CAMPUR ADUK

Sunday, June 27, 2021

BALAS BUDI BURUNG BANGAU

Kasino dan Indro duduk di ruang tengah, ya nonton Tv dengan acara yang bagus banget gitu. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, ya berita seputar ini dan itu sih. Dono duduk di ruang tamu. Mengambil buku di meja dan segera di baca tuh buku cerita yang asal cerita dari Jepang.

Isi buku di baca Dono :

Dahulu kala hiduplah seorang kakek dan nenek yang sangat miskin. Suatu hari di musim salju yang sangat dingin membeku, sang kakek pergi ke kota untuk menjual kayu bakar. Di tengah perjalanan ketika melintasi persawahan, kakek melihat ada seekor burung bangau terjerat perangkap seorang pemburu.

“Aduh, kasihan sekali,” kata kakek.

Kakek pun segera melepaskan burung bangau itu dari dalam perangkap. Setelah terbebas burung bangau itu terbang berputar-putar tiga kali di atas kepala kakek. Seolah-olah dia ingin mengucapkan terima kasih sambil bersuara ‘Kaok… kaok… kaok…’ Lalu terbang tinggi meninggalkan kakek.

Malam hari itu terasa sangat dingin membeku. Sejak sore hari salju turun terus-menerus dengan lebatnya, hingga jalan-jalan dan pelataran semua tertimbun salju tebal. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah hamparan salju yang memutih. Ketika kakek sedang menceritakan kejadian yang dialaminya siang tadi kepada nenek. Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara ketukan.

Tok! Tok! Tok!

“Permisi. Bolehkah saya masuk?” terdengar suara seorang wanita muda.

Begitu pintu dibuka, terlihat ada seorang wanita muda dengan rambut dan tubuh dipenuhi salju berdiri di depan pintu.

“Oh, Tuhan! Kau pasti sangat kedinginan.Ayo, ayo cepat masuk!” ajak nenek mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah.

“Terima kasih, nek.”

“Kenapa kau seorang diri di tengah hujan salju selebat ini?” tanya nenek.

“Sebenarnya  saya sedang mencari seseorang yang tinggal di sekitar tempat ini. Sudah saya cari kemana-mana tetapi tidak ketemu juga. Lalu salju turun dengan lebatnya dan hari mulai gelap. Akhirnya dengan susah payah saya sampai di rumah ini. Kalau tidak mengganggu kakek dan nenek, bolehkah saya menginap di sini barang semalam saja?” tutur wanita muda itu dengan sangat sopan.

“Oh, begitu. Tentu saja boleh, nak! Kamu tidak perlu sungkan. Anggap saja ini di rumah sendiri. Tapi ya, seperti ini keadaan rumah kami,” kata kakek dengan ramah.

“Terima kasih kakek. Terima kasih nenek,” kata wanita muda itu dengan wajah berseri-seri. Dia pun membungkukkan badannya dalam-dalam sebagai tanda terima kasihnya.

Wanita muda itu lalu membantu nenek mempersiapkan makan malam. Mereka bertiga pun makan malam bersama-sama. Setelah itu wanita muda itu segera membersihkan semua piring dan perabotan yang kotor. Keesokan pagi harinya ketika nenek terbangun dan membuka mata. Dia melihat wanita muda itu sudah bangun lebih dahulu. Keadaan rumah pun sudah tertata rapi dan terlihat bersih. Wanita muda itu juga sudah memasak untuk sarapan pagi.

“Wah, wah… Jadi merepotkan. Tidak hanya memasak, kau pun sudah membersihkan rumah kami. Terimakasih ya, nak!” kata nenek.

Sepanjang hari itu hingga beberapa hari berikutnya salju terus-menerus turun dengan lebatnya. Hingga tidak ada seorang pun yang bisa keluar rumah. Wanita muda itu pun tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Dia lalu memijat pundak kakek dan nenek bergantian.

“Kau benar-benar seorang anak yang baik dan berbakti. Andai aku punya anak gadis sepertimu, alangkah senangnya aku,” kata kakek.

“Iya, aku akan sangat senang bila kau mau tinggal bersama kami,” ujar nenek menimpali.

“Sebenarnya saya ini hidup sebatang kara, tidak punya sanak saudara. Kalau kakek dan nenek tidak keberatan, bolehkah saya tinggal di sini?” kata wanita muda itu dengan membungkukkan badannya.

“Oh, benarkah?” seru kakek dan nenek bersamaan.

“Kalau begitu tinggallah bersama kami,” pinta nenek.

Wanita muda itu pun menganggukkan kepalanya. Kakek dan nenek pun sangat gembira. Mereka bertiga hidup sederhana dan bahagia walau dalam keadaan serba kekurangan. Suatu hari wanita muda itu bilang ingin menenun kain. Dia pun meminta kakek untuk membelikan benang. Ketika pergi ke kota, kakek pun membelikan benang yang diperlukan.

“Tolong selama saya menenun kain, jangan ganggu saya! Jangan sekali-kali kakek dan nenek membuka pintu kamar ini, ya?” kata wanita muda itu sebelum menutup pintu kamar dan mulai menenun.

Tok, tak, tok...  gleduk.

Tok, tak, tok...  gleduk.

Begitulah suara alat tenun itu terdengar sepanjang hari. Setelah tiga hari berlalu wanita muda itu pun membuka pintu kamarnya. Dia memondong beberapa lembar kain tenun di ke dua tangannya. Dia lalu berkata kepada kakek.

“Kek, tolong jual kain ini ke kota. Tolong nanti saya dibelikan benang lagi.”

“Iya, iya... Wah, bagus sekali tenunanmu ini?” puji kakek dengan perasaan terkagum-kagum.

Kakek sangat senang menerima kain tenun itu. Dia pun segera pergi ke kota untuk menjual kain tenun tersebut. Karena tenunannya sangat halus dan bagus, kain itu pun dibeli dengan harga mahal oleh seorang pejabat yang kaya raya. Kakek sangat senang menerima uang yang sebegitu banyaknya. Tidak lupa sebelum pulang kakek membelikan benang pesanan wanita muda itu. Setelah mendapatkan benang dari kakek, wanita muda itu pun segera masuk kamar dan mulai menenun lagi. Suara alat tenun kembali terdengar meramaikan rumah kakek dan nenek.

Tok, tak, tok... gleduk.

Tok, tak, tok... gleduk.

Dua hari pun berlalu.

“Kek, aku kok penasaran. Aku ingin melihat bagaimana cara gadis itu menenun kain sehalus dan sebagus itu. Aku ingin mengintip sebentar saja,” kata nenek.

Nenek pun berjalan berjingkat-jingkat mendekati pintu kamar. Lalu perlahan-lahan dia menggeser pintu itu sedikit. Nenek mengintip ke dalam kamar dari celah pintu itu. Namun betapa terkejutnya nenek begitu tahu apa yang ada di dalam kamar.

“Oh, Tuhan!” jeritnya dengan suara tertahan.

Di dalam kamar tidak ada wanita muda itu, tetapi yang ada hanyalah seekor burung bangau putih yang terlihat sangat kurus. Burung itu mencabuti bulu-bulunya satu per satu lalu menyelipkannya ke alat tenun dan menenunnya menjadi kain yang halus dan bagus.

“Kek... kakek!” panggil nenek dengan tubuh masih gemetaran.

“Ada apa, nek?” tanya kakek sambil mendekati nenek.

“Lihatlah itu!” bisik nenek.

“Hahhh?! Burung bangau?” kata kakek tak kalah terkejutnya dengan nenek.

Tiba-tiba suara alat tenun itu berhenti. Wanita muda itu membuka pintu kamar. Lalu keluar dengan membawa beberapa lembar kain tenun yang sangat halus dan bagus. Dia memberikan kain itu kepada kakek dan nenek.

“Kakek, nenek… Sebenarnya saya adalah burung bangau yang pernah ditolong kakek dahulu. Karena ingin membalas budi maka saya merubah wujud menjadi seorang gadis. Tapi sekarang sudah waktunya kita harus berpisah. Terima kasih atas kebaikan hati kakek dan nenek. Semoga panjang umur dan sehat selalu.”

Setelah berkata demikian dalam sekejap mata wanita muda itu telah berubah menjadi seekor burung bangau putih. Lalu terbang berputar mengitari atas rumah kakek dan nenek tiga kali sambil bersuara ‘Kaok… kaok… kaok…’ sebagai ucapan terima kasih. Lalu terbang tinggi menuju gunung yang terlihat nan jauh di sana.

“Burung bangau… Hai, gadis muda… Semoga kau pun selalu sehat wal afiat. Terima kasih atas semua ini,” kata kakek dan nenek sambil berurai air mata.

Setelah itu kakek dan nenek bisa hidup berkecukupan dengan uang hasil menjual kain tenunan burung bangau itu. Mereka pun hidup bahagia selamanya. 

***

Dono berhenti baca buku.

"Bagus ceritanya. Pandai membuat ceritanya. Kaya pernah di angkat cerita yang aku baca ini. Film kartun," kata Dono.

Dono menutup bukunya dan buku di taruh di meja.

"Main game ah!" kata Dono.

Dono main game di Hp-nya dengan baik banget. Kasino dan Indro di ruang tengah masih asik nonton Tv.

PUTRI YANG BISU

Jihan duduk di ruang tengah. Jihan melihat buku di meja.

"Buku siapa ya?" kata Jihan.

Jihan mengambil buku di meja.

"Jangan-jangan buku...nya Mbak Nella," kata Jihan.

Jihan membaca judul buku tersebut "Putri Yang Bisu."

Jihan tertarik banget jadinya, ya membuka buku dan membaca dengan baik buku tersebut.

Isi buku yang di baca Jihan :

Nun jauh di sana, ada sebuah kerajaan kecil di tanah Turki yang dipimpin oleh seorang Pasha. Sang Pasha memiliki seorang putra bernama Shahzada. Shahzada mempunyai sebuah bola kesayangan yang terbuat dari emas. Sedari kecil hingga dewasa, ia sangat suka memainkan bola itu di halaman istananya. Permainan yang paling  ia suka adalah mengganggu orang-orang yang mengambil air di mata air yang terletak di halaman istana. 

“Paman! Awas!” seru Shahzada kepada seorang lelaki yang sedang mengisi kantung air minumnya di mata air. 

Kaki kanan pangeran muda itu menendang kuat-kuat bola emas ke arah mata air. Byurr! 

“Ya, ampun!” teriak si pengambil air. 

Badannya basah terkena air cipratan bola. Shahzada terbahak-bahak melihat kejadian itu. 

“Semoga kau mendapatkan balasan atas kenakalanmu, Pangeran!” Lelaki itu merutuk dalam hati. 

Ia segera mengambil air, kemudian pergi. Ia tidak berani memarahi Shahzada, sebab pemuda itu adalah anak seorang Pasha. Di lain hari, datanglah seorang wanita tua yang membawa sebuah guci untuk mengambil air di mata air itu.

“Hihihi. Ini dia. Pasti lebih seru!” Shahzada merencanakan sebuah kenakalan saat melihat wanita itu datang. 

Shahzada menendang kuat-kuat bola emasnya ke arah guci itu. Praang! Guci tanah liat milik wanita tua tadi pecah berkeping-keping. 

“Hei, siapa berani memecahkan guciku?!” seru wanita itu marah. 

“Aku yang memecahkan gucimu.” Shahzada datang mengambil bola emas. 

Wanita itu terdiam, menahan semua kemarahannya, karena yang memecahkan gucinya adalah seorang pangeran. Ia pun pergi meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, ia datang lagi membawa sebuah guci baru untuk mengambil air. Shahzada mengetahui kedatangan wanita itu dari kejauhan. Ia menyiapkan bola emasnya dan kembali menendangnya ke arah guci milik wanita tua itu. Praang! Guci baru yang dibawa oleh wanita itu pecah. Sambil bersungut-sungut, wanita itu pergi. Gelak tawa Shahzada yang senang, karena menganggap semua itu adalah hal lucu, mengiringi kepergian wanita itu.

“Aku suka permainan ini,” kata Shahzada. 

Seakan tak mau berputus asa, wanita tadi datang lagi untuk ketiga kalinya dengan guci baru. Kali ini, guci itu dibelinya dengan cara berhutang karena uangnya telah habis untuk membeli guci kedua yang dipecahkan Shahzada sebelumnya. Shahzada meletakkan bola emasnya di dekat kaki, kemudian menendangnya lagi. Praang! Guci ketiga telah pecah. Dan, pecah pula kesabaran wanita itu untuk menahan amarah. Ia melotot jengkel kepada Shahzada. 

“Anda memang seorang pangeran yang tidak berperasaan! Dengarlah perkataan saya ini, saya berdoa semoga anda jatuh hati pada Putri Bisu!” kutuknya, lalu pergi meninggalkan tempat itu. 

Shahzada yang semula tertawa terbahak-bahak, kini terdiam seribu bahasa. Terpukul mendengar kutukan wanita pembawa guci. Putri Bisu?Siapakah Putri Bisu itu?Apa maksud kata-kata wanita itu? pikir Shahzada. Ia terus memikirkannya sehari semalam, seminggu tujuh hari, sebulan empat minggu, hingga ia lupa pada permainan bola emasnya, enggan makan, dan tidak nyenyak tidur. Shahzada berubah menjadi pemuda yang murung dan sakit-sakitan. Seribu tabib dan orang bijak didatangkan ke istana untuk mengobati penyakit misterius yang diderita Shahzada, namun tak kunjung membawa hasil menggembirakan. Sang Pasha mulai gelisah memikirkan penyakit putranya itu. 

“Anakku, apa yang sebenarnya menyebabkan engkau sakit seperti ini? Bisakah kau menceritakan sesuatu? Mungkin, ada sesuatu yang terjadi sebelum engkau sakit?” tanya Pasha. 

Shahzada menatap ayahnya dengan sayu. “Iya, Ayahanda. Saya pernah memecahkan tiga guci milik seorang wanita tua yang sedang mengambil air di halaman istana. Dia mengutuk, semoga saya jatuh hati hati kepada Putri Bisu.” Pasha mengerutkan kening, “Akan tetapi, siapakah Putri Bisu yang dimaksud itu? Apa maksud dari kutukannya itu?”

 “Itulah yang merisaukan saya selama ini ini, Ayahanda. Sepertinya, akan lebih baik jika saya melakukan perjalanan untuk mencari Putri Bisu. Mungkin hanya itu obat bagi penyakit saya,” kata Shahzada. 

Pasha merenung. 

“Engkau pasti akan menempuh banyak rintangan di luar sana. Tetapi, jika ini jalan yang terbaik, maka pergilah, anakku. Bawalah serta satu orang pengawal istana terbaik untuk menemanimu dalam perjalanan.” 

Segala persiapan telah selesai dilakukan. Shahzada dan pengawalnya pun mulai berangkat mencari Putri Bisu. Mereka melewati hutan yang lebat, semak-semak, dan padang ilalang. Tetapi, mereka tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Putri Bisu. Mereka terus berjalan melewati daerah tak berpenghuni. Tak ada manusia yang bisa ditemui. Bahkan, hewan dan tumbuhan pun jarang sekali hidup di sana. Bekal Shahzada dan pengawalnya telah habis. Mereka jarang sekali bisa makan dan minum. Penampilan mereka menjadi kurus, compang-camping, dan lusuh. Hingga suatu hari, mereka tiba di sebuah puncak gunung yang memiliki bebatuan aneh. Bebatuan di puncak gunung itu berkilauan layaknya berlian. Mereka kemudian bertanya kepada seorang lelaki tua yang kebetulan berpapasan dengan mereka. 

“Tolong katakan kepada kami, apa yang menyebabkan batu-batu di puncak gunung ini berkilauan?” tanya Shahzada. 

“Kalian sedang berada di gunung milik Putri Bisu. Ia memakai tujuh lapis penutup wajah. Batu-batuan adalah pantulan dari kecerdasan sang putri,” ucap lelaki tua itu. 

Shahzada dan pengawalnya tampak sangat senang. Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan petunjuk tentang Putri Bisu. 

“Masih jauhkah istana Putri Bisu?” tanya Shahzada lagi. 

“Sabarlah, Anak Muda. Jika kalian berdua kembali berjalan terus selama enam bulan, kalian akan sampai di istananya.” 

Shahzada dan pengawalnya merasa gembira karena perjalanan mereka ternyata tidak sia-sia. Mereka telah menuju arah yang benar dan sebentar lagi akan menemukan Putri Bisu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, hingga tiga bulan lamanya, hingga mereka sampai di puncak gunung yang lain. Anehnya, bebatuan di gunung itu mempunyai warna semu merah yang amat cantik. 

“Aku sangat lelah. Sebaiknya, kita pergi ke sebuah desa untuk beristirahat. Kita juga bisa bertanya mengenai gunung ini di sana,” kata Shahzada sembari mengatur napasnya. 

Setelah mereka berdua menemukan sebuah desa, Shahzada dan pengawalnya pun beristirahat di sebuah penginapan di daerah itu. 

“Selamat datang, Tuan-Tuan!” sapa si pemilik penginapan. 

“Apakah Anda bisa memberi tahu saya, mengapa batu-batu di puncak gunung sana berwarna merah?” tanya Shahzada. 

“Oh, tak tahukah Tuan-Tuan? Batu-batu itu mencerminkan warna bibir dan pipi Sang Putri Bisu. Putri Bisu mengenakan tujuh lapis penutup wajah. Tetapi, kecantikannya tak dapat dihalangi. Meskipun begitu, tak ada yang pernah melihat wajah Putri Bisu. Tidak ada yang pernah bicara dengannya karena dia tak mau berbicara sepatah kata pun. Banyak orang yang mencoba membuatnya bicara. Namun semua berakhir dengan kematian,” pemilik penginapan itu menjelaskan panjang lebar. 

Mendengar berita buruk itu, Shahzada tidak merasa gentar. “Di manakah letak istana Putri Bisu?”

“Lanjutkanlah perjalanan selama tiga setengah bulan lagi, dan Tuan-Tuan akan sampai di sana.”

Shahzada dan pengawalnya melanjutkan perjalanan sesuai dengan saran pemilik penginapan. Akhirnya, mereka sampai di sebuah puncak gunung yang sangat besar. Shahzada berpikir bahwa di situlah istana Putri Bisu berada. Namun, saat mereka mendekat, pemandangan yang mengerikan menyambut mata. Sebuah istana megah berdiri menjulang dan kokoh. Namun, tulang-tulang tengkorak manusia berserakan di sekitar istana itu. 

“Tuan! Tengkorak-tengkorak itu pastilah orang-orang yang tidak berhasil membuat Putri Bisu bicara. Kita akan berakhir sama seperti itu jika kita gagal. Lebih baik kita segera pergi dari sini sebelum terlambat!” Pengawal Shahzada mencoba mengingatkan tuannya. 

“Tenanglah, cepat atau lambat, semua orang pasti mati, bukan? Jadi, tidak ada yang perlu kita takutkan,” kata Shahzada. 

Shahzada memutuskan untuk beristirahat di sebuah desa, di dekat istana. Ketika Shahzada menceritakan tujuan kedatangannya, para penduduk desa menangisinya. 

“Oh, Tuan-Tuan, apakah kita masih bisa berjumpa lagi?” tanya orang-orang itu sambil berurai air mata.

“Mengapa kalian berkata seperti itu?” tanya Shahzada heran. 

“Sepertinya, Tuan-Tuan sedang menghampiri kematian. Desa ini adalah milik ayah Putri Bisu. Jika Tuan-Tuan ingin membuat Putri Bisu bicara, Tuan-Tuan harus meminta izin terlebih dulu kepada ayahnya. Apabila Tuan-Tuan gagal membuat Putri Bisu bicara, kalian akan menjadi salah satu dari tulang-tulang tengkorak itu.” 

Shahzada mengangguk-angguk, dan berkata kepada pengawalnya. “Kita hampir sampai pada akhir perjalanan. Sekarang kita istirahat di sini saja selama beberapa hari.”

Sembari beristirahat, Shahzada dan pengawalnya berjalan-jalan di sebuah bazar. Tanpa sengaja, mereka melihat seekor burung bulbul yang dijual. Shahzada tertarik dengan tingkah burung yang menyenangkan itu. Ia pun memutuskan untuk membelinya. Setelah kembali ke penginapannya pada malam hari, Shahzada termenung di kamar. Ia memikirkan cara untuk membuat Putri Bisu bicara. Ia benar-benar takut gagal. 

“Apa yang merisaukan hati Tuan?” tanya sebuah suara. 

Shahzada terkejut. Awalnya, ia berpikir bahwa suara yang didengarnya adalah suara hantu. Namun ternyata, atas kemurahan Tuhan, burung bul-bul yang baru dibelinya tadi bisa berbicara. 

“Aku sedang memikirkan cara untuk membuat Putri Bisu bicara,” kata Shahzada. 

“Jangan khawatir, Tuan. Bawalah aku saat Anda menemui Putri Bisu. Gantungkanlah sangkarku di tiang lampu kamarnya. Kemudian, ajaklah Putri Bisu bercakap-cakap. Dan, ketika ia tidak menjawab Anda, berbicaralah kepada tiang lampu. Aku yang akan membalas pembicaraan Tuan, sebagai sebuah tiang lampu.” Shahzada menuruti nasihat Burung Bul-Bul. 

Keesokan harinya, mereka berangkat menuju istana Putri Bisu. 

“Ingatlah, Anak Muda. Putriku membuat sebuah mantra. Barang siapa yang ingin menikahinya, harus bisa membuatnya bicara. Jika tidak, mereka akan menemui kematian. Ribuan orang telah mencobanya, namun gagal. Lihatlah tulang belulang yang berserakan itu. Apakah kau sudah siap?” tanya Sultan, ayah Putri Bisu. 

“Saya siap, Sultan. Suatu hari, mantra itu pasti bisa dihancurkan. Dan, hari itu mungkin adalah hari ini,” ucap Shahzada penuh semangat. 

Setelah mendapatkan izin dari Sultan, pergilah ia ke tempat Putri Bisu berada. Di sana, Shahzada menjumpai seorang putri yang memakai penutup kepala berlapis-lapis. Penutup itu menjuntai hingga menutupi seluruh wajahnya. Bahkan, Sang Putri awalnya tidak mengetahui kehadiran Shahzada, karena pandangannya terhalang oleh lapisan-lapisan penutup wajah. Ia juga tidak bisa melihat bahwa sebuah sangkar berisi seekor burung bul-bul telah digantungkan di tiang lampu kamarnya. Shahzada menyapa Putri Bisu, “Bagaimanakah kabar Tuan Putri? Saya harap Tuan Putri dalam keadaan sehat.” 

Putri Bisu tidak menjawab. Ia bahkan tetap tidak menjawab, ketika Shahzada berbasa-basi lebih panjang lagi. Shahzada pun akhirnya berkata. “Baiklah, malam sudah semakin larut. Karena Tuan Putri tidak menjawab satu pun pertanyaan saya, biarlah saya berbicara dengan tiang lampu. Walaupun tiang lampu ini tidak bernyawa, tapi mungkin lebih berperasaan daripada Tuan Putri.” 

Shahzada menghadapkan dirinya kepada tiang lampu kamar. 

“Bagaimana kabarmu, wahai Tiang Lampu?” tanya Shahzada. 

“Sangat baik, Tuan. Meski bertahun-tahun tidak pernah ada yang mengajakku bicara. Tetapi Tuhan sungguh Maha Pemurah, karena mengirimkan Tuan untuk berbicara denganku. Aku senang sekali. Maka dari itu, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah untuk Tuan?” jawab Tiang Lampu yang sebenarnya adalah suara Burung Bul-Bul. 

Anggukan Shahzada menjadi tanda dimulainya cerita. 

“Syahdan, ada seorang Pardishah yang memiliki seorang putri. Putri itu hendak dinikahi oleh tiga orang pangeran. Maka, Pardishah membuat sebuah lomba. Siapa yang berhasil menjadi pangeran terhebat, maka dialah yang berhak menikahi Sang Putri. Kemudian, tiga pangeran itu berpisah ke tiga arah mata angin yang berbeda.” Burung Bul-Bul melanjutkan. “Pangeran Pertama berhasil menguasai ilmu bagaimana menempuh perjalanan enam bulan dalam tempo satu jam. Pangeran Kedua menguasai ilmu penglihatan jauh. Dan, Pangeran Ketiga menguasai ilmu pengobatan. Suatu hari, pangeran yang bisa melihat dari jauh menyampaikan kabar bahwa Putri sedang sakit parah dan sebentar lagi akan meninggal. Pangeran Ketiga segera membuat ramuan obat. Lalu, dengan secepat kilat, Pangeran Pertama mengantarkan obat itu ke tempat Sang Putri untuk diminum. Akhirnya, putri pun sembuh. Namun, kini, Pardishah bingung memilih siapa pangeran terhebat yang berhak menikahi putrinya. Bagaimana menurut Tuan Shahzada? Siapakah Pangeran yang berhak menikahi Sang Putri?” 

Shahzada menjawab, “Tentu saja pangeran yang meramu obat untuk Sang Putri. Sang Putri tidak akan bisa disembuhkan tanpa obat yang dia buat.” 

Burung Bul-Bul menolak jawaban Shahzada, “Tetapi, Sang Putri tidak akan selamat jika pangeran yang bisa melihat dari jauh tidak memberitahu bahwa Sang Putri sedang sakit.” 

“Sang Putri pasti juga akan meninggal tanpa obat dari Pangeran Ketiga.” 

“Tanpa kabar dari Pangeran Kedua, Pangeran Ketiga tidak akan membuat obat untuk menyembuhkan Sang Putri!” 

Shahzada dan Burung Bul-Bul terlibat perdebatan seru. Putri Bisu hanya mendengarkan dan berkata dalam hati. 

“Mengapa tidak ada yang ingat jasa Pangeran Pertama? Ia yang berhasil mengantarkan obat secepat kilat, hingga bisa diminum Sang Putri tepat waktu.” 

Beberapa saat kemudian. Putri Bisu menjadi jengkel karena perdebatan sengit antara Shahzada dan Burung Bul-Bul tak kunjung usai. Tanpa sadar, ia berseru. “Oh, kalian benar-benar bodoh! Aku akan memberikan putri itu kepada pangeran pembawa obat. Tanpa kecepatan larinya, putri itu akan tetap mati!” 

Shahzada dan Burung Bul-Bul senang sekali. Mereka telah berhasil membuat Putri Bisu bicara. Sultan pun segera mengetahui kabar itu. Namun, Putri Bisu menolak kemenangan Shahzada. 

“Aku telah dijebak, Ayah! Ini bukan sebuah kemenangan,” tolak Putri Bisu.

“Baiklah, jika pangeran ini berhasil membuatmu bicara dua kali lagi, maka dia berhak menikahimu,” kata Sultan. 

Shahzada tidak berani menolak ketentuan itu. Namun, ia yakin jika Burung Bul-Bul akan membantunya. 

“Gantungkanlah sangkarku pada sebuah pilar, Tuan,” bisik Burung Bul-Bul. 

“Perhatikanlah, setelah kita berhasil membuatnya bicara, kerudung yang menutupi wajah Putri Bisu mulai berjatuhan.” 

Keesokan harinya, Shahzada menyapa Putri Bisu lagi. Seperti biasa, Sang Putri diam saja. 

“Bagaimana kabarmu, Pilar? Karena Sang Putri tidak bersedia berbicara denganku, bolehkah aku berbicara denganmu?” tanya Shahzada seraya menghadap salah satu pilar di kamar Putri Bisu. 

“Oh, tentu saja, Tuan,” jawab Burung Bul-Bul yang berpura-pura menjadi pilar. 

“Saya sangat senang punya teman bicara. Oleh karena itu, bolehkah saya menceritakan sebuah cerita?”

“Aku akan mendengarkan dengan senang hati,” jawab Shahzada. 

“Ada seorang gadis yang sedang bingung memilih calon suami. Apakah ia akan memilih Baldji, Jagdji, atau Firedji? Lalu, ia merencanakan sesuatu untuk melihat siapa yang paling bersemangat memenuhi permintaannya.” Burung Bul-Bul melanjutkan. “Gadis itu pura-pura menangis, lalu berkata, Oh, ayahku baru saja meninggal. Arwahnya selalu menghantuiku. Adakah yang bisa membantu? Mendengar hal itu, Baldji datang menawarkan bantuan. Tolong, pakailah selembar kain dan tidurlah di dalam makam ayahku, supaya ayahku berhenti menghantuiku. Baldji pun menuruti permintaannya.” 

“Kemudian gadis itu menangis lagi. Kini, datanglah Jagdji. Jika hantu ayahku datang, pukullah dengan batu, supaya ia tidak menghantuiku lagi. Setelah Jagdji pergi menuruti keinginannya, gadis itu kembali menangis, hingga Firedji datang. Ada seorang penyihir yang hendak mengambil jasad ayahku dari makamnya. Tolong, ambillah jasad ayahku dan selamatkanlah dia. Seperti kedua kawannya, Firedji juga menuruti keinginan gadis itu.” 

“Firedji pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh gadis itu, membongkar makam, dan menggotong Baldji yang terbungkus kain. Tetapi, Jagdji mengira ada dua hantu yang muncul. Ia pun memukul keduanya dengan batu. Saat semuanya terbongkar, mereka terkejut dan segera meminta penjelasan dari si gadis.”

“Menurut Tuan, siapa yang berhak menikahi gadis itu? Menurutku Firedji!” tanya Burung Bul-Bul.

“Menurutku Jagdji, karena ia berani menghadapi dua hantu sekaligus!” jawab Shahzada. 

Sebentar saja, mereka terlibat dalam perdebatan sengit. Putri Bisu sungguh kecewa mendengarnya. Mereka berdua telah melupakan perjuangan Baldji. Ketika Putri Bisu mengemukakan pendapatnya, Shahzada berkata, “Tinggal satu kali lagi, Tuan Putri.” 

Putri Bisu sangat marah menyadari kekalahannya. Ia memerintahkan pengawalnya untuk menghancurkan pilar yang berbicara dengan Shahzada tadi. Pada kesempatan terakhir, Putri Bisu menjadi lebih berhati-hati untuk tidak terbawa suasana perdebatan.

“Wahai, Tirai, maukah engkau bercakap-cakap denganku? Sebab Tuan Putri enggan menjawab sapaanku,” kata Shahzada sembari menghadap tirai gelap di kamar Sang Putri. 

“Tentu saja, Tuan. Aku senang sekali karena Anda mau mengajakku berbicara. Sebagai balasan atas kebaikanmu, aku akan menceritakan sebuah kisah. Dahulu kala, ada seorang Tukang Kayu, seorang Penjahit, dan seorang Sakti yang membuat usaha bersama-sama. Suatu hari, Tukang Kayu terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur. Kemudian, ia membuat sebuah patung wanita. Namun, ia tertidur karena kelelahan. Tak berapa lama, Penjahit terbangun. Ketika ia melihat sebuah patung wanita tanpa pakaian, ia segera menjahit sebuah gaun indah dan memakaikannya kepada patung itu. Akan tetapi, ia pun kembali tertidur karena merasa lelah. Kemudian, pagi-pagi sekali, seorang Sakti bangun dan melihat sebuah patung wanita cantik, bergaun indah. Dia kagum dengan patung itu dan memohon pada Tuhan untuk menghidupkannya. Dan, Tuhan mengabulkan doanya. Patung wanita itu berubah menjadi seorang wanita cantik dan anggun. Tukang Kayu, Penjahit, dan Orang Sakti berebut menikahinya. Menurut Tuan, siapa yang berhak menikahinya?” tanya Burung Bul-Bul. 

“Menurutku, Tukang Kayu yang paling berhak menikahinya,” katanya memberikan pendapat. 

“Tidak bisa! Penjahitlah yang pantas menikahinya!” sergah Shahzada. 

Perdebatan seru tak bisa terelakkan. Putri Bisu tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia jengkel sekali sebab tidak ada yang mengingat jasa Orang Sakti. Putri Bisu bangkit dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Ayolah! Tanpa Orang Sakti, wanita itu akan tetap menjadi sebuah patung mati. Jadi, Orang Sakti yang berhak menikahinya!” 

Seketika itu juga, kerudung lapis terakhir Putri Bisu terlepas. Maka, terungkaplah wajahnya yang sangat rupawan. Putri Bisu kaget, namun segera tersenyum kepada Shahzada. 

“Kau menang. Kau telah membuatku berbicara sebanyak tiga kali.” 

Shahzada sangat berterima kasih kepada pengawalnya yang setia dan burung bul-bulnya yang cerdik. Kini, ia telah terbebas dari kutukan dan berhasil menikahi Putri Bisu. Ayah Putri Bisu mengadakan pesta pernikahan yang meriah selama 40 hari 40 malam untuk Shahzada dan putrinya. Semua orang bergembira dengan pernikahan itu. Shahzada juga tak lupa mengundang wanita yang dulu mengutuknya dan memintanya tinggal di istana untuk menjadi pengasuh bagi anak-anaknya, kelak. 

***

Jihan berhenti baca buku.

"Cerita yang bagus banget," pujian Jihan.

Jihan menutup buku dan di taruh buku di atas meja. Ibu yang baru pulang dari pasar, ya memanggil Jihan dengan suara yang cukup keras. Jihan mendengar panggilan Ibu, ya segera beranjak dari duduknya di ruang tengah ke depan rumah. Jihan segera mengambil barang belanjaan di lantai gitu karena memang ibu menggeletakan....ibu capek baru pulang dari pasar. Jihan membawa barang belanjaan ke dapur dan segera di bereskan dengan baik. Jihan memasak dengan baik di dapur membuat makan untuk keluarga. Ibu beristirahat di ruang tengah dengan baik banget. Nella, ya Mbaknya Jihan.... yang selesai mengerjakan kerjaannya di dalam kamarnya. Nella biasa mengetik di leptopnya membuat tugas kuliah dengan baik banget. Nella ke ruang tengah, ya seperti biasa sih mijitin kaki ibu dengan baik. Nella tidak bisa menemani ibu ke pasar karena banyak tugas kuliah. Ibu memakluminya dengan baik banget.

SI GUNDUL DAN SEGEL AJAIB

Indro duduk di ruang tamu, ya seperti biasa ingin main game di Hp-nya. Indro melihat bukunya Dono di taruh di meja gitu. Indro tertarik dengan judul buku tersebut, ya Indro membaca judul buku tersebut " Si Gundul dan Segel Ajaib". 

Indro pun berpikir panjang dan berkata "Acara Tv ada yang judulnya 'Petualangan Gundul', ya ternyata gundul itu terkenal....sampai artis pun gundul juga."

Indro mengambil buku tersebut dan membukanya dengan baik, ya segera di baca dengan baik juga lah.

Isi buku yang baca Indro :

 Alkisah, di suatu desa, hiduplah seorang anak lelaki miskin dengan ibunya. Meski masih muda, kepala anak laki-laki itu tidak ditumbuhi rambut, mirip seperti orang lanjut usia. 

“Hei, Gundul! Kapan rambutmu bisa tumbuh? Hahaha!” 

Kemana pun Gundul pergi, orang-orang selalu menertawakan kepalanya. Saking seringnya memanggil dengan nama julukan, orang-orang menjadi lupa siapa nama Gundul sebenarnya. Meski sering menjadi bahan olok-olokkan, Gundul berhati lapang. Ia selalu tersenyum. Ia tak pernah merasa sedih atau marah dengan julukan yang diberikan kepadanya. Semua itu dia anggap sebagai candaan belaka. 

“Walaupun kepalaku tidak ditumbuhi rambut, tetapi Ibu sangat sayang kepadaku. Orang-orang juga suka berteman denganku,” hibur Gundul pada dirinya sendiri. 

Orang-orang sangat menyukai Gundul karena ia suka menolong orang lain tanpa pamrih. 

“Maukah saya bantu mengangkat guci yang berat itu, Pak Tua?” 

“Ibu yang baik, ini dompet Anda. Tadi terjatuh di jalan.”

“Ah, Adik Kecil. Aku punya sedikit manisan. Apa kau mau separuh?” 

Selain itu, Gundul juga penyayang binatang.

“Oh, semut yang malang. Apa yang kau lakukan dalam gelas minumku? Ayo, naiklah kemari.” 

Gundul mencelupkan ujung jarinya ke dalam gelas. Seekor semut hitam, yang berenang di sana, tampak naik ke jari Gundul. Semut itu pun selamat dan tidak tenggelam. Di samping suka menolong dan menyayangi binatang, Gundul juga anak yang berbakti kepada ibunya.

“Ibu, aku sudah besar sekarang. Ibu tak perlu bersusah payah lagi untuk mencari uang. Biar aku saja yang bekerja keras!” katanya bersemangat. 

Setiap hari, Gundul pergi bekerja ke kebun-kebun tetangganya untuk mendapatkan uang. Apabila uangnya tidak cukup untuk membeli makanan, ia akan pergi ke hutan kecil di pinggir desa untuk mengumpulkan jamur-jamur dan buah-buahan. 

“Maaf, Bu. Hari ini aku hanya menemukan beberapa jamur dan buah beri untuk makan malam,” kata Gundul saat menyerahkan hasil pencariannya di hutan. 

“Tidak apa-apa, Nak. Tunggulah sebentar, ibu akan memasaknya, lalu kita makan malam bersama. Ibu masih mempunyai sedikit tepung di dapur. Jadi, ibu bisa membuat sepotong roti untukmu,” ucap ibunya. 

“Oh, tidak, Bu. Kita bagi dua saja rotinya. Jika Ibu senang melihatku makan roti, maka aku juga senang melihat Ibu makan roti.”

Itulah Gundul. Sangat setia dan sayang kepada ibunya. 

“Hmm, sebentar lagi musim dingin tiba. Aku ingin membelikan Ibu sebuah mantel yang lembut dan hangat. Mantel Ibu sudah usang dan penuh tambalan di mana-mana,” pikir Gundul suatu hari. 

Gundul pun menyisihkan uang hasil kerjanya sedikit demi sedikit. Ketika uangnya sudah terkumpul banyak, ia menukarkannya dengan tiga koin emas. Tiga keping koin itu akan ia gunakan untuk membeli mantel bagi ibunya. Suatu hari, Gundul berjalan ke pasar dengan hati riang. Ia bermaksud membeli mantel untuk ibunya. Namun, di tengah jalan, ia melihat sekumpulan anak kecil sedang menjahili seekor kucing kurus dengan sebuah tongkat panjang. 

“Hahaha! Kucing jelek! Kucing jelek!” Anak-anak itu tertawa mengejek. 

Gundul merasa kasihan melihat kucing malang itu. 

“Hentikan, hentikan! Jangan mempermainkan binatang.”

“Mengapa kami harus berhenti mempermainkannya? Pergilah, jangan ganggu kesenangan kami,” tukas anak-anak itu. 

Gundul kemudian merogoh saku bajunya. 

“Tinggalkan kucing ini. Sebagai gantinya, aku berikan satu keping koin emas.” 

Setelah anak-anak itu pergi, Gundul segera mendekati kucing kurus itu dan membagi separuh rotinya.

“Makanlah.” 

Gundul meneruskan perjalanannya, menuju sebuah toko baju, untuk membeli mantel. Mungkin, dua koin emas masih cukup untuk membeli sebuah mantel yang hangat, walaupun agak kasar. Meong… Meong… Ternyata, kucing yang tadi ditolong oleh Gundul masih mengikutinya. Kucing itu memandang Gundul dengan tatapan terima kasih. 

“Baiklah, kau boleh ikut denganku,” ucapnya. 

Dalam jarak sepuluh kios, dari tempat kucing tadi dijahili, terlihat seekor anjing yang sedang dipukuli oleh sepasang suami istri. Mereka memarahi anjing itu karena ia terus-menerus menggonggong.

“Tolong, jangan pukul anjing ini lagi, Tuan dan Nyonya,” pinta Gundul.

“Mengapa kami harus berhenti memukul anjing ini? Binatang ini harus diberi pelajaran!” kata mereka serempak.

“Tinggalkanlah anjing ini. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu keping koin emas,” kata Gundul sambil mengulurkan koin emas yang diambilnya dari saku baju. 

Pasangan suami istri itu menerima koin emas dari Gundul dengan senang hati. Mereka segera menyingkir dari tempat itu. Gundul lalu menghampiri anjing itu dan memberikan separuh rotinya yang masih tersisa kepada si anjing. 

“Ah, aku telah kehilangan sepotong roti dan dua keping koin emas. Sekarang, aku lapar dan ragu, apakah aku masih bisa membeli sebuah mantel untuk Ibu dengan sekeping uang emas?” katanya kepada anjing dan kucing yang ditolongnya tadi. 

Kedua binatang itu menggosok-gosokkan kepala mereka ke kaki Gundul, berusaha menghibur dan seolah berkata, “Tenanglah, Tuan, kami akan menemanimu dan membalas kebaikanmu suatu hari nanti.”

Gundul mulai melangkahkan kakinya menuju toko pakaian bersama dengan si anjing dan si kucing. Ia berusaha membeli sebuah mantel seharga sekeping koin emas, namun setiap toko pakaian yang ia masuki, tidak bersedia menjual mantelnya seharga satu keping koin emas. Akhirnya, Gundul pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Saat ia melewati tepian hutan kecil, ia melihat seorang penebang kayu hendak memukul seekor ular dengan menggunakan kapaknya yang tajam. 

“Tuan, saya mohon, jangan bunuh ular itu!” seru Gundul tiba-tiba. 

Dan, Gundul, sekali lagi, memberikan satu keping koin emas yang tersisa untuk menyelamatkan ular itu. “Sssss... Terima kasih, Tuan telah menyelamatkan saya. Saya adalah anak dari Raja Ular. Ikutlah bersama saya untuk menerima ucapan terima kasih dari ayah saya,” bisik ular kecil itu. 

Gundul dan dua sahabatnya memenuhi permintaan ular kecil itu. 

“Terima kasih, Tuan sssss… Anda telah menyelamatkan anak saya. Untuk membalas kebaikan Tuan, silakan minta apa saja yang Tuan inginkan. Ssss…,” kata Raja Ular. 

“Tidak, Raja Ular. Saya tidak ingin hadiah apa-apa,” tolak Gundul. 

Rupanya, penolakan Gundul justru membuat Raja Ular mendesis marah. 

“Mintalah sesuatu untuk menghormati ayahku. Mintalah Segel Ajaib yang ada di bawah lidahnya. Sssss…,” bisik ular kecil itu cepat. 

“Baiklah, Yang Mulia. Bolehkah saya meminta Segel Ajaib yang tersimpan di bawah lidah Yang Mulia?” pinta Gundul. 

Raja Ular mendesis. 

“Tuan telah meminta milik saya yang sangat berharga. Namun, saya akan tetap memberikannya karena Tuan telah menyelamatkan anak saya. Nyawa anak saya lebih berharga dari segel ini. Ssss…” 

Raja Ular mengeluarkan pun sesuatu dari dalam mulutnya. Sebuah segel emas berbentuk bulat pipih dengan ukiran seekor ular di tengahnya. Segel itu tampak indah dan misterius. 

“Segel ini bisa mengabulkan apa pun keinginan Tuan. Ssss…,” kata Raja Ular.

“Terima kasih atas pemberian, Yang Mulia.”

 Gundul menerima segel itu dengan penuh rasa hormat. Setelah berpamitan dengan Raja Ular, Gundul bersama kucing dan anjingnya segera pulang ke rumah dengan hati gembira. 

“Ibu! Ibu! Aku pulang!” teriak Gundul. Ibunya datang tergopoh-gopoh.

“Oh, anakku! Tidak tahukah bahwa engkau telah pergi terlalu lama? Aku mengira engkau mengalami celaka di luar sana!” 

“Tidak, Bu. Aku baik-baik saja. Aku bahkan mendapatkan hadiah dari Raja Ular karena aku telah menyelamatkan anaknya.”

Gundul lalu menceritakan semua hal yang dialaminya. Kemudian, ia menyimpan segel itu di bawah lidahnya. 

“Wahai, Segel Ajaib! Berikanlah aku sebuah mantel terbaik di dunia!” seru Gundul. 

Tak berapa lama, sebuah mantel indah berbulu lembut muncul di hadapan mereka. Melihat itu semua, ibu Gundul berkata. “Kalau segel ini benar-benar ajaib, ia pasti bisa menolongmu untuk menikahi Putri Sultan, Nak.” 

“Tapi, Bu, apakah itu tidak berlebihan? Kita kan orang miskin. Kita juga bukan keluarga bangsawan,” sahut Gundul. 

“Semua orang tahu bahwa Putri Sultan tidak hanya cantik, tetapi juga baik hati dan penyayang kepada rakyat. Gadis seperti itulah yang pantas menjadi istri pemuda sebaik engkau, Nak,” kata ibu Gundul.

Semula, Gundul enggan untuk menuruti perintah ibunya. Namun, karena ibunya terus-menerus mendesaknya, ia pun berangkat ke istana bersama kucing dan anjingnya yang setia. 

“Kau hendak menikahi putriku?” 

Sultan terkejut mendengar permintaan seorang pemuda gundul di hadapannya. Ia memerhatikan penampilan Gundul dengan saksama. Tidak ada tanda-tanda seorang bangsawan ataupun saudagar pada dirinya. 

“Baginda Sultan boleh meminta apa pun sebagai syarat. Saya akan memberikannya,” kata Gundul yakin. 

Sultan tertawa terbahak-bahak. 

“Baiklah. Kalau begitu, sediakan sebuah istana dan segala isinya. Sebagai seorang ayah, aku harus tahu bahwa putriku tidak akan hidup dalam kekurangan.”

Gundul menyanggupi permintaan Sultan. Ia bergegas pergi ke sebuah daerah di dekat danau, di pinggir hutan kecil. Kemudian, ia meminta Segel Ajaib membuatkan sebuah istana lengkap dengan isinya. Tiba-tiba, sebuah cahaya menyilaukan meluncur dari langit dan menghantam tanah bagaikan bintang jatuh. Sesaat setelah pendaran cahaya itu hilang, Gundul melihat sebuah istana menjulang dengan megah di samping danau. 

“Baiklah, Anak Muda. Kau boleh menikahi putriku.”

Sultan menepati janjinya, karena Gundul telah berhasil menyediakan sebuah istana, yang lengkap dengan isinya, untuk Putri Sultan. Pesta pernikahan Gundul dan Putri Sultan digelar dengan meriah selama 40 hari 40 malam. Semua orang di negeri itu diundang untuk menghadirinya. Tak seorang pun menyangka bahwa Gundul bisa memiliki sebuah istana yang indah dan menikahi Putri Sultan. Gundul dan ibunya pun, kini, hidup berkecukupan dan bahagia. Waktu terus berjalan, Segel Ajaib telah mengabulkan banyak keinginan Gundul. Ia pun akhirnya berkata. “Aku sudah mempunyai istana yang bagus, istri yang cantik dan baik hati, harta yang melimpah, dan banyak hal lainnya. Aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi.” 

Gundul memutuskan untuk mengeluarkan Segel Ajaib dari dalam mulutnya. Lalu ia menyerahkannya kepada Putri Sultan untuk disimpan, tanpa memberitahu bahwa segel itu adalah sebuah benda ajaib. Suatu hari, Gundul sedang pergi ke luar kota untuk berdagang dan ibunya sedang pergi ke pasar, ketika seorang penjual manik-manik datang mengetuk pintu istananya. 

“Tuan, silakan memilih salah satu untaian manik-manik yang saya bawa,” tawarnya. 

Putri Sultan yang saat itu membuka pintu, langsung jatuh hati dan ingin membeli manik-manik itu.

“Aku ingin membeli dua. Satu untukku dan satu untuk ibu mertuaku,” katanya. 

Putri Sultan segera membayarnya, namun penjual itu menolaknya, “Saya tidak menerima pembayaran dengan uang, Tuan Putri. Saya hanya mau menukar manik-manik ini dengan sebuah barang.” 

“Barang apakah itu?” tanya Putri Sultan keheranan.

“Sebuah segel emas dengan ukiran seekor ular di tengahnya. Hanya itu harga yang pantas untuk manik-manik saya yang indah ini,” jawab penjual itu. 

Putri Sultan segera teringat pada segel milik suaminya. “Tunggu sebentar, sepertinya saya memiliki barang seperti itu.” 

Sesaat kemudian, Putri Sultan kembali sambil membawa barang yang dimaksud. 

“Apakah seperti ini?” 

“Ah, iya. Anda benar, Tuan Putri. Sekarang, Anda boleh memilih dua atau tiga untaian manik-manik yang Anda suka,” kata penjual itu dengan sukacita karena telah menemukan benda yang ia cari.

“Segel Ajaib ini akhirnya jadi milikku!” seru penjual manik-manik itu saat ia kembali ke rumahnya, di seberang danau yang gelap. 

Seiring dengan perginya Segel Ajaib, istana dan semua barang-barang yang diberikan oleh Segel Ajaib ikut menghilang. Putri Sultan dan ibu Gundul sungguh terkejut. Kini, barang-barang yang tersisa hanyalah barang-barang yang dibeli dari hasil kerja Gundul saja. 

“Oh, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana ini?” Ibu Gundul panik bukan kepalang. 

“Jika begini keadaannya, lebih baik putriku pulang kembali ke istana bersamaku,” kata Sultan yang mengetahui kejadian itu. 

“Tidak, Ayah. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sini. Suamiku dan ibunya adalah orang-orang yang aku sayangi. Mereka sangat baik kepadaku,” tolak Putri Sultan. 

“Tidak! Kau harus tetap kembali ke istana kita.” Sultan bersikeras membawa pulang putrinya. Ketika Gundul kembali dari luar kota, ia sangat terkejut melihat perubahan tempat tinggalnya. Ia benar-benar kaget karena harus kehilangan istana dan istri tercintanya. 

“Oh, anakku yang malang!” Ibu Gundul memeluk anaknya untuk memberi penghiburan. Kucing dan anjing, yang selalu menyertai Gundul, merasa kasihan melihat tuan mereka yang baik mengalami kemalangan. 

“Mereka bilang penjual manik-manik itu pergi ke seberang danau yang gelap. Kita harus mengambil kembali segel ajaib itu,” usul Anjing. 

“Tetapi, aku takut sekali dengan air,” jawab Kucing. 

“Ingatlah, kebaikan tuan kita dahulu. Ia yang telah menyelamatkan nyawa kita berdua dan memelihara kita dengan kemurahan hatinya. Aku pandai berenang dan bisa membawamu di atas punggungku,” bujuk Anjing. 

Kucing pun menyetujui usul Anjing. Tanpa membuang waktu lagi, kedua binatang itu berangkat menyeberangi danau. Air danau yang dingin tidak menghalangi langkah kedua binatang itu untuk terus maju, hingga sampai ke rumah penjual manik-manik yang licik itu. 

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Anjing saat melihat penjual manik-manik itu tertidur lelap di atas kursi kayunya. 

“Kita berbagi tugas saja. Aku akan pergi menangkap seekor tikus, sedangkan kau menghancurkan butiran merica ini hingga menjadi bubuk,” kata Kucing. 

Anjing mengangguk, setuju. Mereka pun bergegas melaksanakan tugas masing-masing. Matahari baru saja tenggelam ketika Kucing datang membawa seekor tikus yang masih hidup. Kucing lalu mengoleskan bubuk merica, hasil kerja Anjing, pada ekor tikus itu. 

“Nah, Tikus. Gelitikilah hidung orang itu dengan ekormu. Ketika ia bersin dan mulutnya mengeluarkan sebuah segel emas, bawalah benda itu kepadaku,” perintah Kucing. 

Tikus menuruti semua perintah Kucing. Ia takut jika Kucing akan memakanannya. Ciit… ciit... ciit! Tikus berlari kencang, melompat pelan di atas pundak penjual manik-manik, lalu melompat lagi di atas mulut lelaki itu. Tikus menggoyang-goyangkan ekornya, tepat, di hidung penjual manik-manik. Seketika itu juga, penjual manik-manik bersin dengan keras, hingga Segel Ajaib, yang di simpan di mulutnya, terlempar keluar. Tikus langsung menangkap segel itu dengan mulutnya dan berlari kencang, kembali kepada Kucing. Penjual manik-manik melanjutkan tidurnya karena tidak tahu apa yang sedang terjadi. 

“Terima kasih, Tikus. Kau boleh pergi sekarang,” kata Kucing, setelah menerima Segel Ajaib. 

Kucing dan Anjing kembali menyeberangi danau untuk kembali pulang kepada tuan mereka, Gundul. Gundul sangat senang karena Segel Ajaib berhasil diselamatkan oleh dua binatang setia, yang selama ini selalu mendampinginya. 

“Kalian berdua memang sahabat terbaikku,” ucap Gundul tulus, sambil mengelus-elus Anjing dan Kucing. 

Dalam secepat kilat, istana Gundul dan semua isinya muncul kembali di tepi danau. Gundul segera menjemput istrinya dan mereka sekeluarga hidup bahagia. Gundul pun sadar, ternyata harta hasil kerja keras dan persahabatannya dengan Anjing dan Kucing lebih sejati dari pada kekuatan Segel Ajaib.

***

Indro berhenti baca buku.

"Cerita asal dari Turki kata di buku di tulis sih, ya bagus ceritanya. Pinter yang membuat bukunya," kata Indro memuji.

Indro memutup buku dan menaruh buku di meja dengan baik banget. 

"Main game ah!" kata Indro.

Indro main game di Hp-nya dengan baik banget. Sedangkan Kasino sibuk dengan pekerjaannya di kamar, ya pembukuan gitu. Dono sibuk mengetik di leptopnya, ya membauat cerita yang baik di Blog-nya.

Saturday, June 26, 2021

LEGENDA SILUMAN ULAR PUTIH

Thania di beliin buku sama ibu dengan judul buku 'Legenda Siluman Ular Putih', ya senanglah perasaan Thania. Thania duduk di ruang tengah dengan baik. Buku di buka sama Thania dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Thania : 

Lu Dongbin, salah satu dari Delapan Dewa, menyamar sebagai pedagang tangyuan di satu jembatan rusak dekat Danau Barat di Hangzhou. Seorang anak lelaki bernama Xu Xian  membeli beberapa tangyuan dari Lu Dongbin tanpa mengetahui bahwa itu sebenarnya pil keabadian. Setelah memakannya, Xu Xian tidak merasa lapar selama tiga hari berikutnya jadi dia kembali bertanya kepada penjual tangyuan, mengapa hal itu bisa terjadi. Lu Dongbin tertawa dan membawa Xu Xian ke jembatan, di mana ia membalikkan tubuh Xu Xian dan menyebabkannya memuntahkan tangyuan ke danau.

Di danau, ada roh ular putih yang telah berlatih seni magis Tao. Dia memakan pil dan mendapatkan kekuatan sihir senilai 500 tahun. Karena itu, dia merasa berterima kasih kepada Xu Xian dan sejak saat itu nasib mereka menjadi saling terkait. Ada roh terrapin (atau kura-kura) lain yang juga berlatih di danau yang tidak berhasil mengonsumsi pil apa pun; dia sangat iri dengan ular putih. Suatu hari, ular putih melihat pengemis di jembatan yang telah menangkap ular hijau dan ingin mengambil empedu ular dan menjualnya.

Ular putih berubah menjadi wanita dan membeli ular hijau dari pengemis, sehingga menyelamatkan nyawa ular hijau. Ular hijau berterima kasih kepada ular putih dan dia menganggap ular putih sebagai kakak perempuan. Delapan belas tahun kemudian, selama Festival Qingming, ular putih dan hijau mengubah diri mereka menjadi dua wanita muda bernama Bai Suzhen (Ular Putih) dan Xiaoqing (Ular Hijau). Mereka bertemu Xu Xian di jembatan rusak di Hangzhou. Xu Xian meminjamkan payungnya kepada mereka karena hujan. Xu Xian dan Bai Suzhen secara bertahap jatuh cinta dan akhirnya menikah. Mereka pindah ke Zhenjiang, di mana mereka membuka toko obat.

Sementara itu, roh terrapin telah mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk mengambil bentuk manusia, sehingga ia berubah menjadi seorang biksu Buddha yang disebut Fahai. Masih marah dengan Bai Suzhen, Fahai merencanakan untuk merusak hubungan Bai Suzhen dengan Xu Xian. Dia mendekati Xu Xian pada Festival Duanwu dan mengatakan kepadanya bahwa istrinya harus minum anggur asli, minuman beralkohol yang biasa dikonsumsi selama festival itu.

***

Thania menghentikan baca bukunya dan buku di taruh di meja. Thania ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas. Thania minum air putih yang dingin gitu.

"Segernya," kata Thania.

Thania pun mengambil roti di dalam kulkas. Ibu memang menyiapkan makan kecil di dalam kulkas, ya stok saja gitu. Thania memakan roti dengan baik sampai habis dan minum air dinggin untuk menghilangkan rasa seretnya gitu. Thania kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan baca bukunya.

Isi buku yang di baca Thania, ya lanjutannya :

Bai Suzhen tanpa curiga meminum anggur dan tiba-tiba keluar wujud aslinya sebagai ular putih besar. Xu Xian meninggal karena terkejut setelah melihat bahwa istrinya bukan manusia. Bai Suzhen dan Xiaoqing melakukan perjalanan ke Gunung Emei, di mana mereka mencuri ramuan ajaib untuk mengembalikan Xu Xian seumur hidup. Setelah hidup kembali, Xu Xian masih mempertahankan cintanya pada Bai Suzhen meskipun mengetahui wujud aslinya sebagai ular putih. Fahai mencoba untuk memisahkan mereka lagi dengan menangkap Xu Xian dan memenjarakannya di Kuil Jinshan.

Bai Suzhen dan Xiaoqing bertarung dengan Fahai untuk menyelamatkan Xu Xian. Selama pertempuran, Bai Suzhen menggunakan kekuatannya untuk membanjiri kuil, menyebabkan kerusakan dan menenggelamkan banyak orang tak berdosa. Namun, kekuatannya terbatas karena dia sudah mengandung anak Xu Xian, jadi dia gagal menyelamatkan suaminya. Xu Xian kemudian berhasil melarikan diri dari Kuil Jinshan dan bersatu kembali dengan istrinya di Hangzhou, tempat Bai Suzhen melahirkan putra mereka, Xu Mengjiao. Fahai melacak mereka, mengalahkan Bai Suzhen dan memenjarakannya di Pagoda Leifeng. Xiaoqing melarikan diri, bersumpah untuk membalas dendam.

Dua puluh tahun kemudian, Xu Mengjiao mendapatkan posisi Zhuangyuan (sarjana top) dalam ujian kekaisaran dan kembali ke rumah dengan penuh kemuliaan untuk mengunjungi orang tuanya. Pada saat yang sama, Xiaoqing, yang telah menghabiskan tahun-tahun berikutnya memperbaiki kekuatannya, pergi ke Kuil Jinshan untuk menghadapi Fahai dan mengalahkannya. Bai Suzhen dibebaskan dari Pagoda Leifeng dan dipersatukan kembali dengan suami dan putranya, sementara Fahai melarikan diri dan bersembunyi di dalam perut seekor kepiting. Ada yang mengatakan bahwa lemak internal kepiting berwarna oranye karena menyerupai warna pakaian Fahai.

***

Thania berhenti baca bukunya.

"Cerita yang bagus," kata Thania.

Thania membaca pesan moral yang di tulis di buku tersebut "Kita harus berjuang untuk orang-orang yang kita sayangi."

Thania menutup bukunya dengan baik. Thania beranjak dari duduknya di ruang tengah ke kamarnya untuk menaruh buku di rak buku. Setelah buku di taruh di rak buku. Thania keluar dari kamarnya dan ke dapur untuk membantu ibu memasak di dapur. 

FROZEN

Tasya ke kamar Mbak Wika untuk mengambil buku. Tasya mencari buku dengan baik di rak buku. Buku yang diinginkan Tasya ketemu.

"Aku ingin membaca buku ini. Frozen," kata Tasya.

Tasya keluar dari kamar Mbak Wika dengan membawa buku. Tasya ke ruang tengah dan duduk santai di sofa yang empuk gitu. Tasya membuka buku tersebut dan segera membacanya dengan baik.

Isi buku yang di baca Tasya : 

Saat Elsa dan Anna bermain dengan penuh kegembiraan. Elsa kehilangan kendali dan dia secara tidak sengaja memukul Anna dengan ledakan sihir es. Anna terluka parah. Orang tuanya pergi ke pegunungan kuno mencari bantuan. Seorang troll tua yang bijak memberi tahu mereka bahwa Anna bisa diselamatkan – dia beruntung dipukul di kepala dan tidak di dalam hati. Ketika tahun-tahun berlalu, Anna lupa tentang malam itu.
Untuk menjaga rahasia Elsa dari orang lain, orang tua mereka mengelilingi kastil dengan tembok dan tidak pernah membiarkan siapa pun masuk. Tetapi setiap kali Elsa memiliki perasaan yang kuat, sihir itu muncul dan sulit dikendalikan. Elsa tidak ingin menyakiti saudarinya lagi, jadi dia berhenti bermain dengan Anna. Itu membuat Anna sangat kesepian. Bahkan setelah orang tua mereka tersesat di lautan badai, saudari-saudari itu tidak menghabiskan waktu bersama.

Bertahun-tahun kemudian, sudah waktunya bagi Elsa untuk menjadi ratu Arendelle. Untuk hari itu, gerbang kastil dibuka. Ratusan orang menghadiri upacara penobatan. Elsa bekerja keras untuk menyembunyikan perasaan dan kekuatannya. Di pesta itu, Anna menari dengan Pangeran Hans yang tampan dari Southern Isles. Dia membuat jantungnya berdebar. Sepertinya mereka memiliki semua kesamaan, jadi mereka memutuskan untuk menikah.

Elsa berpikir pertunangan mereka adalah ide yang buruk. Anna tidak bisa mempercayainya dan mulai berdebat. Elsa mulai kehilangan kendali dan ketika dia berteriak, es melesat dari tangannya. Semua orang menatap Elsa dengan kaget. Sekarang semua Arendelle tahu rahasia Elsa. Dia panik dan melarikan diri ke pegunungan.

Anna merasa mengerikan. Kekuatan Elsa telah menciptakan badai musim dingin yang mengerikan di tengah musim panas. Dia meninggalkan Hans yang bertanggung jawab atas kerajaan dan berlari mengejar Elsa. Ketika Anna melaju melalui angin yang kencang, kudanya melemparkannya ke salju dan berlari kembali ke Arendelle.

Untungnya, dia bertemu seorang pemanen es bernama Kristoff dan rusa kutubnya, Sven. Bersama-sama mereka berangkat untuk mencari Elsa. Ketika mereka mendaki gunung, Anna dan Kristoff menemukan negeri ajaib musim dingin yang indah.

Mereka bertemu dengan manusia salju ajaib bernama Olaf. Olaf tahu di mana Elsa berada dan ingin membantu mereka membawa kembali musim panas. Sementara itu, Hans membantu orang-orang Arendelle. Ketika kuda Anna kembali ke kastil tanpa dia, Hans menoleh ke kerumunan dan meminta sukarelawan.

Kembali ke gunung, Olaf membawa Anna dan Kristoff ke sebuah istana es raksasa yang Elsa ciptakan dengan kekuatannya. Bahkan Kristoff pun terkesan. Di dalam, Anna memberi tahu Elsa tentang badai dahsyat di Adrendelle. Elsa khawatir dan tidak tahu cara mencairkan kota, dan dia pikir Anna dan Arendelle mungkin lebih baik tanpanya.

Anna ingin Elsa pulang, tetapi Elsa terlalu takut bahwa dia akan melukai lebih banyak orang. Ketika mereka berselisih, gelombang sihir es meledak dari tubuh Elsa dan memukul dada Anna. Anna tidak akan pergi tanpa saudara perempuannya. Elsa tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menggunakan sihirnya untuk membuat manusia salju raksasa untuk mengusir Anna dan teman-temannya keluar dari istana.

Anna dan teman-temannya pergi dengan aman di bawah. Mereka telah melarikan diri dari manusia salju tetapi Anna khawatir karena rambutnya menjadi putih bersalju. Kristoff membawa Anna ke troll. Seorang troll memberi tahu mereka bahwa kecuali sihir Elsa dibalik, Anna akan membeku. Hanya tindakan cinta sejati yang bisa mencairkan hati yang beku.

Anna tahu dia mencintai Hans. Ketika dia mulai menggigil, Kristoff khawatir tentang dia. Hans dan tentaranya baru saja tiba di istana es dan menyerang Elsa. Mereka membawanya kembali ke Arendelle dan melemparkannya ke penjara bawah tanah. Ketika Anna tiba di Arendelle, dia meminta Hans untuk menyelamatkannya dengan ciuman. Namun Hans menolak karena dia hanya berpura-pura mencintai Anna.

Hans ingin mengambil alih Arendelle dengan menyingkirkan Anna dan Elsa. Hans meninggalkan Anna sendirian dan menggigil. Olaf menemukannya dan membantunya melakukan pemanasan tetapi Anna semakin lemah. Olaf melirik ke luar jendela dan melihat Kristoff berlari menuju kastil. Olaf berpikir baha Kristoff lah yang perlu dicium Anna. Pada saat yang sama Elsa telah melarikan diri dari ruang bawah tanah, tetapi Hans berada di belakangnya. Hans memberi tahu Elsa bahwa ledakan sihirnya mengenai jantung Anna.

Elsa sangat bersedih, dia pingsan di salju dan menutup matanya. Dia merasa semua yang dia lakukan untuk melindungi saudara perempuannya telah gagal. Anna bergegas menuju Kristoff tetapi saat itu dia melihat Hans telah menarik pedangnya untuk membunuh Elsa. Alih-alih menyelamatkan dirinya, Anna melompat melindungi Elsa dari pedang Hans. Hans mengayunkan pedangnya tetapi pedang itu hancur saat menghantam tubuh Anna yang beku.

Elsa memeluk adiknya. Tiba-tiba, Anna mulai mencair dan kedua saudara perempuan itu berpelukan. Ketika Olaf memperhatikan mereka, dia ingat apa yang dikatakan troll tua yang bijak itu, “Tindakan cinta sejati akan melelehkan hati yang beku.”

Cinta Anna untuk Elsa telah menyelamatkan mereka berdua dan Kerajaan. Kedua saudara perempuan itu adalah teman baik lagi dan musim panas telah kembali ke Arendelle. Elsa bahkan membuat Olaf menjadi awan salju kecil agar tidak mencair. Elsa memiliki kejutan untuk Anna, gerbang kastil terbuka lebar. Sekarang semuanya seperti yang seharusnya.

***

Tasya menghentikan baca bukunya.

"Cerita yang bagus banget," kata Tasya.

Tasya membaca pesan moral yang tertulis di buku tersebut "Cintailah dan lindungilah saudaramu. Merekalah yang akan membantumu disaat kamu kesusahan."

Tasya memahami pesan moral yang di tulis di buku tersebut. 

"Pintar yang membuat ceritanya," kata Tasya.

Tasya menutup bukunya dengan baik. Tasya berajak dari duduknya di ruang tengah ke kamar Mbak Wika. Tasya pun menaruh buku di meja belajar. Tasya teringat sesuatu "Aku berjanji main bersama Agnes."

Tasya keluar dari kamar Mbak Wika. Segera keluar dari rumah Tasya, ya ke rumah Agnes untuk main bersama. Wika telah menyelesaikan pekerjaannya, ya bantu ibu masak di dapur. Wika ke kamarnya untuk mengambil buku pendidikannya jenjang Universitas gitu. Wika melihat buku berjudul 'Frozen' di meja belajar.

"Tasya masuk ke kamar aku. Untuk membaca buku berjudul 'Frozen'. Cerita memang bagus, ya filmnya juga bagus. Pinter yang membuat cerita dan juga filmnya," kata Wika.

Wika pun mengambil buku di meja dan di taruh di rak buku dengan baik. Wika pun mengambil buku yang ingin ia baca di rak. Wika keluar dari kamarnya dan langsung ke ruang tengah. Duduk dengan baik di ruang tengah Wika segera membaca bukunya dengan baik.

KISAH LEILA DAN RATU MALAM

Meli yang selesai membantu ibu di dapur...biasa masak gitu. Meli ke ruang tengah untuk menonton Tv. Duduk Meli dan ingin mengambil remot di meja. Ternyata ada buku yang belum ia baca, ya padahal itu buku di pinjam dari Rara....teman baiknya Meli gitu. Meli mengambil buku tersebut dan membaca judul buku tersebut "Kisah Leila Dan Ratu Malam."

Meli membuka buku tersebut da segera di bacanya dengan baik banget.

Isi buku yang di baca Meli :

Suatu masa, di sebuah daerah pedesaan Turki yang dipenuhi oleh barisan rapi kebun-kebun anggur para petani, hiduplah seorang lelaki tua bersama tiga orang anak gadisnya. Dua anak pertamanya, si kembar Ayla dan Aylin.

“Tuan Aslan mempunyai putri-putri yang sangat cantik,” kata orang-orang desa di suatu pesta panen anggur.

“Lihatlah Ayla dan Aylin. Mereka berdua bagaikan dua kuntum bunga tulip merah yang segar. Masing-masing merupakan cermin kecantikan bagi yang lain. Mereka benar-benar mempunyai pesona kecantikan yang sama.”

“Dua gadis itu pastilah gadis tercantik di seluruh desa ini. Bahkan, di seluruh tanah Turki.”

Mendengar perkataan orang-orang tentang mereka, Ayla dan Aylin sangat senang. Mereka begitu bangga dengan kecantikan mereka dan berusaha merawatnya sebaik mungkin. Setiap hari yang mereka lakukan hanyalah mematut diri di cermin dan bersantai-santai.

“Pagi ini, kita akan berjalan-jalan ke kebun anggur sebelah barat,” ajak Ayla ketika menyisir rambut coklatnya yang panjang berkilau.

“Ya. Para penduduk di sebelah barat sudah lama tidak melihat kecantikan kita, bukan?” Aylin merapikan gaun kaftan sutranya yang lembut dan indah.

Setelah Ayla dan Aylin siap, mereka melangkah keluar rumah dan menyapa matahari. “Wahai, Sang Matahari yang bersinar, siapakah yang paling cantik di negeri ini?” Ayla dan Aylin mendongakkan kepala ke langit.

Dengan sinarnya yang hangat, Sang Matahari menjawab, “Aku cantik. Kalian juga cantik. Memang, Ayla dan Aylin yang tercantik di negeri ini.” Ayla dan Aylin tersenyum puas mendengar jawaban Sang Matahari.

Hingga suatu malam, pada pesta panen berikutnya, semua mata beralih kepada seorang gadis lain. Gadis itu adalah Leila, si putri bungsu. Kini, ia telah tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Leila yang baik hati dan rajin membantu ayahnya di kebun anggur. Meski ia sering bekerja di kebun anggur bersama ayahnya, namun kecantikannya tidak berkurang sedikit pun. Bahkan, karena sifatnya yang rajin dan menyenangkan, para penduduk semakin kagum kepadanya.

“Hanya lewat satu musim panen dan tiba-tiba Leila muncul bagai rembulan purnama di malam kelabu,” bisik orang-orang itu.

“Dia pasti gadis tercantik di desa ini. Oh, tidak, bahkan di seluruh tanah Turki. Dia telah menenggelamkan sinar kecantikan Ayla dan Aylin,” komentar yang lain.

Hal tersebut membuat Ayla dan Aylin kecewa. Di pesta-pesta panen sebelumnya, mereka yang selalu mendapatkan pujian sebagai gadis tercantik. Kenapa sekarang Leila yang mendapatkannya?

Suatu pagi, Ayla dan Aylin mendongakkan kepala ke langit, mencari matahari terbit untuk bertanya, “Wahai Sang Matahari yang bersinar, siapakah gadis paling cantik di negeri ini?”

Sang Matahari menjawab sambil bersinar lembut, “Aku cantik. Kalian cantik. Tetapi, Leila lebih cantik. Kebaikan hatinya membuat Leila menjadi gadis tercantik di negeri ini.”

Jawaban Sang Matahari merebakkan rasa iri di hati Ayla dan Aylin. Mereka tidak suka jika Leila menyaingi keelokan paras mereka. Maka, dengan penuh dengki, mereka merencanakan sesuatu untuk menyingkirkan Leila.

“Oh, Leila, adik kami tersayang. Maukah engkau ikut memetik beberapa tanaman obat di hutan? Ayah kita pasti akan senang jika kita membuat beberapa botol minuman tonik untuk kesehatannya,” ajak Ayla dan Aylin suatu hari.

Tanpa berpikir panjang, Leila pun menyetujuinya. “Tentu saja, kakak-kakakku. Apa pun akan aku lakukan untuk membuat ayah senang.”

Sesampai di tengah hutan, Ayla dan Aylin berkata, “Leila, Sayang. Carilah tanaman obat di sini. Sementara itu, kami akan memetiknya di sebelah sana. Tunggulah hingga kami datang menjemputmu. Kemudian, kita akan pulang bersama-sama.”

Leila sama sekali tidak menaruh curiga terhadap kakak-kakaknya itu. Jadi, ia percaya saja terhadap janji mereka. Namun, ketika matahari beranjak turun ke langit barat dan keranjangnya telah penuh dengan tanaman-tanaman obat, Ayla dan Aylin tidak kunjung menjemputnya. Matahari akhirnya benar-benar tenggelam dan Leila tertinggal sendirian di dalam hutan yang asing dan gelap.

“Oh, kakak-kakakku tersayang! Kemanakah kalian? Jemputlah aku!” Leila berbisik dalam rasa takut. Ia melihat sekelilingnya. Ranting-ranting pepohonan yang kurus menjulur ke arahnya, seperti jemari penyihir yang hendak mencengkeramnya. Angin dingin yang berhembus, menambah rasa takutnya. Tubuh Leila menggigil. Ia pun menangis tersedu-sedu di atas batang pohon tua yang telah tumbang.

Tiba-tiba, seberkas sinar meluncur turun dari langit malam, mendarat di dekat Leila. Dari sinar itu tampak sebuah kereta tanpa kuda yang berkilauan oleh taburan bintang-bintang. Tiba-tiba seorang wanita anggun nan berwibawa, memakai jubah hitam gemerlap dan mahkota mutiara hitam turun dari kereta.

”Gadis yang malang, mengapa engkau menangis sendirian di tengah hutan?” Suara lembut wanita itu memecah keheningan.

“Anda siapa?” tanya Leila penuh ketakjuban melihat wanita di depannya.

“Aku, Sang Ratu Malam,” jawab wanita itu.

Leila sangat terkejut mendengar jawaban itu. Rasa takutnya kian membesar.

“Jangan takut, anakku. Aku tidak akan menyakitimu. Apa yang sedang menimpa dirimu?” Ratu Malam membelai rambut Leila dengan halus. Membuat Leila teringat ibunya yang telah meninggal. Ibu yang sangat ia rindukan.

“Oh, Ratu Malam yang lembut hati. Kakak-kakak yang kusayangi meninggalkanku sendirian di hutan ini. Jika aku tidak kembali ke rumah, siapa yang akan membantu ayahku?” ucap Leila sedih.

Terpesona oleh kecantikan dan kebaikan hati Leila, Ratu Malam berkata, “Jika kau kembali ke rumah, aku khawatir, kakak-kakakmu akan melakukan sesuatu yang lebih buruk. Lebih baik, kau tinggal di istanaku. Aku akan merawatmu seperti putriku sendiri.”

Leila menuruti ajakan Ratu Malam. Sejak malam itu, ia tinggal di istana Ratu Malam yang terletak di balik barisan awan-awan kelabu, berhiaskan bintang-bintang dan bulan purnama. Leila hidup dengan bahagia, penuh kasih sayang dari Ratu Malam, tanpa pernah kekurangan apa pun.

Tetapi, kisah ini belum berakhir. Bagaimana dengan Ayla dan Aylin? Setelah merasa berhasil menyingkirkan adiknya di hutan, mereka bertanya lagi kepada Sang Matahari.

“Wahai yang menyinari bumi, yang selalu bepergian mengelilingi dunia. Katakan pada kami, Sang Matahari, siapakah kini gadis tercantik di tanah Turki?”

Sang Matahari menjawab sambil bersinar lembut, “Aku cantik. Kalian juga cantik. Tetapi, Leila lebih cantik. Kebaikan hatinya membuat Leila menjadi gadis tercantik di negeri ini.”

Ayla dan Aylin kaget mendengar jawaban Sang Matahari. “Tidak mungkin, kau pasti salah menilai. Adik kami, Leila, telah meninggal di tengah hutan. Tidak mungkin ada manusia yang dapat bertahan hidup di tengah hutan. Nasibnya pasti telah berakhir karena kelaparan atau masuk ke dalam perut binatang buas.”

“Leila masih hidup. Bahagia bersama Sang Ratu Malam,” jawab Sang Matahari.

Kedengkian semakin tumbuh berlipat ganda dalam hati Ayla dan Aylin. Mereka pun menemui seorang wanita penyihir untuk menemukan letak istana Ratu Malam dan membuat rencana untuk menyingkirkan Leila.

“Tolong, katakan pada kami, di mana istana Ratu Malam berada. Kami akan membayarmu dengan uang yang sangat banyak,” kata Ayla dan Aylin kepada Wanita Penyihir.

“Hmmm….” Wanita Penyihir menggeram pelan, melemparkan beberapa jenis wewangian ke dalam tempat dupa yang terbuat dari emas. Asap segera mengepul keluar. Bau harum yang ganjil menyebar ke seluruh ruangan, menyesakkan pernapasan.

“Bacalah mantra ini dan pejamkan mata kalian. Dalam hitungan kelima, kalian akan sampai di depan istana Sang Ratu Malam. Datanglah pada malam hari, ketika Sang Ratu Malam sedang berada di luar istana,” perintah Wanita Penyihir.

“Akan tetapi, dengan cara apakah kami harus melenyapkan adik kami, Leila?” tanya Ayla.

Wanita penyihir itu terkekeh, mengeluarkan suara melengking yang aneh. “Wahai gadis-gadis berhati hitam, cara paling cepat adalah dengan memberinya selembar syal yang telah dibubuhi racun.”

Ayla dan Aylin tersenyum jahat kepada satu sama lain. Mereka menyetujui saran si penyihir wanita. “Baiklah, ajari kami mengucap mantra dan berikan syal itu.” Angan-angan menjadi yang tercantik sudah semakin nyata di depan mata.

Beberapa hari kemudian, mereka berdua merapalkan mantra pemberian si penyihir wanita di saat Ratu Malam tak ada di istana. Bwuuss! Asap hitam pekat menyelimuti Ayla dan Aylin, membawa mereka ke istana Ratu Malam dengan cara yang ajaib. Dalam lima hitungan, mereka telah sampai di depan gerbang yang tinggi, besar, dan berwarna hitam.

“Wahai penjaga pintu gerbang istana Ratu Malam yang mulia! Bisakah kami bertemu dengan adik kami tersayang, Leila?” seru mereka berdua.

Saat itu, Leila sedang tekun menyulam di atas kursi panjang yang empuk. Begitu mendengar suara kedua kakaknya, ia segera melongok ke luar jendela istana.

“Oh! Kakak-kakakku tersayang!” seru Leila gembira. Ia tidak menyangka mendapatkan kunjungan dari kedua kakaknya. Meski dulu Ayla dan Aylin pernah meninggalkannya sendirian di hutan, namun Leila tetap menyayangi kedua saudaranya itu. “Penjaga, tolong biarkan mereka masuk,” pinta Leila.

Penjaga gerbang istana segera membuka gerbang dan membiarkan Ayla dan Aylin masuk menemui Leila. Tiga saudara itu berpelukan erat.

“Maafkan kami, Leila. Kami telah meninggalkanmu sendirian di tengah hutan. Waktu itu, kami tersesat saat ingin menjemputmu. Ketika kami sampai di tempatmu, kau telah menghilang. Kami sangat sedih dan mengkhawatirkanmu.” Ayla dan Aylin pura-pura khawatir.

“Iya, tentu saja aku maafkan. Kalian adalah kakak-kakakku tersayang. Jangan khawatir, Ratu Malam sangat baik kepadaku. Bagaimanakah kabar Ayah? Aku sangat merindukannya,” tanya Leila.

“Ayah kita telah meninggal, Leila,” kata Ayla dan Aylin bersamaan. Leila terkejut mendengar pemberitahuan kedua kakaknya. Dia pun menangis karena merasa kehilangan dan menyesal, tidak bisa bertemu dengannya lagi.

Setelah Leila cukup tenang, ketiga saudara itu bercakap-cakap cukup lama sebelum berpamitan pulang.

“Leila, Sayang. Hapuslah jangan sedih lagi. Pakailah syal ini supaya kau selalu mengingat bahwa kami menyayangimu,” kata Ayla.

Aylin segera menyambar syal itu dan segera melingkarkannya di leher Leila, “Biar aku pakaikan,” katanya.

“Terima kasih, kakak-kakakku!” seru Leila bahagia.

Tak berapa lama setelah kedua kakaknya pulang, Leila kembali menyulam di atas kursi panjang. Tetapi, keanehan mulai terjadi, badan Leila terasa lemas, dan kemudian limbung, hingga jatuh terkulai di atas kursi. Racun dari syal pemberian si penyihir telah bekerja!

“Oh! Putriku yang malang!” seru Ratu Malam, ketika pulang ke istana dan menemukan Leila tak sadarkan diri. Ia segera mencari tahu penyebabnya. Saat melihat syal yang melingkar di leher Leila, Ratu Malam segera melepasnya. Ia tahu jika syal itu beracun.

Setelah Leila pulih dan menceritakan kejadian yang dialaminya, Ratu Malam berkata, “Kakak-kakakmu sangat baik mau berkunjung kemari. Tetapi, sepertinya mereka memasang syal ini terlalu rapat, hingga membuatmu pingsan.”

Ratu Malam tidak tega untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ia khawatir hal itu akan menyakiti hati Leila. Tetapi, ia berpesan kepada para penjaganya untuk tidak membiarkan siapa pun masuk selama dirinya pergi.

Ketika Ayla dan Aylin mebgetahui jika rencana mereka gagal, mereka segera mencari cara lain. Kali ini, mereka membawa sekeranjang manisan buah plum beracun untuk Leila.

“Oh, kakak-kakakku tersayang! Pintu gerbang tidak boleh dibuka selama Ratu Malam pergi. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Leila dari jendelanya yang berada tinggi di atas.

“Turunkanlah seutas tali, Leila! Supaya kami bisa mengikatkannya pada keranjang ini, dan kau bisa menariknya ke atas,” saran Ayla dan Aylin.

Leila segera menuruti perintah kakanya. Keranjang berisi manisan buah plum itu pun diterima Leila dengan senang hati. Saat ia memakan satu buah plum, racunnya mulai bekerja. Leila jatuh tak sadarkan diri. Tubuhnya dingin dan kaku seperti orang yang sudah meninggal. Namun, wajahnya tetap berseri bagaikan bunga tulip merah yang merekah.

Ratu Malam sangat sedih kehilangan Leila. Ia mengutus seorang pengrajin istana membuat sebuah peti perak yang berukiran indah untuk menyimpan tubuh Leila. Seekor kuda putih tercantik yang ada di istana dipasang di bagian depan peti. Kuda itu dibiarkan lepas bebas membawa tubuh Leila dalam peti, kemanapun binatang itu suka.

Beberapa hari kemudian, kuda itu ditemukan oleh seorang Sultan Muda yang sedang berburu di hutan. Dibukanya peti di belakang binatang tersebut. Sang Sultan Muda menemukan seorang putri yang sangat cantik di dalamnya. Wajahnya seolah masih hidup dan menyinarkan kecantikan yang memesona.

“Aku akan membawa kuda dan peti ini ke istanaku,” pikir Sultan Muda yang terpikat pada kecantikan Leila.

Sejak menemukan Leila, Sultan Muda tidak lagi tertarik melakukan apa pun yang biasa ia lakukan. Ia tidak lagi tertarik berburu, tidak tertarik dengan masakan lezat koki istana, bahkan ia sering merenung. Satu-satunya hal yang sering ia lakukan adalah memandangi Leila yang berada di dalam peti perak.

“Sungguh sayang, gadis cantik ini telah meninggal. Jika tidak, aku akan menjadikannya sebagai permaisuriku,” gumam Sang Sultan Muda.

Ibu Suri diam-diam mengetahui hal tersebut. Ketika Sultan Muda sedang tidak berada di dekat peti itu, beliau memegang tubuh Leila dan mengguncang-guncangkannya, seraya berkata, “Oh, putri yang malang! Bangunlah! Bangunlah!”

Seketika itu juga, manisan plum beracun yang berada dalam mulut Leila terlompat keluar. Leila pun membuka matanya dan hidup kembali. Selang beberapa waktu kemudian, ia menikah dengan Sang Sultan Muda dan melahirkan seorang bayi laki-laki.

Seluruh kerajaan bergembira menyambut kelahiran sang putra mahkota. Kabar itu juga terdengar oleh Ayla dan Aylin. Mereka tidak menyangka jika Leila berhasil selamat lagi dari kematian. Rasa iri dengki yang telah menguasai dua gadis itu membuat mereka kembali merencanakan kejahatan. Mereka menyamar menjadi pengasuh bayi untuk sang putra mahkota. Ketika Leila sedang tidur, mereka mendekatinya dan menusukkan sebuah peniti bermantra jahat di kepalanya. Mantra jahat itu mengubah Leila menjadi seekor burung yang indah.

“Huss! Pergi kau burung pembawa sial!” usir Ayla dan Aylin.

Leila yang telah berubah menjadi burung merasa terluka oleh perbuatan kedua kakaknya itu. Ia pun terbang menjauh dari istana.

“Permaisuriku, mengapa engkau tampak berbeda?” tanya Sultan Muda yang datang menjenguk.

Ayla yang sedang menyamar menjadi Leila, berkata, “Oh, Sultan. Ini pasti karena aku terlalu lelah melahirkan dan merawat Putra Mahkota.”

Sultan Muda tahu bahwa wanita muda itu bukan permaisurinya. Dalam diamnya, ia berencana untuk membongkar rahasia di balik penipuan itu. Suatu hari, seekor burung yang sangat indah bertengger pada dahan rendah salah satu pohon di taman istana.

“Katakan padaku, Yang Mulia. Apakah engkau, Ibu Suri, dan Putra Mahkota bisa tidur nyenyak?” tanya burung itu kepada Sultan Muda.

Sultan Muda terkejut melihat burung cantik itu bisa berbicara layaknya manusia. “Ya, kami semua bisa tidur dengan nyenyak,” jawabnya.

Aku senang mendengarnya. Tetapi, aku sangat sedih melihat Permaisuri itu tinggal bersama kalian,” ucap Sang Burung. Selesai berbicara demikian, ia terbang mengelilingi taman istana. Namun, semua tanaman yang dilewatinya menjadi layu, dan tanahnya yang subur menjadi pasir tandus.

Sultan Muda keheranan melihat hal itu. Ketika burung itu akhirnya hinggap di lengannya, Sultan Muda melihat sebuah peniti menancap pada kepala burung itu. Ia pun mencabut peniti itu karena merasa kasihan. Seiring dengan tercabutnya peniti itu, burung itu berubah menjadi Leila, permaisurinya yang telah hilang.

“Siapakah yang melakukan perbuatan jahat ini kepadamu, Permaisuri?” tanya Sultan Muda prihatin.

“Gadis yang sekarang menyamar menjadi aku dan seorang lagi menyamar menjadi pengasuh Putra Mahkota. Mereka berdua adalah kakak-kakakku.” Leila pun menceritakan semua yang dialaminya dari awal. Sultan Muda geram mendengar penuturan Leila. Ia memutuskan untuk menghukum Ayla dan Aylin.

Ketika matahari telah tenggelam, Ayla dan Aylin dibawa ke tempat pelaksanaan hukuman.

“Ampuni kami, Yang Mulia! Ampuni kami, Leila! Kami tidak akan berbuat jahat lagi. Tolong jangan jatuhkan hukuman berat kepada kami. Bukankah, kami berdua adalah kakak-kakakmu tersayang?” seru Ayla dan Aylin ketakutan.

Leila yang berhati lembut tidak tega menyaksikan kakak-kakaknya dihukum. Meski mereka sering berlaku jahatnya terhadap dirinya, Leila tetap menyayangi mereka.

“Yang Mulia, tolong batalkan hukuman ini. Demi saya,” pinta Leila.

Tetapi, Sultan Muda tetap pada keputusannya, “Tidak. Kejahatan tetaplah kejahatan. Hukum harus ditegakkan supaya keadilan tetap berdiri di atas kejahatan.”

Leila menangis sedih, “Oh, Ratu Malam. Seandainya engkau bisa datang ke sini. Tolong, hiburlah putri angkatmu yang sedang berduka ini…”

Seperti dulu ketika Leila menangis sendirian di tengah hutan, Ratu Malam yang kebetulan lewat di atas langit kerajaan, segera turun ke bumi. Kereta tanpa kudanya yang berkilauan bertaburan bintang-bintang, berhenti di sana.

“Tahan, Sultan Muda yang bijaksana. Aku adalah Ratu Malam, ibu angkat dari permaisurimu. Bersediakah engkau mendengarkan nasihatku? Berikanlah dua pilihan yang bijak sebagai hukuman kedua wanita jahat ini.”

Sultan Muda menunduk hormat. “Jika itu kehendak Sang Ratu Malam, silakan berikan dua pilihan itu kepada mereka.”

Ratu Malam mengangguk lega, begitu juga dengan Leila. Ia percaya, ibu angkatnya akan menyelamatkan hidup kedua kakaknya. “Wahai, dua gadis berhati hitam dan berpikiran picik! Pilihlah salah satu dari dua perkataanku. Apakah kalian ingin hukuman mati atau tetap hidup dalam penjara istana dan menyaksikan Leila berbahagia dengan keluarganya?” tawar Ratu Malam.

“Tolong biarkanlah kami hidup.” Ayla dan Aylin pun membuat pilihan.

Setelah hari itu, Ayla dan Aylin tinggal di penjara istana. Di sana mereka terus menerus tersiksa oleh perasaan iri dan dengki yang semakin lama semakin berkobar dalam dada. Mereka tak menyangka jika menyaksikan kebahagiaan Leila sama buruknya dengan sebuah hukuman mati.Sementara itu, Leila hidup bahagia bersama keluarganya, kerajaannya, dan juga ibu angkatnya, Sang Ratu Malam.

***

Meli menghentikan baca bukunya.

"Cerita yang bagus. Pinter yang membuat cerita," pujian Meli.

Meli menutup bukuya dengan baik dan di taruh di meja. Meli mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv. Di pilihlah chenel Tv yang acaranya bagus untuk di tonton. Acara Tv yang di pilih adalah acara musik. Meli dengan asik nonton acara Tv yang bagus itu. Apalagi artis idolanya, ya menyanyi di acara musik di Tv tersebut. Senanglah Meli menonton acara musik di Tv.

KISAH SI CANTIK MAWAR

Aulia temannya Rara. Aulia ke rumah Rara. Sampai di rumah Rara. Ibunya Rara mempersilakan Aulia untuk masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Rara sedang membeli sayur dan juga tempe di warung ibu Mila, ya di suruh ibunya Rara lah. Aulia menunggu Rara dengan baik. Aulia melihat buku di meja, ya milik Rara. Aulia mengambil buku tersebut dan di baca judulnya "Kisah Si Cantik Mawar."

Aulia membuka buku tersebut, ya segera di baca dengan baik banget.

Isi buku yang di baca Aulia :

Dahulu kala, di zaman Turki Kuno, ketika keajaiban bisa disaksikan oleh banyak orang dan para peri sering muncul untuk membantu kehidupan manusia, hiduplah seorang Padishah dengan tiga putrinya. Putri-putri Padishah itu telah mencapai usia yang cukup untuk menikah. Namun, Padishah tidak kunjung menikahkan mereka karena ia terlalu sibuk dengan urusan-urusannya.

“Aku telah berumur empat puluh tahun,” keluh Putri Pertama.

“Aku berumur tiga puluh tahun.” Putri Kedua menghela napas.

“Umurku dua puluh tahun. Kita harus segera menikah sebelum rambut kita memutih,” usul Putri Ketiga.

“Sampaikanlah kegelisahan hati kita kepada Ayahanda. Kau yang paling pemberani di antara kita bertiga,” kata Putri Pertama dan Putri Kedua kepada Putri Ketiga.

Putri Ketiga menyetujui pendapat kedua kakaknya. Ia pun segera menghadap ayahandanya. “Ayahanda, bukankah sudah tiba waktunya bagi kami untuk berkeluarga?”

Sang Padishah merenung sebentar, lalu berkata. “Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Ambillah busur dan memanahlah. Di mana anak panah kalian menancap, di situlah jodoh kalian.”

Menuruti nasihat sang ayah, ketiga putri itu segera merentangkan busur masing-masing. Tiga anak panah pun melesat ke arah yang berbeda. Anak panah Putri Pertama mendarat di kastil Penasihat Istana, sehingga ia menikah dengan putra Sang Penasehat Istana. Anak panah Putri Kedua mendarat di kastil seorang Guru Istana, maka ia menikah dengan putra Sang Guru Istana. Sedangkan anak panah Putri Ketiga mendarat di sebuah pondok sederhana milik seorang pemuda miskin.

“Oh, Putriku, malang sekali nasibmu. Coba, rentangkan lagi busurmu. Mungkin anak panah itu akan jatuh ke tempat yang berbeda,” kata Sang Padishah. Namun, setelah tiga kali merentangkan busur, anak panah Putri Ketiga tetap jatuh di pondok pemuda miskin tadi.

“Ayahanda, biarlah saya terima takdir ini dengan hati lapang. Barangkali ada kebaikan yang tersembunyi untuk saya di rumah itu,” kata Putri Ketiga. Akhirnya, ia pun menikah dengan pemuda miskin itu.

Selang beberapa tahun kemudian, Putri Ketiga hendak melahirkan seorang bayi di malam yang dingin. Tidak ada tempat tidur atau pun kursi panjang sebagai tempatnya berbaring. Tidak ada pula perapian untuk menghangatkan diri.

“Istriku, aku akan pergi mencari seorang tabib wanita untuk membantumu melahirkan,” kata sang suami.

Kini, tinggallah Putri Ketiga kesakitan dan kedinginan di rumah sederhana itu sendirian. “Oh, seandainya ada yang bisa menolongku sekarang juga…” rintihnya.

Kebetulan, tiga ibu peri sedang melewati rumah Putri Ketiga dan mendengar suaranya. Mereka masuk dan melihat keadaan Putri Ketiga yang menyedihkan. Tiga ibu peri itu segera menolong Putri Ketiga. Dengan kekuatan ajaib, mereka menata isi rumah supaya nyaman dan menyenangkan. Sebuah perapian muncul dan menghangatkan ruangan. Disusul sebuah tempat tidur empuk untuk tempat berbaring Putri Ketiga dan juga benda-benda lainnya. Tak lama kemudian, seorang bayi perempuan yang sangat cantik lahir. 

“Anak ini bernama Mawar. Kelak, jika ia menangis, air matanya akan menjadi mutiara,” ucap Ibu Peri Pertama.

Anak ini bernama Mawar. Kelak, sekuntum bunga mawar akan merekah dari senyumannya,” kata Ibu Peri Kedua.

Ibu Peri Ketiga ikut berbicara, “Anak ini bernama Mawar. Kelak, di setiap jejak langkahnya akan tumbuh berbagai tanaman yang menghijau.” Seiring dengan ucapan Ibu Peri Ketiga, mereka menghilang secara bersamaan.

“Istriku, apa yang telah terjadi?” tanya suami Putri Ketiga ketika ia tiba di rumah. Ia benar-benar kaget melihat perubahan rumahnya, apalagi saat ia melihat istrinya berbaring di sebuah ranjang yang indah bersama seorang bayi yang cantik.

“Tiga ibu peri telah menolongku dan memberikan keajaiban di rumah kita, suamiku.” Putri Ketiga lalu menceritakan semua yang dia alami kepada suaminya.

Tahun berganti tahun, Mawar, bayi Putri Ketiga, tumbuh menjadi seorang gadis yang memikat hati siapa pun yang melihatnya. Tak hanya karena kecantikan wajahnya, namun juga karena keajaiban-keajaiban yang dibawanya. Jika Mawar menangis, dari matanya akan keluar butiran-butiran mutiara. Saat ia tersenyum, sekuntum mawar merekah mucul dari mulutnya. Dan, ketika ia berjalan, setiap jejak kakinya akan ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan hijau.

Kabar tentang Mawar dan keajaibannya tersiar hingga ke istana Sultan. Kabar itu didengar pula oleh Putra Sultan, yaitu Sang Pangeran. Rasa penasaran yang besar membuatnya bergegas pergi ke desa, tempat Mawar tinggal, dan melihat sendiri kecantikan dan keajaiban gadis itu. Segera saja, Pangeran jatuh hati dan membawanya ke istana untuk menikahinya.

“Suamiku, kita sangat beruntung. Putri kita hendak dinikahi oleh Pangeran!” seru Putri Ketiga kepada suaminya.

Semua orang bergembira karena pangeran mereka akan segera menikah. Akan tetapi, ada seorang wanita bangsawan dan putrinya yang merasa marah ketika mengetahui rencana pernikahan Pangeran. Rupanya, wanita bangsawan itu berharap jika Pangeran akan menikahi putrinya karena mereka sudah lama tinggal di istana. Apalagi putrinya juga cukup cantik untuk menjadi istri Pangeran. Namun, Pangeran ternyata lebih memilih untuk menikahi Mawar, seorang gadis miskin, dari pada putri wanita bangsawan itu.

“Tenanglah, anakku. Aku telah menyiapkan sebuah rencana untuk membuatmu menjadi istri Pangeran.” Wanita itu menghibur putrinya yang menangis tersedu-sedu di hari pernikahan Pangeran dan Mawar.

Sebelum pesta dimulai, wanita bangsawan itu menghidangkan senampan daging yang telah ditaburi banyak garam kepada Mawar. Mawar memakannya hingga ia merasa kehausan karena rasa asin yang menyengat.

“Tolong, beri saya segelas air…,” pintanya memelas.

Wanita bangsawan dan putrinya tersenyum jahat, lalu berkata. “Berikan satu bola matamu, maka kami akan memberimu segelas air.”

Mawar sungguh ketakutan mendengar permintaan itu. Tetapi, karena ia sudah sangat tersiksa dengan rasa haus, dengan sangat terpaksa ia memberikan bola mata kanannya.

“Minumlah.” Mereka memberikan segelas air kepada Mawar.

Mawar meminumnya hingga habis, tetapi, rasa haus yang menyiksa itu belum hilang juga. Maka, ia meminta satu gelas air lagi. 

Wanita bangsawan dan putrinya tersenyum jahat, dan mengucapkan kata-kata yang sama. “Berikan satu bola matamu, maka kami akan memberimu segelas air.”

Mawar tak punya pilihan lain, ia pun memberikan bola mata kirinya. Kini, ia telah menjadi gadis buta. Wanita bangsawan itu sangat puas. Kemudian, ia menyuruh anak buahnya untuk memasukkan Mawar ke dalam sebuah keranjang besar dan membuangnya ke puncak bukit yang tinggi, jauh dari istana. Setelah itu, ia mendadani putrinya dengan gaun pengantin dan tudung yang semula dikenakan oleh Mawar.

“Oh, ternyata, gadis cantik dan memesona ini yang ingin kau nikahi. Ayah senang karena kau memilih seorang putri bangsawan,” komentar Sultan usai upacara pernikahan.

Pangeran sungguh terkejut ketika tahu jika gadis yang dinikahinya bukan Mawar. Ia benar-benar bingung dengan kejadian itu. Tetapi, ia tidak bisa membatalkan pernikahannya karena restu Sultan telah diberikan dan upacara pernikahan telah dilaksanakan. Lalu, bagaimanakah nasib Mawar yang terbuang di puncak bukit?

Disana, Mawar menangis sedih. Suaranya terdengar menyayat hati. Saat itulah, seorang penebang kayu tua melewati keranjang besar yang berisi Mawar. Ketika ia mendengar suara tangisan itu, ia merasa ketakutan, namun akhirnya ia bertanya, “Siapakah engkau? Apakah engkau peri atau jin?”

“Saya hanyalah manusia biasa. Tolonglah saya, Tuan,” pinta Mawar.

Penebang kayu itu segera membuka tutup keranjang dan menolong Mawar. “Kasihan sekali gadis ini. Rupanya ia buta. Aku akan menolongnya dan mengangkatnya sebagai anak,” tekad penebang kayu itu di dalam hati.

Penebang kayu tua itu pun membawa Mawar pulang ke rumahnya di pinggir hutan dan merawat Mawar seperti anaknya sendiri. Akan tetapi, Mawar masih saja sedih dan terus menangis setiap hari. Butiran-butiran mutiara terus-menerus berjatuhan dari kedua matanya yang buta. Penebang kayu itu keheranan.

“Saya seperti ini sejak lahir, Tuan,” kata Mawar singkat. Ia enggan menjelaskan perihal kemalangan yang dia alami.

Hari demi hari berlalu, Mawar mulai merasa kerasan tinggal di rumah penebang kayu itu. Suatu hari, ayah angkatnya itu pulang dengan membawa buah-buahan manis dari hutan.

“Buah-buah ini sungguh manis dan menyegarkan, Ayah,” ucap Mawar sambil tersenyum. Sekuntum bunga mawar seketika merekah jatuh dari mulutnya.

Penebang kayu itu terperanjat. “Keajaiban apa lagi ini, anakku? Apa yang harus aku lakukan dengan bunga secantik ini?”

Mawar berpikir sebentar, kemudian berkata. “Ayah, tolong datanglah ke istana dan juallah bunga mawar ini di sana. Katakanlah jika bunga ini memiliki keindahan tiada duanya di dunia. Nanti jika ada seorang wanita bangsawan yang membelinya, jangan meminta uang sebagai pembayarannya. Tetapi, mintalah sebuah mata sebagai pengganti bunga mawar ini.”

Penebang Kayu Tua mengabulkan keinginan anak angkat tersayangnya. Keesokan harinya, ia pergi ke istana, tempat tinggal keluarga Sultan, untuk menjual mawar itu.

“Mawar! Mawar! Bunga Mawar! Barang siapa yang membeli bunga mawar ini akan sangat beruntung. Bunga ini memiliki keindahan tiada banding di dunia ini!” teriak Penebang Kayu Tua.

Wanita bangsawan, yang dulu membuang Mawar ke puncak bukit, membuka pintu, bermaksud membeli mawar itu.

“Saya tidak menjualnya untuk mendapatkan uang, Nyonya. Saya menjualnya untuk sebuah bola mata,” kata Penebang Kayu Tua.

Wanita bangsawan itu langsung teringat pada dua bola mata Mawar yang disimpannya. Ia pun memberikan salah satu mata itu kepada Penebang Kayu Tua.

“Oh, terima kasih, Ayah!” pekik Mawar senang, setelah menerima sebuah bola mata dari ayah angkatnya. Ia lalu memasangkan bola mata itu ke tempat yang tepat. Kini, Mawar bisa melihat dengan satu mata. Ia tersenyum senang. Bunga-bunga mawar merekah segera berjatuhan dari mulutnya.

“Ayah, tolong, juallah mawar-mawar ini ke istana supaya aku bisa mendapatkan satu mata lagi,” pintanya.

Keesokan harinya, Penebang Kayu Tua kembali menawarkan kuntum-kuntum mawar itu ke istana.

“Penjual mawar itu datang di saat yang tepat. Kemarin, Pangeran tampak sangat senang melihat mawar yang kusematkan di rambut putriku. Putriku pasti terlihat lebih cantik dengan mawar itu,” pikir Wanita Bangsawan. Ia tidak tahu bahwa Pangeran merasa senang karena melihat bunga mawar yang tersemat di rambut putrinya, bukan karena melihat kecantikan istrinya. Bunga mawar itu mengingatkan Pangeran kepada Mawar, gadis yang seharusnya ia nikahi dulu.

“Berikanlah sebuah bola mata sebagai pengganti mawar-mawar ini, Nyonya,” pinta Penebang Kayu Tua.

Akhirnya, mata kedua Mawar tiba. Ia memasangnya kembali di tempat yang tepat, sehingga penglihatannya kembali seperti sedia kala. Ia merasa sangat senang dan memutuskan untuk berjalan-jalan ke kota menikmati pemandangan. Di jalanan kota, orang-orang terpesona melihat kecantikan Mawar. Terlebih lagi saat mereka menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dibuat gadis itu. Senyumnya mengeluarkan kuntum mawar yang merekah, jejak langkahnya meninggalkan tumbuh-tumbuhan hijau, dan air matanya berupa butiran mutiara yang indah. Berita tentang keajaiban Mawar tersebar ke segala penjuru. Kabar itu pun sampai ke telinga Sang Wanita Bangsawan dan putrinya.

“Oh, Ibu, bagaimana jika ia kembali lagi ke istana ini dan menceritakan semua kejahatan kita kepada Pangeran?” tangis putrinya.

“Aku akan melakukan sesuatu sebelum Pangeran mendengar tentang gadis itu,” tekad wanita bangsawan itu.

Ia lalu menelusuri kabar tentang Mawar dan menemukan rumah Penebang Kayu Tua di pinggir hutan. Diam-diam, ia menemui lelaki tua itu.

“Pak Tua, tahukah engkau bahwa gadis yang tinggal di rumahmu itu telah dirasuki oleh roh jahat? Oleh karena itulah ia bisa melakukan berbagai macam keajaiban. Roh jahat itu menyimpan jiwa putrimu yang sebenarnya di suatu tempat,” katanya berbohong.

Penebang Kayu Tua sungguh ketakutan mendengar hal itu. “Apa yang harus saya lakukan supaya jiwa putri saya bisa kembali, Nyonya?”

“Tanyakanlah kepada roh jahat itu, di mana ia menyimpan jiwa putrimu. Jika tempat penyimpanan jiwanya musnah, maka jiwa putrimu akan bebas kembali ke tubuhnya. Roh jahat itu pun akan pergi dari tubuh putrimu. Aku akan membantumu,” janji Sang Wanita Bangsawan.

Penebang Kayu Tua segera menemui Mawar yang ia sangka kerasukan roh jahat. “Roh jahat, katakanlah, di mana kau menyimpan jiwa putriku, Mawar! Kini aku mengerti penyebab semua keajaiban yang kau lakukan selama ini!”

“Ayah, apa yang terjadi? Aku sungguh-sungguh putrimu, Mawar. Aku bukan roh jahat. Aku bisa melakukan semua keajaiban ini karena tiga peri yang memberiku azimat ketika aku lahir,” jawab Mawar mencoba menjelaskan.

“Katakan di mana kau menyimpan azimatmu, maka aku akan percaya bahwa kau bukan roh jahat!” seru Penebang Kayu Tua.

Mawar berpikir sesaat, kemudian mengungkapkan rahasianya, “Aku menyimpannya di tubuh rusa muda bermata merah di puncak bukit. Jika ia mati, maka aku juga akan mati.”

Penebang Kayu Tua segera menemui Sang Wanita Bangsawan dan mengatakan semua yang dia ketahui. Kemudian, wanita itu menyuruh anak buahnya mencari rusa muda yang dimaksud dan memerintahkannya untuk membawa hatinya sebagai bukti kematian rusa muda itu. Setelah rusa muda itu ditemukan dan mati karena diambil hatinya, Mawar tak sadarkan diri. Penebang Kayu Tua menyadari kesalahannya dan merasakan penyesalan yang dalam. Ia menganggap Mawar telah meninggal, sehingga ia memasukkannya ke dalam sebuah peti dan menguburkannya di puncak bukit.

Sementara itu, Wanita Bangsawan dan putrinya bergembira karena Mawar telah pergi untuk selamanya. Mereka berdua kemudian memasak hati rusa muda itu. Tetapi, tanpa sepengetahuan mereka, sebuah mata merah bagai batu koral di lautan, menggelinding jatuh dari hati rusa dan bersembunyi di bawah tempat tidur Pangeran.

Malam harinya, Pangeran bermimpi aneh. Ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang sedang menangis di puncak bukit. Air mata gadis itu mengeluarkan butiran mutiara. Kemudian, saat gadis itu tersenyum kepada Pangeran, sekuntum mawar merekah jatuh dari mulutnya. Dan, ketika gadis itu berjalan beberapa langkah, jejak kakinya ditumbuhi oleh tanaman yang menghijau.

“Temukan aku, Pangeran. Aku terkubur di bukit ini. Bawalah mata koral di bawah tempat tidurmu dan letakkan di mulutku,” kata gadis itu.

Pangeran terbangun dengan tubuh penuh keringat. Ia buru-buru melongok ke bawah tempat tidurnya. Dan, benar saja, sebuah mata merah bagai batuan koral tergeletak di bawah tempat tidurnya. Tanpa membuang-buang waktu, Pangeran memacu kudanya menuju puncak bukit yang ada di dalam mimpinya. Ia yakin, kali ini, ia akan menemukan Mawar, calon istrinya yang dulu menghilang. Setelah sampai di puncak bukit, Pangeran segera menggali tempat yang ditunjuk oleh gadis dalam mimpinya. Ia menggali dan terus menggali, hingga sekopnya membentur sesuatu yang keras. Sebuah peti. Pangeran semakin bersemangat menggali, hingga peti itu tergali seluruhnya. Pangeran segera membuka tutupnya dan melihat sesosok gadis berbaring di dalamnya.

“Benar, mimpiku semalam ternyata benar. Ini adalah Mawar, gadis yang aku cari-cari selama ini!” pekik Pangeran senang.

Pangeran lalu mengambil sebuah kantung yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah mata merah bagai koral. Perlahan-lahan, Pangeran meletakkan mata itu di mulut Mawar. Tiba-tiba, mata itu menghilang dan Mawar membuka matanya.

“Terima kasih telah menyelamatkan saya, Pangeran.” Mawar tersenyum sambil menangis penuh haru. Mulutnya mengeluarkan bunga mawar yang merekah dan kedua matanya menjantuhkan butiran mutiara. Saat Pangeran menuntunnya melangkah keluar dari peti, jejak kaki Mawar ditumbuhi tanaman yang menghijau. Semua hal itu semakin meyakinkan Pangeran bahwa gadis itu benar-benar Mawar yang dicarinya.

“Apa yang terjadi di hari pernikahan kita? Mengapa engkau menghilang begitu saja?” tanya Pangeran.

Mawar menceritakan semua yang telah dialaminya kepada Pangeran, termasuk perlakuan Sang Wanita Bangsawan dan putrinya kepada dirinya.

“Mereka berdua akan mendapatkan hukuman yang sepadan dengan kejahatan yang telah mereka lakukan,” kata Pangeran dalam perjalanan menuju istana.

Dengan kembalinya Mawar, istana kembali mengadakan pesta pernikahan Pangeran. Mawar sangat bahagia karena bisa menikah dengan Pangeran dan berkumpul kembali dengan ayah dan ibunya. Ia pun tak lupa mengundang ayah angkatnya, yang telah menyelamatkan dan merawat dirinya, untuk hadir di pesta itu. Sementara itu, Wanita Bangsawan dan putrinya harus menjalani masa hukuman atas kejahatan mereka di dalam penjara istana.

***

Aulia berhenti membaca bukunya.

"Cerita yang bagus. Pinter yang membuat ceritanya," pujian Aulia.

Aulia menutup buku dan buku di taruh di meja. Rara pulang ke rumahnya dengan bawa sayur dan tempe yang ia beli di warung ibu Mila.

"Aulia telah lama nunggu?!" kata Rara.

"Lumayan. Selesai baca buku. Kisah Si Cantik Mawar. Asal cerita dari Turki," kata Aulia.

"Tunggu sebentar ya. Aku mau ngasih ini belanjaan ku pada ibu!" kata Rara.

"Iya," kata Aulia.

Aulia menunggu dengan baik. Rara memberikan belanjaanya ke ibunya. Ya ibu segera memasak tuh sayur dan tempe di dapur. Rara ke ruang tamu.

"Aulia main yuk. Main boneka!" kata Rara.

"Ayuk!!!" kata Aulia.

Aulia dan Rara main boneka dengan penuh kegembiraan, ya kebiasaan ceweklah main boneka.

CAMPUR ADUK

JEFF, WHO LIVES AT HOME

Malam hari, ya bintang berkelap-kelip di langit. Setelah nonton Tv yang acara menarik dan bagus....FTV di chenel AllPlay Ent, ya seperti bia...

CAMPUR ADUK