sana.

“Roarke, di mana kamu, Nak?” Apirka memanggil Roarke.

Tiba-tiba, Apirka mendengar suara riuh di belakang rumahnya. Suara itu datang dari kandang sapi mereka.

“Chalmer, sepertinya Roarke ada di kandang sapi,” Apirka berseru lantang.

“Ayo kita lihat, Bu!”

Chalmer dan Apirka bergegas pergi ke belakang rumah. Sesampai di sana, mereka terperanjat mendapati sapi mereka tergeletak tak berdaya, sementara Roarke tertawa riang.

“Roarke!” panggil Chalmer, tegas. Roarke menghentikan tawanya. Dia memandang ayahnya dengan tatapan takut.

“Apa yang kau lakukan di sana, Nak?” tanya Chalmer.

“Tidak apa-apa, Ayah.”

“Apa yang kau lakukan pada sapi kita?” Chalmer berusaha mengendalikan diri. Dia mendekati sapinya dan semakin terkejut mendapati sapi mereka satu-satunya telah mati.

“Apa yang kau lakukan pada sapi ini, Nak?” Chalmer bertanya lagi.

“Aku tidak melakukan apa-apa, Ayah,” kata Roarke, sambil tertunduk, “aku hanya bermain-main dengan sapi kita.”

“Tapi, kenapa dia bisa sampai mati, Nak?” Apirka memutuskan untuk bersuara.

“Aku tidak tahu, Bu. Bukankah dia sedang tidur?” tanya Roarke polos.

Aprika menatap Roarke, menggelengkan kepala, “Roarke, dia tidak hanya tidur, tapi dia sudah mati. Dia tidak akan bangun lagi.”

“Hahahaha.” Roarke tiba-tiba tertawa keras. Chalmer dan Apirka terkejut. Mereka tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Roarke.

“Kenapa kamu tertawa, Roarke?” tanya Apirka, sambil mengerutkan kening.

“Aku senang, Bu. Sapi kita sudah mati.”

“Tidak seharusnya kamu merasa senang, Nak. Seharusnya kamu merasa sedih karena kita tidak punya sapi lagi. Hanya ini sapi yang kita miliki. Kalau dia mati berarti kita tidak punya sapi lagi,” Apirka berkata panjang lebar, namun Roarke tetap saja tertawa.

Apirka segera membawa Roarke masuk ke dalam rumah. Sementara Chalmer mengurus sapi mereka yang telah mati.

“Roarke, Ibu ingin bertanya kepadamu. Mengapa kamu mengganggu teman-temanmu?” tanya Apirka setelah mereka duduk di kursi depan.

Roarke menatap Apirka, lekat. “Karena mereka tidak mau bermain denganku, Bu.”

“Lalu mengapa mereka tidak mau bermain denganmu?” Apirka berusaha mendesak dengan halus. Roarke mengangkat kedua bahunya, pertanda tidak tahu.

“Kalau kamu ingin punya teman, kamu harus bisa berbagi dengan mereka. Kalau kamu punya makanan, kamu harus membaginya dengan temanmu, walaupun itu cuma sedikit. Kalau kamu punya mainan, kamu juga harus meminjamkannya pada temanmu. Mereka pasti akan senang bermain denganmu,” Apirka menjelaskan pelan-pelan.

“Kenapa aku harus berbagi? Aku tidak akan kenyang jika makananku yang sedikit harus dibagikan kepada teman-temanku,” kata Roarke, sambil mendongakkan kepalanya.

“Karena kelak, Tuhan akan mengganti makananmu dengan yang lebih banyak lagi.”

“Benarkah?”

“Iya, tentu saja,” Apirka mengakhiri nasihatnya dengan senyum.

Setelah kejadian itu, Apirka berharap Roarke bisa berubah. Namun, ternyata para tetangga tetap datang silih berganti, mengadukan kenakalan Roarke kepada anak-anak mereka. Kali ini, Apirka hanya bisa menangis. Dia sangat sedih. Dia kehabisan akal untuk menghadapi kenakalan Roarke. Apirka akhirnya jatuh sakit. Tapi, Roarke justru merasa senang ketika ibunya sakit.

“Roarke, diamlah sejenak, Nak. Ibumu sedang tidak enak badan.” Chalmer mencoba menenangkan Roarke. Namun, Roarke terus tertawa seakan tidak mendengar perkataan Chalmer. Chalmer memerhatikan Roarke, lama. Roarke tumbuh seperti anak-anak lain, hanya saja sifatnya jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Roarke tidak bisa dinasehati.

Keesokan harinya, Chalmer mengajak Roarke pergi ke hutan. Dia ingin Apirka dapat beristirahat dengan tenang. Selain itu, Roarke juga bisa membantunya mencari dahan-dahan kecil yang sudah kering. Mereka pun sibuk bekerja. Chalmer tidak ingin luput mengawasi Roarke karena dia bisa saja terperosok ke jurang.

Roarke tampak asyik mencari dahan-dahan kering. Dia berjalan semakin jauh dari pengawasan ayahnya. Tanpa Roarke sadari, dia sudah terperosok ke sebuah lubang besar. Roarke menjerit. Dia berteriak minta tolong. Tiba-tiba, ada sebuah tangan  keriput, terulur ke arahnya. Roarke berusaha menggapainya. Namun, tangan itu tiba-tiba ditarik kembali.

“Tolonglah aku, Nek,” pinta Roarke kepada seorang nenek berbadan gemuk, yang tadi mengulurkan tangannya.

“Emmm, aku tahu kalau kau adalah anak yang bandel dan suka mengganggu teman-temanmu. Maaf, aku tidak bisa menolongmu,” sang Nenek berkata, sambil berkacak pinggang.

“Tapi, kenapa tadi Nenek mengulurkan tangan untuk menolongku?”

“Emmm, tadi aku tidak tahu kalau kau anak yang bandel,” kata Nenek itu sambil terkekeh.

“Nek, tolonglah aku. Di sini banyak binatang menjijikkan. Aku takut,” Roarke mulai merengek.

“Maaf, Nak. Aku tidak dapat menolong anak-anak yang nakal seperti dirimu. Aku harus pergi sekarang.” Sang Nenek mulai beranjak dari tempat itu.

“Tolong, Nek. Jangan pergi. Tolong aku, Nek. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik.” Roarke mulai menangis.

“Aku tidak mendengar apa yang kamu katakan, Nak. Aku sudah tua sehingga telingaku agak tuli,” kata Nenek itu. Sebenarnya, dia mendengar permintaan Roarke. Namun, dia ingin mendengar kesungguhan Roarke.

“Aku berjanji menjadi anak yang baik dan taat pada orang tua. Tolong aku, Nek,” Roarke berkata lebih keras. Isak tangisnya pun terdengar lebih keras. Ada sebuah benda dingin yang menjalar di kakinya, tapi dia tidak berani melihatnya. Dia paling takut dengan binatang sejenis cacing dan ular.

Kesungguhan Roarke membuat sang Nenek mengulurkan tangannya kembali. Roarke dapat keluar dari lubang itu dengan sekali sentakan. Binatang yang tadi menjalar di kakinya pun sudah lari.

“Kau harus ingat apa yang sudah kau katakan padaku, Nak,” kata sang Nenek, sambil membantu Roarke membersihkan pakaiannya. Nenek itu memandangi Roarke sambil tersenyum. Chalmer dan istrinya sudah mendidik anak ini dengan baik. Hanya ini yang bisa membuatnya menjadi anak yang baik, kata Nenek Rona sambil menimang sebungkus benda di tangannya.

“Sebagai hadiah, Nenek memberikan ini padamu, makanlah!” kata sang Nenek sambil memberikan sebungkus kacang berwarna putih. Kacang putih itu yang akan membuat Roarke menjadi anak baik. Tanpa berpikir panjang, Roarke memakan buah kacang itu.

“Emmm, enak, Nek. Terima kasih Nenek...?” Roarke menatap Nenek itu, bertanya.

“Nenek Rona,” kata sang Nenek, sambil mengelus rambut Roarke lembut. Roarke ikut tersenyum.  Dia mulai menghabiskan kacang-kacang di tangannya.

Chalmer tampak berlari kecil ke arah Roarke, “Oh, kamu di sini, Roarke. Ayah sudah mencarimu ke mana-mana,” kata Chalmer, sambil memandangi kacang di tangan Roarke. Kacang putih! Kacang yang dicarinya selama ini. “Dari mana kamu mendapatkan kacang itu, Nak?” tanya Chalmer.

“Dari Nenek Rona, Ayah.”

“Nenek Rona? Di mana dia sekarang?” tanya Chalmer lagi.

Roarke terkejut mendengar nama itu. Dia segera mencari-cari sosok Nenek Rona di sekitar situ, tapi mereka tidak menemukannya lagi. Roarke kemudian menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya, termasuk tentang janjinya untuk menjadi anak yang baik, dan hadiah kacang yang sudah dimakannya. Semenjak kejadian itu, keluarga Chalmer menjalani hari-hari dengan rasa bahagia. Berkat doa orang tuanya, Roarke tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti kepada orangtua. 

***

Teguh selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus asal Irlandia. Pinter yang membuat ceritanya," kata Teguh.

Teguh menutup bukunya dan di taruh di rak buku. Teguh mengambil buku pelajarannya di tas dan segera di kerjakan PR dengan baik.

Friday, July 23, 2021

KISAH PETER SI BANGSAWAN

Indro selesai mengerjakan kerjaannya di dapur, ya masak ini dan itu sih. Indro ke ruang tamu. Di ruang tamu, ya Indro duduk dengan santai dan melihat buku di meja.

"Buku Dono," kata Indro.

Indro mengambil buku tersebut dan membukanya. 

"Kisah Peter Si Bangsawan. Asal cerita dari Norwegia," kata Indro.

Indro membaca buku tersebut dengan baik.

Isi cerita yang di baca Indro :

Dahulu kala ada sebuah keluarga petani yang hidup di tepi hutan. Mereka memiliki tiga orang anak laki-laki. Tidak ada yang tahu pasti nama anak-anak keluarga itu, tetapi beberapa orang memanggil anak bungsu dengan panggilan Peter. Keluarga petani itu sangat miskin. Pada saat petani dan istrinya meninggal dunia, mereka hanya mewariskan tiga buah benda kepada anak-anaknya, yaitu panci, penggorengan, dan seekor kucing. Anak tertua mendapat kesempatan pertama untuk memilih harta warisan. 

"Panci itu sepertinya sangat berguna. Ia bisa digunakan untuk membuat bubur. Aku akan meminjamkannya dan ketika ia kembali, pasti banyak sisa-sisa bubur di dalamnya. Aku akan mengumpulkan sisa-sisa bubur itu," katanya kepada diri sendiri. 

Ia pun memilih panci. Anak kedua memilih penggorengan. Ia berpikir jika wajan tersebut disewakan kepada para tetangga, ia bisa mendapat adonan kue sebagai ongkos sewanya. Maka ia pun mendapat penggorengan sebagai harta warisan dari orang tuanya. Anak bungsu, Peter, tidak mempunyai pilihan lain selain seekor kucing.

"Apakah ada orang yang mau meminjam kucing? Kalaupun ada pastilah sewanya tidak banyak, mungkin hanya sesendok susu. Tapi, aku tidak tega membiarkan kucing ini hidup sendiri. Ia bisa mati kelaparan dan kedinginan. Jadi aku akan memeliharanya," kata Peter kepada saudara-saudaranya.

Anak-anak petani itu kemudian berpisah. Mereka menempuh jalan hidupnya masing-masing. Peter sedang berjalan keluar rumah ketika ia dikejutkan oleh lompatan kucingnya. Kucing itu duduk di hadapan Peter dan berkata, "Terima kasih sudah mau memelihara aku, Peter. Aku berjanji akan membuatmu bahagia."

"…"

"Sekarang dengarkan aku, Peter. Tunggulah aku di sini. Aku akan pergi ke hutan untuk menangkap seekor rusa. Hadiahkan rusa itu kepada Raja dan jika ia bertanya dari mana asalnya, jawablah bahwa itu hadiah dari Peter si bangsawan," lanjutnya. 

Peter terbengong-bengong mendengarkan kucing ajaib itu bicara. Sebelum ia sempat bertanya, kucing itu sudah melesat pergi, meninggalkan Peter sendirian. Tidak lama kemudian, kucing ajaib itu datang kembali dengan menunggangi seekor rusa. 

"Aku tidak menyangka jika kau adalah pemburu yang hebat, Kucing Ajaib! Bagaimana kau bisa mendapatkan rusa ini hidup-hidup?" tanya Peter, takjub.

"Itu soal mudah, Peter. Aku menunggu di dahan pohon dan meloncat ke tengah-tengah tanduknya. Aku mengancam akan menyakiti matanya kalau ia tidak menuruti semua perkataanku," kata kucing menceritakan pengalamannya. 

Keesokan harinya Peter pergi ke Istana. Ia menyerahkan rusa itu kepada koki istana dan berkata "Hadiah kecil bagi Raja". 

Koki itu segera melapor kepada raja dan Peter diundang untuk menemui Raja. 

"Terima kasih atas pemberian hadiah yang sangat bagus ini," kata Raja, "kalau boleh aku tahu, siapakah yang telah mengutusmu kemari?" 

"Peter si bangsawan, Yang Mulia," jawab Peter. 

"Peter si bangsawan? Aku belum pernah mendengarnya. Di manakah istananya?" tanya Raja. 

"Maaf, Yang Mulia, Peter si bangsawan melarang saya untuk menceritakan letak istananya," tolak Peter.

"Aku tidak akan memaksamu bercerita, tetapi istirahatlah sejenak di istana ini. Nikmatilah keramahan kami," tawar Sang Raja, "ketika kau pulang, tolong sampaikan terima kasihku kepada Peter si bangsawan atas hadiah yang indah ini." 

Beberapa hari kemudian, Kucing Ajaib membawa seekor rusa merah ke rumahnya. Ia kemudian menyuruh Peter untuk menghadiahkannya kepada Raja. Peter membawa rusa itu ke Istana dan menyerahkannya ke koki istana sambil berkata, "Hadiah kecil bagi Raja". 

Raja terkejut saat Koki memberitahukan kedatangan Peter dan rusa merahnya. Ia langsung berjalan ke dapur dan melihat sendiri rusa merah itu.

"Anak muda, apakah kau tahu berapa harga rusa merah ini?" tanya Raja kepada Peter. 

"Saya tidak tahu, Yang Mulia," jawab Peter. 

"Harganya pasti mahal sekali. Rusa ini adalah binatang langka di sini," kata raja, sambil berdecak kagum, "siapa yang mengirim hadiah ini, Anak Muda?"

"Peter si bangsawan, Yang Mulia," kata Peter.

"Peter si bangsawan?" tanya Sang Raja kaget, "aku sangat penasaran dengan bangsawan ini. Bisakah kau tunjukkan aku di mana istananya berada?" 

"Maafkan saya, Yang Mulia," Peter menolak halus, "Peter si bangsawan melarang saya untuk menceritakan letak istananya." 

"Baiklah, mungkin dia orang yang pemalu," kata Raja, maklum.

Raja kemudian memberikan makanan, minuman, dan beberapa puluh keping emas kepada Peter. Semua itu sebagai ucapan terima kasih Raja atas hadiah yang diberikan oleh Peter si bangsawan. Beberapa hari kemudian, kucing ajaib itu kembali ke rumah Peter dengan membawa seekor Elk, sejenis rusa dengan badan besar dan tanduk lebar yang indah. Peter membawa Elk ke Istana.  Seperti sebelumnya, ia menyerahkannya kepada koki istana seraya berkata, "Hadiah kecil bagi Raja". 

Koki kerajaan bergegas memberitahu Raja perihal kedatangan Peter dan hadiah kecilnya. Raja berjalan tergopoh-gopoh ke dapur Istana dan diam mematung saat melihat Elk di hadapannya. 

"Apakah yang kulihat itu adalah sebuah Elk?" tanya Raja tidak percaya. 

"Benar, Yang Mulia. Itu adalah seekor Elk," jawab Peter dengan sopan. 

Raja menatap Elk itu dengan kagum. Ia lalu bertanya, "Bagaimana caramu mendapatkannya? Elk adalah binatang yang hampir punah di benua ini. Beberapa orang malah menganggapnya sebagai mitos!" 

"Saya tidak tahu, Yang Mulia. Majikan saya, Peter si bangsawan yang menyuruh saya untuk menghadiahkan Elk ini kepada Yang Mulia," Peter menjawab seperti biasanya.

"Jadi, ini adalah hadiah dari Peter si bangsawan?" tanya Raja kaget. 

"Benar, Yang Mulia."

"Apa kau bisa menceritakan di mana ia tinggal?" tanya Raja ingin tahu. 

"Saya tidak bisa memberitahukannya kepada Yang Mulia," Peter kembali menolak. 

"Baiklah, kalau ia tidak ingin diketahui. Aku mengundang majikanmu, Peter si bangsawan, datang ke istanaku. Jika ia tidak datang memenuhi undanganku, aku akan menyatakan perang dengannya," kata Raja tegas. 

Setelah kembali dari Istana, Peter menceritakan perintah Sang Raja kepada Kucing Ajaib. 

"Raja mengundang Peter si bangsawan untuk datang ke istananya. Jika kita tidak memenuhi undangannya, Raja akan menyatakan perang dengan kita," Peter berkata panik, "penyamaran kita akan terbongkar."

"Jangan khawatir, Peter. Aku akan kembali ke sini tiga hari lagi. Aku jamin Peter si bangsawan akan datang untuk memenuhi undangan Raja," Kucing Ajaib berkata yakin, sambil mengedipkan mata kepada Peter. 

Tiga hari kemudian Kucing Ajaib datang membawa sebuah kereta kuda lengkap dengan kusirnya. Selain itu, ia juga membawa pakaian-pakaian keemasan yang sangat indah.

"Peter, pakai pakaian ini dan pergilah ke Istana dengan menaiki kereta kuda yang kubawa," perintah Kucing Ajaib, "sesampainya kau di sana, jika Raja menceritakan tentang isi Istana, katakanlah jika kau punya yang lebih baik dari miliknya."

Setelah semuanya siap, Peter berangkat ke Istana Raja. Di sana, ia disambut dengan baik oleh Raja dan diajak berkeliling Istana. 

"Peter, apakah kau memerhatikan pintu gerbang istanaku? Itu adalah pintu gerbang terbaik di benua ini," Raja mulai bercerita. 

"Gerbang saya lebih baik, Yang Mulia," kata Peter. 

Raja tersenyum mendengar jawaban Peter. Ia lalu mengajak Peter ke ruangannya.

"Peter, lantai ruangan ini terbuat dari marmer utuh. Benar-benar sangat indah bukan?" tanya Raja.

"Lantai saya lebih baik, Yang Mulia," jawab Peter. 

Raja mulai kesal dengan jawaban Peter. Namun ia masih mengajak Peter berkeliling. Ia kemudian menunjukkan singgasananya kepada Peter. 

"Peter, singgasana ini terbuat dari emas dan bertahtakan batu-batu mulia. Sandarannya terbuat dari kulit anak sapi," Raja menjelaskan dengan penuh semangat. Peter kembali berkata, "Singgasana saya lebih baik, Yang Mulia." 

Kekesalan Raja pun memuncak. Ia lalu berkata, "Peter, kamu sombong sekali! Aku ingin tahu di mana istanamu berada dan membandingkan isinya dengan istanaku. Jika kau membohongiku, hidupmu tidak akan lama!" Saat Peter kembali pulang, ia kembali menceritakan semua hal yang terjadi di Istana kepada Kucing Ajaib. Ia benar-benar bingung harus melakukan apa. 

"Kucingku, bagaimana aku bisa mempunyai istana yang lebih baik dari milik Raja? Aku hanya mempunyai gubuk reyot ini saja," tanya Peter dengan wajah sedih. 

"Peter, aku punya sebuah rencana. Pertama, serahkan semua koin emas hadiah dari Raja. Kedua, datanglah ke Istana dan ajaklah Raja ke istanamu, eh, bakal istanamu. Aku akan berjalan mendahuluimu," kata Kucing Ajaib. 

Peter kemudian pergi ke Istana Raja dan mengajaknya pergi ke istananya. Ketika mereka memulai perjalanan, Kucing Ajaib sudah berjalan mendahului rombongan Peter. Saat Kucing Ajaib sampai di sebuah peternakan, ia melihat domba-domba berbulu indah yang sangat banyak. Kucing Ajaib bertanya kepada seorang lelaki tua di sana, "Siapa penggembala domba-domba ini?" 

"Aku," jawabnya. 

"Pak Tua, aku ingin meminta sedikit bantuanmu. Jika nanti rombongan Raja lewat di daerah ini dan bertanya siapa pemilik domba-domba ini, katakan padanya bahwa ini semua milik Peter si bangsawan," kata Kucing Ajaib, "ini ada beberapa keping emas sebagai upahmu." 

Tak lama kemudian, rombongan Raja dan Peter melewati peternakan domba itu. Raja kemudian bertanya kepada penggembala domba-domba itu, "Banyak sekali domba-domba di peternakan ini. Bulu-bulunya juga sangat bagus. Siapa pemilik domba-domba ini?"

"Peter si bangsawan," jawab penggembala itu. 

Saat Peter dan Raja berada di peternakan domba, Kucing Ajaib sudah sampai di sebuah peternakan sapi. Ia kemudian menemui pengurus peternakan dan berkata, "Sebentar lagi rombongan Raja akan melewati peternakan ini. Jika ia bertanya milik siapa sapi-sapi ini, maka jawablah milik Peter si bangsawan. Ini ada beberapa keping emas sebagai upahmu." 

Tak lama berselang, rombongan Raja dan Peter melewati peternakan sapi itu. Raja kemudian bertanya kepada pengurus peternakan, "Banyak sekali sapi di peternakan ini. Mereka juga sangat gemuk. Siapa pemilik sapi-sapi ini?" 

"Peter si bangsawan," jawab pengurus peternakan. 

Kini Kucing Ajaib tiba di sebuah istal kuda yang sangat besar. Ia mencari pengurus istal itu dan berkata, "Aku akan memberimu beberapa keping emas jika kau mau membantuku. Aku hanya ingin kau bilang kepada Raja bahwa kuda-kuda ini milik Peter si bangsawan." 

Ketika rombongan Raja dan Peter tiba di istal kuda yang sangat besar itu. Raja turun dari kereta dan mengagumi kuda-kuda yang ada di sana. Raja sungguh kagum dengan kuda-kuda itu, ia pun bertanya kepada pengurus istal, "Kuda-kuda ini sangat besar dan gagah. Siapa pemiliknya?"

"Peter si bangsawan," jawab pengurus istal. 

Setelah berkeliling, rombongan Raja dan Peter akhirnya sampai di sebuah kastil dengan tiga buah gerbang. Gerbang yang pertama terbuat dari timah, gerbang yang kedua terbuat dari perak, dan gerbang yang terakhir terbuat dari emas. Kastil itu juga memiliki lantai dan dinding yang terbuat dari pualam. Ketika matahari menyinarinya, kastil itu akan tampak sangat indah. Kucing Ajaib berbisik kepada Peter untuk mengatakan kepada Raja bahwa kastil tersebut adalah istananya. Ia juga menyuruh Peter untuk mengajak Raja berkeliling. Raja sungguh takjub melihat istana Peter. Ia mengagumi semua meja dan kursi yang terbuat dari emas dan bertahtakan batu mulia. Singgasana Peter juga jauh lebih indah dari pada singgasananya. 

"Peter, kau memiliki barang-barang yang lebih baik dibanding milikku. Belum lagi peternakan domba, sapi, dan kuda milikmu. Kau sangat kaya sekali," puji Raja. 

Peter tersenyum mendengar pujian Raja. Ia kemudian mengajak Raja makan malam dan menginap di kastilnya. Saat tengah malam, terdengar ketukan keras di pintu kastil. Rupanya, Troll pemilik kastil telah datang. 

"Siapa yang mengunci pintu kastilku!" teriaknya dengan suara serak. 

Kucing Ajaib keluar dari kastil dan berkata, "Troll, duduklah, aku akan menceritakan sebuah cerita yang mengasyikkan." 

Troll menuruti perintah Kucing Ajaib. Ia duduk dan mendengar kucing ajaib itu bercerita. Troll begitu senang dengan cerita Kucing Ajaib hingga tidak menyadari jika matahari akan segera terbit. Ketika matahari benar-benar terbit, tubuh Troll mulai terbakar. Ia berusaha masuk ke dalam kastilnya, tetapi usahanya sia-sia. Pintu kastil tetap tertutup dan Troll itu habis terbakar. Siang itu Kucing Ajaib menemui Peter. 

"Peter, sekarang hidupmu telah bahagia dan berkecukupan. Tugasku sudah selesai. Kini, saatnya aku meninggalkanmu selamanya. Tetapi sebelum aku meninggalkanmu, aku punya satu permintaan." 

"Apa permintaanmu, sahabatku?" tanya Peter. 

"Penggal kepalaku," jawab Kucing Ajaib. 

Peter terkejut dan spontan menggeleng cepat, "Apa kau sudah gila? Aku tidak dapat melakukan hal itu."

"Peter, lakukan permintaanku atau aku akan mencakar mukamu hingga cacat," ancam Kucing Ajaib.

Meski tidak tega, Peter memenggal kepala kucing ajaib itu. Tiba-tiba muncul asap putih yang cukup tebal. Seorang gadis yang amat cantik tampak berdiri anggun ketika asap putih itu mulai menghilang.

"Siapa kamu?" tanya Peter keheranan. 

"Aku adalah jelmaan dari Kucing Ajaib. Dahulu Troll, penghuni kastil ini, mengutukku menjadi seekor kucing. Orang tuamu yang mengetahui hal itu lalu memeliharaku. Aku bisa kembali ke wujud asliku karena sihir Troll hilang setelah dia mati," cerita gadis itu. 

Peter terpana melihat kecantikan gadis itu. Mereka kemudian mengurus kastil bersama-sama. Tak lama kemudian, Peter menikahi gadis itu dan mereka hidup bahagia selamanya. 

***

Indro selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus. Pinter yang membuatnya," kata Indro.

Indro menutup buku dan buku di taruh di meja. 

"Main game ah!" kata Indro.

Indro main game di Hp-nya dengan baik banget. Kasino di ruang tengah, ya asik nonton Tv dengan acara olahraga....Olimpiade Tokyo 2020.

"Bagus acara olahraga," kata Kasino.

Kasino terus nonton acara Tv tentang olahraga. Sedangkan Dono di kamarnya sedang sibuk mengetik di leptopnya.

MOTIVASI

Dono ada keperluan keluar rumah, ya menemui Rara di rumahnya.. Kisah cinta Dono dan Rara tetap berlanjut dengan baik. Di rumah Rara. Dono duduk di ruang makan dengan baik. Rara menyanjikan makanan di meja makan, ya makanan yang di buat Rara dari daging sapi. Keluarga Rara qurban daging sapi di hari raya Idul Adha. Dono menikmati makan buatan Rara dengan baik, ya di temanin dengan Raralah. Pokoknya rasanya sama aja ceritanya kaya orang pacaraan atau suami istrilah yang makan berduaan dengan penuh keromantisan. Kasino dan Indro, ya di rumah sedang nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, ya acara berita seputar ini dan itu......pokoknya menarik deh.

"Kasino. Hari ini hari anak ya?!" kata Indro.

"Beritanya kan memberitakan tentang hari anak. Presiden Joko Widodo sedang bicara dengan anak-anak lewat jaringan internet, online," kata Kasino.

"Memang beritanya begitu sih," kata Indro.

"Emmmm," kata Kasino.

"Aku ini sifatnya aja kekanak-kanakan tapi sebenarnya aku dewasa kan Kasino?!" kata Indro.

"Memang. Sifatnya Indro kekanak-kanakkan saja," kata Kasino yang tegas.

"Oooo iya Kasino. Boleh enggak bicara tentang cewek hari ini?!" kata Indro.

"Omongin cewek sih. Bolehlah. Indro dewasalah. Hal lumrah sih. Nama juga cowok. Kalau jomlo yang di omongin cewek. Kalau cowok sudah punya cewek tetap saja ngomongn cewek. Satu sudah di dapetin, ya maunya sih dua. Kaya lagu gitu 'Senang dalam hati beristri dua',...." kata Kasino.

"Yang aku mau omongin adalah artis siapa ya?!" kata Indro berpikir.

"Artis cewek yang baru kita tonton acara di Tv saja," saran Kasino.

"Gimana dengan Maria Vania?!" kata Indro.

"Ibunda Maria saja yang di bicarakan!" kata Kasino.

"Urusannya dengan agama Kristen itu mah. Semua umat Kristen menghormati Ibunda Maria dengan baik," kata Indro yang tegas.

"Jadi siapa yang mau di bicarakan?" tanya Kasino.

"Maria Vania saja!" kata Indro yang tegas.

"Maria Vania itu....cewek cantik dan juga seksi penampilannya," kata Kasino yang tegas.

"Kan kenyataan begitu sih. Jadi bentuk pujian gitu ya?!" kata Indro berpikir baik.

"Memang bentuk pujian. Kita kan cowok biasa memuji cewek cantik, ya sekedar saja. Kan niat berteman saja. Itu bisa di terima dengan baik," kata Kasino.

"Kasino. Kalau cewek yang jomlo, ya bisa di taklukin dengan cara pujian gitu," kata Indro.

"Memang bisalah. Dengan pujian, ya bisa mendapatkan cewek jomlo. Meluluhkan hatinya. Kalau cewek lugu. Kalau ceweknya punya prinsip hidup yang kuat, ya susahlah jugalah. Maksuknya itu pujian atau gombalan tidak mempan sama sekali," kata Kasino.

"Cewek zaman sekarang. Hidup tidak cukup makan cinta. Hidup itu yang terpenting materi. Cewek materalistis, ya wajarlah. Ingin hidup senang dari pada hidup susah. Makan sepiring berdua di gubuk derita mana mau kaya lagu saja!" kata Indro.

"Cewek zaman sekarang sudah pinter. Semua karena di pintarkan sama orang tua. Dari pada hidup menderita dengan cowok nggak jelas, ya cewek milih hidup sendiri dengan karir yang gemilang jadinya kaya rayalah," kata Kasino.

"Apalagi banyak cewek yang berhasil dengan karir yang bagus di bidang apapun, ya kaya raya. Jadinya termotivasilah cewek yang lain untuk maju dan sejajar dengan cowoklah," kata Indro.

"Ada seorang pengusaha, ya bisa di bilang teman sih. Orang itu selalu memberikan saran seperti ini 'Belajarlah memotivasi diri untuk menjadi orang pintar. Pasti bisa jadi sukses dan kaya raya. Semua data motivasi bisa di ambil dari orang-orang hebat di mana pun, ya jadi contoh dengan baik. Contoh yang paling tepat saja....Presiden Joko Widodo'....," kata Kasino.

"Memotivasi diri. Dari nol menjadi nilai seratus. Pinter, sukses dan juga kaya raya," kata Indro.

"Generasi sekarang ini berarti harus berlomba-lomba menjadi pinter dengan belajar agar di masa depan menjadi orang sukses dan kaya raya," kata Kasino.

"Belajarlah dengan baik maka akan menjadi orang yang pintar. Benarlah omongan Kasino," kata Indro menegaskan omongan Indro.

"Ya sudahlah tidak perlu membahas lebih jauh. Fokus nonton Tv!" kata Kasino.

"Iya," kata Indro.

Indro dan Kasino, ya fokus nonton Tv dengan baik lah. Dono masih di rumah Rara, ya urusan kisah cinta Dono dan Rara berjalan dengan baik gitu.

Thursday, July 22, 2021

RAJA DAN AHLI MEMUJI

Tono keluar dari rumahnya ke taman di depan rumah, ya membawa buku cerita. Tono duduk dengan santai di taman.

"Keadaan lingkungan yang tenang," kata Tono.

Tono  membuka bukunya, ya membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Dono :

Di Myanmar pada dahulu kala, hiduplah seorang raja yang hebat. Raja itu memiliki istana yang indah dan megah. Ia memerintah dengan adil sehingga disenangi rakyatnya. Kesuksesannya berhasil ia raih tidak hanya karena kehebatannya sendiri, tetapi juga karena bantuan penasihatnya yang cerdas dan bijaksana. Suatu hari, si penasihat mendengar bahwa seorang ahli memuji akan datang ke istana. Ia pun segera menyampaikan berita tersebut kepada sang raja.

“Mohon raja berhati-hati, sebab si ahli memuji itu sangat berbahaya,” ujar si penasihat. “Orang itu merupakan ahli memuji terbaik di seluruh negeri. Biasanya setelah memuji, ia akan meminta imbalan yang besar yang disampaikannya secara sangat halus sehingga orang yang dipuji tidak begitu sadar. Tahu-tahu orang yang dipuji itu sudah kehilangan harta dan tanah dalam jumlah yang sangat banyak.”

“Tenang saja, tidak usah khawatir,” jawab sang raja, mantap. “Aku terlalu pintar untuk di tipu. Tidak ada orang yang bisa menipuku. Jadi biarkan saja dia datang ke sini.”

Si penasihat mengangguk-angguk. Meski demikian, ia tetap merasa khawatir rajanya akan teperdaya oleh si ahli memuji, mengingat sebenarnya sang raja menyimpan bibit-bibit kesombongan. Namun, si penasihat segera menepis kekhawatiran itu. Ia mengisi pikirannya dengan harapan agar sang raja benar-benar bisa menghadapi si ahli memuji tanpa tertipu sama sekali.

Beberapa hari kemudian, si ahli memuji benar-benar datang ke istana. Setelah melalui pemeriksaan yang ketat, ia diizinkan untuk bertemu dengan raja. Si ahli memuji langsung bersimpuh tatkala bertemu dengan raja. Ia pun mulai melancarkan aksinya. Ia berkata dengan penuh perasaan, “Sungguh hamba merasa tersanjung setinggi langit karena diizinkan untuk bertemu dengan raja yang hebat dan rupawan seperti paduka. Sungguh beruntung hamba yang hina dan kotor ini bisa berada dalam satu ruangan dengan bangsawan paling mulia di jagat raya.”

“Hamba benar-benar dibutakan oleh sinar keagungan paduka, tuan raja,” si ahli memuji terus melancarkan puja-pujinya. 

Sementara sang raja hanya diam mendengarkan si ahli memuji berbicara. 

“Hamba dibutakan oleh karisma agung paduka, kemurahan hati paduka, keindahan jiwa paduka. Sungguh, paduka adalah seorang raja yang keistimewaannya tiada bandingannya….”

Si ahli memuji berbicara dengan nada yang indah dan berirama. Hal ini membuat siapa pun yang mendengarnya begitu terpesona. Hanya satu orang yang tetap waspada, yakni si penasihat yang memang sudah meneguhkan hati untuk tidak mempercayai segala perkataan si ahli memuji. Pada satu kesempatan, si ahli memuji berhenti sejenak untuk menarik napas. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan oleh si penasihat untuk mengingatkan raja.

“Mohon raja berhati-hati, ucapan dan pujiannya benar-benar dahsyat!”

“Tenang saja, tidak usah khawatir,” sahut sang raja sambil terus memandangi si ahli memuji. 

“Seperti yang pernah aku katakan kepadamu, aku tidak akan teperdaya oleh pujiannya. Nanti jika ia sudah melontarkan pujiannya, aku akan langsung mengusirnya dan melarangnya untuk kembali ke sini. Sejauh ini yang ia katakan hanyalah kebenaran.”

Si penasihat tercengang. Rupanya sang raja sudah jatuh ke dalam tipu daya si ahli memuji, dan hal ini tidak disadari oleh raja. Si penasihat cuma bisa geleng-geleng kepala. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan karena sang raja terus menyangkal nasihat-nasihatnya saat ia sedang berada dalam pengaruh si ahli memuji.

Di akhir pertemuan itu, raja memberikan tanah yang sangat luas dan uang yang sangat banyak kepada si ahli memuji. Raja kehilangan hampir separuh kekayaannya. Beberapa saat setelah ahli memuji pergi, ia pun sadar bahwa ia telah tertipu. Ia sangat menyesal karena tidak berhati-hati seperti yang sudah sering dinasihatkan oleh sang penasihat.

“Hanya orang yang rendah hati yang bisa lolos dari tipu daya si ahli memuji,” gumam si penasihat. “Dan sepertinya raja bukan orang yang seperti itu….”

***

Tono berhenti membaca bukunya.

"Cerita yang bagus berasal dari Myanmar tertulis di buku," kata Tono.

Tono membaca pesan moral yang di tulis di buku "Pujian bisa membuat kita lengah dan kehilangan kewaspadaan. Karena itu, bersikaplah sewajarnya dan tetap rendah hati dalam menanggapi pujian. Senang boleh, tapi jangan berlebihan."

Tono memahami pesan moral yang di tulis di buku dan buku di tutup sama Tono. 

"Main game aja!" kata Tono.

Tono beranjak dari duduknya di taman depan rumah, ya masuk ke dalam rumah. Sampai di ruang tengah, ya buku di taruh di rak buku dan Tono segera main game PlayStationnya dengan baik.

HARTA TERPENDAM

Adit selesai bermain dengan Sofo, ya main sepedah keliling komplek perumahan di lingkungan tepat tinggal keduanya. Adit duduk santai di ruang tamu. Adit mengambil buku di meja dan di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Adit :

Sore ini, Signor Bruno pergi mengunjungi rumah kawannya, Gianni. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Mereka pun membicarakan banyak hal, mulai dari cuaca, pangan, hingga keluarga. Mereka saling tertawa dengan riang. Namun, tiba-tiba wajah Signor Bruno terlihat cemas. Gianni menjadi penasaran.

“Signor Bruno, ada apa? Sepertinya kau mengkhawatirkan sesuatu,” tanya Gianni.

“Aku memikirkan cucuku, Mario. Dia anak yang baik, tapi pemalas. Sepanjang hari, ia hanya berbaring di ranjang gantungnya dan tidak mau bekerja sama sekali. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan kepadanya,” ujar Signor.

Gianni berpikir sejenak. Ia lalu memiliki sebuah ide. Ia pun membisikkan idenya ke Signor. Seketika, wajah Signor berubah senang. Ia setuju dengan ide tersebut. Keesokan harinya, Gianni pergi menemui Mario yang sedang tiduran di ranjang gantungnya. Ia menyapa Mario dan memberikan sebuah kertas kusut kepadanya.

“Aku menemukan peta tua ini, tapi sulit untuk dibaca. Sepertinya peta ini menunjukkan bahwa ada 50 keping emas yang terkubur di ladang gersang sebelah sana,” kata Gianni.

Mendengar hal itu, Mario langsung beranjak dari ranjangnya. Ia pergi ke ladang yang gersang dan penuh dengan rumput liar. Gianni lalu menyuruhnya untuk menyingkirkan semua rumput liar, agar bisa menemukan harta itu. Mario pun bergegas ke rumah untuk mengambil peralatan pertanian. Ia membersihkan semua rumput liar itu. Kemudian mencangkuli tanahnya.

Tanah itu menjadi berdebu saat dicangkul. Mario pun menyirami tanah itu dengan air. Melihat ada pupuk kandang, Mario mendapat ide. Ia menyebarkan pupuk kandang itu di ladang, agar tidak ada orang yang bisa mengambil hartanya. Mario sudah menggali seluruh ladang, namun ia sama sekali tidak menemukan emas. Karena kelelahan, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke rumah.

“Mungkin aku tidak membaca peta itu dengan benar. Aku akan pergi selama beberapa hari untuk mencari orang yang dapat membaca peta ini. Jadi, kau tunggulah kabar dariku,” kata Gianni tiba-tiba.

Mario pun menunggu untuk waktu yang cukup lama. Hampir satu bulan lebih ia menunggu. Akhirnya, Gianni datang. Ia meminta Mario untuk ke ladang bersama dengan kakeknya, Signor. Alangkah terkejutnya Mario ketika melihat ladangnya sudah tertutup oleh deretan daun selada.

“Ini semua berkat kerja kerasmu yang telah membersihkan, menyiram, memupuk, dan menggali. Aku hanya menaburkan benih saja bersama kakekmu,” kata Gianni.

“Harga semua selada ini adalah 50 keping emas,” timpal Signor sambil tertawa.

Mario pun baru menyadari, bahwa 50 keping emas itu ternyata bisa ia dapatkan jika ia mau bekerja keras. Sejak saat itu, ia tidak malas lagi.

***

Adit berhenti baca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Italia, ya di tulis di buku," kata Adit.

Adit membaca pesan moral yang di tulis di buku "Jangan menjadi anak yang malas, ya. Bekerja keraslah dan belajar yang rajin agar kamu memperoleh apa yang kamu inginkan."

Adit memahami pesan moral yang di tulis di buku. Adit menutup bukunya dan buku di taruh di meja.

"Belajar ah!" kata Adit. 

Adit masuk ke kamarnya untuk belajar, ya mengulang pelajaran yang di berikan guru di bangku sekolah agar diri Adit jadi pintar berkat dari usahanya.

LAKSAMANA HANG TUAH

Kasino dan Indro di ruang tengah sedang nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, ya film yang bagus banget......film Upin dan Ipin. Dono selesai dengan kerjaanya, ya keluar dari kamarnya menuju ruang tamu. Dono duduk dengan baik di ruang tamu dan mengambil bukunya dan membuka bukunya.

"Hari ini aku membaca cerita tentang Laksamana Hang Tuah. Asal cerita dari Malaysia," kata Dono.

Dono membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Dono :

Pada zaman dahulu kala, di kenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Keti­ka masih anak-anak, ia be­­ser­ta ke­­dua orangtuanya, Hang Mah­mud dan Dang Merdu, menetap di Pu­lau Bintan. Pulau ini berada di perairan Riau. Rajanya ada­lah Sang Maniaka, putra Sang Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang. Hang Mahmud berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang ter­kemuka. Saat berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Sela­tan disertai empat sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Le­kir, dan Hang Lekiu. Dalam per­jalanan, me­reka ber­­­kali-kali diganggu oleh ge­rom­­bol­­­­an lanun. Dengan segala ke­­­be­ranian­nya, Hang Tuah beserta para sa­ha­­bat­nya mam­­­­­­­­­­pu me­ngalahkan ge­­­rom­­­bolan itu. Ka­­bar terse­but terdengar sam­pai ke te­linga Bendahara Pa­duka Raja Bintan, yang sangat kagum ter­hadap ke­beranian mereka.

Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pe­­ngamuk yang menyerang Tuan Ben­da­­­­hara. Tuan Bendahara kemudian meng­­ang­kat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Ben­­­dahara kemudian melaporkan tentang ke­­­­he­­­­­­bat­­­­­an mereka kepada Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa ka­gum dan juga mengangkat mereka se­­­ba­gai anak angkatnya. Beberapa tahun kemudian, Ba­ginda Ra­ja berencana mencari tempat baru seba­gai pusat kerajaan. Ia beserta pung­gawa ke­rajaan, termasuk Hang Tuah dan para sa­­habat­nya, melan­cong ke seki­tar Selat Me­­­laka dan Selat Singapura. Rom­­bong­an akhir­­­nya sing­gah di Pu­lau Ledang. Di sana rom­­bong­­an me­­lihat seekor pelanduk (kancil) pu­tih yang ternyata sulit untuk ditangkap.

Menurut petuah orang tua-tua, jika me­­­­nemui pelanduk putih di hutan maka tem­pat itu bagus di buat negeri. Akhirnya di sana di bangun sebuah negeri dan dinama­kan Melaka, se­suai nama pohon Melaka yang ditemukan di tempat itu. Setelah beberapa lama memerintah, Ba­gin­da Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun Teja, putri tung­gal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu me­­no­lak pinangan Bagin­da Raja. Akhir­nya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu putri tunggal Seri Betara Maja­pahit, raja besar di tanah Jawa.

Sehari menjelang pernikahan, di ista­na Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Ta­ming Sari, prajurit Majapahit yang su­dah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba meng­­­­­­amuk. Mengetahui keadaan itu, Hang Tuah kemu­dian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik de­ngan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris ber­tukar, Hang Tuah ke­mu­­dian berkali-kali me­­nye­rang Taming Sari. Taming Sari baru ka­lah setelah keris sakti yang dipegang Hang Tuah ter­tikam ke tubuhnya. Hang Tuah ke­mu­dian diberi gelar Laksamana dan dihadiahi keris Taming Sari.

Baginda Raja bersama istri dan rom­­­­­­bong­annya kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan tenteram. Hang Tuah menjadi laksa­mana yang amat setia kepada raja Melaka dan amat disayang serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah telah berbuat tidak sopan de­­ngan seorang dayang istana. Pe­­nyebar fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri terhadap Hang Tuah. Bagin­da Raja marah mendengar kabar itu. Ia me­me­­­rintahkan Bendahara Paduka Raja agar mengusir Hang Tuah. Tuan Benda­ha­ra sebenarnya enggan melaksana­­­kan pe­­rintah Baginda Raja karena ia menge­ta­hui Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Ben­da­hara menyarankan agar Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.

Di Indrapura, Hang Tuah mengenal se­­­orang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna kemu­dian menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah me­­minta Dang Ratna untuk menyampai­­kan pesan kepada Tun Teja agar mau me­­nya­yangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja mau menyayangi Hang Tuah. Hu­­­­­­­­­bung­­an keduanya kemudian menjadi sangat akrab. Suatu waktu, Indrapura kedatangan pe­rahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun Bija Sura. Mereka me­­minta Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna juga ikut bersama rombongan.

Sesampainya di Melaka, Hang Tuah ke­mu­­­dian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah berkata, “Mohon maaf, Tuanku, se­lama ini hamba tinggal di Indrapura. Ham­ba kembali untuk tetap mengabdi se­­­tia ke­pada Baginda.” 

Tun Ratna Diraja me­la­por­­­­kan kepada Baginda Raja bahwa Hang Tuah da­tang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja.

Sing­­kat ceri­ta, Tun Teja akhirnya ber­­­­sedia men­­jadi istri ke­dua Baginda Raja meski­pun se­benarnya ia menya­yangi Hang Tuah. Hang Tuah ke­mu­di­an menjabat lagi se­­bagai Laksamana Mela­ka, yang sangat setia dan disayang raja. Hang Tuah kembali kena fitnah se­te­­lah bertahun-tahun menetap di Melaka. Mende­­­­ngar fitnah itu, kali ini Baginda Ra­­ja sa­­ngat marah dan memerintahkan Tuan Ben­­dahara agar membunuh Hang Tuah. Tuan Ben­­dahara tidak tega mem­bu­­­­­nuh Hang Tuah dan memintanya agar me­­­ng­­­ungsi ke Hulu Melaka.

Hang Tuah me­nitipkan keris Ta­ming Sari ke Tuan Ben­­da­­­­­hara agar di­­se­rahkan pada Baginda Raja. Hang Jebat kemudian menggantikan Hang Tuah seba­gai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan kepada Hang Jebat. Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia ber­tindak sewenang-wenang. Jebat juga se­­ring bertindak tidak sopan ter­hadap para pem­besar kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang telah menasihati­nya. Na­mun, Hang Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah.

Baginda Raja men­jadi gusar melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang mam­pu mengalahkan Hang Jebat. Baginda lalu ter­ingat kepada Hang Tuah. Tuan Ben­­da­hara memberitahu kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, se­­­be­­na­r­nya Hang Tuah masih hidup. Ia me­­ngungsi ke Hulu Melaka.” Atas perintah Ba­­gin­­­da Ra­ja, Hang Tuah bersedia ke Melaka.

Hang Tuah menghadap Bagin­da Raja dan menyata­­­kan kesiapannya me­lawan Hang Jebat. Hang Tuah ke­mu­dian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara dua sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan dengan keris itu, Hang Tuah dapat me­nga­­lah­kan Hang Jebat. Ia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali diangkat sebagai Lak­sa­mana Melaka. Sete­lah itu, Melaka kem­bali tenteram.

Laksamana Hang Tuah sering melawat ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh kera­jaan Me­laka di seluruh dunia. Suatu saat Baginda Raja mengirim utus­an dagang ke Kerajaan Bijaya Naga­ram di India, yang dipimpin oleh Hang Tuah. Setelah sampai di India, rombongan me­­­­­­­lanjut­­­­kan pelayaran ke negeri Cina. Di pe­­labuh­­an Cina, rombongan Hang Tuah berselisih de­ngan orang-orang Portugis, karena mereka sangat sombong, tidak te­rima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di sam­ping kapal Portugis.

Setelah mengha­­dap Raja Cina, rombongan Hang Tuah ke­­­­­­­­mu­­­­di­­an me­lanjut­­kan perjalan­an­nya kemba­li ke Me­laka. Di tengah per­jalanan, me­­­re­­ka di­se­rang oleh perahu-perahu Por­­­tu­­gis. Hang Tuah mampu meng­­­atasi se­­rang­­­an me­re­­ka. Kap­ten dan se­o­rang pe­r­­wi­­ra Por­­­tu­gis melari­kan diri ke Ma­nila, Fili­­pi­­na. Rom­­bong­­an Hang Tuah akhir­­nya tiba di Melaka dengan selamat.

Suatu hari raja Melaka beserta ke­lu­arga­nya berwisata ke Singapura diiringi Lak­sa­mana Hang Tuah dan Bendahara Pa­­du­­ka Raja dengan berbagai perahu ke­­be­sar­­an. Ketika sampai di Selat Si­ngapu­ra Raja Syah Alam melihat seekor ikan ber­si­sik emas ber­­­matakan mutu manikam di se­kitar pe­­­­ra­hu Syah Alam. Ketika mene­ngok ke per­­­mukaan air, mahkota Raja ter­jatuh ke dalam laut.

Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil mahkota tersebut. Ia ber­­hasil mengambil mahkota itu tetapi ketika hampir tiba di perahu, seekor buaya putih besar menyambarnya sehingga mah­ko­­ta beserta kerisnya terjatuh lagi ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar la­ut­­­an mengejar buaya tersebut. Tetapi ter­­­­­nyata mah­kota beserta kerisnya tetap ti­dak di­te­mu­kan. Sejak kehilangan mah­ko­ta dan keris­­ Taming Sari, Raja dan Hang Tuah men­jadi pe­murung dan sering sakit-sakitan.

Sementara itu, Gubernur Portugis di Ma­nila sangat marah mendengar laporan ke­­kalahan dari perwiranya yang berhasil me­­­lari­kan diri. Setelah beberapa bulan me­­l­aku­kan persiapan, angkatan perang Por­tugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan ter­hadap Me­­­laka yang menyebabkan ba­nyak prajurit Melaka kewalahan. Pada saat itu, Hang Tuah sedang sakit keras.

Baginda Raja memerintahkan Tuan Ben­da­­hara untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit, Hang Tuah tetap ber­se­­­dia ikut memimpin pasukan me­lawan Por­­t­ugis. Kata Hang Tuah kepada Bagin­­da Raja, “Apa yang kita tunggu? Kita se­cepat­nya harus mengusir mereka dari sini.”

Dengan keteguhannya, Hang Tuah ma­­sih mampu menyerang musuh, baik de­ngan pedang maupun meriam. Namun, se­­­buah peluru mesiu Portugis berhasil meng­­­­hantam Hang Tuah. Ia terlempar se­jauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasil diselamatkan dan kemudian di­bawa de­ngan perahu Mendam Birahi kem­bali ke Melaka. Seluruh perahu pe­tinggi dan pasukan Mela­ka juga kembali ke keraja­an. Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pe­mim­pinnya yang terluka. Peperangan ber­akhir tanpa ada yang menang dan yang kalah.

Setelah sembuh, Hang Tuah tidak lagi men­­­­­jabat sebagai Laksamana Melaka kare­na sudah semakin tua. Ia menjalani hidup­nya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka. Baginda Raja juga sudah tidak lagi memimpin, ia diganti­kan oleh anaknya, Putri Gunung Ledang.

***

Dono selesai membaca bukunya.

"Bagus cerita asal dari Malaysia," kata Dono.

Dono menutup bukunya dan menaruh buku di meja. Dono beranjak duduknya di ruang tamu ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama Kasino dan Indro. Ya Kasino dan Indro masih asik nonton film Upin dan Ipin karena memang bagus sih. Dono duduk bersama Kasino dan Indro, ya asik nonton film Upin dan Ipin.

FAKTA ATAU MITOS

Dono di ruang tamu sedang baca bukunya. Kasino dan Indro duduk di ruang tengah, ya nonton Tv. Acara Tv yang di tonton, ya berita.

"Kasino," kata Indro.

"Apa?" kata Kasino.

"PPKM di perpanjang untuk menanggulangi covid-19," kata Indro.

"Beritanya seperti itukan yang kita tonton di Tv," kata Kasino.

"Sebenarnya benar enggak sih....covid-19 itu ada?" kata Indro berpikir dengan panjang.

"Meragukan tentang pemberitaan ini dan itu di Tv?" kata Kasino.

"Iya sih. Nama juga aku cuma penonton yang baik. Tidak menemukan bukti tentang covid-19," kata Indro.

"Kalau Indro menemukan tentang itu penyakit covid-19....berarti Indro kerjaannya Dokter," kata Kasino.

"Aku memang kerjaannya bukan Dokter sih. Ya sudahlah. Aku akui saja....covid-19 itu ada, ya mewabah di mana-mana. Maka itu perlu di tanggulangi dengan baik. Dengan cara manusia harus di vaksin semuanya!" kata Indro.

"Emmmm," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus menonton Tv dengan baik.

"Acara Tv tentang kesehatan, ya ada Dokternya sih. Selalu membahas tentang Fakta dan Mitos," kata Indro.

"Di Youtobe juga sama, ya membahas tentang Fakta dan Mitos," kata Kasino.

"Trennya sekarang ini ternyata membahas tentang Fakta dan Mitos," kata Indro.

"Emmmm," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus menonton Tv dengan baik.

"Kalau pake kemampuan Dono yang bisa mendengarkan Roh. Maka bisa tahu tentang kebenaran....tentang penyakit covid-19, ya ada atau tidak gitu. Gimana Kasino?!" kata Indro.

"Dono kan males membahas tentang Roh. Jadi tidak boleh di bahas!" kata Kasino.

"Kalau begitu aku hanya harus mengikuti keadaan saja. Sebagai penonton yang baik saja!" kata Indro.

"Lebih baik begitu kan. Ya sudahlah tidak perlu di bahas lagi. Fokus nonton Tv!" kata Kasino.

"Iya," kata Indro.

Indro dan Kasino fokus nonton Tv. Acara Tv yang di tonton tetap masih berita ini dan itu...pokoknya menarik di tonton gitu. Dono masih asik baca bukunya.

KUCING BERSEPATU BOT

Amar di ruang tengah, ya selesai nonton film kartun di Tv. Amar mengambil buku di meja, ya buku yang Amar pinjam dari temannya Irwan. Amar membaca buku tersebut dengan baik.

Isi buku yang di baca Amar :

Di sebuah tempat bernama Provence, tinggalah seorang pemilik penggilingan padi. Ia memiliki tiga anak laki-laki. Sebelum ia meninggal, ia mewariskan penggilingannya untuk putra sulungnya, seekor keledai untuk putra kedua, dan seekor kucing untuk putra bungsunya.

“Kedua kakakku akan hidup enak dengan warisan itu,sedangkan aku? Aku pasti akan hidup susah dengan seekor kucing yang tak berguna ini,” gerutu si bungsu, kesal.

“Oh tuanku, janganlah kau bersedih. Aku janji, aku akan berguna untukmu. Percayalah kepadaku,” kata si kucing, menghibur si bungsu.

“Terserah kau saja, yang pasti jangan sampai kau menyusahkanku!” seru si bungsu, memperingatkan kucingnya.

“Tentu saja, tuanku. Aku akan berguna jika kau mau memberiku sebuah karung dan sepasang sepatu bot. Kau pasti akan senang nantinya,” ujar Si kucing.

“Baiklah, aku akan menuruti keinginan konyolmu itu,” gerutu si bungsu, lalu pergi untuk membeli sepatu bot dan sebuah karung.

Beberapa saat kemudian, si kucing sudah mengenakan sepatu botnya sambil membawa karung. Setelah pamit dengan tuannya, ia menuju ke sebuah bukit rumput. Dia meletakkan dedaunan segar di dalam karung dan membiarkan karung itu terbuka. Ia lalu bersembunyi di sebuah semak-semak. Tak lama kemudian, seekor kelinci muncul. Olala, kelinci itu masuk ke dalam karung rumput itu. Dengan perasaan gembira, kucing itu segera mengikat karung itu, kemudian pergi membawanya ke istana.

“Yang Mulia, saya membawakan sebuah hadiah dari tuanku, Marquis de Carabas. Semoga engkau menyukainya,” ucap si kucing sambil memberikan hasil tangkapannya.

Raja pun sangat senang mendapatkan hadiah itu. Hal tersebut berlangsung selama satu minggu. Kucing itu selalu membawa hasil tangkapan untuk raja. Ia juga selalu mengatakan bahwa hadiah itu adalah pemberian tuannya yang bernama Marquis de Carabas. Tentu saja raja merasa gembira.

“Izinkan aku untuk menemui tuanmu besok. Aku sangat penasaran dengan tuanmu yang bernama Marquis de Carabas itu. Aku pun ingin mengucapkan terima kasih atas hadiahnya. Aku akan mengajak putriku ikut denganku,” ujar raja kepada kucing.

Si kucing pun sangat senang. Ia tak menyangka jika rencananya akan berhasil. Ia sudah tidak sabar menunggu esok hari. Ia ingin segera melihat wajah bahagia tuannya. Wah, ia kucing yang baik, bukan?. Keesokan paginya, si kucing membangunkan si bungsu. Namun, si bungsu masih tidur dengan pulas. Ia juga masih enggan membuka matanya,

“Ayolah, tuanku! Cepat bangun! Kalau tidak, kau pasti akan terlambat!” seru si kucing.

Si bungsu tetap tidak mau membuka matanya. Rupanya, hari ini raja akan datang mengunjungi tuan si kucing. Si kucing pun tidak menyerah begitu saja untuk membawa tuannya. Dengan susah payah, ia menyeret tuannya keluar. Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di tepi danau. Si bungsu terkejut mendapati kucingnya membawanya ke tepi danau. Tak hanya itu, si kucing juga menyuruhnya untuk melepaskan pakaiannya dan melompat ke dalam air.

“Bila kau mendengar suara kereta kuda, berteriaklah dan mencepuk-cepuk. Berpura-puralah kau tidak bisa berenang,” perintah si kucing.

Si bungsu pun melakukan semuanya, meskipun ia sendiri masih sangat bingung.

“Tolong, tuanku Marquis de Carabas tenggelam!” seru si kucing.

Raja yang mendengar teriakan si kucing, langsung memerintahkan pelayannya untuk menolong si bungsu. Kemudian, si bungsu mendapatkan baju ganti yang sangat bagus. Raja pun mempersilakannya untuk naik ke kereta kuda. Olala, raja terlihat sangat senang karena akhirnya ia bertemu dengan Marquis de Cara-bas.

Putri raja pun tak kalah senang. Sepertinya ia terpesona dengan Marquis de Carabas. Setelah lama berbincang-bincang, raja memutuskan untuk membawa Marquis de Carabas ke istananya. Ia lalu menceritakan semua perbuatan si kucing.

“Kucingku sengaja merencanakan semuanya agar aku bisa tinggal di istana. Sungguh, ia sangat baik,” batin si bungsu.

Beberapa hari kemudian, raja menikahkan putrinya dengan si bungsu. Alangkah bahagianya si bungsu. Ia pun sangat berterima kasih kepada si kucing. Sementara itu, kedua kakak si bungsu turut berbahagia atas kesuksesan adik mereka menjadi seorang pangeran.

***

Amar berhenti membaca bukunya.

"Cerita yang bagus, ya asal cerita asalnya dari Prancis di tulis di buku," kata Amar.

Amar membaca hikmah dari cerita Kucing Bersepatu Bot "Sayangilah binatang. Agar binatang itu juga menyayangi kita. Membuat teman selalu bahagia itu menyenangkan. Jadi berbuatlah kebaikan dengan agar temanmu senang!"

Amar memahami hikmah dari cerita yang baru ia baca. Amar menutup buku.

"Belajar ah. Dengan belajar aku menjadi anak yang pintar," kata Amar.

Amar membawa beranjak dari duduknya di ruang tengah, ya membawa bukunya. Amar ke kamarnya untuk belajarlah, ya mengulas pelajaran yang telah di berikan padanya di bangku sekolah sama guru.

MARSA DAN BERUANG

Ziva ingin main ke rumah Lyodra. Ziva pun izin sama Ibu.

"Ibu. Ziva main ke rumah Lyodra," kata Ziva.

"Pulang jangan ke malaman ya!" kata Ibu.

"Iya Ibu," kata Ziva.

Ziva telah dapet izin main, ya segera keluar dari rumah. Ziva berjalan menuju rumah Lyodra. Selang berapa saat. Ziva sampai di rumah Lyodra. Ya Lyodra ada di rumah sih, jadi menyuruh Ziva masuk di rumah. Keduanya pun sepakat untuk bermain bonekaan sampai belajar bernyanyi dengan karokean gitu karena cita-cita keduanya ingin menjadi penyanyi terkenal gitu yang di puja-puja banyak penggemar. Sampai waktunya istirahat dari bernyanyi di karokean. Ziva mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Ziva :

Di sebuah desa, ada seorang kakek yang tinggal bersama cucunya. Cucunya bernama Masha. Suatu hari, Masha ingin pergi ke hutan untuk mencari jamur. 

“Jangan pergi terlalu lama. Cepatlah pulang,” pesan si kakek.

Masha terus berlari ke hutan tanpa mempedulikan ucapan si kakek. Sesampainya di hutan, Masha memetik jamur. Karena terlalu asyik berjalan memetik jamur, Masha tersesat. Ketika sedang mencari jalan pulang, Masha melihat sebuah gubuk. Dia pun segera membuka pintu gubuk itu. Karena kelelahan, Masha pun tertidur. Pondok itu sebenarnya milik beruang. Ketika beruang pulang, dia terkejut melihat ada manusia di rumahnya.

“Sejak hari ini kau harus bekerja untukku. Kau harus membersihkan rumah, memasak, dan mencuci,” kata beruang. 

Masha pun menurut. Suatu hari, Masha membuat sebuah kue. 

“Beruang yang baik, aku ingin sekali memberikan kue ini untuk kakekku,” kata Masha.

“Kau tidak boleh pergi. Biar aku saja yang akan mengantarkannya,” kata beruang.

“Baiklah, tapi kau harus janji tidak akan memakan kue ini. Aku akan mengawasimu dari atas pohon,” kata Masha.

Akhirnya, beruang pergi ke desa. Diam-diam, Masha bersembunyi di dalam keranjang kue. Di tengah perjalanan, beruang merasa lapar. Dia berencana untuk memakan sedikit kue yang dibawanya. 

Ketika akan membuka keranjang, Masha langsung berteriak, “Kau tidak boleh makan kuenya! Aku mengawasimu, Beruang!”

Beruang pun tidak jadi memakan kue itu. Dia melanjutkan perjalanan ke desa. Sesampainya di depan rumah Masha, seekor anjing menyerang beruang itu. Mendengar keributan, kakek Masha segera keluar rumah. Melihat hal itu, Masha pun segera keluar dari keranjang. Dia berlari memeluk kakeknya. Masha menangis  sambil meminta maaf karena tidak mendengarkan nasihat kakek.

“Syukurlah kamu sudah kembali," kata kakek sambil memeluk Masha.

Sejak saat itu, Masha menuruti nasihat kakeknya dan lebih berhati-hati lagi kalau mencari jamur di hutan.

***

Ziva berhenti baca bukunya.

"Cerita yang bagus. Di tulis di buku dari Rusia," kata Ziva.

Ziva terus membaca pesan moral yang di tulis di buku "Patuh Nasihat Orangtua. Patuhilah nasihat orangtua. Saat bermain, jangan pergi terlalu jauh. Jika sudah waktunya pulang, maka kalian harus cepat pulang."

Ziva memahami buku yang ia baca dengan baik dan buku di taruh di meja. Hari sudah sore, ya menjelang magrib.

"Aku keasikan main. Aku pulang ke rumah bisa kemalaman ini mah," kata Ziva.

Ziva pamitan sama Lyodra untuk pulang. Ya di persilakan sama Lyodra. Ziva segera berjalan cepat menuju rumahnya. Sedang Lyodra membereskan semuanya setelah bermain agar ibu tidak marah. Ziva berhenti berjalan. Dono yang berada di atas motor melihat Ziva dan menghampirinya.

"Ziva naik motor. Mas anter pulang ke rumah!" kata Dono menawarkan dirinya jadi ojek untuk Ziva.

"Iya. Mas Dono," kata Ziva.

Ziva naik motor, ya duduk di belakanglah. Dono membawa motor dengan baik. Selang beberapa saat sampai di rumah Ziva.

"Terimakasih Mas Dono," kata Ziva.

"Iya," kata Dono.

Dono segera meninggalkan tempat tersebut, ya membawa motornya dengan baik menuju arah pulang ke rumah. Ziva, ya masuk rumah dan segera berbenah diri dengan baik. Setelah itu. Nonton Tv bersama ibu di ruang tengah. Ayah masih sibuk dengan kerjaanya di ruang kerja.

Wednesday, July 21, 2021

KISAH MAYRAH, ANGIN YANG MENGUSIR MUSIM DINGIN

Selesai olahraga di depan rumah, ya Tyson duduk santailah.

"Tubuhku rasanya bugar setelah olahraga," kata Tyson.

Tyson minum-minuman berenergi.

"Seger minuman berenergi ini. Stamina ku kembali," kata Tyson.

Tyson mengambil buku di meja dan di bacanya dengan baik.

Isi buku di baca Tyson :

Saat musim dingin, semua hewan bersembunyi di sarangnya masing-masing. Iguana bersembunyi di dalam pasir. Ular bersembunyi di celah batu. Elang bersembunyi di dalam tebing. Mereka semua tetap di tempat persembunyiannya sampai Mayrah datang.

Mayrah adalah angin yang tugasnya mengusir musim dingin. Kedatangan Mayrah selalu ditemani hujan deras, petir, dan angin ribut. Jika ada hujan deras petir, dan angin ribut, iguana tahu kalau sebentar lagi musim dingin akan berakhir.

Meskipun begitu, iguana tetap tidak akan keluar dari pasir. Dia baru akan keluar jika sudah terdengar kicauan burung kutilang. Jika burung kutilang sudah ramai berkicau, itu tandanya musim dingin benar-benar sudah pergi. Maka, iguana akan mulai membuka mata dan keluar dari pasir.

Dari atas tebing, elang melihat iguana sudah keluar dari pasir. Inilah tandanya musim dingin sudah pergi. Kini, saatnya untuk keluar dari sarang dan pergi berburu lagi. Mayrah terus berhembus pelan. Dia melewati gunung, sungai, padang rumput, dan hutan.

Mayrah mencairkan air sungai yang membeku. Satu per satu bunga-bunga mulai mekar. Lebah pun juga keluar untuk menghisap sari bunga. Setelah Mayrah mengusir musim dingin, datanglah Yhi si matahari. Kedatangan Yhi menandakan musim semi dan musim panas telah tiba. Mayrah baru akan datang lagi jika musim dingin akan berlalu. Begitulah kegiatan mereka setiap tahun.

***

Tyson berhenti baca bukunya.

"Bagus cerita yang berasal dari Australia," kata Tyson.

Tyson membaca pesan moral yang di tulis di buku "Hidup teratur lakukan kegiatanmu secara teratur, sesuai jadwal agar hidupmu mudah dan terencana dengan baik."

Tyson memahami pesan moral yang di tulis di buku tersebut, ya buku pun di tutup dan di taruh di meja. Tryon beranjak dari duduknya di depan rumah ke dalam rumah untuk berbenah diri. Setelah berbenah diri. Tyson nonton Tv di ruang tengah.

"Apa yang di tulis di buku tentang hidup teratur....benar juga. Hidupku mudah dan terencana dengan baik. Pinter yang membuat cerita di buku," kata Tyson.

Tyson terus nonton Tv dengan acara yang di tonton berita yang menayangkan keadaan negara Australia.

PETANI DAN BOGGART

Surya selesai main game di PlayStation dengan adiknya Dika di ruang tengah. Surya ke ruang tamu, ya duduk di ruang tamu, ya sambil makan kue dan minum air aqua gelas. Dika masih di ruang tengah, ya main robot-robotan transformer. Surya mengambil buku di bawah meja dan segera di baca dengan baik. 

Isi baca buku yang di baca Surya :

Dahulu, ada seorang petani yang memiliki sebidang tanah. Tanah itu dipenuhi Boggart. Boggart adalah makhluk pendek, gemuk, berbulu, dan bau. Ketika petani hendak membajak tanah, Boggart marah. Boggart telah menghuni tanah itu selama ratusan tahun. Setelah berunding, akhirnya petani dan Boggart sepakat membajak tanah bersama-sama. Hasilnya pun nanti akan dibagi dua. Petani itu ternyata serakah. Dia ingin mendapat hasil panen lebih banyak. Petani pun mencari cara untuk berbuat curang pada Boggart.

“Kau ingin hasil panen yang mana? Bagian atas atau bagian bawah?” tanya petani.

“Aku ingin bagian bawah,” jawab Boggart.

Petani lalu menanam gandum. Saat panen tiba, petani mendapatkan biji gandum. Sementara itu, Boggart hanya mendapat batang dan akarnya. Boggart tentu saja marah karena tidak mendapat hasil panen.

“Lain kali, aku ingin hasil bagian atas,” kata Boggart.

Petani itu tidak kehilangan akal. Kali ini, dia menanam kentang. Ketika musim panen tiba, petani mendapat umbi kentang. Sedangkan Boggart hanya mendapat batang dan daun kentang yang tidak berguna. Petani tertawa senang melihat tipuannya berhasil. Boggart yang sangat marah akhirnya pergi ke hutan. Dia tidak pernah kembali lagi. Boggart masih kesal dengan petani dan keturunannya. Kadang kala, dia muncul di rumah petani di Inggris. Boggart muncul di malam hari dan mencuri barang-barang si petani. Boggart juga sering membuat kuda dan hewan ternak lainnya menjadi lumpuh.

***

Surya berhenti baca bukunya.

"Cerita yang bagus berasal dari Inggris di tulis di buku," kata Surya.

Surya makan kuenya dan juga minum air aqua gelas. Surya membaca pesan moral yang di tulis di buku "Jangan Curang. Jangan suka berbuat curang. Curang itu tidak baik karena membuat orang lain marah dan susah."

Surya memahami pesan moral yang di tulis di buku, ya segera menutup bukunya dan di taruh di meja. 

"Belajarlah. Agar aku pintar. Kalau ada ujian sekolah aku bisa menyelesaikan semua soal-soal yang di berikan. Aku tidak akan berbuat curang dengan cara menyontek gitu karena tidak menjawab soal-soal yang sulit yang di berikan pada ujian sekolah," kata Surya.

Surya pun beranjak dari duduknya di ruang tamu ke kamarnya untuk belajar. Dika tetap masih main robot-robotan transformer.

MENAKUT-NAKUTI

Indro tiba-tiba tidak merasa enak pada tubuhnya. Indro hanya duduk diam di ruang tamu. Dono dan Kasino selesai dengan urusan kerjaanya, ya keluar dari kamarnya. Dono dan Kasino ke ruang tamu, ya melihat Indro yang terlihat pucat gitu.

"Indro sakit?" tanya Kasino.

"Badan ku tidak enak," kata Indro.

"Indro cuma masuk angin aja," kata Dono.

"Bisa jadi sih Don," kata Indro.

"Jangan-jangan Indro terkena penyakit yang lagi hits saat ini. Covid-19 varian delta gitu," kata Kasino menakut-nakuti saja.

Indro terkejut dengan omongan Kasino dan berkata "Kasino jangan ngomong begitu. Aku terkena covid-19 varian delta. Ini cuma masuk angin aja kok."

"Kebiasaan Kasino cuma nakutin aja kok," kata Dono.

"Aku paham sih. Cuma menakut-nakutin aja kena penyakit covid-19 varian delta," kata Indro.

"Maaf deh cuma sedikit mainan saja kok," kata Kasino.

"Aku maaf deh...Kasino," kata Indro.

"Indro mau di rawat di rumah apa di rumah sakit?" tanya Dono.

"Cuma masuk angin, ya di rumah saja sih Don!" kata Indro.

"Kalau cuma masuk angin saja sih di rumah saja," kata Dono.

Dono memeriksa Indro dengan baik untuk memastikan sesuatu.

"Penyakitnya Indro penyakit biasa aja. Aku kirain ada yang bangun dari tidurnya," kata Dono.

"Bangun dari tidurnya apa itu Don?" tanya Kasino.

"Yang bangun dari tidurnya itu?" tanya Indro.

"Rohlah. Kalau Roh bangun. Orang yang sehat bisa jadi sakit. Yang sakit bisa tambah sakit dan pada akhirnya meninggal dunia," kata Dono.

"Menakut-nakutin...ya Don?" tanya Indro.

"Bisa di bilang begitu sih," kata Dono.

"Malaikat maut. Bisa jadikan. Dono sering bercerita tentang malaikat maut," kata Kasino.

"Aku kan rajin ibadah dengan tujuan berdoa untuk Aku panjang umur," kata Indro.

"Amin," kata Dono.

"Amin. Indro panjang umur," kata Kasino.

"Penyakit Indro cuma masuk angin saja. Ya udahlah di beri obat masuk angin saja," kata Dono.

Dono mengambil obat masuk angin di tempat obat yang di taruh di ruang makan. Dono membawa obat itu ke ruang tamu. 

"Indro minum obat ini. Pasti sembuh. Kata iklan di Tv," kata Dono memberikan obat masuk angin pada Indro.

"Iya," kata Indro sambil mengambil obat masuk angin di tangan Dono.

Indro minum obat masuk angin tersebut.

"Gimana rasanya?" tanya Dono.

"Gimana rasanya?" tanya Kasino.

"Agak mendingan sih Dono, Kasino," kata Indro.

"Indro kaya sembuh dari penyakitnya," kata Dono.

"Kalau begitu aku nonton Tv saja di ruang tengah. Indro baik-baik istirahat di situ!" kata Kasino.

"Iya," kata Indro.

Indro tidur-tiduran di sofa. Dono duduk di sofa dan segera mengambil bukunya di meja untuk di baca dengan baik. Kasino sudah ke ruang tengah dan menghidupkan Tv. Kasino asik nonton acara Tv yang bagus gitu.

PERSAHABATAN NINA DAN POHON TUA

Nabila merawat tanaman di potnya dengan baik, ya tanaman itu mawar putih. Selesai merawat tanamannya, ya Nabila istirahat di ruang tamu. Buku di meja pun di ambil Nabila, ya segera baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Nabila :

Di sebuah kota pelabuhan yang ramai, ada anak perempuan yatim piatu bernama Nina. Ayah dan ibunya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu, Nina tinggal bersama bibinya yang galak. Walaupun bibinya galak, Nina selalu rajin bekerja. Salah satu tugasnya adalah mengambil air dari sumur. Letak sumur itu sangat jauh dari rumah bibinya. Untunglah di tengah jalan ada sebatang pohon tua yang rimbun. Nina sering singgah di bawah pohon itu untuk melepas lelah.

Kadang-kadang, Nina menangis sedih di bawah pohon itu. la merasa sendirian di dunia ini. Anehnya, setiap kali ia menangis, pohon itu selalu mengembangkan ranting-rantingnya. Daun-daunnya bergerak dengan lembut dan berirama. Nina terpesona sehingga ia lupa pada kesedihannya. Bahkan, tak jarang Nina sampai tertidur. Bila ia tertidur, pohon itu menundukkan ranting-ranting daunnya agar Nina terlindung dari panas matahari.

Hari demi hari pun berlalu. Suatu hari, Raja Portugal berencana membuat sebuah kapal yang besar. Pohon-pohon tua yang ada di seluruh negeri akan di tebang untuk membuat kapal. Nina gelisah, ia cemas pohon tuanya akan turut di tebang. Siang itu, sepulang mengambil air dari sumur, Nina melihat tanda silang putih pada batang pohon kesayangannya itu. Berarti pohon itu akan di tebang. Hati Nina sedih sekali. la menangis sambil memeluk pohon yang dikasihinya.

“Pohonku, mungkin hari ini adalah hari terakhir perjumpaan kita. Aku akan kehilangan satu-satunya teman yang ku miliki. Aku tak dapat mencegahnya,” isak Nina.

“Jangan sedih,” tiba-tiba pohon itu berkata.

“Kapal itu tak akan berlayar tanpa kehendakmu. Naiklah dan ikutlah berlayar bersama kapal itu. Maka kita akan bersama-sama lagi,” katanya lagi.

Esok paginya, pohon itu ditebang. Beberapa bulan kemudian, selesailah kapal yang diinginkan Raja. Namun, ketika akan diluncurkan, kapal itu sedikit pun tak mau bergerak walaupun sudah di dorong. Raja menjadi kecewa dan marah. Berita mengenai kapal yang tak mau bergerak itu akhirnya terdengar oleh Nina. la teringat pesan terakhir pohon tuanya. Tanpa pikir panjang, Nina pergi ke pelabuhan. Dengan susah payah ia berhasil menemui raja di atas kapal baru itu.

Nina minta izin agar diperbolehkan melayarkan kapal tersebut. Raja semula tak percaya, tapi akhirnya memberi izin. Nina pun pergi keanjungan kapal dan mulai mengusapnya. 

“Pohonku, tolonglah aku. Bergeraklah! berlayarlah! Seluruh penduduk kota ini ingin menyaksikan engkau berlayar ke lautan lepas,” kata Nina.

Semua orang berdebar menanti apa yang akan terjadi. Tiba-tiba, kapal itu bergerak sedikit demi sedikit. Lalu, lepaslah ia dari sandarannya. Dengan tenang kapal itu melaju ke taut. Penduduk kota bersorak gembira. Raja yang gembira memeluk Nina dengan erat.

“Bagaimana engkau bisa membuat kapal ini berlayar?” tanya raja keheranan.

“Kebetutan kapal ini terbuat dari kayu pohon tua sahabat saya,” jawab Nina dengan santun.

Kemudian, Nina menceritakan seluruh kisah hidupnya kepada raja. Hati raja tersentuh. Sejak itu, Nina tinggal di istana dan menjadi anak angkat sang raja

***

Nabila berhenti membaca bukunya.

"Bagus cerita yang baru aku baca asal dari Portugal," kata Nabila.

Nabila melanjutkan baca bukunya, ya pesan moral yang di tulis di buku "Jadilah anak yang baik dan suka bekerja keras. Sayangilah sesama makhluk Tuhan. Jika kamu sayang makhluk Tuhan maka Tuhan akan sayang kepadamu."

Nabila memahami pesan moral tersebut. Nabila menutup bukunya dan di taruh di meja. Nabila ke ruang tengah di mana adiknya cowok yang masih balita bermain di jagain Ibu. Nabila bermain dengan adiknya dengan penuh kegembiraan karena Nabila sayang banget dengan adiknya. Ibu memperhatikan kedua anaknya yang bermain dengan gembira. Ibu sayang dengan kedua anaknya. Ayah sedang sibuk dengan urusan kerjaanya di ruang kerjanya.

Tuesday, July 20, 2021

PUTRI DUYUNG BERNAMA SIRENA

Bilqis di ruang tengah sedang asik melihat ikan-ikan di akuarium. 

"Ikan-ikan yang cantik," kata Bilqis.

Bilqis mengambil kotak berisi makan ikan yang ada di samping akuarium. Bilqis memberikan makan pada ikan di akuarium. Ikan memakan makan itu dengan baik. Bilqis senang senang melihatnya. Kotak berisi makan ikan di taruh kembali di samping akuarium. Bilgis duduk di sofa dan mengambil buku di meja. Di baca buku tersebut sama Bilqis.

Isi buku yang di baca Bilqis :

Dahulu kala, di Kota Agana, Amerika Serikat, hiduplah seorang anak perempuan bernama Sirena. Ia adalah anak yang cantik dan periang. la suka sekali berenang di Sungai Minondo. Setiap hari, ia menyempatkan diri untuk berenang walaupun sebentar. Suatu hari, Sirena disuruh ibunya mencari batok kelapa di ladang untuk bahan bakar. Sirena menuruti permintaan ibunya dan pergi ke ladang. 

“Cepat ya, Sirena. Ibu butuh batok kelapa secepatnya,” pesan ibu.

Di tengah perjalanan, ia melewati Sungai Minondo. Melihat air yang begitu jernih, Sirena ingin sekali mandi. 

“Ah, segarnya kalau aku bisa berenang sebentar saja,” pikir Sirena.

“Tapi ibu menyuruhku cepat-cepat. Bagaimana ya? Mandi tidak ya?” pikirnya lagi

Sirena berjalan pelan di pinggir sungai sambil berpikir, “Ah, aku mau berenang sebentar saja.”

Akhirnya, Sirena berenang di Sungai Minondo. Kesegaran air membuatnya lupa waktu. la pun berenang dan melupakan tugasnya mencari batok kelapa. Sementara di rumah, Ibu Sirena mulai tidak sabar menunggu. 

“Sirena lama sekali. Pasti ia berenang dulu di sungai. Dasar anak nakal,” kata ibunya.

Ibu Sirena berjalan keluar masuk rumah, tapi belum juga melihat Sirena kembali. la semakin kesal dan mengutuk, “Karena Sirena senang sekali berenang, biarlah separuh badannya menjadi ikan. Biarlah ia selamanya hidup di air.”

Di sungai itu, Sirena kaget sekali mendapati tubuhnya berubah. Dari pinggang ke bawah, tubuhnya berubah seperti tubuh ikan dan kakinya berubah menjadi seperti ekor ikan. Sirena tidak bisa lagi berjalan di daratan dan hanya bisa berenang di sungai. 

Sore harinya, ibu Sirena mencari Sirena ke sungai. la sangat kaget saat melihat anaknya telah berubah menjadi separuh manusia dan separuh ikan. la menyesal telah gegabah mengucapkan kutukan.

"Sudahlah, Ibu. Ini mungkin sudah nasibku. Aku akan pergi sekarang,” kata Sirena.

“Maafkan ibu,” kata sang ibu sambil menangis.

Sirena berenang sampai ke muara dan akhirnya menuju lautan lepas. Sejak itu, banyak pelaut yang bercerita bahwa mereka pernah bertemu dengan gadis berekor ikan di lautan lepas. Dialah Sirena, si putri duyung.

***

Bilqis berhenti baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari Amerika Serikat di tulis di buku," kata Bilqis.

Bilqis melanjutkan baca bukunya yang di baca pesan moral yang di tulis di buku "Ingat dan taati nasihat orangtuamu, jangan sekali-kali membantahnya dengan kasar. Jika pesan orang tuamu salah, jelaskan dengan baik-baik. Anak yang suka melanggar nasihat orang tua akan mendapat celaka."

Bilqis memahami pesan moral yang di tulis buku.

"Aku harus patuh pada orangtua," kata Bilqis.

Bilqis menutup bukunya dan buku di taruh di meja. Ibu Ayu baru pulang dari kerjanya sebagai penyanyi dangdut gitu. Ibu Ayu duduk di sofa sambil memanggil Bilqis dengan suara keras. Bilqis mendengar panggilan ibunya, ya segera Bilqis menghampiri ibunya. Bilqis memeluk ibunya.

"Ini anak kenapa memeluk aku? Aku memanggilnya sebenarnya kangen juga pada anak ku. Kerja seharian jadi penyanyi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada niatku untuk memarahinya. Apa Bilqis salah menanggapi panggilan ku yang agak keras suaranya?" kata hati Ibu Ayu.

Bilqis lama memeluk ibu Ayu karena sayang banget sama ibunya. 

"Bilqis sayang ibu," katanya.

Ibu Ayu pun berkata pada anaknya dengan baik "Ibu sayang Bilqis."

Bilqis melepaskan pelukan pada ibunya. Ibu Ayu ke kamarnya untuk berbenah diri. Bilqis juga ke kamarnya, ya belajarlah.

CAMPUR ADUK

POOR THINGS

Malam hari, ya bulan bersinar dengan baik. Setelah nonton Tv yang acara menarik dan bagus...FTV di chenel AllPlay Ent, ya seperti biasa sih ...

CAMPUR ADUK